Imam ath-Thabari dan Kisah Abu Ghayyats al-Makki

    Muhammad bin Jarir ath-Thabari, di dalam kitab Tarikh-nya, mencatat, “Pada tahun 240 H saya berada di Mekkah. Ketika itu saya pernah melihat seorang lelaki dari Khurasan berseru, “Wahai orang-orang yang menunaikan haji, barang siapa menemukan sebuah bungkusan di dalam ikat pinggang yang di dalamnya terdapat seribu dinar lalu mengembalikan kepada saya, maka Allah melipatgandakan pahalanya”.
    Lalu seorang kakek-kakek dari Mekkah dari Mawali Ja’far bin Muhammad berdiri lalu berkata, “Wahai orang Khurasan. Negeri kami adalah negeri yang penduduknya miskin dan kondisinya sangat memprihatinkan. Perjalanan hari-harinya selalu dihitung dan musim hajinya selalu dinanti-nanti semua orang. Semoga uangmu itu ditemukan seseorang yang ingin mendapatkan imbalan yang halal darimu lalu dia mengembalikan uangmu itu”.
Lelaki dari Khurasan itu bertanya, “Berapa imbalan yang dia inginkan?”
Kakek-kakek itu menjawab, “Sepersepuluhnya. Yaitu seratus dinar”.
Lelaki dari Khurasan itu menjawab, “Tidak, saya tidak mau memberinya dengan jumlah tersebut. Biarlah Allah yang akan memberinya imbalan”.
Maka Ibnu Jarir ath-Thabari berfirasat bahwa kakek-kakek itulah yang menemukan uang tersebut. Lalu dia pun mengikutinya hingga sampai ke rumahnya. Lalu Ibnu Jarir ath-Thabari mendengar kakek-kakek itu memanggil seseorang, “Wahai Lubabah”.
Lubabah pun menjawab, “Ya Abu Ghayyats”.
Kakek-kakek itu berkata, “Saya sudah menemukan pemilik uang itu. Ketika itu dia sedang mengumumkan uangnya yang hilang, tanpa menawarkan imbalan. Lalu saya katakan kepadanya untuk menentukan imbalan bagi yang menemukannya. Maka dia bertanya, “Berapa?” Saya katakan kepadanya sepersepuluhnya. Namun dia tidak menyetujuinya, dan berkata, “Biarlah Allah yang akan memberinya imbalan”. Jadi apa yang dapat kita lakukan, sedangkan saya harus mengembalikan uang itu?”
Lubabah, isterinya, berkata kepadanya, “Kami hidup dalam kefakiran bersamamu selama lima puluh tahun. Sedangkan engkau mempunyai empat anak perempuan, dua orang saudara perempuan, saya, ibu saya dan engkau orang yang kesembilan. Penuhilah kebutuhan makanan dan pakaian kami dengan uang itu. Semoga suatu saat nanti Allah membuatmu kaya, kemudian engkau dapat mengembalikan uang ini kepada pemiliknya. Atau jika dia mau, hendaknya dia memberimu imbalan dan membayarmu”.
Kakek-kakek itu pun berkata kepada isterinya, “Saya tidak mungkin melakukannya dan saya tidak pernah membakar lambungku setelah enam puluh delapan tahun”.
Isterinya ingin mengambil uang itu dan memberi pakaian serta makanan untuk keluarganya, lalu menunggu hingga Allah membuat kaya suaminya, jika sudah kaya dia akan mengembalikannya kepada pemiliknya.
Akan tetapi sang lelaki yang beriman tersebut menolak pendapat yang tidak benar itu, dan berkata kepada isterinya, “Saya tidak mau membakar lambungku dengan api”..
Keesokan harinya, orang dari Khurasan itu datang lagi dan mengumumkan tentang uangnya yang hilang, sebagaimana dilakukannya kemarin. Lalu kakek-kakek tersebut berkata kepadanya, sebagaimana yang dikatakannya kemarin, hanya saja dia menurunkan permintaan imbalannya menjadi sepersepuluh dari sepersepuluh uang tersebut, atau sepuluh dinar saja.
Akan tetapi pemilik uang tersebut tetap tidak mau memberikannya, sebagaimana hari kemarin.
Pada hari ketiga, pemilik uang tersebut kembali mengumumkan tentang uangnya yang hilang itu. Lalu kakek-kakek itu pun berdiri dan berkata sebagaimana ucapannya kemarin, hanya saja dia meminta imbalan satu dinar saja. Akan tetapi orang Khurasan itu tetap menolak memberikan imbalan, dan menyerahkan imbalannya kepada Allah ‘azza wajalla.
Maka kakek-kakek itu pun langsung menarik tangan lelaki Khurasan itu dan berkata kepadanya, “Mari ikut saya, dan ambillah uangmu. Biarkan saya tidur dengan tenang malam ini dan bebaskan kami dari perhitunganmu itu”.
Kemudian dia membawa lelaki Khurasan itu ke rumahnya dan memberikan bungkusan beserta uangnya. Ketika beranjak pergi, lelaki itu kembali kepada si kakek-kakek tersebut dan berkata kepadanya, “Wahai kakek, ketika ayah saya meninggal dunia, dia meninggalkan tiga ribu dinar. Dan sebelumnya dia pernah berkata, “Ambillah sepertiga uang itu, lalu berikanlah kepada orang yang menurutmu paling berhak. Dan juallah ontaku, lalu gunakanlah uangnya untuk biaya hajimu”. Lalu saya melakukannya, dan saya ambil sepertiganya –seribu dinar—, lalu saya masukkan ke dalam bungkusan ini. Dan sejak saya pergi dari Khurasan hingga sampai di sini, saya tidak pernah melihat orang yang lebih berhak terhadap uang itu dari pada dirimu. Ambillah uang itu, semoga Allah memberi berkah kepadamu”.
Lalu dia pun memberikan seribu dinar itu kepada sang kakek, lalu pergi meninggalkannya.
Ketika itu Ibnu Jarir berjalan di belakang orang Khurasan tersebut. Lalu kakek-kakek itu, yang bernama Abu Ghayyats al-Khurasani, menyusulnya dan berkata kepadanya, “Duduklah. Saya melihatmu sejak hari pertama, tentulah engkau mengetahui kondisi kami dari kemarin hingga hari ini”.
Kemudian dia berkata lagi, “Saya mendengar Ahmad bin Yunus al-Yarbu’i berkata, “Saya mendengar Malik berkata, “Saya mendengar Nafi’ meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi saw. berkata kepada Umar r.a. dan Ali r.a.,
“Jika Allah memberi hadiah kepada kalian berdua, tanpa kalian memintanya dan tidak pula menginginkannya, maka terimalah dan janganlah kalian menolaknya. Itu adalah hadiah dari Allah dan hadiah untuk orang yang juga hadir saat itu”.
Lalu Abu Ghayyats memanggil keluarganya dan membagikan uang itu kepada mereka, dan memberi Ibnu Jarir ath-Thabari sebagaimana memberi keluargnya yang masing-masing seratus dinar. Kemudian Abu Ghayyats berkata kepada Ibnu Jarir, “Wahai pemuda, sesungguhnya engkau telah mendapatkan berkah, karena engkau tidak pernah melihat uang itu dan tidak pula menginginkannya. Dan saya nasehati kamu, bahwa uang itu adalah uang yang halal, maka jagalah ia. Dan ketahuilah, bahwa dulu saya shalat dengan baju usang ini. Setelah selesai, saya melepasnya dan menyerahkannya kepada keluarganya, dan mereka pun bergantian menggunakannya untuk shalat. Kemudian saya bekerja hingga antara waktu zhuhur dan ashar. Lalu saya kembali di sore hari dengan membawa rizki yang diberikan Allah kepada saya, berupa susu kering, kurma, roti-roti kering serta sedikit sayuran yang telah diawetkan. Setelah sampai di rumah, saya melepaskan baju saya ini, kemudian mereka bergantian memakainya untuk shalat maghrib dan isya`. Maka semoga Allah memberi manfaat kepada mereka dengan apa yang mereka peroleh dari uang itu. Dan semoga Allah juga memberi manfaat kepada saya dan dirimu dari uang yang kita peroleh. Semoga Allah mengasihi pemilik uang ini di dalam kuburnya, serta melipatgandakan pahala si pembawa uang itu.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Lalu saya berpamitan kepada Abu Ghayyats. Kemudian saya menggunakan uang itu untuk menulis ilmu selama dua tahun; saya menggunakannya untuk makan, membeli kertas, melakukan perjalanan dan memberi upah. Setelah tahun 256 H, saya bertanya kepada orang-orang tentang kakek-kakek tersebut di Mekkah. Lalu saya diberitahu bahwa dia meninggal dunia beberapa bulan setelah peristiwa itu. Lalu saya mendapati anak-anak perempuannya menjadi orang kaya. Sedangkan kedua saudara perempuan dan ibunya telah meninggal dunia. Ketika saya singgah di rumah para menantunya dan cucu-cucunya, dan saya ceritakan tentang peristiwa itu, mereka pun mengakrabi saya dan memuliakan saya”.

TOBAT KHAIR AN-NASSAJ

Ja’far al-Khuldi bercerita, “Aku pernah bertanya pada Khair an-Nassaj,  ‘Apakah menenun adalah pekerjaanmu?’
    Dia menjawab, ‘Bukan.’
    Aku bertanya lagi, ‘Jadi dari mana kamu dinamakan dengan nama itu?’
    Dia menjawab, ‘Dahulu aku pernah bersumpah kepada Allah untuk tidak makan kurma seharian, namun aku tidak tahan dan aku ambil setengah rotul, dan ketika aku baru memakan satu buah saja, tiba-tiba ada seorang yang memandangiku lantas dia berkata, ‘Hei Khair, kamu telah kabur dariku?’
    Orang itu memang mempunyai anak bernama Khair dan kabur darinya, aku pun dimiripkan dengannya. Orang-orang berkumpul seraya berkata, ‘Orang ini demi Allah memang Khair anakmu.’
    Aku terus merasa bingung dengan apa yang telah aku alami, dan segera mengenali dosa dan kesalahanku.
    Orang itu membawaku ke tokonya yang sering dipakai untuk memenjarakan anak-anaknya. Mereka berkata, ‘Hei hamba yang jelek, kamu lari dari tuanmu.’
    Masuklah dan kerjakan pekerjaanmu seperti yang biasa kamu kerjakan, dan orang itu menyuruhku untuk menganyam cambuk. Aku ulurkan kakiku untuk segera bekerja, seakan-akan aku telah bekerja bertahun-tahun, dan aku bersama selama empat bulan bekerja menganyam untuknya. Pada suatu malam aku terbangun lantas aku segera berwudhu, kemudian aku shalat malam. Pada saat aku bersujud aku berkata dalam sujudku, “Ya Allah ya Tuhanku, aku tidak akan mengulangi apa yang telah aku lakukan. Ketika datang waktu pagi, tiba-tiba penyerupaan itu hilang dari diriku, dan aku kembali seperti parasku semula. Kemudian aku segera dibebaskan. Namun, nama itu terus melekat pada diriku. Jadi, sebab nama an-Nassaj itu datang karena aku telah mengitu syahwat yang telah aku janjikan untuk tidak memakan buah kurma, sehingga Allah menyiksa aku dengan apa yang telah kamu dengar.”68
    Khair an-Nassaj sering berkata,  “Tidak ada nasab yang lebih mulia dari nasab orang yang telah Allah ciptakan dengan tangan-Nya dan belum memeliharanya. Dan tidak ada ilmu yang lebih tinggi orang yang telah Allah ajarkan nama-nama semuanya, dan belum mendatangkannya manfaat di waktu terjadinya takdir atasnya.”
    Dia berkata, “Rasa takut itu adalah cambuk Allah yang diterapkan pada diri kita, karena jiwa itu terbiasa untuk melakukan tingkah laku yang jelek. Ketika anggota tubuh telah membuat jelek tingkah laku, hal itu karena kelengahan hati dan kegelapan kejahatan.”
    Khair an-Nassaj adalah Khair bin Abdullah Abul Hasan an-Nassaj, seorang sufi dari warga Sarru man ra’ yang tinggal di Baghdad. Dia berteman dengan Abu Hamzah al-Baghdadi dan Sarri as-Saqathi, Ibrahim al-Khawwash, umurnya mencapai seratus dua puluh tahun dan wafat pada tahun 322 H.