TOBAT SYAIBAH BIN

Syaibah bin ‘Utsman bin Thalhah r.a. tetap terus dalam kekafiran dan permusuhannya kepada Islam sampai peristiwa Fathu Makkah. Pada peristiwa itu dia termasuk orang yang mendapat ampunan Rasulullah saw.. Pada saat Bani Hawazin dan Bani Tsaqif keluar untuk memerangi kaum Muslimin beberapa hari setelah peristiwa Fathu Makkah, Syaibah berkata pada dirinya, “Aku akan keluar bersama pasukan kaum Muslimin. Mudah-mudahan ketika mereka berbaur, aku terluka dari Muhammad karena kelengahan dan aku bisa menuntut pembelaan darinya, maka aku pun menjadi orang yang akan bertindak menuntut pembelaan semua orang-orang Quraisy.”
    Begitulah setan memerdayakan pemikirannya, dan Syaibah menceritakan apa yang terjadi pada peristiwa Perang Hunain seraya berkata, “Ketika orang-orang berbaur, Rasulullah saw. terhempas dari baghal-nya. Aku pun mencabut pedang lantas aku mendekat menginginkan apa yang sedang aku mau. Aku angkat pedangku, tiba-tiba ada kobaran api bagaikan kilat yang hampir saja menghanguskanku. Aku pun menutupi mataku dengan tanganku karena takut padanya, dan Rasulullah saw. menoleh seraya memanggilku, ‘Ya Syaibah, mendekatlah dariku,’ dan aku pun mendekatinya, lantas beliau mengusap dadaku seraya berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, lindungilah dia dari setan.’”
    Demi Allah, beliau saat itu menjadi orang yang paling aku cintai daripada pendengaran dan mataku, bahkan dari diriku sendiri. Allah swt. telah menghilangkan apa yang ada dalam diriku.
    Kemudian beliau berkata kepadanya, “Mendekatlah sana dan berperanglah.”
    Dia berkata, “Aku segera maju di hadapan beliau dan berperang dengan pedangku. Allah Mahatahu sesungguhnya aku lebih senang untuk menjaga beliau ketimbang diriku sendiri dan segala apa pun. Jika saja pada saat itu aku bertemu dengan ayahku kalau dia masih hidup, akan aku bunuh dengan pedang itu.”
    Ketika kaum Muslimin mundur ke belakang dan mereka menyerang satu serangan, aku pun mendekati baghal Rasulullah saw. dan beliau menaikinya kemudian beliau pergi mengikuti di belakang mereka sampai akhirnya mereka berpencar-pencar sementara beliau kembali ke perkemahan itu dan memasuki tenda beliau. Aku segera mendatangi beliau, dan beliau berkata kepadaku, “Wahai Syaibah, yang Allah kehendaki denganmu adalah suatu kebaikan daripada apa yang kamu kehendaki dengan dirimu sendiri.”62
    Kemudian beliau menceritakan kepadaku semua apa yang aku sembunyikan dalam diriku yang belum pernah aku sampaikan kepada seseorang sama sekali. Aku pun berucap, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah rasul utusan Allah.” Kemudian aku mintakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mintakanlah ampun untukku.” Beliau menjawab,  “Allah telah mengampunimu.”
    Begitulah tobatnya Syaibah r.a. dan dia ikut serta dalam peristiwa Perang Hunain bersama seratus orang-orang yang sabar dan menjalankan Islamnya dengan baik. Dia menjadi salah seorang pembesar sahabat Rasulullah saw., semoga Allah meridhainya.

Ibu Nabi Musa dan Keridhaannya terhadap Ketentuan Allah

Allah Swt berfirman,

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhakanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”. (al-Qashash: 7)
    Kisah ini berawal dari mimpi Fir’aun raja mesir. Dia melihat dalam mimpinya ada kobaran api yang muncul dari arah Baitul Maqdis menuju ke Mesir, dan akhirhya membumihanguskan bangunan rumah-rumah di Mesir serta membinasakan orang-orang Coptik —julukan bagi penduduk mesir asli--. Dan di saat yang sama, kobaran api tersebut sama sekali tidak membahayakan bagi keselamatan orang-orang Bani Israil. Fir’aun pun terbangun dengan penuh rasa takut. Kemudian dia mengumpulkan para peramal, orang-orang pintar dan para ahli sihirnya, lalu menanyakan kepada mereka tentang hakikat mimipinya. Mereka menjawab, “Mimpi itu menandakan bahwa akan lahir dari rahim mereka seorang anak laki-laki. Kelak dialah yang akan menjadi penyebab kehancuran bagi penduduk Mesir. Setelah mengetahui arti mimpinya itu, Fir’aun langsung memerintahkan untuk membunuh seluruh bayi laki-laki yang lahir, dan hanya membiarkan bayi-bayi perempuan.
    Selang beberapa lama setelah tentara Fir’aun menjalankan tugas mereka, yaitu membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir, penduduk Mesir menjadi khawatir dan mengadu pada Fir’aun bahwa jumlah orang-orang Bani Israil semakin sedikit. Mereka takut jika pembunuhan tersebut terus berlangsung, maka lambat laun seiring dengan perjalanan tahun akan mengakibatkan musnahnya Bani Israil. Dengan adanya pengaduan tersebut, Fir’aun memerintahkan agar pembunuhan dilakukan dengan berselang, yaitu setahun dilakukan setahun tidak.
    Tepat pada tahun berlangsungnya operasi pembunuhan tersebut Nabi Musa dilahirkan. Hanya saja ibu Nabi Musa berhasil menyembunyikan kehamilannya dari pantauan para pesuruh Fir’aun yang selalu mengawasi wanita-wanita Bani Israil. Para pesuruh Fir’aun, dengan bantuan para ahli kandungan memantau para wanita Bani Israil untuk mengetahui kehamilan mereka.
    Ketika Nabi Musa lahir di dunia dan berada di gendongan ibunya, terpikir oleh sang ibu apa yang akan dilakukannya. Dalam benaknya selalu terbayang, jikalau rahasia keberadaan anaknya diketahui anak buah Fir,aun, maka dia pasti akan dibunuh. Ibu Nabi Musa terus mencari akal untuk menyelamatkan anaknya. Pada saat itulah Allah memberikan wahyu padanya. Ibn Katsir dan yang lainnya menjelaskan bahwa wahyu yang diterima ibu Nabi Musa itu bukanlah wahyu yang sebagaimana diterima oleh para nabi, melainkan sekedar petunjuk yang diberikan Allah padanya. Dalam petunjuk tersebut, Allah memerintahkan ibu Nabi Musa untuk menyusui anaknya. Ketika dia khawatir anaknya akan dibunuh, Allah menyuruhnya supaya meletakkan anaknya tersebut dalam peti dan menghanyutkannya ke laut. Karena sesungguhnya Allah akan mengembalikannya padanya dalam keadaan selamat. Dan kelak Allah akan menjadikannya sebagai salah seorang Utusan-Nya.
    Ibu Nabi Musa menerima dengan penuh keridhaan apa yang telah menjadi qada dan qadar Allah. Dengan petunjuk Allah, dia menghanyutkan anaknya, Nabi Musa kecil, dalam sebuah peti ke laut. Kemudian anak tersebut ditemukan oleh keluarga Fir’aun. Para ahli tafsir menyebutkan, “Budak-budak perempuan menemukan Nabi Musa kecil dalam sebuah peti yang tertutup. Ketika itu mereka tidak berani membukanya hingga menyerahkannya pada Asiah istri Fir’aun. Ketika Asiah membuka peti tersebut, dia melihat wajah seorang bayi laki-laki yang memancarkan cahaya kenabian. Seketika itu juga dia langsung tertarik dan menyukainya. Sedangkan Fir’aun, tatkala melihat bayi tersebut dia langsung memerintahkan untuk membunuhnya. Akan tetapi istrinya mencegahnya dan berkata padanya, “Bayi ini adalah buah hati bagi saya dan kamu”. Lalu Fir’aun menyangkal dengan berkata, “Ya, buah hati bagimu tapi tidak bagiku”.
     Setelah Nabi Musa berada dalam asuhan Asiah, maka didatangkan untuknya para ibu susuan untuk menyusuinya. Akan tetapi Allah tidak mengizinkan seorang pun dari mereka menyusui Nabi Musa. Sampai suatu ketika datang saudari Nabi Musa dan berkata pada keluarga Fir’aun, “Maukah kalian saya tunjukkan pada seorang ibu yang dapat menyusui dan mengasuhnya?” Mereka ganti bertanya padanya, “Apa yang mendorongnya mau mengasuh dan menyayangi anak ini”. Agar mereka tidak curiga dia menjawab, “Untuk menyenangkan hati sang raja dan mengharap kebaikannya”.
    Demikianlah, akhirnya Nabi Musa kembali ke pangkuan ibunya. Dengan itu ibu Nabi Musa pun memperoleh kebahagiaan. Juga dengan menyusui anknya tersebut, yaitu Nabi Musa kecil dia  memperoleh upah dari Asiah istri Fir’aun.  Maha Suci Allah dan Maha Agung.

Abu Hurairah R.a. dan Keridhaannya kepada Allah

Abdullah bin Syaqiq berkata, “Saya tinggal bersama Abu Hurairah r.a. di Madinah selama satu tahun. Pada suatu hari dia berkata kepada saya ketika kami berada di kamar Aisyah r.a., “Engkau telah menyaksikan kondisi kami. Kami hanya mempunyai pakaian yang kasar. Dan salah seorang dari kami berhari-hari tidak menemukan makanan untuk menegakkan tulangnya, hingga ada yang mengambil batu lalu mengikatkannya di lambungnya untuk menegakkan tubuhnya.
    Dia juga berkata, “Makanan kami bersama Rasulullah saw. hanyalah kurma dan air. Dan kami tidak pernah melihat gandum kalian ini dan kami juga tidak tahu apa ini. Dan pakaian kami, ketika masih bersama Rasulullah saw., hanyalah Namar ( jubah orang-orang Arab pedalaman )”.