Rindu Bertemu Allah

Ibnul Jauzi rahimahullah menulis dalam Shifatush Shafwah dari Muhammad bin Bakkar, dia berkata, “Di Mekah kami berjumpa dengan seorang wanita. Setiap saat dia selalu menangis. Suatu hari ada yang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kami melihatmu dalam kondisi yang tak pernah kami lihat pada orang lain. Seandainya kau sakit, maka kami akan membantu mengobatimu.’ Mendengar hal itu dia menangis dan berkata, ‘Siapa yang bisa mengobati penyakit ini? Bahkan, pikiranku selalu sibuk memikirkan untuk mendapatkan obatnya.’
Kemudian dia berkata, ‘Bukankah sebuah hal yang aneh, aku berada di antara kalian, tetapi hatiku selalu rindu kepada Tuhanku, bagaikan nyala api yang tidak pernah padam sebelum aku bertemu dengan dokter yang akan menyembuhkan penyakitku dan menenangkan hatiku yang telah dilanda sedih yang berkepanjangan, di kampung dunia ini dan aku tidak mendapatkan cara lain selain menangis.’”
Wanita ahli ibadah ini mengumpamakan rindunya berjumpa dengan Tuhannya, bagai api yang selalu menyala dan tidak pernah padam dan dia tidak mendapatkan penolong apa-apa di dunia ini. Hal itulah yang menjadikannya selalu menangis sepanjang waktu. Itulah cinta Ilahi yang kalau sudah menyentuh hati akan mengantarkan pada ridha dan surga Allah serta kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya.

TOBAT SEORANG PEMUDA DAN PEMUDI KARENA TAKUT KEPADA ALLAH SWT

Raja bin Umar an-Nakha’i berkata, “Ada seorang pemuda di Kufah yang mempunyai paras muka yang tampan, sangat tekun beribadah kepada Allah, dan bersikap zuhud terhadap dunia. Dia singgah di tempat sebuah kabilah hingga melihat seorang pemudi kabilah itu yang sangat cantik. Pemuda itu pun tertarik dengan wanita itu dan pikirannya melayang-layang. Wanita itu pun merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh pemuda itu. Kemudian pemuda tampan tersebut pergi mendatangi ayah pemudi itu untuk melamarnya. Namun, sang ayah memberitahukan kepadanya bahwa anaknya sudah dicalonkan untuk anak pamannya.
    Asmara kedua pemuda itu kian membara, dan keduanya saling mengalami mabuk cinta, kemudian pemudi itu pun segera menulis surat kepadanya,
    Aku mendengar betapa membaranya api cintamu kepadaku, dan aku pun merasa merana dengan hal itu dan bersama cinta padamu. Jika kamu mau, aku akan mengunjungimu atau jika kamu mau, aku akan memfasilitasimu untuk datang ke rumahku.
    Pemuda itu pun berkata kepada utusan yang datang dari wanita itu,  “Tidak satu pun dari dua bagian ini.”  “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku takut akan azab pada hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.’” (az-Zumar: 13)  Aku takut api neraka yang tidak pernah padam apinya dan tidak pernah dingin baranya.
    Ketika utusan itu pergi darinya dan menyampaikan kepada sang pemudi apa yang telah dikatakan oleh pemuda itu, pemudi itu berkata dengan memperlihatkan dalam hal ini zuhud dan rasa takutnya kepada Allah swt., “Demi Allah, tidak ada satu orang pun yang lebih berhak dalam hal ini. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu semua mempunyai kesempatan yang sama.”
    Kemudian pemudi itu menjauhkan diri dari dunia. Dia menaruh semua perhiasan yang menggantung di belakang punggungnya. Dia mengenakan pakaian kasar dan berkonsentrasi beribadah. Dia larut dalam dahaga cinta kepada pemuda tadi dan merasa sedih sampai akhirnya dia meninggal dunia karena rindu kepadanya.
    Pemuda tadi pun datang ke makam kuburnya. Dia melihat pemudi itu dalam mimpinya terlihat cantik dan anggun. Dia berkata, “Bagaimana keadaanmu dan apa yang telah engkau dapatkan?”
    Wanita itu menjawab, “Cinta yang terbaik wahai kekasih, cintamu adalah cinta yang mengajak kepada kebaikan dan ihsan. Kepada kenikmatan hidup yang tidak ada habisnya, di dalam surga yang kekal, kerajaan yang tak pernah sirna.”
    Pemuda itu berkata kepadanya, “Sebut dan ingatlah aku di sana, sesungguhnya aku tidak pernah lupa padamu.”
    Pemudi itu berkata, “Juga aku, demi Allah, aku tidak pernah lupa padamu. Aku telah memohon kepada Tuhanku dan Tuhanmu, Dia menolongku untuk itu dengan berijtihad.”
    Kemudian pemudi itu berpaling dan pemuda itu berkata kepadanya, “Kapan aku bisa melihatmu?”
    Pemudi itu menjawab, “Kau akan mendatangi kami dalam waktu dekat ini.”
    Tak lama kemudian pemuda itu meninggal dunia seminggu setelah peristiwa mimpi itu.

Keridhaan Abul Hasan al-Lu`lu`i dan Keridhaannya kepada Allah

Abul Hasan al-Lu`lu`i berkata, “Pada suatu ketika saya naik perahu. Lalu perahu yang naiki itu pecah sehingga semua penumpangnya masuk ke dalam air. Padahal di tempat dudukku terdapat permata yang harganya empat ribu dinar, sedangkan musim haji sudah dekat sehingga saya pun takut kehilangannya. Lalu Allah menyelamatkan saya dengan mendamparkan di daratan. Kemudian saya berjalan mencari-cari bawaan saya. Kemudian orang-orang yang juga selamat berkata kepadaku, “Cobalah berhenti dulu, semoga ada yang datang dan mengeluarkan sesuatu dan membawa sebagian dari bawaanmu”.
Maka saya katakan, “Allah Maha Tahu tentang apa yang saya alami. Ketika di kapal, di tempat dudukku saya membawa sesuatu yang harganya empat ribu dinar. Dan saya tidak menginginkannya kecuali untuk menunaikan haji”.
Lalu orang-orang berkata, “Apa yang membuatmu sampai mempunyai pikiran seperti itu?”
Saya katakan, “Saya adalah orang yang ingin sekali menunaikan haji. Saya mencari keuntungan dan pahala. Dan pada suatu ketika saya pernah menunaikan haji kemudian saya sangat kehausan. Kemudian saya menyuruh orang yang naik onta bersamaku untuk duduk di tengah tunggangan”. Lalu saya turun untuk mencari air. Ketika itu semua orang dalam rombongan saya juga sangat kehausan”.
Kemudian saya bertanya dan terus bertanya kepada orang-orang, baik yang sendiri maupun yang berkelompok yang saya temui, “Apakah kalian mempunyai air?”.
Namun kondisi mereka tidak berbeda; mereka tidak mempunyai air. Kemudian saya melintasi sebuah tempat yang biasanya untuk mengumpulkan air, seperti kolam. Di sana saya melihat seorang lelaki yang fakir sedang menancapkan tongkatnya di tempat itu dan air menyembur dari tempat tongkatnya, lalu dia minum darinya. Maka saya pun segera turun mendekatinya dan ikut minum hingga merasa puas. Kemudian saya kembali lagi ke rombongan saya untuk mengambil kantung air. Ketika itu orang-orang sudah turun dari atas onta-onta mereka. Kemudian saya kembali ke tempat air tadi, lalu saya memenuhi kantung air saya tersebut lalu saya kembali ke tempat saya semula. Melihat saya memanggul kantung air yang penuh, orang-orang segera mengambil kantung-kantung air mereka lalu pergi ke tempat air tersebut. Maka semuanya pun mendapatkan air dan tidak kehausan lagi.
Kemudian saya mendatangi lagi kolam air tadi, dan saya lihat ia penuh dengan air dan ombaknya berdeburan karena orang-orang memasukkan ember-ember mereka untuk mengambil air darinya.
Maka apakah saya lebih mengutamakan uang empat ribu dinar dari sebuah musim yang dihadiri oleh orang-orang seperti itu yang berdoa, “Ya Allah ampunilah orang yang hadir di Arafah dan ampunilah orang-orang muslim?”.
Demi Allah, saya tidak akan melakukannya. Saya tidak mengutamakan dunia dan seisinya darinya”.
Lalu Abul Hasan al-Lu`lu`i pergi meninggalkan permatanya dan semua bawaannya. Padahal semua bawaannya yang tenggelam nilainya adalah lima puluh ribu dinar”.

TOBAT SEORANG

    Hasan al-Bashri48 menyebutkan bahwa ada seorang wanita yang memiliki tiga kecantikan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh kecantikannya kecuali jika mau membayar sebesar seratus dinar. Pintu rumah wanita itu senantiasa terbuka.
    Maka, ketika ada seorang ‘abid yang melintas, dia melihat wanita itu dan membuatnya terkagum dan tergila-gila. Dia pun segera bekerja keras dan mengumpulkan uang sebanyak seratus dinar. Dia lantas mendatangi wanita itu dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu sangat membuatku terkagum, untuk itu aku segera bekerja untuk mengumpulkan apa yang engkau mau.”    Wanita itu berkata kepadanya, “Masuklah.”
    Dia segera masuk ke rumah wanita itu. Dari atas tempat tidur yang terbuat dari emas, wanita itu duduk di atasnya seraya berkata kepadanya, “Ke sinilah.”
    Pada saat dia meniduri wanita itu, dia ingat maqamnya di hadapan Allah. Dia pun langsung kaget bagaikan di sambar petir, lalu berkata kepada wanita itu, “Biarkan aku keluar dan pergi dan ini seratus dinar untukmu.”
    Wanita itu berkata, “Apa yang telah terjadi pada dirimu? Kau telah mengaku bahwa sesungguhnya kau telah melihatku dan membuatmu terkagum, kemudian kau pergi dan bekerja sampai akhirnya kau dapat mengumpulkan saratus dinar. Pada saat kau telah mampu menggapaiku, kau melakukan apa yang telah kaulakukan.”
    Dia berkata kepadanya, “Hanya karena takut kepada Allah swt. dan dari maqamku di hadapan-Nya, dan sekarang aku telah membencimu, dan kau menjadi orang yang paling aku benci.”
    Wanita itu berkata, “Jika kau benar, aku tidak mau mempunyai suami selain kamu.”
    Dia berkata, “Biarkan aku keluar dan pergi!”
    Wanita itu berkata, “Tidak, kecuali jika kau mau kawin denganku.”
    Dia berkata, “Tidak! Sampai aku keluar.”
    Wanita itu berkata, “Aku berjanji padamu, jika aku nanti mendatangimu, kau harus mau mengawiniku.”
    Dia menjawab, “Mudah-mudahan.”
    Kemudian dia segera mengenakan pakaiannya dan pergi dari wanita itu untuk kembali ke negerinya. Adapun wanita itu, dia telah bertobat dan kembali ke jalan Allah. Dia tinggalkan negerinya dan pergi ke negeri ‘abid yang tadi dan mencarinya. Wanita itu ditunjuki ke ‘abid tersebut. Ketika dia melihat wanita itu telah mendatanginya, dia langsung berteriak kencang, dia pun mati dan jatuh ke tangan wanita itu.
    Wanita itu berkata, “Adapun orang ini, dia telah berlalu, apakah dia mempunyai kerabat dekat?”
    Orang-orang mengatakan, “Ada adiknya, seorang yang sangat faqir.”
    Wanita itu berkata, “Aku akan mengawininya karena cintaku pada kakaknya.”
    Kemudian wanita itu kawin dengannya dan hidup bersamanya sampai keduanya meninggal dunia.

Salman al-Farisi dan Keridhaannya Kepada Qadha Allah Ketika Meninggal Dunia

Abu Sufyan meriwayatkan dari para gurunya, dia berkata, “Pada suatu hari, Sa’ad bin Abi Waqqash menjenguk Salman. Lalu Salman menangis, maka Sa’ad bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Abdillah. Ketika Rasulullah saw. meninggal, beliau ridha terhadapmu dan engkau akan mendatangi kolam beliau”.
Maka Salman berkata, “Saya tidaklah menangis karena takut mati juga bukan karena menginginkan dunia. Akan tetapi Rasulullah saw. pernah berpesan kepada kami dan berkata, “Hendaklah apa yang kalian miliki seperti bekal musafir dengan menunggang binatang”, sedangkan di sekelilingku terdapat banyak bantal ini”.
Lalu perawi berkata, “Padahal di sekitarnya hanya terdapat bak air untuk mencuci pakaian, mangkuk besar atau tempat air untuk berwudhu”.
Maka Sa’ad berkata, “Wahai Abu Abdillah, berpesanlah kepada kami, lalu kami akan melakukannya”.
Salman berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah kepada Allah ketika engkau menginginkan sesuatu, ketika engkau memutuskan suatu perkara, juga ketika engkau memberi orang lain”.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika meninggal dunia, orang-orang hanya menemukan kain untuk duduk di atas pelana, tikar dan barang-barang lain yang jika semuanya dihitung, nilainya hanya sekitar dua puluh dirham”.
    Ketika mendekati ajal, dia berkata kepada istrinya, “Apa yang engkau lakukan terhadap minyak misk yang kita bawa dari Blinjar?”
Istrinya menjawab, “Ini minyak wanginya”.
Salman lalu berkata, “Buanglah minyak wangi itu ke dalam air, lalu aduklah, kemudian tumpahkanlah di sekitar kudaku. Karena sekarang ini datang suatu kaum yang bukan manusia juga bukan jin”. ( Yang dia maksud adalah para malaikat ).
Lalu istrinya pun melakukan hal itu, kemudian Salman meninggal dunia. Semoga Allah meridhainya dan dia ridha kepada Allah.
Demikianlah keridhaannya kepada qadha dan qadar Allah ‘azza wajalla.