Keterasinganku adalah Kesenanganku

Al-Junaid berkata, “Aku sering berkata kepada al-Harits  : “Keterasinganku adalah kesenanganku.”
Al-Harits berkata, “Berapa sering kamu mengucapkan kata-kata keterasingan dan kesenangan. Sungguh, seandainya separuh makhluk ini mendekat kepadaku niscaya aku tidak akan mendapatkan kesenangan dari mereka dan seandainya separuh makhluk lagi menjauh dariku niscaya aku tidak akan merasa terasing karena jauhnya mereka.”
Al-Junaid menceritakan, “Ayah al-Harits al-Muhasibi wafat dan al-Harits membutuhkan sedikit uang. Ayahnya meninggalkan harta yang banyak, tetapi tidak sepersen pun uang itu diambilnya. Dia berkata, ‘Orang berbeda agama tidak boleh saling mewarisi.’ Ayahnya adalah seorang waqifiy (sebuah paham yang salah dalam masalah qadar, pent.).”
Dia dinamakan al-Harits al-Muhasibi karena dia sangat sering bermuhasabah (introspeksi diri). Dia tidak mau mengambil warisan ayahnya dikarenakan pendapat ayahnya dalam masalah qadar.

Sifat Para Pecinta

Ahmad bin Abil Hawari berkata, “Suatu kali aku berkunjung ke rumah Abu Sulaiman ad-Darani. Ternyata, dia sedang menangis. Aku bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’
Dia menjawab, ‘Wahai Ahmad, apabila malam datang ahli mahabbah (orang-orang yang sangat cinta pada Allah) akan segera berdiri dan air mata senantiasa mengalir di pipi mereka, lalu Sang Maha Agung menyapa dan berkata, ‘Wahai Jibril, Aku akan pelihara orang yang merasa nikmat dengan kalam-Ku, bahagia dengan bermunajat kepada-Ku, dan Aku selalu memperhatikan mereka dan mendengar rintihan mereka serta melihat tangis mereka.’’
Lalu Jibril menyeru (atas perintah Sang Maha Agung), ‘Keresahan apa yang Aku lihat di wajah kalian, apakah kalian pernah diberitahukan oleh seseorang bahwa seorang kekasih akan menyiksa para kekasihnya? Ataukah pantas bagi-Ku untuk menjamu orang-orang lalu ketika mereka datang Aku biarkan mereka hanya berdiri, ketika malam datang baru mereka menjumpai-Ku? Demi Zat-Ku, aku bersumpah akan Aku jadikan hadiah-Ku untuk mereka seandainya mereka datang kepada-Ku di hari Kiamat nanti, akan Aku singkapkan wajah-Ku yang mulia untuk mereka, Aku akan memandangi mereka dan mereka bisa memandangi-Ku.’”

Al-Khansa' dan Keridhaannya kepada Qada Allah

Al-Khansa' adalah seorang penyair wanita dari Arab yang terkenal. Dia masuk Islam dan menunaikan Islam dengan baik. Dia ikut dalam peperangan Qadisiah dengan empat orang anaknya. Ketika itu dia berkata pada mereka, "Wahai anak-anakku, Kalian telah masuk Islam dan berhijrah sesuai dengan pilihan kalian. Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah anak dari seorang ayah yang satu, sebagaimana juga anak dari seorang ibu yang satu. Saya tidak pernah menghianati ayah kalian, tidak juga mencemarkan nama baik paman kalian, ataupun menghinakan kemuliaan leluhur kalian, sebagaimana juga tidak pernah mengganti nasab kalian. Kalian telah mengetahui, bahwa Allah telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang muslim yang berperang melawan orang-orang kafir. Dan ketahuilah, bahwa kehidupan yang abadi itu lebih baik dari pada kehidupan yang fana. Allah berfirman,

"Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung". (Ali Imran: 200)
Maka dengan izin Allah, jika besok pagi kalian masih dalam keadaan selamat, berangkatlah berperang melawan musuh-musuh kalian dengan penuh kewaspadaan, dan mintalah kepada Allah kemenangan atas musuh-musuh kalian.
Kemudian, jika kalian menyaksikan peperangan telah berkecamuk dengan sengit dan telah mengobarkan api yang membakar, maka teroboslah barisan musuh, dan carilah pimpinannya. Lalu lawan dia di saat seluruh pasukannya disibukkan oleh dahsyatnya pertempuran. Dan berlombalah meraih kemenangan serta kemuliaan di kehidupan yang abadi".
Dengan adanya dorongan semangat tersebut, keempat orang anaknya pun terjun ke medan pertempuran dengan gagah berani, hingga mereka gugur meraih kesyahidan di jalan Allah.
Ketika al-Khansa' mengetahui bahwa keempat anaknya tersebut telah syahid di medan perang, dia mengucapkan rasa syukur kepada Allah dengan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan saya dengan gugurnya anak-anak saya di jalan-Nya. Dan saya selalu berharap semoga kelak Allah akan mengumpulan saya dengan anak-anak saya dalam curahan rahmat-Nya yang tiada henti".
Demikianlah para wanita sahabat Nabi saw.. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa pemberani, selalu sabar dalam menghadapi ujian, dan senantiasa ikhlas menerima  apa yang telah menjadi qada dan qadar Allah. Semoga ridha Allah selalu menyertai mereka.

AKU PASTI AKAN MENGHARUMKAN NAMAMU DI DUNIA DAN AKHIRAT

Ayyub al-‘Aththar berkata bahwa Basyar bin Harits al-Hafi bercerita kepadaku, “Aku akan menceritakan kepadamu tentang awal-awal pribadiku. Dahulu ketika aku sedang berjalan, aku melihat ada sehelai kertas di atas tanah yang di dalamnya terdapat tulisan Allah swt.. Aku segera memungutnya dan pergi ke sungai untuk mencucinya. Saat itu aku tidak memiliki uang kecuali hanya satu dirham yang kalau direcehkan menjadi lima ringgit. Kemudian aku pun membeli minyak wangi dengan empat ringgit itu dan membeli air mawar seharga satu ringgit. Aku usap-usap dan aku bersihkan nama Allah itu dan aku beri minyak wangi, kemudian aku pulang ke rumahku dan aku tidur. Pada saat aku tidur ada yang datang kepadaku seraya berkata, ‘Wahai Basyar, sebagaimana engkau telah mengharumkan nama-Ku, Aku pasti akan mengharumkan namamu. Dan sebagaimana kamu telah membersihkan nama-Ku itu, Aku pasti akan membersihkan hatimu.’38
    Sebelum dia menjadi seorang zahid dan ahli ibadah, dia sering hura-hura dan main-main, minum khamr dengan teman-teman jahatnya. Pada suatu hari ada seorang saleh yang melewati rumahnya dan orang itu mengetuk pintu, lalu keluarlah hamba wanitanya. Orang itu berkata kepada hamba wanita itu,  ‘Apakah pemilik rumah orang yang merdeka atau hamba sahaya?’
    Hamba sahaya itu menjawab, ‘Dia orang merdeka.’
    Orang itu berkata, ‘Engkau benar, jika dia adalah hamba sahaya maka dia akan menggunakan tatakrama dan sopan santun seorang hamba dan dia akan meninggalkan hura-hura dan main-main.’
    Ternyata Basyar mendengar obrolan mereka berdua dan dia segera bergegas ke pintu dengan berlari tanpa alas kaki sementara orang itu telah pergi, seraya dia berkata kepada hamba wanita itu, ‘Sial kau, siapa orang yang mengajakmu bicara di depan pintu?’
    Kemudian wanita itu menceritakan apa yang terjadi bersama orang saleh itu, dan dia bertanya, ‘Ke arah mana orang itu pergi?’
    Hamba itu menjawab, ‘Ke arah sana.’
    Basyar bin Harits mengikutinya dengan berjalan cepat tanpa alas kaki, sampai akhirnya dia menjumpainya dan berkata kepadanya, ‘Wahai tuanku, apakah Anda yang berdiri di depan pintu dan berbicara dengan hamba wanita itu?’
    Dia menjawab, ‘Ya, benar.’
    Basyar berkata kepadanya, ‘Tolong ulangi kepadaku kata-kata tadi.’
    Orang itu mengulang kata-katanya tadi kepadanya, dan langsung saja Basyar membantingkan kedua pipinya ke tanah sambil berkata, ‘Dia adalah seorang hamba, kemudian dia terus beribadah kepada Tuhannya dan segera meninggalkan hura-hura, main-mainnya, serta minum-minumnya. Dia berzuhud dari segara urusan dunia, sehingga dia menjadi salah seorang ahli ibadah yang sangat dikenal pada zamannya sampai dia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya, dan dia diberi nama Basyar al-Hafi (Basyar tanpa alas kaki).’”

Ya Allah, Telah Sampai kepada Kami Risalah Rasul-Mu

Ibnu Ishaq berkata, “Setelah perang Uhud selesai, beberapa orang dari daerah ‘Adhl dan al-Qaarah mendatangi Rasulullah saw.. Lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami ingin masuk Islam, maka utuslah beberapa orang dari sahabatmu ke tempat kami untuk mengajarkan agama Islam, Al-Qur’an dan hukum-hukum Islam kepada kami”.
Lalu Rasulullah saw. mengutus enam orang sahabat beliau, yaitu Martsad bin Abi Martsad, Khalid bin Bukair, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin Adi, Zaid bin Datznah dan Abdullah bin Thariq.
Kemudian mereka pun berangkat. Ketika sampai di Rajii’, tempat mengambil air orang-orang Hudzail di arah Hijaz, orang-orang yang menjemput mereka tersebut berkhianat dan memanggil orang-orang Hudzail. Mereka juga ingin menjadikan para sahabat Nabi saw. tersebut sebagai tawanan lalu menjual mereka kepada orang-orng Quraisy. Lalu empat orang dari para sahabat tersebut terbunuh dan dua orang lagi, Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin Adi, ditawan, kemudian dijual kepada orang-orang Quraisy.
Ibnu Hisyam berkata, “Lalu mereka menukar keduanya dengan dua orang Hudzail yang ditawan orang-orang Quraisy.
    Ibnu Ishaq berkata, “Lalu Khubaib dibeli oleh Hujair bin Abi Ihab at-Tamimi, sekutu Bani Naufal, dan diberikan kepada Uqbah bin Harits. Dan Abu Ihab at-Tamimi adalah saudara seibu al-Harits bin Amir, ayah Uqbah. Lalu dia membunuh Khubaib untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
Adapun Zaid bin Datsinah, maka dia dibeli oleh Shafwan bin Umayyah untuk dibunuhnya sebagai pembalasan atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf.
1. Mari kita lihat keridhaan Ibnu Datsinah kepada qadha dan qadar Allah ketika orang-orang Quraisy memutuskan untuk membunuhnya.
Ibnu Ishaq berkata, “Zaid bin Datsinah dibeli oleh Shafwan bin Umayyah. Lalu Shafwan memerintahkan seorang budaknya yang bernama Nisthas bersama beberapa orang lainnya untuk membawanya menuju Tan’im –di luar batas Mekkah— dan membunuh Zaid bin Datsinah di sana. Kemudian mereka membawanya ke luar dari tanah Haram untuk membunuhnya. Lalu beberapa orang Quraisy berkumpul, yang di antaranya adalah Abu Sufyan bin Harb. Lalu sebelum dibunuh, Abu Sufyan berkata kepada Zaid bin Datsinah, “Bersumpahlah demi Allah wahai Zaid, apakah engkau senang jika Muhammad menggantikanmu di sini untuk kami penggal lehernya sedangkan engkau bersama keluargamu?”
Maka Zaid menjawab, “Demi Allah, saya tidak akan merasa senang jika saya duduk bersama keluargaku sedangkan Muhammad berada di tempatnya dan terkena duri”.
Maka Abu Sufyan berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang mencintai orang lain seperti kecintaan para sahabat Muhammad kepadanya”.
Kemudian Zaid dibunuh Nisthas, budak Shafwan bin Umayyah.
2. Perhatikan juga keridhaan Khubaib bin Adi kepada qadha dan qadar Allah, ketika akan dibunuh seperti Zaid.
Ibnu Ishaq berkata, “Adapun tentang Khubaib bin Adi, maka Abdullah bin Abi Najih berkata kepada saya, bahwa dia mendapat informasi dari Mawiyah, budak wanita Hujair bin Abi Ihab yang ketika itu telah masuk Islam. Mawiyah berkata, “Khubaib ketika itu ditahan di rumah saya. Pada suatu hari saya melihatnya sedang memegang setandan anggur, dan sepertinya dia sedang memakannya, padahal setahu saya, ketika itu tidak ada anggur di tanah Allah tersebut”.
    Ibnu Ishaq berkata, “Ashim bin Umar bin Qatadah dan Abdullah bin Najih juga memberitahu saya bahwa Mawiyah berkata, “Ketika mendekati saat-saat dibunuh, Khubaib berkata kepada saya, “Ambilkan pisau kepada saya agar saya membersihkan rambut-rambut saya sebelum dibunuh –maksudnya untuk mencukur rambut kemaluan dan bulu ketiaknya—“. Mawiyah berkata, “Lalu saya memberikan pisau kepada seorang anak laki-laki dan saya katakan kepadanya, “Berikan pisau ini kepada lelaki itu”.
Lalu dia langsung memegang anak kecil itu, sehingga saya pun merasa ketakutan. Maka saya katakan kepadanya, “Apa yang kau lakukan?!” Demi Allah, sebenarnya ketika itu dia dapat membalas dengan membunuh anak kecil itu, sehingga impas, seorang lelaki dengan seorang lelaki.
Lalu Khubaib mengambil pisau tersebut dari anak kecil itu, dan dia berkata kepada anak itu, “Ketika menyuruhmu mengantarkan pisau ini kepada saya, ibumu tidak khawatir saya akan berkhianat”.
Kemudian dia pun melepaskan anak itu”.
Dan Ibnu Hisyam berkata, “Sesungguhnya anak itu adalah anak Mawiyah”.
Kemudian orang-orang Quraisy membawa Khubaib bin Adi menuju Tan’im untuk disalib. Lalu Khubaib berkata kepada mereka, “Apakah kalian membolehkan saya untuk shalat dua rekaat terlebih dahulu?”
Maka orang-orang Quraisy berkata kepadanya, “Shalatlah”.
Lalu Khubaib melakukan shalat dua rekaat secara sempurna dan baik. Kemudian dia datang kembali menemui orang-orang Quraisy, lalu berkata kepada mereka, “Demi Allah, kalau bukan karena khawatir kalian mengira saya memanjangkan shalat karena takut dibunuh, pasti saya akan memperpanjang shalat saya”. Dan Khubaib bin Adi adalah orang yang pertama kali mensunnahkan dua rekaat sebelum dibunuh.
Kemudian orang-orang Quraisy mengikatkannya di kayu, dan Khubaib pun berkata, “Ya Allah, sesungguhnya telah sampai kepada saya risalah Rasul-Mu, maka sampaikanlah kepada beliau apa yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap kami”.
Kemudian dia berkata, “Ya Allah, hancurkanlah mereka dan binasakanlah mereka dan jangan Kau sisakan seorang pun dari mereka”. Kemudian orang-orang kafir Quraisy itu pun membunuhnya.

Anas Ibnun Nadhr dan Keridhaan kepada Allah

Dari Anas bin Malik r.a., bahwa ketika perang Badar, pamannya, Anas Ibnun Nadhr, tidak ikut hadir. Kemudian pamannya berkata, “Saya tidak ikut serta dalam peperangan Nabi saw. yang pertama. Oleh karena itu, jika Allah memberiku kesempatan untuk ikut serta dalam peperangan bersama Nabi saw., sungguh Allah akan melihat apa yang saya lakukan”.
Kemudian ketika perang Uhud, dia pun ikut berperang. Ketika itu pasukan muslim kalah dan sebagian orang muslim mundur. Maka Anas ibnun Nadhr berkata, “Ya Allah, saya mohon ampun atas apa yang dilakukan orang-orang muslim itu dan saya terlepas dari apa yang dilakukan orang-orang musyrik”. Lalu dengan menghunus pedangnya, dia pun maju. Kemudian dia bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz, lalu berkata, “Mau ke mana wahai Sa’ad. Sungguh saya mencium bau surga di bawah kaki gunung Uhud”.
Maka Anas bin Nadhr pun maju dan menghadapi orang-orang musyrik, kemudian dia terbunuh. Ketika perang selesai, tidak seorang pun yang tahu jenazahnya, hingga saudara perempuannya mengenalinya dengan tahi lalat yang ada ditubuhnya atau jari-jarinya. Dan di tubuhnya terdapat delapan puluh luka, berupa tusukan tombak, sabetan pedang dan anak panah yang menancap”.
Semoga Allah meridhainya, dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

SESUNGGUHNYA ALLAH SENANTIASA MELIHAT APA YANG KAMU PERBUAT

Muhammad bin Mukhallad berkata,  “Aku diceritakan oleh Abul Fath bin Mukharraq.”
    Dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang ingin memerkosa seorang wanita dari Syam. Orang itu memaksa wanita itu dengan pisau di tangan. Tidak ada orang yang mendekatinya. Orang berbadan kekar itu langsung menyambarnya dengan pisau.”
    Pada saat orang-orang tidak mampu untuk mengatasinya, sementara wanita itu berteriak dari tangannya, tiba-tiba lewat Basyar ibnul Harits al-Hafi, salah seorang ahli ibadah. Dia segera mendekati orang itu dan menggesekkan pundaknya dengan pundak orang itu. Langsung saja orang itu terjatuh ke tanah, sementara Basyar al-Hafi meneruskan perjalanannya. Orang-orang segera mendekati orang itu yang sedang basah kuyup dengan keringat. Sedangkan wanitu itu dapat membebaskan dirinya.
    Mereka bertanya pada laki-laki itu,  “Bagaimana keadaanmu?”
    Orang itu menjawab, “Aku tidak mengerti, tetapi seorang syekh bicara kepadaku seraya mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah selalu melihatmu dan apa yang kamu lakukan. Kedua kakiku pun langsung terasa lemas dengan kata-katanya itu. Aku merasa takut sekali, aku tidak tahu siapa orang itu.’”
    Mereka menjawab,  “Dia adalah Basyar ibnul Harits.”63
Laki-laki itu berkata, “Betapa jeleknya aku, bagaimana Dia melihatku mulai saat ini.”
    Setelah peristiwa itu, laki-laki ini terkena demam dan seminggu kemudian meninggal dunia.

HANYA KEPADA-MU AKU SERAHKAN SEGALA URUSANKU

Ada seseorang yang dikenal dengan Dinar al-Ayyar. Orang ini sering melakukan maksiat dan banyak dosa. Dia mempunyai seorang ibu yang selalu menasihatinya tapi tidak pernah didengar olehnya.
    Pada suatu hari dia pernah lewat di pemakaman dan menemukan sebuah tulang yang sudah rapuh. Dia segera memegang dan menghancurkan tulang itu dengan tangannya. Dia kemudian berpikir dalam dirinya seraya berkata,  celaka kamu, tentunya besok aku pun akan sama menjadi tulang yang rapuh seperti kamu dan badanku akan menjadi tanah, sementara sampai hari ini aku masih saja berbuat maksiat.
    Orang itu segera menyesal dan bertobat seraya mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Wahai Tuhanku, kepada-Mu aku serahkan segala urusanku, terimalah tobatku dan kasihanilah aku.”
    Kemudian dia kembali dan pulang ke ibunya dan rupanya telah berubah. Dia berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, apa yang dilakukan terhadap hamba yang kabur apabila dia tertangkap oleh tuannya?”
    Ibunya menjawab, “Pakaian dan makanannya diberikan yang kasar, sementara tangan dan kakinya dibelenggu.”
    Dia berkata, “Aku ingin sehelai kain bulu dan beberapa butir biji gandum, dan lakukanlah terhadapku seperti orang yang kabur. Mudah-mudahan Tuhanku melihat kehinaanku sehingga mengasihaniku.”
    Ibunya melaksanakan apa yang telah dimintanya. Dan apabila datang waktu malam orang itu menangis seraya berkata, “Celaka kamu wahai Dinar, apakah kamu kuat menahan panas api neraka, bagaimana kamu bisa lari dari kemarahan Yang Mahagagah?”
    Dia pun terus seperti itu sampai datang waktu subuh, kemudian sang ibu berkata kepadanya, “Wahai anakku, berlaku lembutlah kepada dirimu.”
    Dia menjawabnya dengan berkata, “Biarkan aku capek dan susah sejenak, barangkali nanti aku bisa istirahat panjang.”
    Pada suatu hari dia sedang membaca firman Allah swt., “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua,     tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (al-Hijr: 92-93)
    Dia merenungi ayat ini dan menangis. Dia pun terguncang sampai akhirnya dia pingsan dan jatuh, sementara ibunya memanggilnya dan dia tidak menjawabnya. Ibunya berkata, “Penyejuk hatiku, di mana tempat pertemuan?” Dengan suara pelan dia berkata, “Jika engkau tidak mendapatkan aku di halaman hari Kiamat, tanyakanlah aku kepada malaikat penjaga neraka.”
    Kemudian dia menarik napas panjang dan langsung meninggal dunia.

MENYEBUT LAA ILAAHA ILLALLAAH MAKA ALLAH LANGSUNG MENYELAMATKANNYA

Bakar bin Abdullah al-Muzni berkata, “Dahulu sebelum kalian ada seorang raja dan raja selalu membangkang terhadap Tuhannya. Karena itu, kaum Muslimin pun memerangi dan menangkapnya hidup-hidup. Mereka berkata,  ‘Dengan cara bagaimana kita membunuhnya?’”
    Mereka semua sepakat untuk memasukkannya ke dalam perangkap besar kemudian mereka menyalakan di bawahnya api. Mereka tidak langsung membunuhnya sampai dia merasakan siksa yang pedih. Mereka pun melakukan hal itu dan membuatnya meminta kepada Tuhannya satu demi satu seraya berkata,  “Wahai tuhan fulan, sebagaimana aku selalu menyembahmu dan aku sembahyang untukmu, serta aku selalu mengusap wajahmu, maka selamatkanlah aku dari apa yang sedang sekarang aku alami.”
    Ketika dia melihat  bahwa tuhan-tuhannya itu tidak bisa berbuat apa-apa sama sekali, dia lantas mengangkat kepalanya ke langit seraya berkata,  “Laa Ilaaha Illallaah.”
    Dia memohon kepada Allah dengan tulus ikhlas. Setelah dia berdoa, langsung saja Allah menurunkan air dari langit sehingga memadamkan api itu. Datang angin yang memorakporandakan perangkap besar tadi dan membuatnya berputar-putar di udara sementara dia terus melafazkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, kemudian Allah melemparkan orang itu ke kaum yang tidak menyembah Allah swt.. Dia terus saja melafazkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Mereka segera mengeluarkannya dari perangkap seraya bertanya,  “Sialan kamu, apa yang terjadi pada dirimu?”
    Dia menjawab, “Aku adalah seorang raja bani fulan, aku mengalami.... diapun menceritakan kisahnya kepada mereka, akhirnya mereka semua pun masuk Islam dengan mereka mengucapkan,  ‘Laa Ilaaha Illallaah.’”

Asy-Syahid Haram bin Malhan

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Anas bin Malik r.a., bahwa Nabi saw. mengutus Haram –salah seorang saudara laki-laki Ummu Sulaim— bersama tujuh puluh penunggang kuda untuk suatu keperluan. Peristiwa itu adalah setelah pemimpin orang-orang musyrik, Amir Ibnuth Thufail, memberi pilihan kepada Rasulullah saw. dengan tiga hal. Amir berkata kepada Rasulullah saw., “Engkau mendapatkan penduduk daerah yang datar dan aku mendapatkan para penduduk kota, atau aku menjadi penggantimu setelah engkau meninggal, atau aku akan memerangimu dengan beribu-ribu orang Ghathfan”. Lalu dia terkena Tha’un di rumah seorang wanita. Maka Amir berkata, “Saya terkena gondok seperti gondok seekor onta di rumah seorang wanita keluarga Fulan”. Lalu dia memerinathakn agar diambilkan kudanya. Kemudian dia pun mati di atas kudanya itu.
    Kembali kepada kisah Haram bin Malhan. Kemudian setelah mendekati tempat orang-orang kafir, Haram bin Malhan bersama seorang lelaki yang pincang dan seorang lelaki dari Bani Fulan mendatangi tempat berkumpulnya orang-orang musyrik. Sedangkan para sahabat yang lainnya menunggu di tempat yang agak jauh. Haram berkata kepada keduanya, “Tetaplah berada dekat dengan tempat saya, sampai saya mendatangi mereka. Kalau mereka menjamin keselamatan saya, maka kalian berada di tempat yang dekat. Jika mereka membunuh saya, maka segera datangi teman-teman kalian”.
Setelah sampai ke tempat berkumpulnya orang-orang musyrik, Haram berunding dengan mereka. Lalu orang-orang musyrik memberi isyarat kepada salah seorang dari mereka, maka lelaki itu langsung menusuk Haram dari belakang.
Hamam berkata, “Sepertinya orang itu menusuk punggungnya hingga tembus ke perutnya”.
Dengan menahan sakit, Haram pun berkata, “Allahu akbar, demi Tuhan Ka’bah saya telah memperoleh kemenangan”.
Itulah peristiwa Bi`ru Ma’unah, di mana tujuh puluh sahabat dibunuh. Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keburukan atas para pembunuh tersebut, atas orang-orang Dzikwan dan atas Bani Lihyan selama satu bulan di dalam shalat beliau.
Adapun yang menusuk Haram bin Malhan adalah Jabbar bin  Salmam al-Kilabi. Dia terkagum dengan ucapan Haram ketika ditusuknya, “Demi Tuhan Ka’bah Saya telah memperoleh kemenangan”. Ketika dia bertanya tentang maksudnya, orang-orang menjawab, “Maksudnya dia memperoleh surga”. Dia pun berkata, “Dia benar”.
Selang beberapa waktu Jabbar masuk Islam disebabkan oleh kata-kata Haram bin Malhan itu.

TOBAT FIR

Ketika Allah swt. mengutus Musa a.s. kepada Fir’aun agar dia menyerahkan Bani Israil kepadanya, Fir’aun menolak dan menampakkan kesombongannya walaupun saat itu Musa telah memperlihatkan tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran omongannya dan kerasulannya. Allah swt. memerintahkan Musa agar keluar bersama Bani Israil menuju ke arah laut dan keluar dari Mesir. Fir’aun pun mengetahui larinya Bani Israil darinya. Fir’aun bersama pasukannya mengejar mereka sampai akhirnya melihat mereka di pinggir laut dan memergoki mereka pada saat terbit matahari. Kedua rombongan saling mengetahui keberadaan mereka. Para pengikut Musa berkata kepada Musa, “Sesungguhnya keberadaan kita telah diketahui dan Fir’aun akan menangkap kita.”
    Laut berada di depan mereka dan para musuh sudah berada di belakang mereka, ke mana lagi tempat pelarian? Akan tetapi Musa dengan kata-kata penuh keyakinan berkata, “Tidak! Sesungguhnya bersamaku ada Tuhanku Yang akan memberikan aku petunjuk.”
    Allah swt. memerintahkan rasul-Nya, Musa, agar memukul laut dengan tongkatnya, hingga laut itu pun terbelah menjadi sebuah jalan yang kering bagi Bani Israil dan bisa dilalui dan diseberanginya menuju ke seberang lautan.
    “Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa,’Pergilah pada malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), sebab pasti kamu akan dikejar.’ Kemudian Fir‘aun mengirimkan orang ke kota-kota untuk mengumpulkan (bala tentaranya). (Fir‘aun berkata),’Sesungguhnya mereka (Bani Israil) hanya sekelompok kecil, dan sesungguhnya mereka telah berbuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita semua tanpa kecuali harus selalu waspada.’ Kemudian, Kami keluarkan mereka (Fir‘aun dan kaumnya) dari taman-taman dan mata air, dan (dari) harta kekayaan dan kedudukan yang mulia, demikianlah, dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Lalu (Fir‘aun dan bala tentaranya) dapat menyusul mereka pada waktu matahari terbit. Maka ketika kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, ‘Kita benar-benar akan tersusul.’ Dia (Musa) menjawab, ‘Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.’ Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang bersamanya. Kemudian Kami tenggelamkan golongan yang lain. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu Dialah Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang.” (asy-Syu’araa`: 52-68)
    Ketika Bani Israil menyeberangi laut, Fir’aun dan pasukan tentaranya mengikutinya. Pada saat Musa dan kaumnya berhasil sampai ke tepi seberang laut itu dengan selamat sementara Fir’aun dan pasukan tentaranya masih tetap mengejar mereka dan masih berada di tengahnya. Allah swt. memerintahkan Musa untuk memukul laut itu, hingga laut pun kembali berupa menjadi air dan menenggelamkan Fir’aun dan pasukan tentaranya. Pada saat Fir’aun merasakan bahwa dia akan binasa dan mati dan sedang berada dalam sakaratul maut, saat itu dia bertobat dan dia beriman pada saat keimanan tidak membawa manfaat apa-apa lagi baginya, dia mengatakan, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” (Yunus: 90)
    Allah swt. pun menjawab dengan menolak tobat itu, “Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar  engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.” (Yunus: 91-92)
    Firman Allah swt. itu mempunyai pengertian yaitu penolakan dan tidak menerima tobat dan keimanan darinya, karena tobat itu datang pada saat-saat yang tidak diterima lagi dari seorang hamba, yaitu di saat ruh sudah mencapai tenggorokan. Tobat di saat itu sudah tidak akan diterima lagi dan juga waktu yang tidak diterima tobat adalah pada saat matahari terbit di ufuk barat.
    Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Ketika Fir’aun berkata, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil.’ Jibril berkata, ‘Jika kamu melihat aku, aku telah mengambil tanah dari laut itu dan aku jejali ke mulutnya karena aku takut dia akan menerima rahmat Allah.’” 

Ibn Umar dan Orang-orang yang Mengingkari Qada dan Qadar Allah

Ma'bad al-Juhani adalah orang yang pertamakali berbicara tentang qadar di Basrah. Kemudian ada beberapa orang, seperti Yahya bin Ya'mur dan Khumaid bin Abdurrahman, pergi mengadukan hal tersebut pada salah seorang sahabat, Abdullah bin Umar r.a.. Mereka berkata pada Ibn Umar, "Telah muncul di daerah kami segolongan orang yang beranggapan bahwa tidak ada yang namanya qadar, dan segala sesuatu itu bermula dari perbuatan manusia itu sendiri, tidak ada kaitannya dengan qadar". Lalu Ibn Umar berkata, "Apabila kamu bertemu mereka, katakanlah kepada mereka bahwa saya lepas tanggung jawab dari apa yang mereka katakan dan sebaliknya. Sungguh demi Zat Yang Ibn Umar bersumpah dengan-Nya, jika saja salah seorang diantara mereka ada yang memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian dia menginfaqkannya, niscaya Allah tidak Akan menerimanya hingga dia beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk". Ibn Umar juga berkata, "Saya diberitahu oleh ayah saya, Umar bin Khatab, dia berkata, "Ketika kami  sedang bersama Rasulullah saw. tiba-tiba datang seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, dan mempunyai rambut yang sangat hitam, serta tidak nampak pada dirinya tanda-tanda bahwa dia datang dari jauh. Kemudian dia duduk di depan Rasulullah saw. merapatkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah saw. dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas paha Rasulullah saw. lalu berkata, "Wahai Muhammad beritahukanlah pada saya tentang Islam?" Nabi saw. menjawab,

"Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika engkau yang mampu".
"Engkau benar" kata laki-laki itu membenarkan jawaban Rasulullah saw.. Maka kami dibuatnya heran, bagaimana dia menanyakan sesuatu kemudian membenarkan sendiri jawaban yang diberikan padanya?"
Laki-laki itu bertanya lagi pada Rasulullah saw.  "beritahukanlah pada saya tentang iman?"
Rasulullah saw. menjawab,

"Iman adalah beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir dan beriman kepada qada dan qadar-Nya, yang baik maupun yang buruk".
"Engkau benar", kata laki-laki itu lagi setelah mendengar jawaban Rasulullah saw..
Lalu dia bertanya lagi, "Apa itu Ihsan?"
Rasulullah saw. menjawab,

"Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu".
Laki-laki itu pun membenarkan jawaban Rasulullah saw. dengan berkata, "Engkau benar".
Lalu dia bertanya lagi, "Beritahukanlah pada saya kapan itu hari kiamat?" Nabi saw. menjawab, "Saya tidak lebih tahu daripada engkau".
Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, "Lalu apa tanda-tandanya?" Nabi saw. menjawab,

"Tanda-tandanya adalah ketika engkau menyaksikan budak perempuan melahirkan tuannya, dan ketika orang-orang yang sangat miskin saling berlomba meninggikan bangunan mereka".
Kemudian Umar berkata, "Laki-laki yang tidak kami kenal itu kemudian meninggalkan kami. Dan selang beberapa lama, Rasulullah saw. menanyakan pada saya, "Wahai Umar tahukah kamu siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab, "Allah dan  Rasul-Nya lebih mengetahuinya". Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya yang datang bertanya itu adalah Jibril, dia mengajarkan pada kalian agama kalian”.
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa  meyakini adanya qada dan qadar Allah merupakan salah satu dari rukun iman.

TOBAT YUNUS BIN YUSUF


    Malik bin Anas berkata,  “Dahulu Yunus bin Yusuf termasuk salah seorang ahli ibadah yang saleh. Pada suatu hari ketika dia keluar dari masjid, dia berpapasan dengan seorang wanita, hingga dirinya jatuh cinta pada wanitu itu. Dia berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menciptakan mata untukku sebagai nikmat, namun aku takut kalau itu akan berubah menjadi bencana siksaan, ambillah mataku ini.’”
    Malik berkata, “Hingga dia pun buta. Setiap kali dia pergi ke masjid dia dituntun oleh seorang bocah keponakannya. Apabila dia sampai di sebuah tiang masjid, sang bocah itu pergi bermain dengan bocah-bocah lainnya. Apabila dia ingin sesuatu dari anak itu, dia akan melemparkan batu, dan sang bocah pun akan mendatanginya.”
    Pada suatu hari ketika dia sedang berada di masjid, tiba-tiba perutnya sakit, dia segera melemparkan batu kepada bocah itu. Namun, anak itu tetap saja main bersama anak-anak lainnya, sehingga dia merasa takut terjadi sesuatu pada dirinya.
    Dia kemudian menengadahkan tangannya seraya berdoa, “Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menciptakan mata untukku sebagai nikmat, namun aku takut kalau itu akan berubah menjadi bencana siksaan, maka aku pun telah meminta-Mu dan Engkau telah mengambil mataku itu. Saat ini aku merasa khawatir hal itu bisa menjadi aib, maka kembalikanlah mataku kepadaku.”
    Dia pun dapat pulang ke rumahnya berjalan dengan mata yang sehat. Malik berkata, “Aku pernah melihat dia buta dan aku pun pernah melihat dia matanya melek.”64