Urwah bin Zubair dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Dia adalah Urwah bin Zubair, putera salah seorang sahabat setia Rasulullah saw.. Ibunya adalah Asma` bintu Abu Bakar, Dzaatun Nithaaqain ( pemilik dua ikat pinggang ), radhiyallahu ‘anhum. Dia dilahirkan pada tahun 23 H. Dia adalah seorang imam dan ulama Madinah, serta salah seorang fuqahaa` Sab’ah ( tujuh ahli fikih ).  Dan di siang hari dia membaca seperempat Al-Qur’an langsung dari mushhaf, lalu pada malam harinya dia menunaikan shalat dengan bacaannya tadi.
    Anaknya, Hisyam, meriwayatkan bahwa pada suatu hari ayahnya pergi mendatangi al-Walid bin Abdil Malik. Ketika sampai di Wadil Qura, dia merasakan rasa nyeri di kakinya. Ketika dia perhatikan, dia melihat ada luka bernanah di sana. Kemudian rasa sakit terus menjalar ke atas, sehingga dia melanjtukan perjalanan ke tempat Walid dengan ditandu. Setelah sampai, Walid pun menyambutnya. Ketika melihat sakit di kakinya terus menjalar, Walid pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah boleh kakimu dipotong?”
Dia menjawab, “Lakukanlah”.
Lalu Walid memanggil seorang dokter. Ketika akan memotong kakinya, sang dokter berkata kepada Urwah, “Minumlah obat penidur ini”. Namun Urwah tidak mau meminumnya.
Lalu sang dokter memotong kakinya dari pertengahan betis, dan Urwah hanya mendesis, “Hissi, hissi”.
Al-Walid bin Abdil Malik berkata, “Saya tidak pernah melihat orang tua sekuat dia dalam menahan rasa sakit”.
Dalam perjalanan tersebut, anaknya, Muhammad, jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Dan Urwah hanya membaca firman Allah,

“Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. ( al-Kahf: 62 ).
Dan dia berkata, “Ya Allah, dulu saya mempunyai tujuh orang anak lalu Engkau mengambil satu orang dan menyisakan enam orang anak. Dan dulu saya mempunyai empat anggota tubuh ( 2 kaki dan 2 tangan ), lalu Engkau mengambil salah satunya dan menyisakan tiga. Jika Engkau telah mengujiku, maka Engkau telah memberi kesehatan kepada saya. Dan jika Engkau telah mengambil dari saya, Engkau pun tetap menyisakannya untuk saya”.
Lalu orang-orang memperlihatkan kepadanya kakinya yang telah dipotong di dalam baskom. Lalu dia berkata kepada kakinya tersebut, “Sesungguhnya Allah tahu, bahwa saya tidak pernah menggunakanmu untuk berjalan menuju kemaksiatan. Dan saya pun tahu akan hal itu”.
Dan Urwah meninggal pada tahun 93 H, ketika sedang berpuasa.

Umar Ibnul Khatab dan Pertanyaanya Tentang Fitnah

Khalifah kedua, Umar ibnul Khatab r.a. senantiasa merasa takut kepada Allah Swt dalam setiap perbuatan dan ucapannya. Dia  sangat menginginkan dapat menghadap Allah dalam keadaan seperti ketika Rasulullah saw. meninggalkannya. Dia selalu bertanya pada sekretaris Rasulullah saw., Hudzaifah ibnul Yaman tentang fitnah.
Pada suatu hari, Umar bertanya kepada sekelompok sahabat yang ketika itu Hudzaifah bersama mereka, “Siapa diantara kalian yang hafal sabda Rasulullah saw. tentang fitnah?”
Khudzaifah  menjawab, “Saya”.
Umar berkata, “Kamu sungguh berani”.
Lalu Hudzaifah menjawab pertanyaan Umar, “Fitnah bagi seseorang pada istri, anak dan tetangganya dapat dicegah dengan selalu menjalankan shalat, bersedekah dan menyeru kepada kebaikan serta melarang perbuatan mungkar”.
 Umar memperjelas maksud pertanyaannya, “Bukan itu yang saya inginkan, akan tetapi fitnah yang datang menerjang seperti gelombang air laut”.
Setelah menangkap maksud pertanyaan Umar, Hudzaifah berkata, “Janganlah engkau merisaukan hal itu wahai Amirul Mu’minin. Sesungguhnya terdapat pintu penghalang antara engkau dan fitnah itu”.
Lalu Umar bertanya lagi, “Akankah pintu tersebut hancur atau terbuka”.
Hudzaifah  menjawab, “Ia akan hancur”.
Umar berkata, “Jadi ia tidak selamanya tertutup”.
Masruq –salah seorang tabi’in yang meriwayatkan kisah ini– berkata, “Kami bertanya pada Hudzaifah, “Apakah Umar tahu tentang pintu itu?”
Hudzaifah  menjawab, “Ya, sebagaimana dia tahu bahwa akan datang malam setelah siang”.
Dan Masruq bertanya lagi, “Siapakah yang dimaksud dengan pintu itu?” Khudzaifah  menjawab, “Umar.”
Sesungguhnya Umar ibnul Khatab telah mengetahui bahwa pintu penghalang terjadinya fitnah yang dimaksud tidak lain adalah dirinya. Apabila pintu tersebut telah hancur, yaitu dengan terbunuhnya Umar, maka ia tidak bisa ditutup kembali. Dan hal itu benar-benar terjadi setelah terbunuhnya Umar ibnul Khatab. Fitnah mulai datang menerpa sejak zaman Usman bin Affan r.a. dan belum berakhir hingga sekarang.
Pada suatu ketika Umar berdo’a kepada Allah, “Ya Allah saya telah menjadi lemah lagi tua, sedangkan rakyatku telah luas menyebar. Ya Allah panggillah saya untuk menghadapmu dalam keadaan yang tidak sia–sia dan tidak lalai”.  Doa itu terucap di penghujung hidupnya. Sekitar sebulan setelah itu dia terbunuh sebagaimana yang tertulis dalam tinta sejarah. Hafshah bintu Umar, istri Rasulullah saw., mengatakan bahwa dia mendengar ayahnya, Umar ibnul Khatab, berdo’a, “Ya Allah karuniakanlah padaku syahadah di jalan-Mu dan meninggal dunia di negeri Nabi-Mu”. Kemudian Hafsah bertanya pada ayahnya, “Bagaimanakah itu akan terjadi”. Umar menjawab, “Sesungguhnya ketentuan Allah akan terjadi sebagaimana yang Dia kehendaki”.
Pertanyaan Hafshah tersebut menandakan bahwa dia merasa heran dengan apa yang diucapkan ayahnya dalam doanya itu. Karena pada saat itu, tidak seorang pun dari orang-orang musyrik yang timggal di Madinah. Dan ayahnya tidak pernah lagi keluar dari Madinah. Bagaimana dia menginginkan mati syahid di jalan Allah dan dimakamkan di Madinah, sedangkan hal itu tidak mungkin didapatkan oleh seorang muslim kecuali terbunuh di tangan orang kafir? Dan terbunuh dengan cara seperti itu adalah derajat yang paling tinggi dalam kesyahidan.
Akan tetapi ketentuan Allah-lah yang berbicara. Dia mengabulkan doa Umar, karena apa yang diinginkan umar dalam doanya sejalan dengan qadha dan qadar-Nya. Bermula dari kedatangan Mughirah bin Syu’bah, ketika memberitahu Umar bahwa seorang budak kepunyaannya bernama Abu Lu`lu`ah, seorang Majusi, memiliki ketrampilan yang bisa dimanfaatkan oleh kaum muslim. Maka Umar ibnul Khatab pun tertarik dan menginginkan agar kaum muslim dapat mengambil manfaat dari ketrampilannya. Untuk itu, dia mengizinkan budak Majusi itu tinggal di Madinah. Tidak selang lama, niat jahat majusi ini pun muncul. Dia mengatur siasat untuk membunuh Khalifah Umar ibnul Khatab r.a.. Pada suatu pagi, datang kesempatan padanya, yaitu ketika Khalifah sedang khusyu’ menjalankan shalat subuh di masjid. Maka dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan menikam Umar di saat dia sedang dalam posisi sujud. Doa khalifah Umar ibnul Khatab pun terkabulkan. Dia menuai syahadah di jalan-Nya dan dimakamkan di sisi Rasulullah saw. dan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq.