INAYAH ALLAH KEPADA TAHIYYAH NUBIYAH

    Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan dari Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain as-Sulami dia berkata, “Aku mendengar al-Malini as-Sufi bercerita, ‘Aku pernah datang berziarah kepada Tahiyyah Nubiyah, dan aku mendengarnya dia di dalam rumahnya sedang bermunajat kepada Allah seraya berkata, ‘Wahai Yang selalu mencintaiku dan aku mencintai-Nya.’ Aku pun masuk dan mengucapkan salam kepadanya, lantas aku bertanya, ‘Wahai Tahiyyah, tidak dimungkiri kalau kamu mencintai Allah swt.. Lantas bagaimana kamu tahu kalau Dia mencintaimu?’
    Dia menjawab, ‘Ya, dahulu aku tinggal di negeri Nuba dan kedua orang tuaku beragama Kristen. Pernah ibuku mengajakku pergi ke gereja dan membawaku ke depan salib seraya berkata kepadaku, ‘Ciumlah salib ini.’
    Ketika aku ingin menciumnya, tiba-tiba aku melihat ada telapak tangan yang keluar dan mendorong mukaku, sehingga aku tidak bisa mencium salib itu. Dari situ aku mengerti bahwa inayah Allah kepadaku sudah sejak dahulu. Kemudian aku masuk Islam dan akhirnya aku menjadi salah seorang wanita ahli ibadah dan ahli zuhud.”81

Aku dalam Kondisi Cukup

Muhammad bin Musa bin Hamad az-Zaidi menceritakan, “Hasan bin Abdul Aziz al-Harawi mengirimkan kepadaku harta warisannya di Mesir sejumlah seratus ribu dinar. Dia juga memberikan kepada Ahmad bin Hanbal tiga kantong uang, di setiap kantongnya berisi seribu dinar. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah (gelar Ahmad bin Hanbal) ini harta warisan halal. Ambillah dan gunakanlah untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.”
Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tak membutuhkannya. Aku dalam kondisi cukup.” Akhirnya, uang itu ditolaknya dan tiada sedikit pun yang dia ambil.
Putranya, Abdullah, menceritakan bahwa salah seorang sahabat dekat ayahnya mengirimkan kepadanya empat ribu dirham bersama sepucuk surat melalui seorang laki-laki. Dalam surat itu dia menulis, “Wahai Abu Abdillah, aku telah mendengar kondisimu yang sulit dan utangmu yang banyak, maka aku kirimkan kepadamu uang empat ribu dirham ini melalui si fulan untuk membayar utangmu dan melapangkan keluargamu. Uang ini bukan sedekah atau zakat melainkan sedikit harta yang aku warisi dari ayahku.”
Ahmad bin Hanbal membalas suratnya, “Bismillahirrahmanirrahim.Suratmu telah sampai kepadaku dan kami sekeluarga berada dalam keadaan baik. Adapun mengenai utang, itu dari seseorang yang tidak mendesak utangnya, sementara keluarga kami Alhamdulillah mereka berada dalam nikmat Allah.”

Laki-laki itu berkata, “Seandainya Abu Abdillah menerima uang itu lalu dilemparkannya ke Sungai Dijlah tentu dia sudah berpahala.” Karena ternyata lelaki itu tidak pernah dikenal berbuat baik.

Setelah lewat satu tahun Ahmad bin Hanbal berkata, “Seandainya dulu kami terima uang itu tentu sudah habis semuanya.”

Umar bin Abdul Aziz dan Keridhaannya kepada Allah

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Busrah al-Juhani, dia berkata, “Ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdil Aziz, Sahal bin Abdul Aziz dan Muzahim Maula Umar bin Abdil Aziz secara berturut-turut, Rabi’ bin Sabrah mendatangi Umar bin Abdul Aziz dan berkata kepadanya, “Semoga Allah melipatgandakan pahalamu wahai Amirul mukminin. Saya tidak pernah melihat seorang pun tertimpa musibah yang lebih besar dari musibahmu yang beruntun ini. Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang anak yang seperti anakmu. Saya juga tidak pernah melihat seorang saudara seperti saudaramu. Saya juga tidak pernah melihat seorang maula seperti maulamu”.
Lalu dia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu seseorang berkata kepada saya, “Engkau telah menyulut kesedihannya”.
Kemudian Umar bin Abdil Aziz mengangkat kepalanya dan berkata, “Apa yang engkau katakan kepadaku tadi wahai Rabi’?”.
Lalu saya mengulangi apa yang saya katakan tadi.
Lalu Umar berkata, “Tidak. Demi Zat yang telah menetapkan kematian mereka, saya tidak menginginkan hal itu tidak terjadi”. Saya ( penulis ) katakan, “Itulah sikap orang yang ridha kepada qadha dan qadar Allah. Dia tetap ridha dengan terjadinya qadha Allah, walaupun hal itu bukan hal yang menyenangkan. Dan sikap itu hanyalah muncul dari seorang mukmin. Dan tidak diragukan lagi, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz termasuk mereka yang berkata dan melakukan perkataannya, serta tahu dan memahami dengan baik. Kita tidaklah menganggap baik seseorang dengan melampaui Ilmu Allah. Hanya saja, kita melihat sejarah Khalifah Umar bin Abdil Aziz harum dengan pancaran-pancaran keimanan dan dia selalu berjalan di atas jalur orang-orang mukmin di masa awal Islam. Semoga Allah ridha terhadap mereka.