Antara Orang Mukmin, Orang Kafir dan Pahala Allah Swt.

As-Samarqandi dalam kitabnya Tanbiihul Ghaafiliin, menyebutkan sebuah cerita, "Pada zaman dahulu, ada seorang mukmin dan seorang kafir yang sama-sama pergi untuk menangkap ikan. Ketika menangkap ikan, orang yang kafir tersebut selalu menyebut nama-nama tuhannya agar mendapatkan ikan yang banyak, hingga akhirnya dia benar-benar mendapatkan ikan yang banyak. Adapun orang yang mukmin tersebut, dia selalu menyebut nama Allah ketika menangkap ikan. Akan tetapi tidak seekor ikan pun yang dia dapatkan.
Kemudian tatkala matahari terbenam, dia baru bisa mendapatkan seekor ikan yang kemudian terlepas kembali ke dalam air. Maka orang yang mukmin itu pun pulang dengan tangan kosong. Sedangkan yang kafir pulang dengan jaring yang penuh dengan ikan. Melihat apa yang dialami orang mukmin tersebut, malaikat yang bertugas menjaganya pun ikut bersedih. Lalu dia naik ke langit. Sesampainya di sana Allah memperlihatkan padanya tempat tinggal mukmin tersebut di surga. Maka seketika itu dia pun berkata, "Sungguh demi Allah, dia tidaklah merugi dengan apa yang menimpanya, karena Allah telah menetapkannya sebagai salah satu penghuni surga".
Saya ( penulis ) berkata, "Hal yang demikian itu tidak akan didapatkan oleh seorang mukmin, kecuali jika dia ridha dengan ketetapan Allah, sabar dalam menghadapi cobaan-Nya, dan syukur terhadap nikmat-Nya. Dunia bukanlah tempat untuk menuai pahala, melainkan tempat ujian dan cobaan. Tidak jarang dunia adalah surga bagi orang kafir dan penjara bagi orang mukmin. Apabila seorang yang mukmin meninggal dalam keimanannya, maka dia akan memperoleh pahala dari Allah. Dengan itu dia akan menikmati kebahagiaan yang sejati, karena apa yang diperolehnya dari Allah tersebut merupakan pahala dan kenikmatan yang abadi. Adapun kenikmatan dunia, maka itu hanyalah sementara. Ia akan sirna dan cepat terlupakan. Oleh karena itu, dalam kehidupan dunia ini orang mukmin senantiasa bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup dan cobaan yang dialaminya, dengan harapan akan memperoleh balasan pahala dari Allah di akhirat kelak. Kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal bagi orang yang bertakwa.

Apa yang Allah Lakukan kepadamu?

Abul Husein as-Sa’dani menceritakan, “Aku bermimpi bertemu dengan Mansur bin Ammar, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia menjawab, ‘Aku berdiri di hadapan-Nya lalu Dia bertanya kepadaku, ‘Engkau yang dulu telah membuat manusia zuhud pada dunia?’’
‘Benar, dan setiap kali aku memulai majelis aku selalu awali dengan dengan puji-pujian untuk-Mu, lalu aku ikuti dengan shalawat untuk Nabi-Mu kemudian baru aku mulai memberi nasihat kepada hamba-hamba-Mu.’
Allah berfirman, ‘Hamba-Ku ini benar. Buatkan untuknya kursi di langit-Ku agar dia dapat memuji-Ku di langkit-Ku di antara para malaikat-Ku sebagaimana dia telah memuji-Ku di bumi-Ku di antara para hamba-Ku.’
Putranya, Sulaim bin Mansur, juga menceritakan, ‘Aku bermimpi bertemu dengan ayahku, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia menjawab, ‘Tuhan mendekatkan diriku dan berfirman, ‘Wahai Syekh, kau tahu kenapa Aku mengampunimu?”
‘Tidak, wahai Tuhanku.’
‘Suatu hari kamu duduk di depan manusia untuk memberi mereka nasihat lalu kamu mampu membuat mereka menangis. Di antara yang menangis itu ada seorang hamba-Ku yang sebelumnya belum pernah menangis karena takut kepada-Ku sama sekali. Aku pun mengampuninya dan seluruh orang yang berada di majelis itu dan Aku juga mengampunimu bersama mereka.’”

Asma` Bintu Abi Bakar dan Makanan Milik Seorang Wanita Yahudi

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Asma` bintu Abi Bakar r.a., dia berkata, “Pada suatu ketika saya tinggal di daerah Bani Nadhir, di tempat yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. untuk Abu Salamah dan Zubair. Lalu pada suatu hari Zubair pergi bersama Rasulullah saw..  Dan kami mempunyai seorang tetangga Yahudi. Ketika itu orang yahudi itu menyembelih seekor kambing dan memasaknya. Lalu saya mencium baunya, sehingga timbul keinginan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Dan ketika itu saya sedang mengandung puteri saya, Khudaijah. Saya pun tidak kuat menahan keinginan tersebut, lalu saya mendatangi istri yahudi tersebut untuk meminta api, dengan berharap dia akan memberi saya sebagian dari daging tersebut. Sedangkan saya sendiri sedang tidak membutuhkan api. Ketika pulang, saya kembali mencium bau masakannya, sehingga keinginan untuk merasakannya semakin bertambah. Maka api yang saya ambil darinya pun saya matikan. Kemudian saya mendatanginya kembali untuk meminta api. Dan saya melakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian saya menangis dan berdoa kepada Allah. Lalu suami wanita Yahudi itu pulang dan bertanya kepada isterinya, “Apakah ada seseorang yang mendatangi kalian?”
Isterinya menjawab, “Ya. Tadi ada seorang wanita Arab meminta api”.
Sang suami pun berkata kepada istrinya, “Saya tidak mau makan daging itu, kecuali setelah engkau memberikan sebagian kepadanya”.
Lalu dia pun mengirimkan masakannya dengan mangkuk kepada saya. Maka ketika tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang lebih mengagumkan bagi saya dari masakan itu”.