Seorang Mukmin adalah Asing di Dunia

Hasan r.a. berkata, “Seorang mukmin di dunia ibarat seorang yang asing yang tidak meratapi kehinaannya dan tidak bersaing dengan penduduk di sekitarnya untuk mengejar kemuliaan. Manusia memiliki kondisi tertentu dan dia juga mempunyai kondisi yang berbeda. Dia lebih disibukkan dengan dirinya. Orang-orang tidak terganggu olehnya dan dia juga tidak butuh pada mereka. Demi Allah, aku telah berjumpa dengan orang-orang yang kehati-hatian mereka terhadap apa yang Allah halalkan lebih tinggi daripada kehati-hatian kalian terhadap apa yang Allah haramkan. Mereka lebih tahu tentang agama mereka dengan menggunakan hati mereka daripada pandangan mata kalian. Kecemasan mereka seandainya kebaikan mereka ditolak lebih besar daripada ketakutan kalian kalau disiksa akibat kesalahan-kesalahan kalian. Apabila malam menjelang mereka akan berdiri sambil menengadahkan wajah mereka. Air mata mereka mengalir di pipi mereka seraya bermunajat kepada Tuhan mereka untuk melindungi diri mereka dari siksa-Nya.” 

Hasan juga berkata, “Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tak seorang hamba pun beriman kepada hari Kiamat, melainkan dia mesti menangis, sedih, dan resah. Kalau tidak, maka bumi ini akan terasa sempit baginya. Semoga Allah merahmati hamba yang menjadikan hidupnya satu macam, makanannya hanya sepotong roti, dan memakai pakaian lusuh, serta selalu mengejar rahmat-Nya sampai kematian menjemputnya dan dia tetap istiqamah.” 

TOBAT ABU HAMDUN SALAH SEORANG QARI TERKENAL

Abu Muhammad ath-Thayyib bin Isma’il adz-Dzuhli yang dikenal dengan Abu Hamdun ad-Dallal, adalah salah seorang qari terkenal pada zamannya dan ulama zuhud yang saleh. Dia bercerita, “Pada suatu malam aku shalat dan aku membaca ayat Al-Qur’an dengan meng-idgham-kan huruf yang tidak semestinya aku idgham-kan—ini adalah satu bentuk kesalahan dalam membaca Al-Qur’an—maka mataku terasa mengantuk dan aku pun tertidur. Dalam tidur aku bermimpi seakan ada sebuah cahaya yang memanggil-manggilku seraya berkata kepadaku, ‘Antara aku dan kamu hanya Allah.’ Aku pun bertanya,  ‘Siapa kamu?’
    Dia berkata, ‘Aku adalah huruf yang telah engkau idgham-kan.’
    Aku berkata, ‘Aku tidak akan mengulangi lagi.’
    Aku segera terbangun dari tidurku setelah itu aku tidak pernah lagi meng-idgham-kan satu huruf pun.”58

12. Menumbuhkan Rambut dengan Air Mata

Ibnu Abi Dunya menceritakan dari Mujasyi’ ad-Diri, dia berkata, “Seorang wanita tetangga Habib al-Ajami melahirkan seorang anak laki-laki yang gagah, tetapi botak. Setelah anaknya besar dan umurnya lebih kurang dua belas tahun, ayahnya membawanya menemui Habib al-Ajami.  Dia berkata, ‘Wahai Abu Muhammad, perhatikanlah anakku ini. Dia sangat gagah, tetapi sayang dia botak seperti yang kau lihat sendiri, maka doakanlah dia (agar rambutnya tumbuh, pent.).’”
Habib al-Ajami lalu menangis dan mendoakan anak tersebut, kemudian dia mengusapkan air matanya ke kepala sang anak. Mujasyi’ berkata, “Demi Allah, belum sempat sang ayah beranjak dari tempat dia berdiri, tiba-tiba kepala sang anak sudah berwarna hitam, pertanda rambutnya akan tumbuh. Setelah itu, rambutnya selalu tumbuh dan subur, sampai seolah-olah dia menjadi manusia yang paling indah rambutnya.” 

Rasul Memberi Kabar Gembira kepadanya tentang Kesyahidan

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” 
Suatu ketika Rasulullah bersama Abu Bakar r.a., Umar, Utsman, Thalhah, dan Zubair berada di Bukit Hira`. Tiba-tiba bergeraklah salah satu batu besar di atasnya. Nabi bersabda, “Tenanglah wahai batu, yang ada di depanmu ini tak lain adalah nabi, shiddiq, dan syahid.”  Rasulullah saw. menamakan Thalhah dengan Thalhah al-Fayyadh (yang sangat pemurah) dan juga Thalhah al-Jawwad (yang sangat dermawan).
Thalhah bin Ubaidillah terbunuh pada tahun 36 H dalam Perang Jamal (Perang Unta). Dia dibunuh oleh salah seorang yang mengobarkan api fitnah. Dia langsung dikuburkan di medan perang. Seorang lelaki datang menemui putrinya, Aisyah binti Thalhah, lebih tiga puluh hari setelah kematian Thalhah dan berkata kepadanya, “Aku bermimpi bertemu dengan Thalhah dan dia berpesan, ‘Katakan kepada Aisyah, pindahkan aku dari tempat ini karena tanah basah di tempat ini menggangguku.’”
Kuburannya terletak di dekat sungai. Aisyah segera menuju ke kuburan ayahnya. Akhirnya, orang-orang membongkar kembali kuburnya dan mereka pindahkan ke tempat lain. Perawi cerita ini mengatakan, “Jasadnya tidak berubah sama sekali, kecuali beberapa rambut di sebelah dagu atau kepalanya.”  Sudah dimaklumi bahwa tanah tidak akan memakan jasad para nabi dan syuhada`.

Seorang Budak yang Menanyakan Jalan Keselamatan

Ahmad bin Abi al-Hawari—seorang ahli ibadah di Syam—menceritakan, “Suatu kali, ketika aku berada di salah satu wilayah Syam, di pekuburan yang tidak mempunyai pintu selain hanya sehelai kain yang aku bentangkan. Tiba-tiba ada seorang wanita yang mengetuk dinding. Aku bertanya, ‘Siapa itu?’
Dia menjawab, ‘Perempuan yang tersesat, tunjukkanlah jalan kepadaku, semoga Allah merahmatimu.’
‘Jalan apa yang kamu maksudkan?’ tanyaku.
Tiba-tiba  dia menangis, lalu berkata, ‘Jalan keselamatan.’
Aku berkata, ‘Jauh sekali. Sesungguhnya antara kita dan jalan keselamatan itu ada jarak yang sangat jauh dan jarak yang jauh itu tak akan dapat dilewati kecuali dengan berjalan tanpa henti, membenarkan interaksi dengan Allah, menyingkirkan segala ikatan-ikatan yang akan menyibukkan diri kita dari dunia dan akhirat.’
Wanita itu menangis sejadi-jadinya, kemudian dia berkata, ‘Wahai Ahmad, Mahasuci Zat yang menjaga anggota tubuhmu hingga tidak binasa dan memelihara hatimu hingga tidak luntur.’ Kemudian dia jatuh pingsan. Aku berkata pada beberapa orang wanita, ‘Periksalah kondisi wanita ini.’
Mereka segera memeriksanya. Ternyata di sakunya ada sepucuk surat wasiat, ‘Kafani aku dengan pakaianku ini. Seandainya ada kebaikanku di sisi Allah, maka itulah yang akan membuatku bahagia. Akan tetapi seandainya tidak, maka amat jauh bagi diriku untuk meraih kebahagiaan.’
Mereka menggerak-gerakkan tubuhnya dan ternyata dia sudah wafat. Aku berkata, ‘Budak siapa ini?’
Orang-orang menjawab, ‘Dia seorang budak Quraisy yang mengeluhkan kepada kami rasa sakit di lambungnya, lalu kami menyarankannya menemui seorang tabib dari Syam, tetapi dia berkata, ‘Biarkan aku menemui tabib yang alim (maksudnya Ahmad ibnul-Hawari), aku akan mengadukan sakitku kepadanya semoga aku akan mendapatkan kesembuhan darinya.’’”

Seteguk Air Senilai Kerajaan Dunia

Ibnu Samak—seorang ahli ibadah—berkata  kepada Khalifah Harun ar-Rasyid saat dia sedang minum air, “Wahai Khalifah, seandainya kamu dicegah tidak boleh meminum air itu, dengan apa kamu membayar untuk dapat meminumnya?”
Harun menjawab, “Dengan setengah kerajaanku.”
Ibnu Samak berkata, “Minumlah.”
Setelah Khalifah meminum air itu, Ibnu Samak berkata lagi, “Sekarang, seandainya kamu tidak dapat mengeluarkan air itu dari badanmu, berapa lagi yang akan kamu bayar agar air itu dapat keluar?”
Harun menjawab, “Dengan seluruh kerajaanku.”
Ibnu Samak berkata, “Sesungguhnya kerajaan tidak sebanding dengan harga seteguk air dan keluarnya air seni. Sungguh selayaknya kita tidak mengejar-ngejar untuk memperolehnya.”
Benar, itulah dunia yang di sisi Allah tidak senilai dengan seekor sayap nyamuk. Seandainya ada harganya di sisi Allah, tentu Allah tidak akan memberi minum seorang kafir pun walau seteguk air.

Menaati Perintah Rasulullah saw.

Dalam buku kehidupan para sahabat, al-Kandahlawi menceritakan dari Mughirah bin Syu’bah r.a., dia berkata, “Aku pernah meminang seorang gadis dari kaum Anshar. Hal itu kemudian aku sampaikan kepada Rasulullah saw.. Beliau bersabda, ‘Apakah sudah kamu lihat?’
‘Belum.’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Lihatlah dia, karena hal itu akan semakin melanggengkan hubungan kalian nantinya.’” 
Mughirah berkata, “Kemudian aku mendatanginya. Hal itu aku sampaikan kepada kedua orang tuanya. Keduanya saling berpandangan. Akhirnya, aku pergi dalam keadaan kesal.
Gadis (putri kedua orang tua itu) berkata, ‘Mana laki-laki itu?’ Aku kembali ke rumahnya lalu aku berdiri di samping kamarnya. Dia berkata, ‘Seandainya Rasulullah saw. yang menyuruhmu untuk melihatku, maka lihatlah, tetapi kalau tidak, sungguh aku tak akan mengizinkanmu memandangku.’”
Mughirah berkata, “Lalu aku pandangi dia, kemudian aku nikahi. Sungguh aku tidak pernah menikahi seorang wanita pun yang lebih aku cintai dan lebih mulia darinya.”
Rasulullah saw. telah membolehkan untuk memandangi wanita ketika ada dorongan untuk menikahinya, sehingga timbullah rasa cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, memandangnya hanya sebatas muka dan telapak tangan, karena muka menunjukkan tingkat kecantikan wanita sementara kedua tangan menunjukkan kelembutannya.
Apabila sang pemuda menerima gadis itu dan tertarik kepadanya dan sang gadis juga tertarik kepada pemuda itu, maka sempurnalah proses meminang. Setelah itu barulah diadakan akad nikah. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin hari ini yang menyalahi syariat Islam dan mengikuti Yahudi dalam proses meminang, yaitu sang pemuda dibolehkan duduk berduaan dengan sang gadis dan pergi juga berduaan. Hal ini dalam syariat Yahudi adalah halal, tetapi dalam syariat kita hal itu adalah haram, bahkan dianggap sebagai pintu masuk ke dalam maksiat zina, walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.
Dalam pandangan Yahudi, meminang adalah masa uji coba, sang pemuda dan gadis yang dipinangnya sudah seperti suami istri minus hubungan intim. Apabila hubungan keduanya sudah sangat erat dan merekat serta sudah ada kesepahaman, barulah diadakan nikah. Hal ini juga dilakukan oleh masyarakat Barat. Bahkan, mereka berbuat lebih jauh dari itu sampai pada hubungan suami istri dan melahirkan anak tanpa proses pernikahan. Oleh karena itu, banyaklah anak-anak zina dalam masyarakat Barat.

Siasat Seorang Hakim Menghadapi Istrinya yang Pencemburu

Qadhi (hakim) Abul Husain bin Utbah berkata, “Aku mempunyai sepupu (putri paman) yang kaya lalu aku menikahinya. Aku tidak menikahinya karena kecantikannya, tetapi aku ingin memanfaatkan hartanya dan setelah itu aku menikah secara sembunyi-sembunyi. Ketika dia mengetahui hal itu, dia meninggalkanku dan mendesakku untuk menceraikan semua istri yang aku nikahi, kemudian dia akan kembali dan hal itu sangat merepotkanku.
Kemudian aku menikahi seorang gadis cantik yang sesuai dengan keinginanku dan selalu membantuku dalam segala hal. Setelah beberapa hari,  dia berada bersamaku, berita ini terdengar oleh sepupuku tersebut (istrinya tadi), lalu dia mulai membuat masalah untukku. Bagiku sendiri tidak mudah untuk menceraikan gadis tersebut.
Aku berkata kepada istriku yang baru ini, ‘Pinjamlah dari semua tetangga perhiasan yang paling bagus sehingga kamu akan kelihatan sangat cantik, lalu pakailah wewangian yang harum, kemudian pergilah ke rumah putri pamanku itu dan menangislah di hadapannya serta banyak ucapkan doa untuknya sampai dia merasa iba kepadamu. Jika dia bertanya bagaimana kondisimu, maka katakan, ‘Sesungguhnya putra pamanku telah menikah lagi dengan wanita lain. Hampir setiap saat dia menikah lagi. Aku mohon kamu mintakan bantuan hakim untuk kasusku.’ Istri pertama ini tidak mengenal istri yang kedua.’
Akhirnya, istri kedua ini pergi menemui istri pertama dan melakukan apa yang diperintahkan oleh sang hakim suaminya. Istri pertama berkata, ‘Sang hakim lebih buruk dari suamimu, yang dia lakukan kepadaku juga persis dengan kasusmu.’
Kemudian dia mengajak istri kedua untuk datang menghadap kepadaku. Istri pertama tersebut tampak sangat emosi. Tangannya menggandeng istri kedua. Istri pertama berkata, ‘Istri yang malang ini nasibnya sama dengan nasibku. Dengarkanlah pengaduannya dan berlakulah adil kepadanya.’
Aku berkata, ‘Kemarilah kalian berdua.’
Keduanya mendekat.
Aku bertanya kepada istri kedua, ‘Apa kasusmu?’
Lalu  dia menceritakan seperti apa yang telah dirancang oleh sang hakim suaminya (yang sesungguhnya adalah suami mereka berdua).
Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah putra pamanmu itu mengakui bahwa  dia telah menikah lagi?’
Dia menjawab, ‘Tidak demi Allah, bagaimana mungkin dia akan mengakui sesuatu yang dia tahu bahwa aku pasti tidak akan setuju?’
Aku bertanya lagi, ‘Ataukah kamu pernah melihat istrinya itu atau tahu tempat tinggalnya ataupun pernah melihat gambarnya?’
Dia menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’
Aku berkata, ‘Wahai perempuan, bertakwalah kepada Allah dan jangan langsung terima apa saja yang kamu dengar karena orang yang dengki banyak dan orang yang suka merusak kebahagiaan wanita juga banyak. Seluruh cara salah itu hanya bohong belaka. Buktinya ini istriku, banyak orang mengatakan kepadanya bahwa aku menikah lagi. Kalau memang benar, maka semua istriku yang di luar ruangan ini aku talak tiga.’
Putri pamanku tersebut berjalan ke arahku dan mencium kepalaku, lalu dia berkata, ‘Sekarang aku sadar bahwa kau sering difitnah, wahai sang hakim.’ Dengan demikian, aku tidak mesti membayar denda sumpah karena kedua orang istriku itu berada di depanku.”

YA ALLAH, AKU MOHON TOBAT NASUHA

    Shudqah bin Sulaiman al-Ja’far berkata, “Aku banyak melakukan perbuatan nakal, kemudian ayahku meninggal dunia. Kemudian aku pun bertobat dan menyesali semua apa yang telah aku lakukan. Tetapi aku terjerumus lagi melakukan perbuatan nakal hingga aku bermimpi dalam tidurku bertemu dengan ayahku, dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, betapa bahagianya aku denganmu dan dengan amal perbuatanmu, dipamerkan kepadaku dan kami menilainya seperti perbuatan orang-orang saleh.’”
    Orang itu pun bertobat dari dosa-dosa yang telah dilakukannya dan kembali beribadah kepada Allah. Dia selalu mengulang-ulang doa yang dipanjatkannya kala malam menjelang subuh, “Ya Allah, aku memohon tobat yang sebenar-benar tobat. Wahai Yang Mahakuasa Yang membuat seseorang menjadi orang saleh, Pemberi hidayah orang-orang yang sesat, dan Maha Pengasih orang-orang yang penuh dosa.”
    Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya Allah senantiasa menerima tobat orang-orang yang melakukan maksiat apabila orang itu bertobat dan kembali melakukan maksiat kemudian dia bertobat lagi. Selama nyawa belum sampai ke kerongkongan, selama itu pula pintu tobat senantiasa terbuka di hadapannya. Oleh sebab itu, hendaklah orang seperti itu bersegera diri untuk bertobat sebelum ajal datang menjemputnya.

TOBAT PENGARANG FI ZHILALIL QUR

Dia adalah salah seorang pemikir Islam kontemporer yang telah mengorbankan jiwanya demi sebuah akidah yang kokoh yang dipenuhi rasa takut kepada Allah swt..
    Dia besar di sebuah desa kecil di tengah keluarga yang taat beragama. Dia menghafal Al-Qur’an seperti kebiasaan penduduk desa di salah satu madrasah yang mengajarkan menulis, membaca, dan menghafal Al-Qur’an yang ada di desa itu. Namun, ketika beranjak dewasa, dia terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran komunis yang memang tersebar pada saat itu. Hingga, mengakibatkan dia menjadi seorang atheis selama sebelas tahun. 
    Pada tahun 1948 dia berangkat ke Amerika dalam sebuah delegasi Kementerian Wakaf Mesir. Keadaannya pun berubah dari atheis menjadi beriman dan kembali kepada Allah swt..
    Pengarang Fi Zhilalil Qur’an itu bercerita tentang perjalanan spiritualnya dari keraguan ke keyakinan. Sejak sekitar lima belas tahun yang lalu, kami berjumlah enam orang yang semuanya beragama Islam berada di atas sebuah kapal Mesir yang membawa kami mengarungi lautan Atlantik menuju ke New York di antara seratus dua puluh penumpang lainnya yang semuanya bukan beragama Islam. Terbetik dalam benak kami untuk mendirikan shalat Jumat di tengah lautan di atas kapal tersebut. Allah Mahatahu bahwa kami sesungguhnya tidak pernah menjalankan shalat itu sendiri. Kami memang sedang mendapat gairah keagamaan yang tinggi saat berhadapan dengan seorang misionaris Kristen yang gigih menjalankan tugasnya di atas kapal dan sedang berupaya untuk menyampaikan misi Kristennya kepada kami. 
    Saat itu nahkoda kapal yang berkewarganegaraan Inggris mengizinkan kami untuk mendirikan shalat dan dia juga mengizinkan kepada para awak kapal, kokinya, dan para pelayannya yang beragama Islam untuk shalat bersama kami dengan syarat tidak ada pekerjaan yang harus dikerjakan pada saat waktu shalat.
    Aku bertindak sebagai ib dan imam shalat Jumat. Para penumpang yang lain mayoritas mereka memperhatikan dan mengawasi shalat kami. Setelah selesai pelaksanaan shalat, banyak dari mereka yang mendatangi kami dan mengucapkan selamat atas terlaksana dan suksesnya “pekerjaan suci” itu, dan ini menjadi puncak pemahaman mereka dari pelaksanaan shalat kami.
    Namun, ada seorang wanita dari kerumunan orang banyak ini yang kemudian kami mengenalnya berkebangsaan Yugoslavia. Dia beragama Kristen dan sedang lari dari kekejaman rezim Tito dan pemerintahan komunisnya. Wanita ini sangat terkesan dan terlihat kedua matanya dibanjiri air mata dan dia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Wanita itu datang menyalami tangan kami dengan penuh kehangatan seraya berkata bahwa dia tidak bisa menahan jiwanya karena sangat terkesan dengan shalat kami ini, penuh kekhusyuan, teratur, rapi, serta penuh kejiwaan. 
    Aku pun ingin menjadi orang yang kedua muslim yang taat dan Allah hendak menguji aku apakah aku ini benar dan jujur dengan apa yang telah aku lakukan atau hanya sekadar kepura-puraan.
    Dan dari ujian Allah kepadaku setelah beberapa saat aku memilih jalan Islam—setibanya aku di Amerika—baru saja aku masuk ke kamarku, tiba-tiba pintu kamarku diketuk dan aku pun membukanya. Saat itu berdiri di hadapanku seorang wanita muda berbadan semampai berparas cantik dengan berpakaian minim. Terlihat dari gerakan badannya dia sedang merayu. Dia memulai percakapan denganku dengan bahasa Inggris, “Apakah engkau mengizinkan aku menjadi tamumu  malam ini?”
    Aku pun menolaknya dengan alasan bahwa kamar ini hanya cukup untuk satu orang saja.
    Wanita itu berkata, “Kebanyakan satu tempat tidur juga bisa untuk dua orang.”
    Dengan rayuan dan upayanya untuk memaksa masuk, aku pun terpaksa mendorong dan menutup pintu di depannya sehingga dia pun berada di luar kamar. Setelah itu aku mendengar detak suara sepatunya di atas lantai kayu lorong itu. Wanita itu memang sedang dalam keadaan mabuk.
    Kemudian  aku pun mengucapkan Alhamdulillah dan ini adalah awal ujian. Saat itu aku merasa jiwaku lega dan terhormat karena aku telah berhasil melawan nafsuku dan aku mulai berjalan di jalan yang telah aku gariskan ini.

Seorang Nenek-nenek yang Ridha kepada Allah

Ja’far bin Muhammad al-Khuldi berkata, “Saya mendengar Ibrahim al-Khawwash berkata, “Saya dulu mempunyai waktu-waktu santai. Setiap hari, di waktu santai tersebut saya pergi ke tepian sungai besar yang di sekitarnya ditumbuhi pohon-pohon kurma. Saya selalu mengambil daun kurma tersebut, lalu saya memotong-motongnya dan melemparkan ke sungai. Saya selalu melakukan itu untuk bermain-main, seakan-akan saya dituntut untuk selalu melakukannya.
Hari-hari berlalu dan saya selalu melakukan hal. Pada suatu hari saya berfikir untuk mengikuti potongan-potongan daun kurma yang saya lemparkan ke dalam sungai tersebut, untuk mengetahui ke mana perginya.
    Berjam-jam saya menyisiri terpian sungai itu, hingga hari itu saya tidak pergi bekerja. Tiba-tiba saya melihat seorang nenek-nenek yang sedang duduk di tepian sungai sambil menangis .
Maka saya bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab, “Saya  sekarang mempunyai lima anak yatim. Ayah mereka telah meninggal dunia, hingga saya hidup fakir dan dalam kesulitan. Pda suatu hari saya mendatangi tempat ini, lalu dari datang potongan daun kurma bersama aliran air. Lalu saya mengambilnya dan menjualnya. Hasilnya saya gunakan untuk  membiayai anak-anak saya itu. Kemudian pada hari hari-hari selanjutnya saya datang ke tepat ini. Dan setiap kali itu pula, potongan daun kurma datang bersama aliran air. Kemudian saya menjualnya. Akan tetapi hari tidak ada potongan daun kurma yang datang”.
Maka Ibrahim berkata, “Ya Allah, seandainya saya tahu bahwa dia mempunyai lima orang anak, pasti saya akan menambah kerjaku”.
Lalu dia berkata kepada nenek-nenek tersebut, “Janganlah engkau bersedih, karena saya lah yang telah melemparkan potongan-potongan daun kurma itu”.
Kemudian dia pun mengurus nenek-nenek tersebut bersama kelima anaknya selama beberapa tahun”.
Demikianlah keridhaan kepada qadha dan qadar Allah. Sehingga keridhaan tersebut membuat nenek-nenek tersebut mendapati orang yang mengurusnya bersama kelima anaknya. Maha Suci Allah, Zat Yang Maha Memberi Rizki.

TOBAT SEORANG NASRANI

Ibnul Jauzi dalam kitab Shifatush Shafwah menceritakan dari Abdullah ibnul Farj seorang ahli ibadah yang berkata, “Dahulu di Mosul ada seorang Nasrani yang dikenal dengan panggilan Abu Isma’il. Suatu malam dia berjalan dan melihat seorang yang sedang shalat tahajud di lantai atap rumahnya dan sedang membaca, “…padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan?” (Ali Imran: 83)
    Abu Isma’il an-Nasrani itu langsung berteriak dan tidak sadarkan diri, dan dia terus dalam keadaan seperti itu sampai datang waktu subuh. Ketika di pagi hari, dia masuk Islam kemudian dia pergi ke Fatah al-Mushali seorang yang zuhud. Dia meminta izin agar dapat menemaninya. Dia pun terus menemaninya dan menjadi pelayannya. Abu Isma’il pernah menangis sampai akhirnya salah satu matanya buta dan dia pun hidup dengan sebelah mata lainnya.
    Penulis katakan bahwa ini adalah hati yang tidak ada tutupannya yang telah mengetahui kebenarannya lantas mendapatkannya. Dia beriman kepadanya dan memercayainya. Dia melepas ikatan penghambaannya kepada selain Allah. Akhirnya, dia menempuh jalan para ahli ibadah dan zuhud. Dia pun selamat dengan kemuliaan dan kemurahan Allah swt..

Peminum Khamar Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Qadhi at-Tanukhi menceritakan bahwa ada dua orang lelaki yang dibawa menghadap salah seorang gubernur. Salah satu diantara keduanya terbukti seorang atheis sementara yang satu lagi terbukti telah minum khamar. Terhadap si atheis dijatuhkan hukuman mati sementara peminum khamar akan didera.

Sang Gubernur menyerahkan kedua lelaki itu pada salah seorang pembantunya dan berpesan: "Bunuh yang satu ini (yang ia maksudkan adalah sang atheis) dan deralah yang satu ini (yang ia maksudkan adalah peminum khamar)."

Ketika pembantu itu menggiring kedua tertuduh tersebut untuk melaksanakan perintah sang Gubernur, tiba-tiba si peminum khamar berkata: "Wahai tuan Gubernur, serahkan aku pada orang selainnya untuk menghukumku, karena aku khawatir ia akan keliru sehingga ia malah membunuhku dan mendera temanku ini (maksudnya si atheis), dan kesalahan dalam hal ini tidak bisa ditolerir."

Mendengar hal itu sang Gubernur tertawa. Akhirnya ia dibebaskan dan si atheis tetap dibunuh.  

TOBAT ABUL KHAIR AT-TINYANI

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Shifatush Shafwah menyebutkan bahwa Abul Khair berada di sebuah pegunungan Antakia dan daerah sekitarnya. Dia terus mencari yang mubah dan dibolehkan agama dan tidur di antara pegunungan itu. Dia berjanji dan bersumpah kepada Allah untuk tidak akan memakan dari buah-buahan di pegunungan itu kecuali yang jatuh tertiup angin.
    Pernah suatu saat sampai beberapa hari tak satu pun buah yang jatuh ditiup angin. Suatu hari dia melihat sebuah pohon pir, dan rasa kepinginnya timbul tapi dia tidak mau melakukannya. Tiba-tiba angin meniup ranting buah itu ke arah dan mendekat dengannya, dia pun memetiknya satu buah lantas memakannya.
    Ternyata, daerah itu banyak didiami para pencuri dan penyamun. Mereka akhirnya ditangkap oleh penguasa daerah itu dan membawa mereka dan di antara mereka yang tertangkap ada Abul Khair. Amir penguasa itu memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka. Tangan Abul Khair pun dipotong. Namun, ketika mereka hendak ingin memotong kakinya, ada seseorang yang mengenalinya dan berkata kepada Amir, “Anda telah mencelakan diri Anda, ini adalah Abul Khair.”
    Sang amir pun menangis dan memintanya agar dia bisa memberi sebuah jawaban, dia pun melakukannya dan berkata, “Aku mengetahui dan menyadari dosaku.”
    Dia menunjukkan bahwa dia telah memakan buah pir, itu berarti dia telah melanggar apa yang telah dia ikrarkan di hadapan Allah.
    Penulis katakan bahwa demi Allah, wahai Abul Khair, rahmat dan maghfirah serta ampunan Allah pasti engkau dapatkan di hari Kiamat nanti.

TOBAT ABU THALHAH AL-ANSHARI

    Seorang shahabiyah yang bernama Ummu Sulaim bin Milhan r.a. sangat konsen dalam mendidik dan mengurus anaknya, Anas bin Malik, setelah kematian suaminya. Dia tergolong orang-orang yang masuk Islam sebelum hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah bersama mereka yang masuk Islam dari tangan Mush’ab bin Umair r.a.. Abu Thalhah al-Anshari datang melamarnya, padahal dia masih dalam keadaan kafir dan belum masuk Islam. Ummu Sulaim pun menolaknya. Namun, Thalhah tetap mengulang-ulang permohonannya. Hingga kemudian Ummu Sulaim berkata kepadanya, “Wahai Abu Thalhah, orang seperti kamu tidak layak ditolak, namun kamu adalah orang yang masih kafir, sementara aku adalah wanita muslimah dan aku tidak boleh menikah denganmu (orang kafir).”
    Abu Thalhah berkata, “Siapa orang yang bisa memecahkan masalahku ini?”
    Dia menjawab, “Hal itu bisa dilakukan oleh Rasulullah saw..”
    Ummu Sulaim meminta mahar perkawinannya adalah keislaman Abu Thalhah yang hanya karena Allah swt.. Kemudian Abu Thalhah pun segera berangkat menemui Rasulullah saw.. Ketika itu beliau saw. sedang duduk bersama para sahabat beliau. Ketika beliau melihatnya, beliau berkata, “Datang kepada kalian Abu Thalhah di mana Islam telah terpancar di kedua matanya.”
    Abu Thalhah segera menceritakan kepada Rasulullah saw. apa yang telah dikatakan oleh Ummu Sulaim. Dia langsung mengumandangkan keislamannya dengan mengucap dua kalimat syahadat. Dengan itu dia menikahi Ummu Sulaim, dan maharnya ini menjadi mahar yang paling mulia dalam Islam. Semoga Allah meridhai keduanya.

Seorang Ahli Ibadah dari Bukhara dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Dari Ibrahim al-Khawwad, dia berkata, “Pada tahu 210 H saya berjalan di pedalaman melewati jalan setapak. Hal yang paling mengherankan dalam perjalanan saya tersebut, adalah ketika saya bertemu dengan seorang lelaki yang tidak mempunyai tangan dan kaki serta menderita berbagai penyakit, yang juga sedang berada di jalan dengan merangkak. Maka saya merasa keheranan melihatnya. Lalu saya mengucapkan salam kepadanya dan dia menjawab, “Wa’alaikum salam wahai Ibrahim”.
Dengan heran saya bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau mengenalku, sedangkan engkau tidak pernah melihatku sebelumnya”.
Orang tersebut berkata, “Yang membawamu ke mari lebih mengetahui apa yang ada pada diriku dan dirimu”.
Maka saya katakan kepadanya, “Engkau benar. Engkau mau ke mana?”
Dia menjawab, “Mau ke Mekkah”.
Saya bertanya lagi, “Asalmu dari mana?”
Dia menjawab, “Dari Bukhara”.
Maka saya pun terdiam melihatnya karena keheranan. Maka dia pun memandang saya dengan menampakkan raut kemarahan.
Lalu dia berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau heran dengan Zat Yang Maha Kuat, yang mamu membawa hamba yang lemah dan mengasihinya?” Lalu lelaki itu pun menangis dan air matanya bercucuran.
Maka saya menjawabnya, “Saya tidak heran karenanya wahai Tuan”.
Lalu saya tinggalkan dia dalam keadaan tersebut dan saya pun pergi menuju Mekkah. Ketika berada Mekkah, saya melihatnya merangkak dalam barisan orang-orang yang melakukan thawaf”.

TOBAT SEORANG AMIR DARI KESENANGAN DUNIA

Pernah Ibrahim bin Adham rahimahullah lewat di sebuah kuburan dan dia menaruh kasihan kepada orang yang di dalam kubur itu dan menangis. Pendampingnya kemudian bertanya, “Kuburan siapa ini?”
    Dia menjawab, “Ini kuburan Hamid bin Jabir seorang amir kota ini secara keseluruhan. Dahulu dia tenggelam dalam lautan dunia kemudian Allah swt. mengeluarkan dari kesenangan dunia dan menyelamatkannya.”
    Aku mendengar cerita bahwa pada suatu hari dia merasa gembira sekali dari tempat berhura-hura miliknya, dunia kehidupannya, kesenangan, dan fitnahnya. Kemudian dia tidur di tempat duduknya itu bersama dengan orang-orang dekat dari keluarganya. Dalam tidurnya dia bermimpi melihat seseorang yang berdiri di kepalanya. Di tangannya ada sebuah kitab, maka orang itu pun memberikannya. Dia membukanya dan di dalamnya ada sebuah surat dari emas yang bertuliskan di dalamnya yang berbunyi,
    Janganlah sekali-kali kamu lebih mengedepankan sesuatu yang binasa dengan yang kekal dan janganlah sekali-kali tertipu dengan kerajaanmu, kekuatanmu, kekuasaanmu, para pembantumu, para hamba sahayamu, kenikmatanmu dan syahwatmu, karena sesungguhnya yang kamu sekarang berada di situ adalah sesuatu yang besar tapi itu tidak ada harganya. Dia memang adalah suatu kerajaan tapi sesudahnya adalah kehancuran. Di situ ada kesenangan dan kebahagiaan, tapi itu adalah sebuah hura-hura dan tipu daya, dan dia adalah sebuah hari yang bisa dipercaya di hari esok. Maka, cepatlah kamu kembali ke jalan Allah swt. karena sesungguhnya Allah swt. berfirman,  “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
    Kemudian amir itu terbangun dari tidurnya seraya berkata, “Ini adalah sebuah peringatan dari Allah swt. hingga dia pun segera keluar dari kerajaannya yang tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Dia mendatangi ke gunung ini untuk beribadah di sini. Dia pun menceritakan awal mula masalahnya dan aku pun menceritakan awal mula perkaraku. Ketika aku masih bersamanya, dia meninggal dunia dan dimakamkan di sini. Semoga Allah merahmatinya.60

Keridhaan Syibl terdapat Qadha Allah

Abu Nu’aim meriwayatkan di dalam Hilyatul Auliya` dari Abu Musa ath-Thawil al-Bashri, dia berkata, “Pada suatu hari Syibl al-Marwazi ingin sekali makan daging. Lalu Syibl membelinya. Ketika meletakkannya, seekor burung rajawali menyambar daging tersebut. Maka Syibl pun berniat untuk berpuasa dan kembali ke masjid.
    Lalu seekor rajawali yang lain melihat rajawali yang mengambil daging Syibl, lalu ia berusaha merebut daging tersebut. Hal itu terjadi di atas rumah Syibl. Kemudian daging tersebut jatuh di dalam kamar istri Syibl. Lalu dia mengambilnya dan memasaknya.
Ketika Syibl kembali ke rumah untuk sarapan pagi, istrinya sudah menghidangkan masakan dari daging. Melihat hal itu Syibl bertanya kepada istrinya, “Dari mana engkau mendapatkan daging ini?”
Sang istri memberitahu bahwa ada dua ekor rajawali yang berebut daging, lalu daging itu jatuh di kamarnya. Maka Syibl pun menangis dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak melupakan Syibl walaupun Syibl lupa terhadapnya”.

TOBAT SYAIBAH BIN

Syaibah bin ‘Utsman bin Thalhah r.a. tetap terus dalam kekafiran dan permusuhannya kepada Islam sampai peristiwa Fathu Makkah. Pada peristiwa itu dia termasuk orang yang mendapat ampunan Rasulullah saw.. Pada saat Bani Hawazin dan Bani Tsaqif keluar untuk memerangi kaum Muslimin beberapa hari setelah peristiwa Fathu Makkah, Syaibah berkata pada dirinya, “Aku akan keluar bersama pasukan kaum Muslimin. Mudah-mudahan ketika mereka berbaur, aku terluka dari Muhammad karena kelengahan dan aku bisa menuntut pembelaan darinya, maka aku pun menjadi orang yang akan bertindak menuntut pembelaan semua orang-orang Quraisy.”
    Begitulah setan memerdayakan pemikirannya, dan Syaibah menceritakan apa yang terjadi pada peristiwa Perang Hunain seraya berkata, “Ketika orang-orang berbaur, Rasulullah saw. terhempas dari baghal-nya. Aku pun mencabut pedang lantas aku mendekat menginginkan apa yang sedang aku mau. Aku angkat pedangku, tiba-tiba ada kobaran api bagaikan kilat yang hampir saja menghanguskanku. Aku pun menutupi mataku dengan tanganku karena takut padanya, dan Rasulullah saw. menoleh seraya memanggilku, ‘Ya Syaibah, mendekatlah dariku,’ dan aku pun mendekatinya, lantas beliau mengusap dadaku seraya berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, lindungilah dia dari setan.’”
    Demi Allah, beliau saat itu menjadi orang yang paling aku cintai daripada pendengaran dan mataku, bahkan dari diriku sendiri. Allah swt. telah menghilangkan apa yang ada dalam diriku.
    Kemudian beliau berkata kepadanya, “Mendekatlah sana dan berperanglah.”
    Dia berkata, “Aku segera maju di hadapan beliau dan berperang dengan pedangku. Allah Mahatahu sesungguhnya aku lebih senang untuk menjaga beliau ketimbang diriku sendiri dan segala apa pun. Jika saja pada saat itu aku bertemu dengan ayahku kalau dia masih hidup, akan aku bunuh dengan pedang itu.”
    Ketika kaum Muslimin mundur ke belakang dan mereka menyerang satu serangan, aku pun mendekati baghal Rasulullah saw. dan beliau menaikinya kemudian beliau pergi mengikuti di belakang mereka sampai akhirnya mereka berpencar-pencar sementara beliau kembali ke perkemahan itu dan memasuki tenda beliau. Aku segera mendatangi beliau, dan beliau berkata kepadaku, “Wahai Syaibah, yang Allah kehendaki denganmu adalah suatu kebaikan daripada apa yang kamu kehendaki dengan dirimu sendiri.”62
    Kemudian beliau menceritakan kepadaku semua apa yang aku sembunyikan dalam diriku yang belum pernah aku sampaikan kepada seseorang sama sekali. Aku pun berucap, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah rasul utusan Allah.” Kemudian aku mintakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mintakanlah ampun untukku.” Beliau menjawab,  “Allah telah mengampunimu.”
    Begitulah tobatnya Syaibah r.a. dan dia ikut serta dalam peristiwa Perang Hunain bersama seratus orang-orang yang sabar dan menjalankan Islamnya dengan baik. Dia menjadi salah seorang pembesar sahabat Rasulullah saw., semoga Allah meridhainya.

Ibu Nabi Musa dan Keridhaannya terhadap Ketentuan Allah

Allah Swt berfirman,

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhakanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”. (al-Qashash: 7)
    Kisah ini berawal dari mimpi Fir’aun raja mesir. Dia melihat dalam mimpinya ada kobaran api yang muncul dari arah Baitul Maqdis menuju ke Mesir, dan akhirhya membumihanguskan bangunan rumah-rumah di Mesir serta membinasakan orang-orang Coptik —julukan bagi penduduk mesir asli--. Dan di saat yang sama, kobaran api tersebut sama sekali tidak membahayakan bagi keselamatan orang-orang Bani Israil. Fir’aun pun terbangun dengan penuh rasa takut. Kemudian dia mengumpulkan para peramal, orang-orang pintar dan para ahli sihirnya, lalu menanyakan kepada mereka tentang hakikat mimipinya. Mereka menjawab, “Mimpi itu menandakan bahwa akan lahir dari rahim mereka seorang anak laki-laki. Kelak dialah yang akan menjadi penyebab kehancuran bagi penduduk Mesir. Setelah mengetahui arti mimpinya itu, Fir’aun langsung memerintahkan untuk membunuh seluruh bayi laki-laki yang lahir, dan hanya membiarkan bayi-bayi perempuan.
    Selang beberapa lama setelah tentara Fir’aun menjalankan tugas mereka, yaitu membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir, penduduk Mesir menjadi khawatir dan mengadu pada Fir’aun bahwa jumlah orang-orang Bani Israil semakin sedikit. Mereka takut jika pembunuhan tersebut terus berlangsung, maka lambat laun seiring dengan perjalanan tahun akan mengakibatkan musnahnya Bani Israil. Dengan adanya pengaduan tersebut, Fir’aun memerintahkan agar pembunuhan dilakukan dengan berselang, yaitu setahun dilakukan setahun tidak.
    Tepat pada tahun berlangsungnya operasi pembunuhan tersebut Nabi Musa dilahirkan. Hanya saja ibu Nabi Musa berhasil menyembunyikan kehamilannya dari pantauan para pesuruh Fir’aun yang selalu mengawasi wanita-wanita Bani Israil. Para pesuruh Fir’aun, dengan bantuan para ahli kandungan memantau para wanita Bani Israil untuk mengetahui kehamilan mereka.
    Ketika Nabi Musa lahir di dunia dan berada di gendongan ibunya, terpikir oleh sang ibu apa yang akan dilakukannya. Dalam benaknya selalu terbayang, jikalau rahasia keberadaan anaknya diketahui anak buah Fir,aun, maka dia pasti akan dibunuh. Ibu Nabi Musa terus mencari akal untuk menyelamatkan anaknya. Pada saat itulah Allah memberikan wahyu padanya. Ibn Katsir dan yang lainnya menjelaskan bahwa wahyu yang diterima ibu Nabi Musa itu bukanlah wahyu yang sebagaimana diterima oleh para nabi, melainkan sekedar petunjuk yang diberikan Allah padanya. Dalam petunjuk tersebut, Allah memerintahkan ibu Nabi Musa untuk menyusui anaknya. Ketika dia khawatir anaknya akan dibunuh, Allah menyuruhnya supaya meletakkan anaknya tersebut dalam peti dan menghanyutkannya ke laut. Karena sesungguhnya Allah akan mengembalikannya padanya dalam keadaan selamat. Dan kelak Allah akan menjadikannya sebagai salah seorang Utusan-Nya.
    Ibu Nabi Musa menerima dengan penuh keridhaan apa yang telah menjadi qada dan qadar Allah. Dengan petunjuk Allah, dia menghanyutkan anaknya, Nabi Musa kecil, dalam sebuah peti ke laut. Kemudian anak tersebut ditemukan oleh keluarga Fir’aun. Para ahli tafsir menyebutkan, “Budak-budak perempuan menemukan Nabi Musa kecil dalam sebuah peti yang tertutup. Ketika itu mereka tidak berani membukanya hingga menyerahkannya pada Asiah istri Fir’aun. Ketika Asiah membuka peti tersebut, dia melihat wajah seorang bayi laki-laki yang memancarkan cahaya kenabian. Seketika itu juga dia langsung tertarik dan menyukainya. Sedangkan Fir’aun, tatkala melihat bayi tersebut dia langsung memerintahkan untuk membunuhnya. Akan tetapi istrinya mencegahnya dan berkata padanya, “Bayi ini adalah buah hati bagi saya dan kamu”. Lalu Fir’aun menyangkal dengan berkata, “Ya, buah hati bagimu tapi tidak bagiku”.
     Setelah Nabi Musa berada dalam asuhan Asiah, maka didatangkan untuknya para ibu susuan untuk menyusuinya. Akan tetapi Allah tidak mengizinkan seorang pun dari mereka menyusui Nabi Musa. Sampai suatu ketika datang saudari Nabi Musa dan berkata pada keluarga Fir’aun, “Maukah kalian saya tunjukkan pada seorang ibu yang dapat menyusui dan mengasuhnya?” Mereka ganti bertanya padanya, “Apa yang mendorongnya mau mengasuh dan menyayangi anak ini”. Agar mereka tidak curiga dia menjawab, “Untuk menyenangkan hati sang raja dan mengharap kebaikannya”.
    Demikianlah, akhirnya Nabi Musa kembali ke pangkuan ibunya. Dengan itu ibu Nabi Musa pun memperoleh kebahagiaan. Juga dengan menyusui anknya tersebut, yaitu Nabi Musa kecil dia  memperoleh upah dari Asiah istri Fir’aun.  Maha Suci Allah dan Maha Agung.

Abu Hurairah R.a. dan Keridhaannya kepada Allah

Abdullah bin Syaqiq berkata, “Saya tinggal bersama Abu Hurairah r.a. di Madinah selama satu tahun. Pada suatu hari dia berkata kepada saya ketika kami berada di kamar Aisyah r.a., “Engkau telah menyaksikan kondisi kami. Kami hanya mempunyai pakaian yang kasar. Dan salah seorang dari kami berhari-hari tidak menemukan makanan untuk menegakkan tulangnya, hingga ada yang mengambil batu lalu mengikatkannya di lambungnya untuk menegakkan tubuhnya.
    Dia juga berkata, “Makanan kami bersama Rasulullah saw. hanyalah kurma dan air. Dan kami tidak pernah melihat gandum kalian ini dan kami juga tidak tahu apa ini. Dan pakaian kami, ketika masih bersama Rasulullah saw., hanyalah Namar ( jubah orang-orang Arab pedalaman )”.