TOBAT SESEORANG DARI BANI ISRAIL

Ada seseorang dari Bani Israil yang sering melakukan kemungkaran. Karenanya, ada satu keluarga dari Bani Israil yang mengirim kepadanya seorang budak perempuan untuk meminta agar dia mau memberikan mereka sesuatu karena mereka telah tertimpa paceklik. Orang itu berkata kepada budak itu,  “Tidak, kecuali jika engkau puaskan aku dengan dirimu.”
    Budak itu keluar dan pergi meninggalkannya setelah apa yang dimintanya ditolak. Akan tetapi, mereka tetap memaksanya dengan keras, budak itu pun kembali meminta lagi kepadanya.
    Dia berkata, “Berikanlah kami.”
    Orang itu berkata kepadanya, “Tidak, kecuali jika engkau puaskan aku dengan dirimu.”
    Budak wanita itu pun pulang dan mereka tetap saja memaksanya dengan keras. Dia pun mendatanginya untuk ketiga kalinya. Orang itu berkata kepadanya yang telah dikatakan sebelumnya. Budak itu pun menjawab, “Terserah kamu.”
    Pada saat orang itu berduaan dengan budak wanita ini, budak wanita ini menjauh dan gemetar. Orang itu berkata kepadanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?”
    Dia menjawab, “Ini perbuatan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya sama sekali.”
    Orang itu berkata, “Kamu takut kepada Allah dan tidak berani melakukannya dan aku akan melakukannya?”
    Aku bersumpah kepada Allah bahwa aku tidak akan lagi kembali melakukan apa yang selama ini aku kerjakan. Kemudian Allah mewahyukan kepada seorang nabi dan nabi-nabi mereka bahwa si fulan itu telah ditetapkan termasuk ahli surga.

Berjumpa dengan Allah dalam Keadaan Berpuasa

Abu Bakar an-Nisaburi menceritakan, “Aku datang menjenguk Ibrahim bin Hani` di saat-saat terakhir kehidupannya. Dia berkata kepada putranya, Ishaq, ‘Apakah matahari sudah terbenam?’
Ishaq menjawab, ‘Belum.’
Saat itu Ibrahim tengah berpuasa. Putranya berkata kepadanya, ‘Wahai ayah, ada keringanan bagimu untuk berbuka dalam kondisi seperti ini dalam puasa wajib apalagi sekarang engkau puasa sunnah.’
Dia berkata, ‘Sabar.’ Kemudian  dia membaca,

KHAT

‘Untuk (kemenangan) serupa ini, hendaklah beramal orang-orang yang mampu beramal.’ (ash-Shaaffaat: 61)

Tak lama setelah itu dia wafat.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dia berkata kepada putranya, “Aku haus.”
Kemudian putranya datang membawa air minum. Sebelum minum, Ibrahim bertanya kepada putranya, “Apakah matahari sudah tenggelam?”
“Belum,” jawab putranya.
Ibrahim menolak air itu dan membaca, “Untuk saat seperti inilah manusia harus beramal.” Kemudian dia wafat. Semoga Allah merahmatinya.
Ibrahim bin Hani` an-Nisaburi wafat pada hari Rabu, 4 Rabiul Akhir tahun 265 H. Dia adalah seorang ahli fiqih dan ahli ibadah. Dia hidup di Baghdad dan termasuk salah seorang perawi hadits.
Begitulah keadaan para ahli ibadah dan ahli fiqih, selalu berpuasa dan melaksanakan qiyam, bahkan pada detik-detik terakhir kehidupannya. Mereka sangat menyadari bahwa husnul khatimah adalah tujuan setiap mukmin dan dalam keadaan itu dia ingin berjumpa dengan Allah swt. di hari Kiamat nanti. Setiap orang akan dibangkitkan berdasarkan amalan terakhir yang dikerjakannya di dunia. Kita bermohon kepada Allah akhir kehidupan yang baik dan mengaruniakan kepada kita amal yang saleh dan diterima sebelum kematian menjemput. Semoga syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah menjadi perkataaan terakhir kita di dunia dan dalam kondisi itu kita berjumpa dengan Allah.

Ahli Ibadah dan Jihad fi Sabilillah 

Al-Junaid berkata bahwa Muhammad as-Samin  berkata kepadaku, “Dalam masa yang cukup lama aku selalu bekerja dengan penuh gigih dan aku mendapatkan kebahagiaan dalam pekerjaan itu. Kemudian aku pergi berperang dan semangat ini masih bersamaku. Musuh menyerang kaum Muslimin habis-habisan. Mereka merapatkan barisan dan bersatu padu. Hal itu menimbulkan perasaan takut pada sebagian kaum Muslimin melihat banyaknya jumlah musuh.
Aku perhatikan diriku dalam kondisi seperti itu juga dihinggapi sedikit perasaan gentar. Perasaan itu semakin berat. Kemudian aku cela diriku sendiri dan aku berkata, ‘Bukankah kamu biasanya melakukan pekerjaan dengan gigih dan penuh suka? Kenapa ketika datang saat-saat yang memang untuk itu kamu keluar, kamu malah goyah dan berubah?’
Aku terus mencela diriku. Kemudian terbetik dalam hatiku untuk turun ke sungai dan mandi. Lalu aku buka pakaianku. Setelah memakai sarung, aku segera mandi. Setelah mandi, aku merasakan semangat yang aku sendiri tak mengerti dari mana datangnya?
Kemudian aku keluar dari sungai dengan semangat itu dan aku kenakan kembali pakaianku. Lalu aku mengambil senjataku dan aku masuk ke dalam barisan. Aku berperang habis-habisan dengan semangat itu. Aku masih tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Tiba-tiba aku sudah sampai di barisan belakang musuh. Akhirnya, mereka lari terbirit-birit dan kaum Muslimin menyerang mereka habis-habisan. Aku bertakbir. Dengan pekikan takbirku sebanyak empat ribu pasukan Romawi berhasil dibunuh dan Allah menjadikan hal itu sebagai faktor kemenangan kaum Muslimin.
Ahli ibadah ini awalnya telah melakukan ibadah secara teori. Kerinduannya untuk berjumpa dengan Allah dan mati di jalan-Nya semakin memuncak. Maka, ketika datang kesempatan untuk membuktikan niatnya yang baik dan ibadahnya, dia pergi berperang dan berjihad di jalan Allah, sehingga dia dapat melihat kematian itu secara langsung. Dia juga merasakan takut dan gentar seperti yang dirasakan orang lain. Akan tetapi, dia tetap bertahan disebabkan ibadahnya kepada Allah. Kemudian dia masuk ke sungai lalu mandi. Air sungai itu memadamkan api ketakutan dan waswas setan dalam dirinya. Lalu, dia keluar dengan penuh iman, kekuatan, dan semangat. Jiwanya penuh dengan keberanian dan semangat untuk maju di jalan Allah. Akhirnya, bantuan itu datang dari sisi Allah. Mahabenar Allah yang telah berfirman,

KHAT

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

(Selesai jilid dua dari buku ini dan Insya Allah akan segera menyusul jilid tiga).    
  

Referensi utama:
1.    Al-Qur’an Al-Karim.
2.    Shahih Bukhari.
3.    Shahih Muslim.
4.    Musnad Ahmad bin Hanbal.
5.    Shaidul Khathir karya Ibnu Jauzi.
6.    Shifatush Shafwah karya Ibnu Jauzi.
7.    Tuhfatudz Dzakirin karya Syaukani.
8.    Ar-Riqqah wal Buka` karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
9.    At-Tawwabin karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
10.    Al-Mustaghitsun billah karya Ibnu Bisykawal.
11.    Hilyatul Awliya` karya Abu Nu’aim al-Ashfahani.
12.    Al-Hawatif karya Ibnu Abid Dunya.
13.    Dala`ilun Nubuwwah karya al-Baihaqi.
14.    Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.
15.    Al-Muntazhim karya Ibnu Jauzi.
16.    Thabaqat Ibnu Sa’ad.
17.    Siyar A’lamin Nubala` karya adz-Dzahabi.
18.    Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir.
19.    Al-Ishabah karya Ibnu Hajar.
20.    Tarikh Thabari.

Sekilas tentang penulis:

-    Mansur Abdul Hakim Muhammad Abdul Jalil
-    Kelahiran Kairo
-    Meraih gelar Licence dalam bidang hukum Universitas ‘Ain Syam tahun 1978
-    Bekerja sebagai pengacara dan penulis

Karya-karya penulis:
-    150 Kisah Laki-Laki dan Wanita yang Dijamin Masuk Surga
-    150 Kisah Laki-Laki dan Wanita yang Dijamin Masuk Neraka
-    150 Kisah Laki-Laki dan Wanita yang Menangis karena Takut kepada Allah
-    150 Kisah Laki-Laki dan Wanita yang Allah Kabulkan Doa Mereka
-    150 Kisah Laki-Laki dan Wanita yang Ridha dengan Ketentuan Allah
-    150 Kisah Kelapangan Setelah Kesulitan
-    150 Kisah Orang-Orang yang Bertobat dan Kembali kepada Allah
-    120 Kisah Para Khulafa`
-    350 Kisah dari Sirah Nabawiyah
-    220 Kisah Tentang Para Nabi
-    110 Kisah dari Al-Qur’an
-    Ensiklopedi Wawasan
-    150 Kisah Laki-Laki dan Wanita yang Dimaafkan Oleh Rasulullah saw.
-    Para Wanita Ahlul Bait
-    Putri-Putri Para Shahabat
-    100 Kisah Tentang Kecerdasan Para Shahabiyat
-    Istri-Istri Para Nabi dan Rasul
-    Keajaiban Pengobatan dengan Berbekam
-    Uji Pengetahuan Keislaman Anda
-    Sejarah Mekah dan Masjidil Haram
-    150 Kisah Orang-Orang Saleh dan Zuhud Bagian Pertama, Kedua, dan Ketiga

Ridha terhadap Pilihan Allah

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan di dalam kitab Madaarijus Saalikiin, bahwa pada suatu hari seseorang berkata kepada Husein bin Ali  rahimahullah., “Abu Dzar r.a. berkata, “Kefakiran lebih saya sukai dari pada kekayaan. Sakit lebih saya sukai dari pada kondisi sehat”.
Maka Husein bin Ali berkata, “Semoga Allah mengasihi Abu Dzar. Kalau saya, maka saya katakan, “Barang siapa yang bertawakkal terhadap pilihan Allah, maka dia tidak menginginkan selain yang ditetapkan oleh Allah kepadanya”.
Saya ( penulis ) katakan, “Itulah ridha kepada qadha Allah dalam senang dan susah, karena semua itu adalah ujian dari Allah. Dan Allah lebih tahu tentang kondisi hamba-hamba-Nya dari pada diri mereka sendiri.
Karena di antara hamba-hamba-Nya ada yang lebih cocok dengan kondisi kaya, ada juga yang lebih cocok dengan kefakiran.
Yang penting adalah ridha dengan pilihan Allah Swt..

Sibukkan Dirimu dengan Sesuatu yang Bermanfaat

Ibnu Abid Dunya menceritakan dari Wuhaib ibnul Wird, dia berkata, “Ada seseorang menceritakan, ‘Ketika aku sedang melintasi sebuah daerah di Romawi, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara, ‘Wahai Tuhan, aku heran kepada manusia yang mengenal-Mu kenapa dia masih mengharap selain dari-Mu?’
Kemudian suara itu terdengar kembali, ‘Wahai Tuhan, aku heran kepada orang yang mengenal-Mu kenapa dia masih meminta bantuan selain kepada-Mu?’
Ketiga kalinya suara itu terdengar lagi, ‘Wahai Tuhan, aku heran kepada orang yang mengenal-Mu, kenapa dia bersedia memperoleh murka-Mu demi ridha orang lain?’
Laki-laki itu melanjutkan, ‘Kemudian aku berteriak, ‘Jin atau manusia?’ Suara itu menjawab, ‘Manusia. Sibukkan dirimu dengan sesuatu yang bermanfaat bagimu dan berpalinglah dari hal yang tidak bermanfaat.’’
Itu merupakan nasihat berharga dari seorang hamba yang meninggalkan dunia pada pemburunya dan lebih mengejar apa yang di sisi Allah.”

Inilah Raja yang Sesungguhnya

Khalifah Abbasiyah, Harun ar-Rasyid datang ke kota Riqqah di Syam. Pada saat yang sama datang pula seorang alim dan ahli zuhud; Abdullah bin Mubarak. Manusia berbondong-bondong menemuinya sampai banyak sandal yang terlepas (karena begitu sesaknya) dan debu-debu beterbangan. Seorang istri Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid melihat ke arah manusia yang banyak tersebut dari atas keretanya dan bertanya, “Siapakah itu?”
Para pembantunya menjawab, “Seorang alim dari Khurasan bernama Abdullah bin Mubarak datang ke daerah Riqqah.”
Sang permaisuri berkata, “Dialah raja yang sesungguhnya dan bukan Harun ar-Rasyid yang manusia tidak akan berkumpul kecuali setelah menggunakan kekuatan tentara.”
Benar, raja ilmu tidak akan tertandingi oleh raja apa pun. Seorang alim dan ahli zuhud yang mencintai Allah dan jujur adalah raja yang paling agung bagi manusia. Dia akan selalu dikenang di saat orang sudah melupakan raja-raja dunia kecuali raja-raja yang dirahmati Allah swt..

Turutkanlah Dirimu Sesuai dengan Qadar yang telah Ditentukan

Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa` dan Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah menyebutkan dari Bisyr bin Basyar al-Mujasyi’i, dia berkata, “Saya bertemu dengan tiga ahli ibadah di Baitul Maqdis. Lalu saya berkata kepada salah satu dari mereka, “Berwasiatlah kepadaku”.
Dia berkata, “Turutkanlah dirimu kepada qadar yang telah ditentukan Allah, karena hal itu lebih mampu menenangkan hatimu dan mengurangi kegelisahanmu. Jangan sampai engkau tidak menyukainya, karena engkau akan mendapat murka Allah tanpa kau sadari”.
Lalu saya katakan kepada orang yang kedua, “Berilah wasiat kepadaku”.
Dia berkata, “Saya bukanlah orang yang layak memberi wasiat”.
Maka saya katakan kepadanya, “Saya harus mendapatkan wasiat darimu. Semoga Allah memberiku manfaat dari wasiatmu itu”.
Dia berkata, “Jika engkau tetap menginginkan wasiat, maka jagalah pesanku, “Carilah keridhaan Allah dengan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena hal itu lebih dapat mendekatkanmu kepada-Nya”.
Lalu saya katakan kepada orang yang ketiga, “Berilah wasiat kepadaku”.
Maka dia pun menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, “Wahai saudaraku, janganlah engkau cari ketetapan selain ketetapan Allah dalam setiap urusanmu. Karena engkau akan celaka bersama orang-orang yang celaka dan tersesat bersama orang-orang yang tersesat”.

Sabar Ketika Musibah

Ibnu Abdi Rabbih menceritakan, “Ada seorang wanita Arab badui berdiri di dekat kuburan ayahnya dan berkata, ‘Wahai ayah, sesungguhnya dalam kasih Allah terdapat ganti dari rasa kehilangan atas dirimu, dan dalam pribadi Rasulullah saw. terdapat contoh terbaik dari musibah yang menimpa dirimu. Ya Allah, hamba-Mu mengadu kepada-Mu, dia yang tidak memiliki bekal dalam hidup, tidur beralaskan tanah, tetapi tidak butuh pada bantuan dan kesenangan dari manusia. Dia hanya butuh rahmat dan kasih-Mu wahai Yang Maha Pemurah. Wahai Tuhan, Engkaulah tempat mengadu terbaik bagi orang-orang beriman, tempat orang-orang kekurangan merasa cukup, dan tempat orang-orang berdosa mengharap belas kasih. Ya Allah, jadikanlah jamuan hamba dari-Mu ini adalah rahmat-Mu dan tempat kembalinya kepada surga-Mu.”
Kemudian wanita itu pergi. 
Wanita tersebut telah memberikan perumpamaan dan contoh terbaik untuk wanita muslimah ketika ditimpa musibah dengan kehilangan orang yang paling dicintainya.  dia tetap bersabar dan mendoakan orang yang dicintainya agar diberi kemaafan dan ampunan, bukannya dengan merobek-robek pakaian atau menampar-nampar muka sebagaimana yang banyak dilakukan oleh kebanyakan wanita saat ini.

Keridhaan Orang-orang Anshar kepada Allah dan Rasul-Nya

Dalam Kitab Shahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a., dia berkata, “Ketika peperangan Hunain, orang-orang Hawazin, Ghathfan dan yang lainnya datang membawa hewan-hewan ternak dan budak-budak wanita mereka. Sedangkan Rasulullah saw. membawa sepuluh ribu orang dan orang-orang yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah. Akan tetapi mereka kemudian lari mundur, sehingga Rasulullah saw. sendirian. Maka beliau pun berseru dua kali dengan menoleh ke kanan, “Wahai orang-orang Anshar”.
Orang-orang Anshar menjawab, “Kami memenuhi panggilanmu wahai Rasulullah saw.. Kami bersamamu”.
Ketika itu Rasulullah saw. sedang menunggang Baghl putih beliau. Lalu beliau turun dan berkata, “Saya hamba dan utusan Allah”.
Kemudian orang-orang musyrik pun kalah dan orang-orang mukmin mendapatkan banyak rampasan perang. Lalu Rasulullah saw. membagi-bagikannya kepada orang-orang Muhajirin dan orang-orang yang baru masuk Islam pada Fathu Makkah, dan beliau tidak memberikan apa-apa kepada orang-orang Anshar.
Maka orang-orang Anshar pun menggerutu dan berkata, “Ketika kondisi sulit kami dipanggil, sedangkan harta rampasan perangnya diberikan kepada selain kami”.
Ketika di Quba, Rasulullah saw. mendengar keluhan orang-orang Anshar tersebut. Maka beliau pun mengumpulkan mereka dan bersabda,

“Wahai orang-orang Anshar, apa yang telah saya dengar dari kalian?”
Orang-orang Anshar pun diam.
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Wahai orang-orang Anshar, apakah kalian tidak ridha jika orang-orang pergi membawa dunia sedangkan kalian pergi bersama rasul Allah dan membawanya ke rumah kalian?”
Orang-orang Anshar menjawab, “Kami ridha”.
Lalu Rasulullah saw. bersabda,

“Seandainya orang-orang menempuh suatu lembah dan orang-orang Anshar menempuh suatu jalan, pasti saya akan menempuh jalan yang dilalui orang-orang Anshar”.
Saya ( penulis ) katakan, “Peperangan Hunain terjadi setelah Fathu Makkah. Ketika itu kabilah-kabilah dari Hawazin dan Tsaqif memerangi Rasulullah saw. setelah Allah memberi beliau karunia berupa Fathu Makkah al-Mukarramah. Ketika itu Rasulullah saw. bersama pasukan yang menyertai beliau dalam Fathu Makkah yang jumlahnya sepuluh ribu orang, ditambah dua ribu penduduk Mekkah yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah dan Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Pergilah kalian, karena kalian bebas”.
Karena jumlah yang lebih banyak dan peralatan yang lebih unggul dari pada para musuh, orang-orang muslim pun terlena dan merasa yakin, hingga sebagian mereka ada yang berkata, “Hari ini kita tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit”.
    Akan tetapi Allah ingin mengajarkan kepada mereka bahwa mereka tidak menang karena jumlah, akan tetapi karena pertolongan dari Allah. Maka di awal peperangan mereka kalah dan mereka pun mundur, hingga bumi yang luas terasa sempit bagi mereka. Kemudian hanya seratus orang yang bersabar bersama Rasulullah saw. menghadapi para musuh, dan malaikat pun turun ikut berperang bersama beliau. Lalu orang-orang musyrik pun kalah. Lalu Rasulullah saw. memanggil orang-orang muslim, baik orang-orang Anshar dan yang lainnya. Lalu mereka datang kembali  memerangi orang-orang musyrik, menawan mereka dan mengambil harta rampasan dari mereka.
Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu ( hai para mu`minin ) di medan peperangan yang banyak, dan ( ingatlah ) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir”. ( at-Taubah: 25, 26 ). 
Dan orang-orang Anshar pun ridha untuk kembali ke Madinah bersama Rasulullah saw, sedangkan orang-orang muslim yang lain mengambil harta rampasan perang mereka.

Tidak Ada Orang Celaka yang Sama Namanya dengan Namamu

Suatu kali, seorang pemuda gagah dari Bani ‘Abbas datang menghadap Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Khalifah tertarik melihat penampilan pemuda itu. Dia bertanya, “Siapa namamu?”
Pemuda itu menjawab, “Sulaiman.”
“Putra siapa?” tanya khalifah lagi.
“Putra (bin) Abdul Malik.”
Mendengar itu Khalifah langsung memalingkan wajahnya dan segera dia perintahkan pembantunya untuk memberi pemuda itu sedikit hadiah. Pemuda itu menyadari bahwa Khalifah tidak suka namanya sama dengan nama khalifah, begitu pula nama ayahnya.
Pemuda itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, semoga namamu tetap abadi dan tidak ada orang celaka yang namanya sama dengan namamu. Maka, ridhalah. Sesungguhnya aku adalah ibarat pedang di tanganmu. Jika engkau ingin pukulkan, maka aku akan turut. Jika engkau perintah, aku akan patuh dan aku ibarat panah dalam busurnya, aku akan melesat cepat bila kamu lepaskan, dan aku akan lakukan apa pun yang kamu minta.”
Khalifah Sulaiman bertanya kepadanya, “Apa katamu, wahai anak muda seandainya kamu bertemu dengan musuh?”
Pemuda itu menjawab, “Aku akan mengucapkan, Hasbiyallahu wa ni’mal wakil (Cukuplah Allah pelindungku dan Dialah sebaik-baik pelindung).”
Khalifah bertanya, “Apakah kamu cukup mengucapkan itu saja, seandainya kamu berjumpa dengan musuh tanpa perlu memukulnya?”
Pemuda itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau bertanya kepadaku apa yang aku katakan, maka itulah yang aku jawab. Seandainya engkau bertanya apa yang engkau lakukan, tentu akan aku katakan bahwa bila itu terjadi aku akan memukulnya sampai roboh dan aku akan lempar dia dengan tombak sampai tumbang.”
Khalifah Sulaiman kagum mendengar jawaban itu dan akhirnya dia tambah hadiah untuk pemuda tersebut.

Al-Miqdad bin Aswad dan Keridhaannya kepada Allah

Abu Nu’aim meriwayatkan di dalam Hilyatul Auliya` dari al-Miqdad bin Aswad r.a., dia berkata, “Saya dan dua orang rekan saya datang ke Madinah dengan kondisi sangat letih, hingga pendengaran dan pandangan kami menjadi tidak jelas. Lalu kami menawarkan diri kami kepada para sahabat Rasulullah saw., namun tidak seorang pun menerima kami. Lalu Rasulullah saw. membawa kami ke kediaman beliau dan ketika itu keluarga Rasulullah saw. mempunyai tiga ekor kambing yang diperah susunya. Lalu Nabi saw. membagi-bagi susunya kepada kami. Kemudian kami berbagi tugas menyiapkan bagian Rasulullah saw. untuk beliau. Lalu beliau datang dan mengucapkan salam yang dapat didengar oleh orang yang bangun dan tidak membangunkan orang tidur. Lalu setan berkata kepada saya, “Minum saja bagian Rasulullah itu, karena beliau tadi mendatangi orang-orang Anshar lalu mereka berebut menjamu beliau”. Ketika itu susu bagian Rasulullah saw. masih ada di tangan saya dan akhirnya saya pun meminumnya. Setelah meminumnya, setan pun membuatku menyesal seraya berkata, “Apa yang kau lakukan? Muhammad akan datang dan tidak mendapati susu bagiannya. Maka dia akan mendoakan keburukan atasmu sehingga engkau akan celaka”. Ketika itu kedua temanku telah meminum bagian mereka dan telah tidur. Sedangkan saya tidak bisa tidur. Saya berselimut jubah saya yang jika saya letakkan di bagian atas tubuh saya, maka kaki saya pun kelihatan. Dan jika saya letakkan di bagian bawah tubuh saya, maka kepala saya pun kelihatan.
Kemudian Rasulullah saw. datang sebagaimana biasanya. Lalu beliau shalat dengan rakaat yang tidak terhitung jumlahnya. Kemudian beliau melihat ke tempat minuman beliau, namun beliau tidak menemukan apa-apa. Lalu beliau mengangkat kedua tangan beliau. Maka saya khawatir beliau mendoakan keburukan atasku, sehingga saya akan celaka.
Namun saya mendengar beliau berdoa, “Ya Allah berilah makan orang yang memberiku makan, dan berilah minum kepada orang yang memberiku minum”.
Kemudian saya mengambil pisau dan saya pakai jubah saya, lalu saya pergi menuju kambing-kambing yang biasanya diperah susunya. Lalu saya merabanya untuk mengetahui mana yang lebih gemuk untuk saya sembelih dan saya hidangkan kepada Rasulullah saw.. Namun saya mendapati ambing susu kambing-kambing itu penuh terisi. Maka saya pun segera mengambil mangkuk untuk susu bagian keluarga Nabi Muhammad saw.. Lalu saya memerah susunya. Ketika buih susu itu sudah mengumpul di bagian atas, saya pun menyerahkannya kepada Rasulullah saw.. Lalu beliau meminumnya. Kemudian beliau memberikan kepada saya dan saya pun meminumnya. Lalu saya serahkan kembali kepada beliau, lalu beliau meminumnya. Kemudian beliau menyerahkannya lagi kepada saya dan saya pun meminumnya. Kemudian beliau tersenyum, hingga saya terduduk dan beliau berkata, “Auratmu kelihatan wahai Miqdad”.
Lalu saya pun menceritakan apa yang telah saya lakukan dengan susu bagian beliau.
Maka beliau bersabda, “Semua ini adalah rahmat dari Allah ‘azza wajalla. Bangunkanlah kedua temanmu, agar mereka ikut minum”.
Maka saya katakan kepada beliau, “Demi Zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak peduli yang penting engkau telah mendapatkan bagianmu, walaupun orang yang tidak tepat mendapatkan sisamu”.

Bagaimana Tidak Akan Dikabulkan Doanya

Alan berkata, “Apa yang tidak dikagumi dari orang ini (maksudnya Sari as-Saqthi). Dia membeli sekarung kacang seharga enam puluh dinar dan  dia tulis di dalam catatannya tiga dinar untungnya.
Kemudian harga kacang menjadi sembilan puluh dinar. Setelah itu datanglah seorang makelar. Dia berkata, “Aku ingin membeli kacang itu.”
“Silakan,” kata Sari.
“Berapa?” tanya sang pembeli.
“Enam puluh tiga dinar,” jawab Sariy.
“Tapi sekarang sekarung kacang harganya sudah sembilan puluh dinar.”
“Aku telah mengadakan perjanjian antaraku dengan Allah yang tidak akan aku langgar bahwa aku tak akan menjualnya, kecuali seharga enam puluh tiga dinar.”
Makelar tersebut berkata, “Dan aku juga telah mengadakan perjanjian antaraku dengan Allah bahwa aku tak akan menipu seorang muslim pun. Aku tak akan mengambilnya darimu, kecuali dengan harga sembilan puluh dinar.”
Alan berkata, “Akhirnya makelar tersebut tidak jadi membeli dan Sari pun tidak jadi menjual. Bagaimana tidak akan dikabulkan doa orang-orang yang sikapnya seperti ini?”
Bagaimana dengan kita jika dibandingkan dengan mereka? Kita sekarang berada di masa di mana barang-barang pokok yang esensial bagi kehidupan manusia disimpan dan didominasi. Para pedagang menaikkan harga barang-barang dan laba mereka. Laa haula walaa quwwata illaa billaah al-‘aliyyil ‘azhiim. Semoga Allah merahmati Sari as-Saqthi, seorang ahli ibadah, ahli zuhud, dan pedagang yang jujur, juga calo yang sangat terpercaya tersebut.
Sari as-Saqthi adalah seorang pedagang, tetapi dia juga seorang ahli ibadah dan seorang alim, sebagaimana halnya Imam besar Abu Hanifah an-Nu’man pendiri mazhab yang terkenal dan juga imam-imam besar lainnya, semoga Allah merahmati mereka.

Wahai Amirul Mukminin, Beri Kabar Gembira Sahabatmu dengan Seorang Putra

Pada suatu malam Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab keluar untuk memeriksa keadaan rakyatnya di Madinah dan sekitarnya. Kemudian  dia lewat di depan sebuah kemah. Dia melihat seorang lelaki sedang duduk. Dia mendengar suara seorang wanita yang sedang mengerang dari dalam kemah. Tidak jelas erangan apa dan apa yang menjadi sebabnya.
Umar mendekati laki-laki itu dan mengucapkan salam kepadanya. Laki-laki itu menjawab salam Umar dan dia tidak mengenal Umar.
Umar bertanya, “Siapa Anda dan darimana Anda datang?”
Dengan nada sedih dan iba laki-laki itu menjawab, “Aku adalah seorang penduduk kampung. Aku datang untuk memperoleh pemberian dan hadiah dari Amirul Mu`minin Umar. Kami mendengar  dia memberi kepada semua orang.”
Umar masih mendengar suara erangan wanita di dalam kemah itu sehingga  dia bertanya pada laki-laki tersebut: “Suara erangan apa itu yang aku dengar berasal dari dalam kemah? Beritahukanlah kepadaku, semoga Allah merahmatimu.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai saudara sesama Arab, lakukanlah urusanmu—semoga Allah merahmatimu—dan tinggalkan aku di sini.”
“Aku harus mengetahuinya, apa sesungguhnya yang terjadi? Semoga Allah mecurahkan hidayahnya padamu.”
Dengan perasaan sedih yang mendalam laki-laki itu menjawab, “Itu suara istriku. Sebentar lagi dia akan melahirkan di malam begini dan tempat seperti ini.”
“Apakah di dalam ada seorang perempuan yang akan membantunya bersalin?”
“Tidak, kami baru saja sampai malam ini dan kami orang asing di tempat ini.”
Umar segera pulang ke rumahnya. Kemudian dia bangunkan istrinya, Ummu Kultsum binti Ali r.a.. Umar berkata kepada istrinya, “Wahai putri sahabat mulia (maksudnya Ali bin Abi Thalib), maukah kamu meraih pahala yang telah Allah datangkan kepadamu?”
“Pahala apa itu wahai Amirul Mukminin?” tanya istrinya.
“Ada seorang perempuan dari kampung yang mau melahirkan di pinggir kota, sementara dia adalah orang asing dan tak ada yang bisa membantunya.”
“Baiklah Amirul Mukminin, kalau itu yang kamu kehendaki dan kamu mengizinkanku untuk keluar.”  
“Itu yang aku inginkan. Bergegaslah dan ambillah apa yang dibutuhkan oleh seorang perempuan yang akan melahirkan seperti kain, minyak, dan sebagainya.”
Istrinya segera mempersiapkan apa yang dibutuhkan. Umar berkata kepada istrinya, “Wahai putri sahabat mulia, siapkan periuk, daging, dan biji-bijian.”
Istrinya segera mempersiapkan apa yang dimintanya. Amirul Mukminin membawa periuk, minyak, dan biji-bijian tersebut layaknya seorang tukang angkat di pasar. Istrinya; Ummu Kultsum berjalan di belakangnya sambil membawa berbagai perlengkapan yang dibutuhkan.
Keduanya sampai di kemah orang kampung tersebut. Umar berhenti dan berkata pada istrinya, “Masuklah dan bantulah perempuan yang akan melahirkan itu.”
Umar mendekati laki-laki dari kampung itu sambil menggelar periuk untuk menyiapkan makanan. Lalu dia berkata kepada laki-laki itu, “Wahai saudara, tolong nyalakan apinya!”
Laki-laki itu melaksanakan perintah Umar. Umar mulai mengaduk makanan sampai matang. Tidak berapa lama setelah itu perempuan tersebut melahirkan seorang putra. Ummu Kultsum berteriak, “Wahai Amirul Mukminin, beri kabar gembira sahabatmu bahwa dia mendapatkan seorang putra.”
Mendengar kata-kata Amirul Mukminin laki-laki itu menggigil ketakutan. Apakah ini sungguhan? Seorang Amirul Mu`minin berada di depannya sedang membuat makanan dan datang membawa periuk, minyak, dan biji-bijian?
Laki-laki itu berkata sambil minta maaf, “Jangan hukum aku wahai Amirul Mukminin.”
Umar menenangkannya dari rasa takutnya dan berkata, “Tidak apa-apa wahai saudara sesama Arab. Tetaplah seperti kondisimu tadi dan jangan sampai ada terpendam rasa malu dan takut di hatimu terhadapku.”
Barulah laki-laki itu merasa tenang dan dia mengucapkan banyak terima kasih kepada Umar atas segala bantuannya.
Umar meletakkan makanan yang dibuatnya untuk perempuan itu di depan pintu dan dia panggil istrinya untuk mengambil makanan itu dan menghidangkannya kepada perempuan tersebut.
Setelah Umar dan istrinya merasa tenang dengan kondisi perempuan dan putranya itu, mereka kemudian mohon diri. Sebelum pergi, Umar berkata kepada laki-laki itu, “Datanglah besok pagi menemuiku, kami akan berikan kepadamu segala sesuatu yang dapat memperbaiki kondisimu.”
Pada hari berikutnya, laki-laki itu datang menuju Madinah dan menemui Umar ibnul Khaththab r.a.. Umar memberinya nafkah yang cukup dan memuliakannya. Laki-laki itu kembali ke keluarganya dalam keadaan gembira dengan apa yang telah dia lihat dan dengar serta hadiah-hadiah yang dia terima dari Baitul Mal. 
Kisah ini merupakan risalah dari Umar untuk seluruh penguasa dan pemimpin di muka bumi ini. Sebuah risalah dari sekian banyak risalah yang telah Umar torehkan dalam sejarah kekhilafahannya atas umat Islam. Kekhilafahan yang penuh dengan keadilan, persamaan, dan pemerataan di seluruh rakyat. Semoga Allah meridhainya.

TOBAT KHALIFAH AL-WATSIQ BILLAH DAN ANAKNYA DARI PENDAPAT BAHWA AL-QUR

Ibnul Jauzi dan Ibnu Katsir, keduanya menyebutkan tentang kisah tobatnya khalifah al-Watsiq Billah al-‘Abbasi dan anaknya al-Muhtadi Billah dari bid’ah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Pendapat ini telah dicetuskan oleh kelompok Mu’tazilah dan dipegang oleh Khalifah al-Ma’mun. Pendapat ini telah menyiksa umat Islam selama kurun waktu yang cukup lama sebagaimana dengan pendapat ini Imam Ahmad Ibnu Hambal telah disiksa.
    Pemilik bid’ah ini pada zaman al-Ma’mun sampai pada masa khalifah al-Watsiq adalah menterinya sendiri, yaitu Ahmad bin Abi Dawud. Khalifah al- Mahdi Billah berkata tentang kisah tobatnya dan tobat ayahnya dari bid’ah ini, “Aku terus saja mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk sejak masa-masa kekhalifahan al-Watsiq, sampai akhirnya datang Ahmad Ibnu Abi Dawud menghadapkan kepada kami seorang kakek dari penduduk Syam warga Adzunah.
    Ibnu Abi Dawud membawa kakek itu dalam keadaan terikat. Dia berparas tampan, badannya tegap, dan rambut ubannya pun indah. Aku melihat Al-Watsiq kala ini merasa malu dengan kakek ini dan sedikit grogi, dia menghampiri dan mendekatinya. Si kakek itu mengucapkan salam dengan sangat ramah dan dia berdoa dengan sangat penuh makna. Khalifah al-Watsiq berkata kepadanya, ‘Duduklah.’
    Kakek itu pun duduk dan khalifah berkata kepadanya, ‘Wahai kakek, kau sedang berdebat dengan Ibnu Abi Dawud, perkara apa yang sedang kauperdebatkan dengannya?’
    Kakek itu menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, Ibnu Abi Dawud berlaku seperti anak kecil dan menekan dalam debat itu.’
    Khalifah pun marah. Tempat yang tadinya sarat keakraban kini berubah menjadi kemarahan kepada kakek itu dan khalifah berkata kepadanya, ‘Abu Abdullah bin Abi Dawud berlaku seperti anak kecil dan menekan dalam perdebatan denganmu?’
    Kakek itu berkata, ‘Tenanglah wahai Amirul Mukminin, apa yang terjadi padamu, izinkan aku untuk berdebat dengannya.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Ya, memang aku memanggilmu untuk berdebat dengannya.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sebaiknya Anda menjaga apa yang aku dan dia katakan nanti.’
    Khalifah berkata, ‘Lakukanlah.’
    Kekek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, jelaskan kepadaku tentang pendapatmu ini yang merupakan pendapat sangat vital yang merasuk ke dalam akidah agama Islam, maka agama itu tidak sempurna sampai mengakui apa yang kamu katakan.’
    Dia menjawab, ‘Yah.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, jelaskan kepadaku tentang Rasulullah saw. ketika beliau diutus oleh Allah kepada hamba-Nya. Apakah beliau menutup-nutupi sesuatu dari apa yang telah Allah perintahkan kepada beliau dalam urusan agama mereka?’
    Dia menjawab, ‘Tidak.’
    Kakek itu berkata, ‘Apakah Rasulullah saw. mengajak umat beliau kepada pendapatmu ini?’
    Ibnu Abi Dawud kemudian terdiam.
    Kakek itu berkata kepadanya, ‘Bicaralah.’
    Dia terus terdiam, lantas dia menoleh ke Khalifah al-Watsiq dan berkata,  ‘Wahai Amirul Mukminin, satu.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Satu.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, ceritakan kepadaku tentang Allah swt. ketika menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw..
    Allah berfirman, ‘… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu….’ (al-Maa`idah: 3)
    Apakah Allah swt. yang Mahabenar dalam menyempurnakan agama-Nya atau apa kamu yang benar dalam kekuranganmu sehingga penyempurnaan itu dinilai seperti yang ada dalam pendapatmu ini? ‘
    Ahmad bin Abi Dawud pun terdiam. Kakek itu berkata, ‘Jawablah wahai Ahmad.’
    Namun, dia tidak juga menjawab. Kakek itu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, dua.’
    Al-Watsiq berkata, ‘ Dua.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, katakan kepadaku tentang pendapat kamu ini, apakah telah diketahui oleh Rasulullah saw. ataukah beliau tidak mengetahuinya?’
    Ibnu Abi Dawud menjawab, ‘Beliau mengetahuinya.’
    Kakek itu berkata, ‘Apakah beliau mengajak manusia kepada pendapat itu?’
    Dia pun terdiam, dan kakek itu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, tiga.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Tiga.’
    Kakek itu berkata, ‘Wahai Ahmad, apakah Rasulullah saw. merasa berlapang dada jika beliau mengetahuinya lantas beliau tidak menyampaikannya seperti yang engkau klaim dan umat beliau tidak menuntutnya?’
    Dia menjawab, ‘Ya.’
    Kakek itu berkata, ‘Dan juga Abu Bakar, Umar ibnul hthab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib r.a. merasa berlapang dada?’
    Ibnu Abi Dawud berkata, ‘Ya.’
    Kakek itu berpaling darinya dan menghadap ke arah Khalifah al-Watsiq.
    Dia berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, jika kita saja tidak bisa menahan diri dari pendapat ini dengan apa yang telah diklaimnya bahwa Rasulullah saw. juga Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali berlapang dada dalam hal ini, maka Allah tidak melapangkan hati orang yang tidak berlapang dada.’
    Al-Watsiq berkata, ‘Benar, jika kita saja tidak boleh untuk menahan diri dari pendapat ini sesuatu yang leluasa bagi Rasulullah saw. juga Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, Allah tidak akan membolehkan kita.’
    Khalifah pun memerintahkan untuk melepas ikatan kakek itu dan meminta maaf kepadanya, serta segera mengembalikannya kepada keluarganya dengan penuh penghormatan. Hingga, berakhirlah pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang dibawa oleh Ahmad bin Abi Dawud penganut paham Mu’tazilah dan pembawa bendera fitnah Al-Qur’an makhluk sejak kekhalifahan Al-Ma’mun.
    Al-Muhtadi berkata, ‘Ayahku pun masuk ke rumah lantas dia berbaring sambil mengulang-ulang kata-kata kakek itu dalam hatinya seraya berkata, ‘Apa yang dibolehkan kamu, adalah apa yang dibolehkan mereka?’ Kemudian dia membebaskan kakek itu dan memberinya hadiah sebesar empat ratus dinar dan dia tidak lagi respek dengan Ibnu Abi Dawud dan tidak ada lagi fitnah yang meninpa seseorang sesudahnya.’”
    Begitulah, Allah telah mengizinkan untuk mengakhiri fitnah ini yang sudah dimulai sejak masa kekhalifahan Ma’mun al-‘Abbasi sampai masa kekhalifahan al-Watsiq Billah. Fitnah ini telah menelan korban para ulama dan membahayakan urusan agama dalam kurun waktu yang cukup lama, dan menjadi sebabnya adalah kelompok Mu’tazilah yang sesat itu dan menterinya Ahmad bin Abi Dawud yang pada masa akhir hayatnya diberi musibah penyakit kelumpuhan. Allah memberinya ujian ini, dan dia pun segera meminta maaf kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Dia meninggal dunia dengan kehilangan kekuasaan, kementerian, kesehatan, serta nyawanya.

Seorang Ahli Ibadah yang Ridha dengan Ujian Allah

Ibnu Abid Dunya dalam Kitab Ridha dan Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah menyebutkan bahwa Abul Ghaits, Uqbah bin Sulaiman berkata, “Pada suatu ketika saya melakukan shalat Jum’at, setelah itu saya mendatangi majlis Yunus bin Ubaid hingga datang waktu Ashar dan kami melakukan shalat Ashar. Kemudian Yunus berkata, “Apakah kalian mau menshalati jenazah Fulan?”
Lalu kami bersama-sama pergi menuju tempat Bani Sa’d. Lalu kami melakukan shalat jenazah di sana. Kemudian Yunus berkata, “Apakah kalian mau menjenguk si Fulan, seorang ahli ibadah?”
Lalu kami mendatangi seorang lelaki yang sedang sakit, hingga nampak gigi-gigi gerahamnya. Jika dia ingin berbicara, terlebih dahulu diambilkan kapas dan gelas yang berisi air, lalu bibirnya diolesi dengannya hingga basah. Kemudian dia pun berbicara dengan kata-kata yang bisa diucapkannya. Kemudian dia menghadap kiblat dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita nikmat muda dan kesehatan. Dia telah memberi kedua nikmat itu kepada saya, hingga ketika hari-hariku berakhir dan ajalku tiba, Dia akan mengambil keduanya dariku dan menggantikannya dengan yang lebih baik”. Dan ketika itu, dia juga telah kehilangan penglihatannya.
Lalu Yunus berkata kepadanya, “Awalnya kami bersiap-siap untuk berbela sungkawa kepadamu. Akan tetapi sekarang kami datang untuk mengucapkan selamat kepadamu”.
Dia menjawab, “Baguslah”.
Lalu dia berdoa untuk mereka, kemudian mereka pun pergi”.

Abdullah bin Umar dan Keridhaannya kepada Allah

Abdullah bin Umar bin Khathtab berkata, “Ayat berikut ini terlintas di hatiku, “

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”. ( Ali Imran: 92 ). Lalu saya mengingat-ingat apa yang diberikan Allah kepadaku. Maka saya tidak ada yang lebih saya sukai dari seorang budak wanitaku yang bernama Rumaitsah. Maka saya katakan kepadanya, “Engkau merdeka karena Allah semata”. Dan saya tidak ingin mengambil kembali apa yang saya berikan kepada Allah. Kalau bukan karena hal itu, pasti saya menikahinya”.
Lalu Ibnu Umar menikahkannya dengan maulanya, Nafi’, padahal budak wanita itu adalah ibu dari anaknya.
Saya ( penulis ) katakan, “Demikian para sahabat ketika turun firman Allah,

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai”. ( Ali Imran : 92 ).
Yang dimaksud dari kata al-Birr dalam ayat tersebut adalah surga. Ketika ayat ini turun, masing-masing mereka pun segera mengeluarkan milik mereka yang paling mereka sukai karena Allah ‘azza wajalla, untuk mendapatkan surga yang Allah sediakan bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

Hajar dan Keridhaannya Terhadap Qadha Allah

Allah memperintahkan kepada Nabi-Nya, Ibrahim, untuk membawa istrinya, Hajar, dan anaknya yang masih kecil ke Mekah, di mana terdapat Ka'bah, rumah Allah yang suci. Kemudian Nabi Ibrahim meninggalkan mereka berdua di sana dengan hanya memberi bekal sekantong kurma dan sekantong air. Ketika Nabi Ibrahim hendak pergi meninggalkan mereka, Hajar menyusulnya dan berkata padanya, "Wahai Ibrahim kamu hendak kemana? Bagaimana kamu meninggalkan kami di sini, di lembah yang gersang yang tidak ada penghuninya ini".
Waktu itu Mekah masih kosong, belum ada penghuninya, bahkan burung dan binatang yang lainnya pun tidak dijumpai di sana. Hal itu disebabkan karena di sana tidak didapatkan sumber kehidupan seperti air dan tumbuh-tumbuhan. Gambaran Mekah tersebut termaktub dalam do'a Nabi Ibrahim sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur'an, yang berbunyi,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya saya telah menempatkan sebagian keturunan saya di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati". (Ibrahim: 37).
Mendengar pertanyaan istrinya tersebut, Nabi Ibrahim diam tidak menjawabnya. Sampai istrinya mengulangi pertanyaannya berkali-kali, namun Nabi Ibrahim tetap diam dan terus berjalan, tidak menoleh sedikitpun ke arah istrinya, hingga istrinya bertanya kepadanya, "Apakah Allah yang menyuruhmu untuk melakukan ini?" "Ya", jawab Nabi Ibrahim singkat. Setelah mendengar jawaban itu, istrinya pun berkata, "Jika demikian halnya, tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami". Kemudian istrinya kembali ke sisi anaknya, Isma'il. Sedang Nabi Ibrahim sendiri pergi meninggalkan mereka berdua menuju ke negeri Syam. Sebelum pergi, Nabi Ibrahim menghadap ke arah Baitullah (Ka'bah) lalu berdo'a kepada Tuhannya,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya saya telah menempatkan sebagian keturunan saya di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur". (Ibrahim: 37).

TOBAT SEORANG AHLI IBADAH DARI SYAHWAT BERBICARA

Ibnul Jauzi menyebutkan dari Ibnu Masruq yang berkata, “Aku mendengar Sirri bercerita, ‘Ketika kami sedang berjalan di negeri Syam, kami melenceng dari jalan raya ke arah sebuah gunung yang di sana terdapat seorang ahli ibadah. Ada seorang dari rombongan itu yang berkata,  ‘Sesungguhnya kita telah melenceng dari jalan itu, dan di sini ada seorang ahli ibadah. Mari kita mendatanginya, kita memohon mudah-mudahan Allah swt. memberikan taufik-Nya dan orang itu mau kita ajak bicara.’
    Kami pun pergi mendatanginya lantas kami mendapatkan dia sedang menangis. Sirri berkata, ‘Apa yang membuat ahli ibadah ini menangis?’
    Dia menjawab, ‘Bagaimana aku tidak menangis? Jalan itu sulit untuk ditempuh dan orang-orang yang berjalannya semakin sedikit. Pekerjaan itu telah dijauhi dan orang-orang yang mau melakukannya pun semakin sedikit, kebenaran semakin sedikit, perkara ini telah hilang dan aku tidak melihatnya kecuali di lidah setiap kebatilan yang disebut dengan hikmah dan dijauhi perbuatan. Keringanan dan takwil telah dibentangkan dan uzur dengan tergelincir karena sakit.’
    Kedua, dia berteriak dengan sebuah teriakan dan berkata, ‘Bagaimana hati mereka tertarik pada jiwa keduniaan dan terputus dari jiwa kerajaan langit?’
    Kemudian dia berkata yang membuatnya tidak tahu fitnah ulama dan tergesah dari keraguan menyampaikan dan dia berjalan berkeliling, lantas dia berkata, ‘Di mana orang-orang baik dari para ulama? Bahkan, di mana orang-orang baik dari para ahli zuhur?’
    Kemudian dia menangis dan berkata, ‘Mereka telah sibuk dan demi Allah dia menyebut diam yang panjang, dan berhasrat menjawab tentang menyebut surga, neraka, dan pahala.’ Kemudian dia berkata, ‘Aku memohon ampun kepada Allah dari syahwat omongan, pergilah kalian dariku.’
    Kami pun membiarkannya terus menangis dan diri kami telah dipenuhi dengan perasaan duka cita dan keresahan hati.