TOBAT DAWUD ATH-THA

Muhammad bin Hatim al-Baghdadi berkata, “Aku mendengar al-Hammani bercerita, ‘Dahulu awal mula tobatnya Dawud ath-Thaa’i—salah seorang ahli ibadah—adalah dia pernah masuk ke pekuburan dan dia mendengar seorang wanita berada di kuburan. Wanita itu berkata, ‘Tinggal di dunia sampai Allah membangkitkan ciptaan-Nya.’’”
    Pertemuanmu tidak diinginkan, tapi engkau sangat dekat. Kamu selalu menambah musibah di setiap siang dan malam hari. Kamu akan dihibur sebagai mana kamu diberi cobaan dan kamu menyukainya.
    Hingga, dia pun zuhud dari keduniaan dan menekuni ibadah dan akhirnya menjadi salah seorang ahli ibadah yang mukhlishin kepada Allah. Dia terus beribadah dan belajar sampai dia menjadi orang terhormat dari warga Kufah.
    Yusuf bin Asbath berkata, “Dawud mendapat warisan sebesar dua puluh dinar dan dia memakannya selama dua puluh tahun.”
    Pada suatu hari, ada seseorang yang datang kepadanya dan berkata, “Di atas rumahmu ada sebatang pohon kurma yang patah.”
    Dia menjawabnya dengan berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya aku tinggal di rumah ini sejak dua puluh tahun dan aku tidak pernah melihat ke atas atap rumah.”39
    Ibnu Sammak berkata, “Saudaraku Dawud ath-Thaa’i mewasiatkanku dengan satu wasiat yakni lihatlah, Allah tidak akan melihatmu ketika kamu berada pada apa yang telah Dia larang. Dan tidak akan meninggalkanmu jika kamu berada pada apa yang Dia perintahkan. Malulah kepada-Nya karena Dia sangat dekat denganmu dan besar kudrah-Nya atasmu.” 40

Tiga Orang Yang Merasakan Kesempitan Kemudian Datang Kelapangan Dari Allah

Tiga orang itu adalah Ka'ab bin Malik, Mararah bin Rabi' al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi ra. Mereka termasuk para sahabat senior yang telah lama masuk Islam dan ikut dalam setiap peperangan bersama Rasulullah saw. Akan tetapi mereka ketinggalan dalam perang Tabuk yang merupakan perang terakhir bagi Rasulullah saw. Ketidakikutsertaan mereka itu tanpa alasan yang kuat. Yang membuat mereka tidak ikut hanyalah karena rasa berat untuk berjihad dalam cuaca yang sangat panas sehingga perang itu dinamakan dengan perang al-'Usrah (sulit)

Ketika Rasulullah saw. sampai di Tabuk, ia menanyakan tentang Ka'ab bin Malik kepada para sahabatnya: "Apa berita tentang Ka'ab bin Malik?"
Seorang lelaki dari Bani Salamah berkata: "Wahai Rasulullah, pakaiannya yang halus dan kemahnya yang sejuk menghalanginya untuk ikut berperang."
Muadz bin Jabal segera menyela: "Buruk sekali apa yang engkau katakan. Demi Allah wahai Rasulullah, kami tak mengetahui tentangnya kecuali yang baik-baik."

Ka'ab bin Malik bercerita: "Ketika aku mendengar berita bahwa Rasulullah saw. telah pulang dari Tabuk aku merasa sangat sedih. Terbetik dalam pikiranku untuk berdusta. Aku berkata dalam hati: "Bagaimana caranya aku bisa terlepas dari kemarahannya besok. Aku akan minta bantuan pada setiap keluargaku yang memiliki ide-ide yang cemerlang untuk membantuku dalam hal ini."

Ketika aku mendengar bahwa Rasulullah saw. menerima alasan setiap orang yang datang menemuinya, sirnalah niat yang tak baik itu dari diriku dan aku tahu bahwa aku selamanya tak akan selamat sama sekali dengan cara berbohong, maka aku bertekad untuk berkata jujur padanya.

Rasulullah saw. datang. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah setiap pulang dari sebuah perjalanan beliau akan langsung datang ke masjid dan shalat dua rakaat. Setelah itu beliau duduk bersama para sahabat. Saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut perang untuk minta maaf bahkan dengan cara bersumpah. Jumlah mereka yang minta maaf itu sampai lebih kurang delapan puluh orang. Rasulullah saw. menerima apa yang mereka sampaikan lalu memohonkan ampun untuk mereka serta menyerahkan kepada Allah apa yang sesungguhnya ada dalam hati mereka.

Aku datang lalu aku ucapkan salam padanya. Rasulullah saw. tersenyum dengan senyuman marah. Kemudian ia berkata padaku: "Mendekatlah ke sini." Akupun mendekat. Setelah duduk di hadapannya ia bersabda: "Apa yang menyebabkanmu tidak pergi? Bukankah engkau telah membeli tunggangan?"
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, sungguh andaikan aku berada di hadapan orang lain selainmu pasti aku mampu lepas dari kemarahannya dengan dalihku yang kuat. Aku telah dikaruniai kemampuan berdebat. Tetapi demi Allah, aku sadar bahwa seandainya aku mengatakan padamu sesuatu yang dusta supaya engkau ridha padaku niscaya Allah akan murka kepadaku. Dan seandainya aku menyampaikan hal yang sebenarnya padamu meskipun akibatnya engkau akan marah padaku, aku masih bisa berharap akibat yang baik dari Allah. Aku tak punya alasan apa-apa. Demi Allah, aku tak pernah lebih kosong dan santai daripada saat aku tak pergi waktu itu."
Rasulullah saw. bersabda: "Adapun yang ini (maksudnya Ka'ab), ia telah berkata benar. Bangkitlah sampai Allah memutuskan perkaramu."

Setelah Ka'ab bin Malik pulang dari menemui Rasulullah saw. kaumnya menyayangkan sikap jujurnya tersebut. Mereka menginginkannya untuk menyampaikan alasan apa saja sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain yang juga tidak ikut dalam perang Tabuk dan Rasulullah menerima alasan mereka. Ka'ab hampir saja kembali menemui Rasulullah dan menerima nasehat kaumnya lalu mengingkari apa yang tadi disampaikannya di hadapan Rasulullah. Ia bertanya pada kaumnya: "Apakah ada orang lain yang mengalami hal yang sama?"
Mereka menjawab: "Ya, ada dua orang yang juga mengatakan hal yang serupa dengan apa yang engkau katakan dan jawaban yang diberikan kepada mereka juga sama."
"Siapa mereka?"
"Mararah bin Rabi' al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi."
Mereka telah menyebutkan dua orang laki-laki shaleh yang pernah ikut dalam perang Badar. Ka'ab berkata: "Aku bisa mencontoh mereka."

Ka'ab pulang ke rumahnya. Setelah itu keluarlah keputusan Nabi untuk memboikot mereka bertiga. Tak seorangpun kaum muslimin yang boleh berbicara dengan mereka atau membalas ucapan mereka bahkan salam sekalipun.

Di sini mulailah terasa kesempitan dan ujian yang berat. Ka'ab berkata: "Rasulullah saw. melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga. Setelah itu manusia menjauhi kami dan sikap mereka berubah terhadap kami, sampai-sampai aku tak yakin lagi dengan bumi yang aku pijak, rasanya ia bukan lagi bumi yang pernah aku kenal. Hal itu berlangsung selama lima puluh hari.
Kedua sahabatku tetap diam dan duduk di rumah mereka sambil terus menangis. Sementara aku termasuk yang paling tegar dan keras. Aku tetap ikut shalat berjamaah dan berjalan di pasar-pasar tapi tak seorangpun yang berbicara denganku. Aku juga datang ke majlis Rasulullah saw. Selesai beliau shalat aku ucapkan salam padanya. Aku berkata dalam hati: "Apakah ia gerakkan mulutnya untuk menjawab salamku atau tidak?"
Kemudian aku shalat di dekatnya dan aku berusaha curi pandang. Ketika aku mulai shalat ia melihat ke arahku, tapi ketika aku menoleh padanya ia pun berpaling dariku.

Setelah cukup lama kaum muslimin memboikotku aku pergi menemui Abu Qatadah; sepupuku dan orang yang paling aku cintai. Aku ucapkan salam padanya. Demi Allah, ia tak menjawab salamku. Aku berkata padanya: "Wahai Abu Qatadah, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Abu Qatadah diam. Aku kembali bertanya dan memaksanya menjawab tapi ia tetap diam. Kemudian aku bertanya lagi dan memaksanya untuk mengatakan sesuatu tapi ia masih diam. Tak berapa lama setelah itu ia berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu."

Ketika mendengar jawaban itu dari Abu Qatadah, Ka'ab berkata: "Air mataku berlinangan. Kemudian aku berpaling dan segera pulang. Ketika aku berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari Syam yang biasa datang membawa makanan untuk dijual di Madinah berkata: "Siapa yang bersedia menunjukkanku mana Ka'ab bin Malik?" Orang-orang menunjuk ke arahku. Laki-laki itu datang menemuiku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan.  Aku adalah seorang yang pandai memabaca dan menulis. Ternyata isi surat tersebut adalah: "Amma ba'du, kami dengar bahwa sahabatmu menjauhimu dan Allah tidak akan membiarkanmu di daerah yang hina secara sia-sia. Oleh karena itu datanglah pada kami niscaya kami akan menghiburmu."
Setelah membaca surat itu Ka'ab berkata: "Ini juga termasuk bencana." Kemudian surat itu dibakarnya.

Setelah berlalu empat puluh hari datanglah keputusan dari Nabi bagi mereka bertiga untuk menjauhi istri-istri mereka. Ka'ab bertanya: "Aku ceraikan atau bagaimana?"
Dijawab: "Jauhi saja dan jangan dekati."
Kemudian ia berkata pada istrinya: "Pulanglah pada keluargamu dan tetaplah di sana sampai Allah memutuskan perkara ini sesuai dengan yang Dia kehendaki."

Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal seorang yang sudah tua dan lemah serta tidak memiliki pembantu, apakah engkau akan melarangku untuk melayaninya?"
Rasulullah saw. bersabda: "Tidak apa-apa tapi jangan sampai ia mendekatimu (menyetubuhimu)."
Ia berkata: "Demi Allah, sesungguhnya Hilal tak mampu lagi berbuat sesuatu dan demi Allah ia terus menangis sejak awal peristiwa tersebut sampai detik ini."

Beberapa orang kerabat Ka'ab memberi saran padanya: "Andaikan engkau juga minta izin pada Rasulullah agar istrimu tetap bersamamu karena Rasulullah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk melayaninya."
Ka'ab berkata: "Demi Allah aku tak akan meminta izin pada Rasulullah tentang istriku dan aku tak tahu apa yang nanti akan dikatakan Rasulullah pada istriku apabila ia minta izin padanya karena aku masih cukup muda."

Setelah cobaan dan kesempitan tersebut berlangsung selama lima puluh hari, datanglah kelapangan dari Allah SWT melalui ayat Al-Qur`an yang akan selalu dibaca sampai hari kiamat kelak berkenaan dengan tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk ini. Firman Allah tersebut adalah:

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." ( at-Taubah: 118-119)

Ketika Ka'ab sedang duduk di depan rumah salah seorang kaumnya, sementara bumi beserta segala isinya sudah sangat sempit terasa baginya dan juga kedua sahabatnya sebagaimana yang Allah terangkan dalam dua ayat surat at-Taubah tersebut dan ia senantiasa berzikir kepada Allah, tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak dengan suara yang sangat keras: "Bergembiralah wahai Ka'ab bin Malik."

Ka'ab segera bersujud pada Allah dan ia tahu bahwa kelapangan itu akhirnya datang juga dari Allah dengan ampunan dari-Nya baginya dan juga kedua sahabatnya. Kaum muslimin datang menemuninya untuk memberi selamat atas ampunan yang Allah berikan. Ka'ab pergi menemui Rasulullah. Kemudian ia mengucapkan salam padanya. Wajah Rasulullah saw. tampak berseri karena gembira dan beliau bersabda: "Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau lewati semenjak engkau dilahirkan oleh ibumu."
Ka'ab berkata: "Apakah dari engkau wahai Rasulullah ataukah dari Allah?"
"Bukan dariku melainkan dari sisi Allah."
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bukti taubatku aku akan sedekahkan hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya."
"Tahan sebagian hartamu karena itu lebih baik."
Ka'ab berkata: "Aku hanya akan menahan panahku yang pernah aku gunakan dalam perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT menyelamatkanku dengan kejujuran, maka diantara bukti taubatku aku berjanji untuk tidak berkata kecuali yang jujur selama aku hidup."
Ka'ab berkata: "Demi Allah, aku tak pernah menyengaja berdusta semenjak aku katakan hal itu pada Rasulullah sampai hari ini dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari dusta selama aku hidup." 

Semoga Allah meridhai mereka semuanya dan menggabungkan kita bersama mereka dalam rahmat-Nya di surga Na'im dengan kemaafan dan kemurahan-Nya pada kita semua.