Rabi'ah al-Adawiyah dan Keridhaannya Terhadap Ketentuan Allah

Rabi'ah Adawiyah adalah seorang wanita ahli ibadah yang zuhud. Dia berasal dari kota Basrah. Namanya adalah Rabi'ah binti Isma'il. Abdullah bin Isa berkata, "Suatu hari saya mengujungi Rabi'ah al-Adawiyah. Tatkala saya melihatnya, nampak wajahnya bercahaya. Dia sering kali menangis. Ketika di dekatnya ada seorang yang membaca ayat Al-Qur'an yang berisi tentang siksa api neraka, dia pun menangis tersedu-sedu, hingga jatuh tersimpuh di atas tanah. Kemudian di lain waktu, saya berkunjung lagi padanya. Waktu itu dia sedang duduk di atas sebuah potongan tikar yang terbuat dari bulu. Nampak di dekatnya ada seorang laki-laki yang sedang berbicara padanya tentang sesuatu. Tidak lama kemudian, saya mendengar air matanya berjatuhan ke tikar tersebut seperti cucuran keringat.  Kemudian dia tergoncang dan menangis sejadi-jadinya, maka dari itu, kami berdiri lalu pergi meninggalkannya.
Dan suatu ketika, seorang laki-laki mendatanginya dengan membawa empatpuluh dinar untuk dihadiahkan kepadanya. Lelaki itu berkata kepada Rabi'ah, "Gunakanlah ini untuk mencukupi keperluanmu”. Mendengar itu Rabi'ah pun menangis, lalu mendongakkan kepalanya ke langit dan berkata, "Dia (Allah) tahu bahwasannya saya malu untuk meminta kepada-Nya harta dunia, padahal Dialah yang maha memiliki semua itu, maka bagaimana saya ingin mengambil harta ini dari seseorang yang sebenarnya tidak memilikinya”.
Ja'far bin Sulaiman berkata, "Sufyan ats-Tsauri menggandeng tangan saya, lalu berkata, "Bawalah saya ke tempat perjamuan, yang dapat membuat hati saya damai". Kemudian kami mengunjungi Rabi'ah. Ketika sampai di sana, Sufyan ats-Tsauri mengangkat tangannya dan berdo'a, "Ya Allah kepada-Mu saya memohon keselamatan". Ketika mendengar itu Rabi'ah al-Adawiyah pun menangis, maka Sufyan bertanya padanya, "Apa yang membuatmu menangis?" "Andalah yang membuat saya menangis", jawab Rabi'ah. "Bagaimana saya dapat membuat anda menangis?" Tanya Sufyan tidak mengerti. Kemudian Rabi'ah menjelaskannya, "Anda tahu bahwa keselamatan dari tipu daya dunia hanya dapat diraih dengan meninggalkan gemerlapnya dunia itu sendiri. Maka bagaimana engkau memohon keselamatan sedangkan anda sendiri masih bergelimang dunia". Maka seketika itu Sufyan langsung berkata, "Alangkah menyedihkan". Lalu Rabi'ah berkata padanya, "Janganlah berbohong, tapi katakanlah, "Alangkah sedikit kesedihan ini". Karena jika engkau benar-benar merasa bersedih, maka kehidupan tidak akan membuatmu senang”.
Menjelang wafatnya, Rabi'ah al-Adawiyah berkata kepada seorang wanita yang selama ini membantunya, "Wahai saudari yang selama ini telah membantu saya, janganlah kamu beritahu siapapun tentang kematian saya ini. Dan kafanilah saya dengan jubah saya ini". Jubahnya itu terbuat dari bulu atau wol. Dia biasa memakainya untuk selimut di malam hari ketika tidur. Rabi'ah al-Adawiyah meninggal pada tahun 180 hijriyah, dalam usianya yang mencapai delapan puluh tahun.

Allah Mahatahu Apa yang Terbaik bagi Hamba-Nya

Dalam kitab Shifatush Shafwah, Ibnu Jauzi menceritakan dari Khalid bin al-Fazar. Khalid berkata, “Haywah bin Syuraih adalah seorang yang banyak berdoa dan menangis. Kondisi kehidupannya sulit sekali. Suatu kali aku datang mengunjunginya. Saat itu dia seorang diri dan sedang berdoa. Aku berkata kepadanya, ‘Semoga Allah merahmatimu, andaikan kamu berdoa kepada Allah untuk melapangkan kondisimu....’
Kemudian  dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia tidak melihat siapa-siapa. Lalu dia mengambil segenggam tanah dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah tanah ini emas.”
Tiba-tiba tanah itu berubah menjadi emas murni di dalam genggamannya. Aku tak pernah melihat emas lebih baik dari itu sebelumnya. Lalu dia lemparkan emas itu kepadaku dan berkata, “Tidak ada kebaikan di dunia kecuali kebaikan untuk akhirat.” Setelah itu, dia menoleh kepadaku dan berkata, “Dia yang lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.”
Aku bertanya padanya, “Apa yang harus aku lakukan terhadap emas ini?” (Maksudnya tanah yang telah berubah menjadi emas itu).
“Belanjakanlah.”
Aku lalu mengambil emas itu dan pulang dengan penuh kagum setelah menyaksikan hal yang ajaib ini dari ahli ibadah tersebut.

Syahid yang Dimakan Burung

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Abu Qudamah asy-Syami rahimahullah, Dia berkata, “Di salah satu peperangan, aku pernah menjadi pemimpin salah satu pasukan Muslimin. Aku datang ke sebuah kota lalu aku ajak manusia untuk berperang dan aku dorong mereka untuk jihad fi sabilillah serta pahala yang besar dan kenikmatan abadi yang Allah sediakan untuk para mujahidin. Setelah mendengar ajakanku, orang-orang itu bubar.
Aku lalu menunggangi kudaku dan pulang menuju rumahku. Tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sambil berteriak, ‘Wahai Abu Qudamah... wahai Abu Qudamah....’
Aku berkata dalam hati, ini adalah tipu daya setan untuk memfitnahku. Maka, aku pun terus melangkah tanpa menoleh sama sekali padanya. Wanita itu berkata, ‘Tidak begini seharusnya seorang yang saleh.’
Saat mendengar ucapannya itu, aku segera berhenti. Dia melangkah menujuku dan mengacungkan sehelai surat dan sebuah bungkusan yang diikat, lalu dia melangkah pergi sambil menangis. Aku lihat surat itu, ternyata isinya, ‘Sesungguhnya kamu telah menyeru kami untuk berjihad dan mendorong kami untuk mengejar pahala. Sementara, aku hanyalah seorang wanita yang tidak mampu untuk keluar langsung. Maka, aku potong sesuatu yang paling berharga pada tubuhku, yaitu kedua jalinan rambutku. Aku berikan kepadamu untuk kamu jadikan tali kekang kuda para mujahid fi sabilillah, semoga Allah melihat rambutku menjadi tali kekang kuda di jalan-Nya, sehingga Dia mau mengampuniku.’
Pada pagi hari peperangan, aku melihat seorang remaja di dalam barisan pasukan berperang dengan penuh keberanian dan tangguh. Aku mendekatinya dan berkata kepadanya, ‘Wahai anak muda, kamu masih terlalu muda dan berperang dengan berjalan kaki tanpa kuda, dan aku merasa khawatir kamu akan terinjak oleh kuda-kuda pasukan, maka sebaiknya mundurlah dari sini.’
Dia berkata, ‘Apakah kamu menyuruhku untuk mundur sementara Allah swt. telah berfirman,
KHAT
“Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Anfaal: 15—16)

Aku merasa kagum melihat keberanian dan ketegarannya, lalu aku menaikkannya ke atas untaku. Dia berkata, ‘Wahai Abu Qudamah, pinjamkanlah kepadaku tiga buah panah.’
Aku berkata, ‘Apakah ini dipinjamkan?’
Dia terus mendesakku hingga akhirnya aku menerima juga permintaannya. Aku berkata kepadanya, ‘Dengan syarat seandainya Allah mengaruniakan syahadah pada kita, aku berada dalam syafaatmu di hari Kiamat nanti.’
‘Baik,’ katanya.
Lalu aku memberikannya tiga buah panah. Dia letakkan satu panah di busurnya lalu dia berkata, ‘Salam untukmu wahai Abu Qudamah.’
Panah itu dilepaskannya dan dapat membunuh seorang pasukan Romawi. Kemudian dia ambil satu lagi dan dia berkata, ‘Salam untukmu, wahai Abu Qudamah.’ Panah itu pun dapat membunuh seorang musuh lagi. Lalu, dia ambil yang terakhir dan dia berkata, ‘Salam untukmu wahai Abu Qudamah, salam perpisahan.’
Tiba-tiba, sebuah panah melesat ke arahnya dan mengenai tepat di antara kedua matanya. Dia lalu meletakkan kepalanya di atas buntalan bekalnya. Aku melangkah ke dekatnya dan berkata kepadanya, ‘Jangan lupa yang tadi.’
Dalam keadaan bercucuran darah dia berkata, ‘Baik, tetapi aku minta tolong kepadamu, jika kamu sudah sampai di Madinah temuilah ibuku dan berikan barang-barang milikku ini kepadanya, lalu ceritakanlah kepadanya kisahku.’
Abu Qudamah berkata, ‘Tetapi, beritahukan dulu kepadaku siapa ibumu, dan bagaimana caranya aku untuk mengetahuinya di antara sekian banyak wanita di Madinah?’
Dia berkata, ‘Ibuku adalah yang telah memberikan kepadamu rambutnya untuk dijadikan tali kekang kuda fi sabilillah. Sampaikanlah salam kepadanya, karena di tahun sebelumnya dia diuji dengan kematian ayahku dalam jihad dan di tahun ini dia diuji lagi dengan kematianku.’
Kemudian dia wafat. Setelah perang usai, aku gali kuburan untuknya. Ketika kami hendak melangkah tiba-tiba jasadnya dilemparkan oleh bumi. Sahabat-sahabatku berkata, ‘Dia masih sangat muda, barangkali dia pergi tanpa izin ibunya sehingga bumi menolaknya dan tidak menerimanya.’
Aku berkata, ‘Sesungguhnya bumi menerima jasad yang lebih buruk lagi.’
Kami tidak tahu apa yang mesti kami lakukan. Tiba-tiba datanglah sekelompok burung putih lalu memakan jasad anak itu. Kami hanya bisa melihat terpaku, tak ada seorang pun di antara kami yang berani mendekat.
Sesampai di Madinah aku segera pergi menuju rumah ibunya. Setelah aku ketuk pintu, keluarlah saudari anak itu. Ketika melihatku, dia kembali masuk dan memanggil ibunya, ‘Ibu, ini Abu Qudamah datang, tetapi tidak bersama saudaraku.’
Ibunya keluar dan dia berkata, ‘Apakah kamu datang untuk berbelasungkawa atau untuk menyampaikan ucapan selamat?’
‘Maksudnya apa?’ tanyaku keheranan.
‘Kalau anakku mati hiburlah aku, tetapi kalau dia syahid maka berilah aku ucapan selamat.’
‘Anakmu sudah syahid.’
‘Dia mempunyai bukti, apakah kamu melihatnya?’ tanyanya.
‘Ya, jasadnya tidak diterima bumi, kemudian datanglah sekelompok burung lalu memakan dagingnya dan membiarkan tulangnya, maka aku hanya dapat menguburkan tulang-tulangnya saja.’
Ibu itu berkata, ‘Alhamdulillah.’

Kemudian dia melanjutkan, ‘Setiap malam, anakku selalu berada di mihrab melaksanakan shalat, dia bermunajat dan bermunajat dengan penuh khusyu. Dia berdoa dalam munajatnya, ‘Ya Allah, bangkitkanlah aku nanti dari dalam perut burung.’ Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan doanya.’ 
Demikianlah, wanita itu memperoleh apa yang dia angankan berupa pahala, dan anaknya juga telah memperoleh apa yang diinginkan ketika Allah memperkenankan doanya. Itulah ciri orang-orang yang saleh.”

Seorang Wanita Tua Bersama Putranya Yang Wafat

Anas r.a. menceritakan: "Aku pernah menemukan dalam umat ini tiga hal yang seandainya ada pada umat Bani Israil niscaya tak satupun umat-umat lain yang menyainginya." Kami bertanya pada Anas: "Apa yang tiga itu wahai Abu Hamzah?"
Anas menjawab: "Kami pernah duduk-duduk di Shuffah bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datanglah seorang wanita yang baru hijrah bersama putranya yang sudah baligh. Rasulullah saw. menyerahkan wanita itu untuk dijamu oleh istri-istri sahabat. Sementara puteranya diserahkannya pada kami.

Tak berapa setelah itu sang anak terkena wabah penyakit Madinah sehingga ia jatuh sakit selama beberapa hari. Tak lama kemudian ia wafat. Nabi sendiri yang menutup matanya kemudian menyuruh para sahabat untuk mempersiapkan penyelenggaraan jenazahnya. Ketika kami hendak memandikannya Rasulullah bersabda: "Wahai Anas, temuilah ibunya dan beritahukan kabar ini padanya."

Kemudian aku menemui ibunya dan memberi kabar tentang kematian putranya. Sang ibu datang dan duduk di kedua kaki puteranya. Ia rengkuh kedua kaki itu dan ia berkata: "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menyerahkan diri sepenuhnya pada-Mu, aku tidak pernah mengikuti para berhala, lalu aku hijrah menuju agama-Mu dengan penuh suka. Ya Allah, jangan buat para penyembah berhala gembira dengan musibah yang menimpaku dan jangan bebankan padaku sesuatu tidak mampu aku menanggungnya."

Demi Allah, baru saja ia selesai berdoa, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan menyingkirkan pakaian yang menutupi wajahnya. Ia tetap hidup sampai Rasulullah saw. wafat dan juga sampai ibunya wafat." 

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari Anas bin Malik, ia berkata: "Kami pernah berkunjung menjenguk seorang pemuda Anshar yang sedang sakit. Tak berapa lama setelah itu ia wafat lalu kami tutup matanya dan kami selimuti badannya. Sebagian diantara kami pergi menemui ibu pemuda tersebut dan berkata: "Ikhlaskanlah kepergiannya."
Ibunya bertanya: "Apakah ia sudah wafat?"
"Ya," jawab kami.
Ibu itu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku beriman pada-Mu dan hijrah menuju rasul-Mu, apabila ditimpa kesempitan aku akan berdoa pada-Mu dan Engkau segera melapangkannya. Maka aku mohon pada-Mu ya Allah, jangan bebankan padaku musibah ini."
Anas berkata: "Tiba-tiba pemuda itu membuka pakaian yang menutupi wajahnya. Sebelum pulang ia sempat makan bersama kami."