Laits bin Sa

Muhammad bin Musa ash-Shaigh berkata, “Aku mendengar Mansur bin Ammar—seorang dai terkenal di masanya—berkata, ‘Suatu hari aku menyampaikan pengajian di salah satu masjid di Mesir. Tiba-tiba datang dua orang lelaki yang langsung berdiri di depan halaqah (majelis pengajian). Keduanya berkata, ‘Temuilah Imam Laits.’
Aku segera menemuinya. Dia berkata, “Engkau yang menyampaikan pelajaran di masjid?”
“Ya,” jawabku.
“Ulangi lagi apa yang telah kamu sampaikan di masjid.”
Mansur bin Ammar mengulang kembali apa yang telah disampaikannya di masjid. Kemudian Imam Laits bin Sa’ad menangis sejadi-jadinya, lalu dia berkata,
“Siapa namamu?”
“Mansur.”
“Anak siapa?”
“Anak (bin) Ammar.”
“Abu Sari?”
“Ya.”
“Alhamdulillah yang belum memanggilku sebelum aku bertemu denganmu.”
Kemudian Imam Laits berkata, “Wahai pembantu!” Pembantunya langsung datang dan berdiri di depannya.
“Ambillah kantong itu.”
Pembantunya datang membawa kantong yang berisi seribu dinar.
Imam Laits berkata, “Wahai Abu Sari, ambillah ini dan jaga dirimu dari (minta-minta kepada) para penguasa dan jangan puji siapa pun di antara para makhluk setelah kamu memuji Tuhan semesta alam. Dan aku telah berjanji untuk memberimu sebanyak ini setiap tahun.”
Aku berkata, “Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya Allah sudah banyak memberiku nikmat dan karunia.”
Laits berkata, “Jangan tolak sesuatu pun yang aku berikan padamu untuk menyambung silaturrahmi denganmu.”

Akhirnya Mansur bin Ammar mengambil uang seribu dinar itu lalu  dia pulang. Laits berpesan agar dia kembali datang pada Jumat berikutnya.
Pada Jumat berikutnya, Mansur kembali datang. Laits berkata, “Sampaikanlah sesuatu.”
Laits meminta Mansur untuk menyampaikan nasihat. Mansur bin Ammar pun mulai bicara. Laits menangis sejadi-jadinya mendengarkan nasihat dari Mansur. Ketika dia ingin pulang, Laits berkata, “Lihatlah apa di bawah bantal itu!” Setelah dilihat Mansur, ternyata uang sejumlah lima ratus dinar. Ketika Mansur berniat untuk menolaknya, Laits berkata, “Jangan tolak apapun yang aku berikan untuk menyambung silaturahmi denganmu.”
Laits meminta Mansur untuk kembali datang pada Jumat berikutnya.
Ketika Mansur datang pada Jumat berikutnya, dia segera berkata, “Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal.”
Laits berkata, “Sampaikanlah sesuatu kepadaku untuk mengenangmu.”
Mansur bin Ammar mulai berbicara. Laits kembali menangis dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Kemudian dia berkata, “Wahai Mansur, lihatlah apa yang ada di bawah bantal itu!”
Ternyata uang tiga ratus dinar yang telah dia siapkan untuk haji. Kemudian dia berkata, “Wahai pembantu, ambilkan kain ihram untuk Mansur!”
Pembantu itu datang membawa empat puluh kain ihram.
Mansur berkata, “Semoga Allah merahmatimu, aku hanya butuh dua helai saja.”
Laits berkata, “Engkau seorang yang mulia dan tentu banyak orang yang akan pergi bersamamu, maka berikanlah kepada mereka.”
Kemudian Laits berkata kepada pembantu yang tadi membawa pakaian, “Pembantu ini aku berikan padamu.”
Semoga Allah merahmati Imam Laits bin Sa’ad.

Ibrahim bin Adham dan Keridhaannya kepada Allah

Yunus bn Sulaiman al-Bulkhi berkata, “Awalnya Ibrahim bin Adham termasuk orang-orang yang kaya. Harta ayahnya melimpah dan mempunyai banyak budak. Pada suatu hari Ibrahim pergi bersama para budak, para pembantu, kuda-kuda dan burung-burung elangnya untuk berburu.
    Ketika dalam perjalanan, dan Ibrahim sedang memacu kudanya, tiba-tiba terdengar suara dari atasnya yang melafalkan,

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main ( saja ), dan bahwa kamu  tidak akan dikembalikan kepada kamia?”. ( al-Mu`minuun: 115 ). Bertakwalah kepada Allah, dan engkau harus mencari bekal untuk hari yang penuh kesulitan”.
Maka Ibrahim pun langusng turun dari kudanya, kemudian meninggalkan kemewahan dunia dan beramal untuk akhirat.
Bisyr Ibnul Mundzir berkata, “Dulu, ketika saya melihat Ibrahim bin Adham, seakan-akan dia adalah tubuh tanpa daging. Apabila angin menerpanya pasti dia terjatuh. Kulitnya menjadi hitam dan dia memakai mantel”.
Ibrahim bin Basysyar berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Adham berkata, “Saya tidak pernah meminta bekal kepada teman-teman saya dan orang lain kecuali karena sesuatu”.
“Apa itu wahai Abu Ishaq?”, tanyaku.
Dia menjawab, “Awalnya saya tidak mau bekerja memetik buah-buahan dengan diupah. Akan tetapi kemudian mereka memerlukan saya dan mengupah saya. Maka itulah beban yang saya timpakan kepada mereka”.