Bagaimana Aku Tidak Rindu kepada Engkau Sementara Engkaulah yang Membuatku Rindu

Dalam buku Shifatush Shafwah, Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan bahwa istri Abu Ali ar-Ruzabari rahimahallah yang biasa dipanggil Azizah, apabila melaksanakan qiyamullail di kegelapan malam, dia akan bermunajat kepada Tuhannya. Dia seraya berkata, “Bagaimana aku tidak berharap untuk memperoleh apa yang di sisi-Mu, sementara kepada-Mu jua aku akan kembali? Bagaimana aku tidak mencintai-Mu sementara aku tidak pernah memperoleh kebaikan kecuali dari-Mu? Bagaimana aku tidak rindu kepada Engkau, sementara Engkaulah yang membuatku rindu?”
Ketika para jamaah haji dari daerah Mesir berangkat ke Tanah Suci, dia juga pergi bersama mereka. Dia tidak dapat menahan dirinya dari tangisan karena sangat rindu pada Baitullahul Haram. Kemudian  dia melantunkan,

Aku katakan biarkan aku mengikuti kafilah kalian
Aku akan patuh pada kalian layaknya seorang budak
Bagaimana aku tidak akan membantu mereka
Padahal mereka tahu bahwa aku sangat membutuhkan mereka

Kemudian dia berkata, “Inilah derita perasaan orang yang takut tidak sampai ke Baitul Haram, apalagi derita perasaan orang yang takut tidak sampai kepada Tuhan Baitul Haram itu sendiri.”

Imam Syahid yang Membaca Al-Qur

Ahmad bin Nashr al-Khuza’i adalah salah seorang ulama besar yang selalu menyuruh kepada yang ma’ruf. Dia belajar hadits kepada Malik bin Anas dan Hamad bin Zaid. Bersama Imam Ahmad, dia juga turut diuji dalam masalah khuluqul Qur`an yang digerakkan oleh Mu’tazilah di masa kekhilafahan Ma`mun (seorang khalifah Bani Abbasiyah).
Dia diuji oleh khalifah al-Watsiq, tetapi dia tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, sehingga akhirnya khalifah membunuhnya pada hari Sabtu di awal bulan Ramadhan tahun 231 H. Jasadnya disalib di kota Riyy lalu kepalanya dikirim ke Baghdad dan digantung selama enam tahun. Setelah itu baru dikubur di wilayah timur dari kota Baghdad tahun 237 H.
Ibrahim bin Ismail bin Khalaf menceritakan, “Ahmad bin Nasr adalah sahabatku. Ketika dia dibunuh dalam tragedi itu dan tubuhnya disalib, aku diberitahukan bahwa kepalanya yang sudah terpenggal itu membaca Al-Qur’an. Aku pergi ke tempat kepalanya digantung dan bermalam di sana sambil mengamati kepala itu. Di dekat kepala itu, banyak tentara yang menjaga. Ketika malam sudah sunyi aku mendengar kepala itu membaca ayat,
KHAT
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?”

Tubuhku gemetar melihat hal itu. Pada malamnya aku bermimpi bertemu dengannya yang sedang memakai pakaian sutera gemerlap dan di kepalanya ada mahkota. Aku bertanya, “Apa yang dilakukan Allah kepadamu?”
Dia menjawab, “Allah mengampuniku dan memasukkanku ke surga, akan tetapi aku sedikit murung dalam tiga hari ini?”
“Kenapa?” tanyaku.
“Rasulullah saw. lewat di hadapanku. Ketika sampai di depan kayu tempat aku disalib beliau memalingkan wajahnya dariku. Setelah itu, aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku berada pada pihak yang benar?’
Beliau menjawab, ‘Engkau berada pada pihak yang benar, tetapi yang membunuhmu adalah salah seorang keturunanku. Maka, ketika aku lewat di depanmu aku menjadi malu kepadamu.”
Ibrahim bin Hasan menceritakan, “Beberapa sahabat kami bermimpi bertemu dengan Ahmad bin Nasr setelah dia dibunuh. Dia ditanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?”
Dia menjawab, “Bagaikan tidur, sesaat setelah bangun aku langsung bertemu dengan Allah dan Dia tersenyum kepadaku.”
Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas.

TOBAT DARI SYAIR SINDIRAN


    Mu’awiyah bin Abdul Karim dari ayahnya berkata, “Suatu hari aku pernah datang ke al-Farazdiq dan aku ingin ngobrol bersamanya. Aku mendengar suara besi yang saling beradu, hingga kuperhatikannya. Ternyata dia kedua kakinya terikat, aku lalu bertanya tentang sebab-sebabnya.”
    Dia berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku telah bersumpah kepada diriku untuk tidak membuka ikatan belenggu ini dari kaki sampai aku mampu menghafal Al-Qur’an.”
    Diceritakan bahwa dia pernah bergantungan di kiswah Ka’bah dan berjanji kepada Allah untuk meninggalkan sya’ir yang menyindir dan menuduh orang berbuat zina, dia berkata dalam syairnya, 
    Tidakkah kamu melihatku dan aku telah berjanji pada Tuhanku
    Dan sesungguhnya aku berada antara pintu besar yang berdiri tegak
dan sebuah maqam
    Atas satu sumpah, aku tidak akan lagi mencaci maki
seorang muslim selamanya
    Dan tidak akan lagi keluar dari mulutku kata-kata kotor dan bohong
    Aku telah menaati kamu wahai iblis sembilan puluh alasan
    Ketika umurku habis dan aku sudah tamat
    Aku pun takut pada Tuhanku dan aku yakin bahwa aku
    Akan bertemu dengan hari-hari kematian bagi kematianku

Laki-Laki yang Kesedihan telah Memutuskan Jantungnya

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Shalih bin Khalifah al-Kufi. Dia berkata, “Aku  mendengar Sufyan ats-Tsauri mengatakan bahwa sesungguhnya para qari` (pembaca Al-Qur’an) yang jahat telah menjadikan Al-Qur’an sebagai tangga untuk mendapatkan dunia. Mereka berkata, ‘Kita datangi para pemimpin, lalu kita lapangkan kesulitan yang mereka rasakan, dan kita berbicara tentang harta-harta yang ditahan dari hak-haknya.’”
Ali bin Hamzah keponakan Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku pernah membawa air seni Sufyan ats-Tsauri kepada seorang penghuni gereja yang ahli kimia. Dia tak pernah keluar dari gerejanya. Aku perlihatkan kepadanya air seni itu.”
Dia berkata, “Ini bukan air seni seorang muslim.”
“Benar, demi Allah, bahkan  dia seorang muslim yang paling mulia,” kataku.
“Aku akan datang bersamamu (menemui Sufyan),” katanya.

Setelah sampai di rumah, aku berkata pada Sufyan, “Dia sendiri yang datang.”
“Persilakan  dia masuk!” kata Sufyan.
Aku lalu mempersilakan laki-laki itu masuk. Ketika dia masuk, keringat bercucuran di wajahnya lalu dia keluar lagi.
“Apa yang kau lihat?” tanyaku padanya.
“Aku tak mengira bahwa dalam Islam ada orang seperti ini. Ini laki-laki yang kesedihan telah memutuskan jantungnya.”
       Yusuf bin Asbath berkata, “Sufyan ats-Tsauri, kalau sudah berpikir maka air seninya akan berdarah.”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Sufyan ats-Tsauri pernah bermalam di rumahku. Ketika dia merenung lebih dalam, dia akan menangis. Lalu seseorang bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, kau seperti orang yang banyak dosa.’”
Sufyan mengangkat sesuatu dari tanah, lalu berkata, “Demi Allah, sungguh dosaku lebih enteng bagiku, akan tetapi aku khawatir imanku tercabut sebelum aku mati.” 
Begitulah orang-orang yang mengenal Allah swt., dan selalu takut pada kengerian hari Kiamat, serta senantiasa berpikir tentang kerajaan Allah, menjaga hukum-hukum Allah, takut kepada azab-Nya, dan mengharapkan rahmat-Nya.

Salman al-Farisi dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Salman al-Farisi r.a. berasal dari Negeri Ashfahan. Ayahnya adalah seorang tokoh agama Majusi penyembah api di daerahnya. Dan ayah Salman mempunyai kebun yang sangat luas.
Pada suatu hari Salman melewati sebuah gereja dan dia mendengar doa-doa para rahib dan para pendeta dari dalamnya, maka dia pun tertarik dengannya. Lalu dia pun meninggalkan ayahnya dan kebunnya, lalu pergi menuju Syam, pusat agama Nashrani. Kemudian Salman pun berpindah-pindah dari biara ke biara Nashrani, menyembah Allah sesuai ajaran agama mereka. Akhirnya dia bertemu dengan seorang rahib di Amuriya dan dia pun tinggal di tempatnya. Ketika itu, Salman beberapa ekor sapi dan kambing untuk mencari rizki. Ketika rahib tersebut hampir meninggal dunia, Salman berkata kepadanya, “Wahai tuan, dulu saya ikut seorang rahib, lalu dia berwasiat agar ikut rahib fulan. Kemudian rahib tersebut berwasiat agar saya ikut rahib fulan. Kemudian rahib itu berwasiat kepadaku agar ikut si fulan. Kemudian dia berwasiat agar saya mengikutimu. Oleh karena itu, siapakah yang harus saya ikuti setelah ini? Berwasiatlah kepada saya”.
Rahib itu pun berkata, “Wahai anakku, demi Allah, saya tidak tahu seorang pun yang menunaikan agama ini sebagaimana kami menunaikannya untuk engkau ikuti. Akan tetapi engkau telah masuk ke suatu masa yang di dalamnya diutus seorang nabi dengan membawa agama Nabi Ibrahim. Dia muncul di negeri Arab, lalu hijrah ke suatu negeri yang terletak di antara dua gunung batu yang di dalamnya terdapat kebun-kebun kurma. Dia mempunyai tanda-tanda yang jelas; dia mau menerima dan memakan pemberian yang berupa hadiah, namun dia tidak mau menerima dan memakan sedekah. Di punggungnya, di antara kedua pundaknya, terdapat stempel tanda kenabian. Jika engkau bisa datang ke negeri itu, maka lakukanlah”.
Salman berkata, “Kemudian rahib itu pun meninggal dunia dan dikuburkan. Kemudian saya menetap di Ammuriya cukup lama. Kemudian pada suatu hari rombongan dari kabilah Kulb  melewatiku. Maka saya bertanya kepada mereka, “Apakah kalian mau membawa saya menuju ke negeri Mekkah dan saya akan memberikan semua sapi dan kambing saya ini?”
Mereka menjawab, “Ya”.
Lalu saya memberikan semua ternak yang saya miliki, dan mereka membawa saya. Namun ketika sampai di Wadil Qura, mereka berbuat zalim kepada saya; mereka menjual saya kepada seorang Yahudi. Maka saya pun ikut orang Yahudi tersebut di Wadil Qura –sebuah tempat dekat Madinah—. Lalu saya melihat kebun kurma, maka saya pun berharap itu adalah negeri yang disebutkan oleh rahib yang saya ikuti, namun ketika saya tidak mempunyai hak terhadap diri saya sendiri”.
Lalu Salman pindah dari desa Wadil Qura menuju tempat Bani Quraizhah di Madinah yang ketika itu masih bernama Yatsrib. Ketika melihat Yatsrib, Salman langsung mengenalinya sebagaimana diterangkan oleh rahib yang pernah dia ikuti. Salman terus bersabar menjadi budak pada orang Yahudi, padahal sebelumnya dia adalah orang merdeka yang berasal dari keluarga terpandang, baik dari sisi kekayaan maupun kedudukan. Dia ridha dengan qadha Allah karena mencari agama yang benar.
Setelah Muhammad saw. diangkat menjadi rasul dan hijrah ke Madinah, Salman mendatangi beliau dengan membawa kurma yang sengaja dia kumpulkan untuk menguji beliau. Lalu Salman berkata kepada Rasulullah saw. ketika sedang berada di Qubba`, “Saya mendengar bahwa engkau adalah orang yang baik yang datang bersama sahabat-sahabatmu. Kalian adalah orang-orang asing di daerah ini dan kalian sedang membutuhkan bantuan. Ini saya mempunyai sesuatu untuk sedekah. Dan saya melihat kalian adalah orang-orang yang lebih membutuhkannya dari pada orang lain”.
Lalu Salman mendekatkan kurma tersebut kepada Rasulullah saw.. Maka beliau berkata kepada para sahabat beliau, “Makanlah kalian”. Sedangkan beliau tidak ikut makan, maka Salman berkata kepada dirinya sendiri, “Ini satu tanda kenabiannya”.
Maksud Salman salah satu sifat Nabi tersebut telah nampak nyata, sebagaimana dikatakan oleh rahib yang pernah diikutinya tentang seorang nabi yang dinanti-nanti kedatangannya. Sifat tersebut adalah dia tidak mau makan dari sedekah.
    Kemudian dengan membawa sejumlah kurma yang telah dia kumpulkan Salman datang sekali lagi menghadap Nabi saw. yang ketika itu sedang berada di Madinah. Lalu Salman berkata kepada Rasulullah saw., “Saya lihat engkau tidak mau makan dari hasil sedekah. Maka ini hadiah untukmu yang dengannya saya memuliakanmu”.
Maka Nabi saw. memakan darinya dan memerintahkan para sahabat beliau untuk ikut memakannya. Maka Salman pun berkata kepada dirinya sendiri, “Ini tanda yang kedua”.
Kemudian Salman mendatangi Rasulullah saw. lagi ketika beliau sedang  duduk di antara para sahabat di Baqi’ Gharqad, tanah pekuburan di Madinah, setelah menghantar jenazah seorang sahabat beliau. Ketika itu beliau mengenakan dua jubah. Lalu Salman mengucapkan salam kepada beliau. Kemudian Salman berputar ke belakang Nabi saw. untuk melihat stempel tanda kenabian yang ada di punggung beliau, sebagaimana disebutkan oleh sang rahib. Salman terus memperhatikan punggung Rasulullah saw. hingga Nabi saw. melepaskan sorban beliau dari punggung beliau. Maka Salman pun melihat stempel tanda kenabian di antara dua pundak beliau. Maka Salman pun langsung menubruk punggung Nabi saw. dan menciumnya sembari menangis. Maka Nabi saw. pun bersabda kepadanya, “Berputarlah”.
Maka Salman pun berpindah ke depan Nabi saw. dan menyebutkan kisahnya, hingga dia menjadi budak sehingga dia tidak bisa ikut dalam perang Badar dan Uhud.
Kemudian Nabi saw. memerintahkannya untuk membuat kesepakatan dengan tuannya –seorang Yahudi— untuk melakukan mukaatabah . Maka Salman pun melakukannya, dan Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Bantulah saudara kalian”. Maka mereka pun membantunya.
Salman melakukan mukaatabah dengan tuannya dengan membayar tiga ratus pohon kurma yang dia tanam ditambah empat puluh auqiyah kurma. Maka orang-orang muslim membantu melunasi pohon kurmanya dan Rasulullah saw. memberinya sebuah emas sebesar telur. Lalu ketika ditimbang sisanya pun diberikan kepada yahudi tersebut. Demikianlah, akhirnya Salman menjadi orang merdeka sebagaimana semula. Kemudian dia pun ikut andil dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah saw..

Keridhaan Nabi Adam A.s. kepada Qadha dan Qadar Allah

Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Pada suatu ketika Adam dan Musa berdebat. Musa berkata kepada Adam, “Adam, karena dosamu engkau mengeluarkan manusia dari surga dan membuat mereka sengsara”.
Adam berkata, “Wahai Musa, engkau yang dipilih Allah dan diberi risalah dan kalam-Nya, maka apakah engkau menyalahkan saya karena sesuatu yang telah Allah tentukan atas diri saya sebelum menciptakan saya?”
Maka Adam pun membuat Musa terdiam”.
Dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya, dari Umar Ibnul Khathab r.a., dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Musa berkata, “Wahai Tuhan, perlihatkanlah kepada kami ayah kami, Adam, yang telah mengeluarkan kami dan dirinya dari surga”.
Lalu Allah memperlihatkan Adam kepadanya.
Maka Musa berkata kepada Adam, “Engkau Adam?”
Adam menjawab, “Ya, saya Adam”.
Musa bertanya lagi, “Apa yang membuatmu mengeluarkan kami dan dirimu sendiri dari surga?”
Adam balik bertanya, “Engkau siapa?”
Musa menjawab, “Saya Musa”.
Adam bertanya lagi, “Engkau seorang Nabi Bani Israel? Engkau yang diajak bicara oleh Allah dari balik hijab, tanpa perantara makhluk-Nya?”
Musa menjawab, “Ya”.
Adam berkata, “Mengapa engkau menyalahkan saya karena sesuatu yang telah Allah tetapkan dalam qadha-Nya sebelum saya diciptakan?”
Dengan pertanyaan itu, Adam pun mengalahkan Musa”.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Adam berkata, “Bukankah engkau Musa yang dipilih Allah dengan risalah dan kalam-Nya. Engkau pula yang Dia beri lembaran-lembaran yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu dan Dia juga mendekatkanmu kepada-Nya di waktu engkau bermunajat kepada-Nya? Berapa lamakah Allah menuliskan Taurat untukmu?”
Musa menjawab, “Selama empat puluh tahun”.
Adam bertanya lagi, “Apakah engkau mendapati di dalamnya, “Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia”?
Musa menjawab, “Ya”.
Adam bertanya lagi, “Apakah engkau menyalahkan saya karena saya melakukan sesuatu yang telah Allah tetapkan sebelum menciptakan saya selama empat puluh tahun?”
Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Dengan itu Adam pun mengalahkan Musa”.

Orang Tertipu adalah Orang yang Kalian Tipu

Al-Baihaqi dan yang lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Aku datang menjenguk Umar ibnul Khaththab r.a. setelah dia ditusuk dengan tombak. Aku berkata kepadanya, ‘Bergembiralah dengan surga Allah wahai Amirul Mukminin. Engkau telah ber-Islam ketika orang-orang masih kafir, engkau telah berjihad bersama Rasulullah saw. ketika orang-orang memusuhinya, Rasulullah saw. wafat dalam keadaan ridha kepadamu dan tidak ada orang yang menentang kekhilafahanmu, dan engkau terbunuh dalam keadaan syahid.’
Umar berkata, ‘Coba ulangi lagi!’
Aku lalu mengulanginya. Dia berkata, ‘Demi Allah, yang tidak ada tuhan selain-Nya, seandainya aku memiliki emas dan perak sepenuh bumi niscaya akan aku korbankan untuk menebus hari yang sangat dahsyat nanti. Sesungguhnya orang tertipu adalah orang yang kalian tipu.’”
Ibnu Mubarak dalam kitab az-Zuhd dan Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat-nya meriwayatkan bahwa putra Umar, Abdullah, meletakkan kepala ayahnya di atas pahanya di saat dia sedang sekarat. Umar berkata, “Letakkan kepalaku di atas lantai.”
Abdullah bin Umar berkata, “Apa bedanya di atas lantai atau di atas pahaku.”
Umar sedikit marah, “Letakkan di atas lantai!”
Abdullah masih mencoba membujuk, “Bukankah pahaku dan lantai adalah sama?”
“Letakkan pipiku di atas lantai!”
Abdullah berkata, “Akhirnya, aku meletakkan di atas lantai, lalu aku mendengarnya berkata, ‘Celakalah aku seandainya Tuhanku tidak mengasihiku, celakalah aku seandainya Tuhanku tidak mengampuniku.’ Dia terus mengucapkan hal itu sampai ruhnya melayang menuju Tuhannya.”
Umar ibnul Khaththab tidak tertipu dan sombong dengan apa pun yang dikatakan tentangnya. Yang dia inginkan adalah memohon belas kasih Tuhannya di detik-detik terakhir kehidupannya agar dia dimaafkan. Begitulah kondisi setiap mukmin yang mencintai Allah swt., takut kepada azab-Nya dan mengharap rahmat serta ampunan-Nya. Semoga Allah meridhainya.

Tamim ad-Dari dan Keridhaan kepada Allah

    Yazid bin Abdullah bercerita, “Seorang lelaki berkata kepada Tamim ad-Dari, “Bagaimana shalatmu di malam hari?”
Maka Tamim ad-Dari pun tidak suka mendengar pertanyaan itu dan berkata, “Demi Allah, satu rakaat yang saya lakukan di tengah malam secara diam-diam, lebih saya sukai dari pada saya melakukannya di seluruh waktu malam kemudian saya menceritakannya kepada orang-orang”.
Maka lelaki tersebut ikut kesal dan berkata, “Allah lebih tahu akan kondisi kalian wahai para sahabat Rasulullah saw.. Kalau kami bertanya kepada kalian, kalian bersikap kasar kepada kami, jika kami tidak bertanya, kalian meremehkan kami”.
Maka Tamim ad-Dari berkata kepadanya, “Bagaimana menurutmu, jika engkau seorang mukmin yang imannya kuat sedangkan saya seorang mukmin yang imannya lemah, lalu apakah saya akan memberikan kepadamu melebihi apa yang diberikan Allah kepadamu? Akan tetapi ambillah bagian dari agamamu untuk dirimu dan ambillah dari dirimu sendiri untuk agamamu, hingga engkau dapat istiqamah dalam beribadah sesuai dengan kemampuanmu”.
Muhammad ibnul Munkadir meriwayatkan bahwa pada suatu malam, Tamim ad-Dari tidur hingga pagi dan tidak melakukan shalat tahajjud. Maka karena hal itu, dia pun tidak tidur malam selama satu tahun, sebagai hukuman atas apa yang dilakukannya itu”.

HANYA KEPADA-MU KAMI MENYEMBAH DAN HANYA KEPADA-MU KAMI MEMINTA PERTOLONGAN

Yusuf ibnul Husain bercerita, “Ketika aku bertemu dengan Dzun Nun al-Mashri36—salah seorang ahli zuhud dan ibadah dari Mesir—aku bertanya kepadanya, ‘Wahai syeikh, dahulu bagaimana awal-awal dirimu?’”
    Dia berkata, “Dahulu waktu aku masih sebagai seorang anak muda, aku adalah orang yang selalu berhura-hura dan bermain-main. Kemudian aku bertobat dan aku tinggalkan perbuatan itu. Aku pun pergi untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullahil Haram dengan membawa sedikit perbekalan. Aku berangkat dengan sebuah kapal bersama para saudagar Mesir, juga ikut bersama kami dalam kapal itu seorang anak muda tampan yang wajahnya seakan bersinar. Ketika kami di tengah perjalanan tiba-tiba si pemilik kapal itu kehilangan dompet yang di dalamnya berisi uang, dia pun memerintahkan untuk menahan kapal itu dan menggeledah semua orang yang ada di kapal beserta barang bawaan mereka.
    Ketika penggeledahan sampai pada giliran anak muda itu, anak muda itu langsung melompat dari kapal itu ke laut dan dia duduk di atas gelombang ombak laut. Ombak laut itu sepertinya sutera baginya dan kami melihatnya dari atas kapal, anak muda itu berkata, “Wahai tuanku, mereka semua menuduhku. Sesungguhnya aku bersumpah wahai kekasih hatiku agar Engkau perintahkan semua binatang di tempat ini untuk mengeluarkan kepalanya dan dimulutnya sebuah permata.”
    Dzun Nun berkata, “Baru saja dia selesai berkata, kami pun langsung melihat binatang-binatang laut itu yang ada di depan kapal dengan mengeluarkan kepalanya dan di mulut masing-masing binatang itu ada sebuah permata yang berkilau.”
    Kemudian anak muda itu melompat dari atas ombak ke laut dan berjalan di atas air dengan sangat menakjubkan seraya berkata,

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan,”
sampai akhirnya dia hilang dari penglihatanku.
    Inilah yang membawa aku untuk bertualangan di bumi ini. Aku teringat sabda Nabi saw.,

“Di dalam umat ini akan terus ada tiga puluh orang yang hati mereka seperti hati Ibrahim Khalilur Rahman. Setiap kali satu dari mereka meninggal dunia maka Allah akan mengganti posisinya dengan seorang yang lain.”37 (Mereka itu adalah Abdal seperti dalam istilah para ulama sufi)
    Kalau saja tidak ada mereka, para wali yang saleh, maka dunia ini akan rusak dan Allah akan menurunkan murka-Nya kepada para hamba-Nya yang selalu berbuat maksiat, mereka yang berdosa.
    Dan Dzun Nun berkata, “Berteman dengan orang-orang saleh akan membuat kehidupan menjadi baik dan kebaikan itu berkumpul pada berteman dengan orang saleh. Jika kamu lupa, dia akan mengingatkanmu. Jika kamu ingat, dia akan membantumu.”
    Kemudian Dzun Nun menasihati orang yang bertanya kepadanya, “Siapa orang yang mesti aku temani?”
    Dia menjawab, “Kamu harus berteman dengan orang yang selalu mengingatkanmu kepada Allah swt.. Jika kamu melihatnya, kewibawaannya berada dalam batin dirimu dan kata-katanya selalu membuat amal ibadah kamu bertambah, amal perbuatannya membuat kamu berzuhud terhadap dunia, kamu tidak akan bermaksiat kepada Allah selama kamu berada dekat dengannya, dia selalu menasihati kamu dengan lisan perbuatannya dan tidak menasihati kamu dengan lisan ucapannya.
    Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya sebaik-baik nasihat adalah nasihat dengan amal perbuatan dan bukan dengan kata-kata, karena agama adalah tindakan dan amal perbuatan.

Saya Ridha Dengan Qadha Allah, baik Berupa Kesulitan Maupun Kemudahan

Abu Nu’aim menyebutkan di dalam kitab Hilyatul Auliya` dari Azhar bin Aun, dia berkata, “Pada suatu hari, seorang budak Ibnu Aun menghadap kepadanya, lalu dengan nada ketakutan dia berkata, “Saya telah melukai mata untamu hingga buta”.
Abdullah bin Aun malah berkata, “Semoga Allah memberkahimu”.
Budaknya pun dengan heran berkata, “Saya telah membutakan mata untamu, namun engkau malah berkata, “Semoga Allah memberkahimu?”
Abdullah bin Aun berkata, “Engkau saya merdekakan demi Allah semata”.
Abdullah bin Aun juga pernah berkata, “Saya ridha dengan qadha Allah, baik yang sulit maupun yang mudah. Karena dengan itu kegelisahan akan menjadi ringan dan kebaikan akhirat yang engkau cari lebih mudah untuk kau dapatkan. Dan ketahuilah, bahwa seorang hamba tidak mencapai hakikat ridha, hingga keridhaannya ketika fakir dan ditimpa musibah sama dengan  keridhaannya ketika dalam keadaan cukup dan penuh optimis.
Bagaiman engkau meminta keputusan Allah dalam perkaramu, kemudian engkau marah jika melihat qadha-Nya bertentangan dengan keinginanmu?”

Ahmad bin Hanbal Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang Imam yang empat. Ia seorang yang tsiqah, kuat hafalan, ahli fiqih dan hadits. Ia hafal sebanyak sejuta hadits seperti yang dikatakan oleh Abu Zur'ah. Hal itu ditanyakan pada Abu Zur'ah: "Bagaimana engkau tahu ia hafal sebanyak itu?" Abu Zur'ah berkata: "Aku pernah diskusi dengannya dan aku banyak menerima bab-bab hadits darinya."
Ibrahim al-Harbi berkata tentang Ahmad bin Hanbal: "Aku perhatikan Ahmad bin Hanbal seolah-olah Allah telah menghimpun dalam dirinya ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian dari berbagai cabangnya. Ia mampu berbicara tentang apa saja." 

Imam Ahmad mendapat ujian yang besar dan fitnah yang berat di masa Khalifah al-Makmun bin Harun ar-Rasyid (seorang Khalifah Bani Abbasiyah) yaitu fitnah khalqul Qur`an yang sengaja dibuat-buat oleh golongan Mu'tazilah dan diikuti oleh Al-Makmun lalu ia paksakan kepada ulama dan umat dengan menggunakan kekuatan pedang.

Pemikiran yang ingin dipaksakan oleh Khalifah ini adalah bahwa Al-Qur`an itu adalah makhluk sama dengan yang lain dan bukan sifat diantara sifat-sifat Allah yang qadim. Imam Ahmad bin Hanbal menolak pemikiran yang mengatakan Al-Qur`an adalah makhluk ini. Dengan tegas ia hadapi golongan Mu'tazilah dan Khalifah sendiri, sementara ulama-ulama lainnya mengambil sikap yang lunak dan menyetujui pemikiran tersebut. Hanya sedikit ulama yang berada di pihak Imam Ahmad bin Hanbal yang tercatat dalam sejarah Islam; tak lebih dari dua orang dimana salah seorang dari keduanya wafat karena beratnya siksaan yang diterimanya.

Khalifah al-Makmun memerintahkan untuk memenjarakan Ahmad bin Hanbal dan menyiksanya. Ketika dicambuk, Imam Ahmad tetap berkata: "Al-Qur`an adalah kalamullah dan bukan makhluk."

Maymun bin al-Ashbagh menceritakan: "Saat aku berada di Baghdad aku mendengar orang-orang ribut. Aku bertanya: "Apa yang terjadi?"
Mereka berkata: "Ahmad bin Hanbal tengah disiksa."
Aku mencoba masuk ke dalam ruangan tempat ia disiksa untuk melihatnya. Ketika dicambuk ia berkata: "Bismillah." Dicambuk kedua kalinya ia berkata: "La haula wala quwwata illa billah." Dicambuk ketiga kalinya ia berkata: "Al-Qur`an adalah kalamullah bukan makhluk." Dicambuk keempat kalinya ia membaca:

"Katakanlah, tidak ada yang akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah." ( at-Taubah: 51) Ia dicambuk sebanyak dua puluh sembilan kali.

Selama tiga tahun Imam Ahmad bin Hanbal berada dalam kondisi seperti ini yaitu di masa kekhilafahan al-Makmun dan saudaranya al-Mu'tashim. Mereka menyiksanya agar ia mau mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk. Saat disiksa itu usianya telah lebih lima puluh tahun.

Ia berdoa kepada Allah dengan doa ini: "Ya Allah, siapa yang mengikuti hawa nafsunya atau pendapat pribadinya sementara ia mengira bahwa ia berada dalam pihak yang benar padahal tidak maka kembalikanlah ia pada yang benar agar tidak satupun dari umat ini yang tersesat. Ya Allah, jangan sibukkan hati kami dengan sesuatu yang telah Engkau jamin untuk kami, jangan jadikan kami dalam mencari rezeki-Mu menjadi pelayan bagi selain-Mu, jangan halangi kami dari kebaikan yang ada di sisi-Mu karena keburukan yang ada pada kami, jangan biarkan kami berada dalam daerah larangan-Mu dan jangan sampai kami tidak ada di saat Engkau perintahkan. Muliakanlah kami dan jangan hinakan kami, muliakanlah kami dengan ketaatan dan jangan hinakan kami dengan maksiat."

Akhirnya datanglah kelapangan itu pada masa al-Mutawakkil (juga seorang Khalifah Abbasiyah) yang malah memberi Imam Ahmad hadiah yang banyak lalu membebaskan serta memuliakannya.

Shalih putra Ahmad bin Hanbal berkata: "Ali bin al-Jahm menulis surat pada Imam Ahmad yang isinya bahwa Amirul Mukminin (yaitu al-Mutawakkil) telah memerintahkan Ya'kub yang lebih dikenal dengan nama Qausarah (salah seorang pembantu Khalifah) untuk menemuimu dengan membawa banyak hadiah lalu menyuruhmu untuk pergi dari negeri ini. Maka takutlah hanya pada Allah, jagalah dirimu dan tolaklah harta itu karena kalau engkau terima hal itu akan memberi peluang bagi orang-orang yang membencimu."

Keesokan harinya datanglah Ya'kub menemui Ahmad bin Hanbal. Ya'kub berkata: "Wahai Abu Abdillah, Amirul Mukminin menyampaikan salam padamu dan berpesan: "Aku ingin untuk lebih dekat denganmu dan memperoleh berkah dari doamu. Untuk itu aku kirimkan padamu sepuluh ribu dirham untuk bekalmu dalam perjalanan."

Ahmad bin Hanbal mengambil uang yang dikirim oleh Khalifah padanya tersebut. Ia menangis lalu berkata pada putranya; Shalih: "Sebelumnya aku selamat dari fitnah mereka, tapi di akhir-akhir hayatku ternyata aku diuji oleh sikap mereka. Aku sudah bertekad untuk membagi-bagikan uang ini esok pagi."
Putranya berkata: "Terserah ayah."

Keesokan harinya Imam Ahmad bin Hanbal membagi-bagikan uang tersebut pada anak cucu kaum Muhajirin dan Anshar meskipun ia sendiri bersama anak-anaknya berada dalam kondisi yang sangat fakir dan membutuhkan.

Ali bin al-Jahm berkata pada Khalifah: "Wahai Amirul Mukminin, manusia tahu kalau Ahmad telah menerima uang yang engkau kirimkan itu, tapi apa yang dilakukannya dengan uang itu sementara makanannya hanya roti."
Khalifah berkata: "Engkau benar Ali."
Semoga Allah merahmati dan meridhai Imam Ahmad bin Hanbal.

Kecintaan Allah kepada Orang yang Ridha kepada Qadha-Nya

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Abu Muslim al-Khaulani rahimahullah berkata, “Saya mendatangi Abu Darda` pada hari dia meninggal dunia. Dan Abu Darda` sangat berharga bagi orang-orang, seperti bagian dari diri mereka sendiri. Maka Abu Muslim pun bertakbir.
    Maka Abu Darda` berkata, “Benar, katakanlah seperti itu. Karena Allah tabaaraka wata’ala senang jika qadha-Nya diridhai oleh hamba-Nya”.
Demikianlah, Allah menyukai keridhaan hamba-hamba-Nya kepada qadha-Nya, agar mereka memperoleh keridhaan-Nya. Sedangkan orang yang tidak suka dengan qadha-Nya, maka qadha-Nya tetap terjadi dan dia mendapatkan murka dan siksa yang pedih dari-Nya.

TOBAT ORANG YANG MELAMPAUI BATAS KETIKA MENDENGAR AL-QUR

Abi Hisyam al-Mudzakkir bercerita, “Dahulu aku hendak ke Bashrah dan pergi ke sebuah kapal untuk berlayar. Di kapal itu ada seseorang bersama budak wanita. Orang itu berkata kepadaku,  “Di sini tidak ada tempat kosong.”
    Aku memintanya agar budak wanitanya itu mengantarkanku. Dia pun mengizinkan. Ketika kami berjalan orang itu mengajak kami untuk makan siang, dia pun menyediakan makanan seraya berkata,  “Ajak orang miskin itu makan siang.”
    Mereka mengajakku menyantap makanan karena aku memang orang miskin. Selesai makan siang, orang itu berkata kepada budak wanitanya,  “Berikan minumanmu.” Dia menyuruhnya untuk menuangkan kepadaku minuman. Aku berkata,  “Semoga Allah merahmatimu, aku tidak bisa meminum minuman ini.”
    Budak wanita itu meninggalkanku. Dan ketika orang itu minum dia berkata kepada budaknya, “Berikan gitar itu dan berikan apa yang ada pada kamu.”
    Budak wanita itu segera mengambil gitar dan langsung bernyanyi. Selesai bernyanyi, orang itu menoleh kepadaku seraya berkata, “Bukankah baik seperti ini?”
    Aku menjawab, “Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan.’” (at-Takwir: 1-3)  sampai akhir surah ini.
    Orang itu lantas menangis seraya berkata kepada budak wanitanya,  “Kamu merdeka ikhlas kerena Allah Ta’ala.”
    Dia langsung membuang minumannya ke laut dan menghancurkan gitarnya, kemudian dia berkata kepadaku, “Wahai saudaraku, menurutmu, apakah Allah menerima tobatku?”
Aku menjawab, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
    Orang itu meninggalkan gaya hidup lamanya dan kecintaannya kepada dunia. Selanjutnya dia tekun shalat dan beribadah kepada Allah. Hingga akhirnya Allah awt. memberinya husnul imah dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat dengan diterima tobatnya karena orang yang bertobat itu adalah kekasih Allah.
    Seorang ahli ibadah ini dengan kepintaran dan kejujurannya kepada Allah, mampu mengubah orang yang selalu melakukan maksiat untuk kembali ke jalan Allah yang lurus, jalan penuh hidayah, dan husnul imah.

Asma` Binti Abu Bakar dan Kematian Anaknya

Abdullah bin Zubair memimpin khilafah Islam dan dibaiat oleh penduduk Hijaz, Iraq dan Khurasan. Juga penduduk Syam di awal-awal kekhalifahannya, akan tetapi kemudian mereka membangkang dan membaiat Marwan bin Hakam, lalu membaiat Abdul Malik bin Marwan setelah kematian Marwan. Kemudian Abdul Malik berusaha merebut khilafah Abdullah bin Zubair dan mengirim al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi untuk memeranginya, hingga berhasil mengepungnya di masjid Haram. Para pendukungnya pun banyak yang membelot, lalu Abdul Malik menawarkan kepadanya agar membaiatnya dan tunduk di bawah kekuasaannya dengan memberikan apa yang diinginkan Abdullah bin Zubair.
    Lalu Abdullah bin Zubair mendatangi ibunya, Asma` bintu Abi Bakar, yang ketika itu usianya lebih dari seratus tahun, sedangkan usia Abdullah bin Zubair sendiri lebih dari tujuh puluh tahun.
Lalu Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, “Wahai Ibuku, orang-orang telah meninggalkanku hingga keluargaku dan anakku sendiri. Sehingga yang bersamaku hanya sedikit orang yang tidak mempunyai kekuatan kecuali sebentar saja untuk bertahan. Sedangkan Abdul Malik akan memberiku apa yang kuminta jika saya mau menuruti kehendaknya. Bagaimana pendapatmu?”
    Maka Asma` berkata kepadanya, “Wahai anakku, demi Allah engkau lebih tahu akan kondisimu. Jika engkau tahu bahwa engkau pada pihak yang benar dan engkau mengajak mereka kepadanya, maka teruslah berjuang. Karena para sahabatmu telah terbunuh dalam kebenaran tersebut. Dan jangan biarkan orang-orang Bani Umayyah mempermainkan lehermu. Namun jika engkau hanya menginginkan dunia, maka engkau adalah hamba yang paling buruk. Karena engkau telah membinasakan dirimu dan orang-orang yang berperang bersamamu. Dan jika engkau katakan, “Awalnya saya berada dalam pihak yang benar, namun ketika para pendukungku lemah maka saya pun menjadi lemah”, maka itu bukanlah sikap orang-orang yang merdeka, juga bukan sikap pemburu dunia. Berapa lama hidupmu di dunia ini, maka terbunuh adalah lebih baik”.
Maka Abdullah bin Zubair berkata, “Demi Allah inilah pendapatku dan inilah yang telah saya lakukan hingga hari ini. Saya tidak akan tunduk kepada dunia dan tidak pula hidup di dalamnya. Tidak ada yang membuatku melawan mereka kecuali kemarahan demi Allah, karena kehormatan-Nya telah dilecehkan. Akan tetapi saya ingin tahu pendapatmu, sehingga engkau dapat menambahkan pandanganmu kepada pandanganku.
Ibuku, sesungguhnya hari ini saya akan terbunuh. Maka jangan sampai kesedihanmu sangat mendalam, dan serahkanlah semuanya kepada Allah”.
Ibunya pun berkata, “Saya berharap semoga kesedihanku terhadapmu adalah hal yang baik. Dan jika ada berita tentangmu, maka saya ingin keluar melihat apa yang terjadi denganmu”.
Lalu Abdullah bin Zubair keluar menghadapi pasukan yang dipimpin oleh al-Hajjaj, kemudian dia terbunuh di Masjid Haram. Lalu tubuhnya disalib oleh al-Hajjaj di persimpangan jalan. Kemudian Hajjaj mengutus seseorang menemui Asma` agar datang menemuinya, namun Asma` menolak. Dan al-Hajjaj pun berkata kepada utusannya, “Katakan kepadanya, “Engkau akan datang, atau saya ( Hajjaj ) akan mengutus orang yang menyeretnya”. Dan ketika itu Asma` sudah buta. Dan Asma` pun tetap tidak mau datang.
Lalu Hajjaj menemuinya, dan berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu terhadap apa yang saya lakukan terhadap musuh Allah?”
Asma` menjawab, “Saya melihat engkau telah merusak dunianya dan engkau merusak akhiratmu sendiri. Saya dengar engkau memanggil Abdullah, “Wahai anak pemilik dua ikat pinggang”. Demi Allah, saya adalah pemilik dua ikat pinggang itu. Yang satu saya gunakan untuk membawa makanan Rasulullah saw. dan makanan Abu Bakar dari atas unta. Sedangkan yang satunya lagi adalah ikat pinggang wanita yang memang diperlukannya. Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah berkata kepada kami, bahwa di Tsaqif adalah seorang pendusta dan seorang Mabiir. Adapun si pendusta, kami telah melihatnya. Sedangkan seorang mabir, maka tidak ada orang lain yang saya ketahui kecuali dirimu”.
Lalu Hajjaj pun berdiri dan meninggalkannya, tanpa membalas kata-katanya.
Al-Wabir adalah orang yang banyak membunuh. Adapun al-Kadzdzaab ‘sang pendusta’ yang dimaksud oleh Asma` adalah al-Mukhtar ats-Tsaqafi yang mengaku sebagai nabi, dan dibunuh Mush’ab bin Zubair, anak Asma` juga, pada masa kekhilafahan saudaranya, Abdullah bin Zubair.
Kemudian Asma` meninggal dunia setelah satu minggu menguburkan anaknya, Abdullah, dan menyalatinya sendiri. Semoga Allah meridhainya.

Julaibib dan Seorang Gadis yang Ridha Kepada Ketetapan Allah dan Rasul-Nya

Julaibib adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw. dari kaum Anshar. Dia mempunyai cacat di wajahnya. Suatu ketika Rasulullah saw. menawarkan padanya untuk menikahkannya. Lalu Julaibib berkata pada Rasulullah saw., "Engkau tahu tidak seorang pun yang mau menerima saya". Kemudian Rasulullah saw. membesarkan hatinya dengan berkata, "Akan tetapi di sisi Allah kamu bukanlah orang yang tertolak".
Setelah itu Rasulallah saw. menemui seorang laki-laki dari kaum Anshar, meminta kesediaannya untuk menikahkan anak perempuannya dengan Julaibib. Beliau berkata padanya, "Serahkanlah puterimu kepada saya untuk saya nikahkan dengan seseorang". Laki-laki tersebut lalu bertanya pada Rasulullah saw., "Siapakah yang akan engkau nikahkan dengan puteri saya?" Rasulullah saw. menjawab, "Julaibib". Lalu laki-laki tersebut berkata kepada Rasulullah saw., "Tapi saya harus minta persetujuan ibunya dulu". Kemudian dia menemui istrinya dan berkata padanya, "Sesungguhnya Rasulullah saw. akan melamar anakmu". Lalu dengan serta-merta istrinya berkata, "Oh ya, bagus sekali bisa menjadi istri Rasulullah saw.". Kemudian sang suami menjelaskan yang sebenarnya, "Bukan untuk Rasulullah saw.". "Lalu untuk siapa?" Tanya istrinya penasaran. "Untuk Julaibib", jawab suaminya. Tatkala mendengar jawaban suaminya tersebut seketika sang istri menolaknya dengan berkata, "Apa! Julaibib, apakah dia itu anaknya? Demi Allah saya tidak mengizinkan anak saya menikah dengan Julaibib".
Namun ketika sang anak mendengar penolakan ibunya tersebut, dia berkata, "Apakah kalian mau menentang perintah Rasulullah saw.". Lalu dia membacakan firman Allah yang berbunyi,

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (al-Ahzaab: 36).
Lalu dia berkata, "Bawalah saya kepada Rasulullah saw.. Sesungguhnya beliau tidak akan menyia-nyiakan saya". Demikianlah, seorang gadis yang ridha dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Dia bersedia menikah dengan seorang sahabat yang dipilihkan oleh Rasulullah saw., meskipun sahabat tersebut adalah seorang yang buruk rupa dan miskin.
Pada sebuah peperangan, Julaibib gugur syahid. Rasulullah saw., ketika menemukan jenazahnya, bersabda, "Dia telah membunuh tujuh orang dalam medan perang, kemudian mereka membunuhnya”. Lalu beliau juga bersabda sampai tiga kali, "Dia adalah bagian dari saya dan saya adalah bagian darinya". 
Rasulullah saw. juga mendo'akan istri Julaibib, "Ya Allah semoga Engkau melimpahkan kebaikan padanya dan tidak menjadikan hidupnya dalam kesulitan".  Berkat do'a Nabi saw. tersebut dan juga keridhaannya terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya, di kalangan Ansar dia menjadi wanita yang paling banyak hartanya.

TOBAT SEORANG RAJA DARI KEGEMERLAPAN DUNIA

Abdullah bin ‘Atabah berkata, “Aku bercerita kepada Umar bin Abdul Aziz—seorang Khulafaurrasyidin—dengan sebuah cerita yang maknanya mengena dirinya. Aku ceritakan kepada dia, ‘Dahulu, sebelum kita ada seorang raja membangun sebuah istana. Dia membangunnya dengan sangat indah dipenuhi hiasan. Kemudian raja itu menyiapkan makanan dan dia mengundang manusia untuk datang. Di setiap pintu istana itu disuruh duduk orang-orang untuk menanyakan setiap orang yang keluar, ‘Apakah kalian melihat aib istana ini?’ Mereka pun menjawabnya, ‘Tidak.’
    Sampai akhirnya datang rombongan terakhir. Mereka membawa pakaian dan menanyakan rombongan ini, ‘Apakah kalian melihat aib?’ Mereka menjawab, ‘Ada dua aib.’
    Mereka mengajak masuk rombongan ini ke hadapan raja dan berkata, ‘Semua manusia yang masuk telah kami tanyakan kepada mereka dan mereka mengatakan bahwa mereka tidak melihat aib sama sekali.’
    Sampai akhirnya datang rombongan yang membawa pakaian dan kami tanyakan kepada mereka. Mereka menjawab, ‘Kami telah melihat dua aib.’
    Raja pun menanyakan kepada mereka tentang dua aib itu. Mereka menjawab, ‘Istana ini akan hancur dan pemiliknya akan mati.’
    Raja berkata, ‘Apakah kalian tahu ada rumah yang tidak hancur dan pemiliknya tidak mati?’
    Mereka menjawab, ‘Ya.’
    Raja bertanya, ‘Apa itu?’
    Mereka menjawab, ‘Darul akhirah.’
    Mereka pun mengajak raja itu untuk kembali kepada Allah dan dia mengikuti dakwah mereka. Dia berkata, ‘Jika aku pergi bersama kalian secara terang-terangan, maka penduduk kerajaanku tidak akan lagi menganggapku. Akan tetapi, sebaiknya tunggu saja aku di tempat ini dan itu.’
    Raja tersebut kemudian mendatangi mereka dan terus bersama mereka sampai beberapa waktu. Beribadah kepada Allah dengan penuh penyesalan dan bertobat atas apa yang telah lalu sampai akhirnya di suatu hari dia berkata kepada mereka, ‘Alaikumussalam.’
     Mereka berkata kepadanya, ‘Apa yang terjadi pada Anda? Apakah Anda melihat sesuatu yang tidak enak pada kami?’
    Raja berkata, ‘Tidak, kalian mengetahui aku. Kalian selalu menghormatiku karena posisiku yang sekarang aku duduki.”
    Penulis mengatakan bahwa raja itu menginginkan untuk pergi ke sebuah tempat yang tidak ada seorang pun tahu kecuali Allah swt. untuk beribadah seperti para ahli ibadah yang zuhud lainnya. Raja ini telah mencapai puncak kezuhudan sampai dia ingin melupakan bahwa dirinya pernah suatu hari menjadi salah seorang raja dari para raja di muka bumi ini.
    Sesungguhnya ini adalah tobat yang benar dan lari kepada Allah swt.. Allah yang selalu menerima tobat dari hamba-hamba-Nya, mengampuni semua dosa-dosa mereka, dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.”