Aisyah dan Keridhaannya terhadap Qadha Allah

Ketika pasukan muslim kembali dari peperangan di Bani Mushtaliq, Aisyah r.a. –yang ketika itu bersama para wanita yang sedang beristirahat sebelum memasuki ke Madinah— tertinggal karena mencari sebuah kalungnya yang terlepas ketika dia sedang membuang air. Tidak seorang pun dari pasukan muslimin yang tahu jika Aisyah belum kembali ke dalam tandu ontanya, sehingga mereka membawanya karena mengira Aisyah ada di dalamnya. Maka ketika Aisyah kembali ke tempat peristirahatan orang-orang muslimin tersebut, mereka sudah tidak ada di tempat.
Aisyah mengisahkan keadaannya, “Lalu saya melipatkan jilbab saya ke badan saya, lalu saya tiduran di tempatku. Saya tahu, jika mereka tidak menemukan saya, pasti mereka akan kembali mencari saya. Ketika saya rebahan, tiba-tiba Shafwan ibnul Mu’aththal as-Sulami, yang juga tertinggal karena ada keperluan sehingga tidak bermalam bersama orang-orang muslim, melewatiku. Ketika dia melihat bayanganku, dia pun mendekatiku. Dan sebelumnya dia pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atas kami. Lalu dia pun bertanya, “Innalillaahi wainnaa lillaahi raaji’uun, isteri Rasulullah saw.”.
Ketika itu saya menutupkan jilbab saya ke tubuh saya.
Dia bertanya lagi, “Apa yang membuatmu tertinggal, semoga Allah mengasihimu?”
Saya tidak mengatakan apapun kepadanya. Kemudian dia mendekatkan ontanya, lalu berkata, “Naiklah dan saya akan berjalan di depan”.
Maka saya pun naik ke punggung ontanya, dan dia berjalan dengan memegang tali onta tersebut. Lalu dia berjalan cepat untuk menyusul pasukan muslimin, namun kami tidak juga dapat menyusul mereka. Sedangkan orang-orang muslim baru menyadari bahwa saya tidak ada di dalam tandu ketika pagi hari, ketika mereka singgah di suatu tempat. Kemudian ketika mereka sedang beristirahat, kami sampai ke tempat itu. Maka orang-orang penyebar cerita Ifki ( cerita dusta ) menyebarkan tuduhan keji tentangku. Maka terjadi keributan dalam pasukan muslimin, dan Allah lebih tahu tentang hal itu”.
    Kemudian setelah sampai ke Madinah, Aisyah r.a. sakit, lalu dia pulang ke rumah ayahnya untuk dirawat oleh ibunya. Aisyah tidak mengetahui apa yang disebarkan oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang berjiwa lemah tentangnya dan tentang Shafwan ibnul Mu’aththal. Mereka menuduhnya melakukan kekejian, haasyaahallaahu ta’ala.
Setelah dua puluh hari berlalu, Aisyah r.a. mengetahui tentang apa yang dituduhkan kepadanya dari Ummu Masthah bintu Abi Rahm. Maka Aisyah pun berkata, “Demi Allah, ketika saya tidak mampu menyelesaikan keperluanku dan saya pun langsung kembali ke rumah. Demi Allah, saya terus menangis hingga seakan hatiku hampir pecah karenanya. Lalu saya katakan kepada ibuku, “Ibu, semoga Allah mengampunimu. Orang-orang ramai meributkan cerita itu, namun engkau sedikitpun tidak mengatakannya kepada saya”.
    Maka ibunya berkata, “Wahai anakku, janganlah kau terlalu memikirkan hal ini. Demi Allah, seringkali seorang wanita cantik yang dicintai oleh suaminya yang mempunyai banyak isteri tidak disenangi oleh isteri-isteri yang lain”.
Aisyah r.a. berkata, “Kemudian Rasulullah saw. mendatangi saya dan ketika itu ayahku, ibuku dan seorang wanita Anshar ada di dekatku. Sedangkan saya masih menangis dan wanita Anshar itu juga menangis bersamaku. Lalu beliau mengucapkan hamdalah dan memuji Allah, kemudian bersabda, “Wahai Aisyah, kau telah mendengar apa yang dikatakan orang-orang. Maka bertakwalah kepada Allah, jika engkau memang telah melakukan apa yang dikatakan orang-orang, maka bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya”.
Aisyah berkata, “Demi Allah, setelah beliau mengatakan hal itu, air mataku terasa habis, hingga saya tidak merasakan air mataku lagi. Dan saya menunggu kedua orang tuaku menjawab sabda Rasulullah saw. tersebut, namun keduanya tetap tidak menjawab. Demi Allah, sungguh saya teramat hina dan rendah untuk mengharapkan agar Allah menurunkan Al-Qur’an yang dibaca di masjid-masjid dan dibaca orang ketika shalat tentang tidakbersalahnya saya. Akan tetapi saya sangat mengharapkan Rasulullah saw. bermimpi yang di dalamnya Allah membantah tuduhan orang-orang terhadap saya, karena ketidaksalahan saya yang diketahui-Nya, atau Dia memberitahu beliau akan hal itu”.
Aisyah berkata lagi, “Ketika saya melihat ayah dan ibuku tidak berbicara, maka saya katakan kepada mereka, “Apakah kalian berdua tidak menjawab Rasulullah saw.?”
Keduanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak tahu apa yang harus kami katakan untuk menjawabnya”.
Aisyah berkata juga, “Demi Allah, setahu saya tidak ada keluarga yang didatangi oleh beliau seperti rumah Abu Bakar di hari-hari itu. Ketika saya lihat kedua orang tuaku tidak membelaku, saya pun menangis dan saya katakan, “Demi Allah, selamanya saya tidak akan bertaubat atas apa yang engkau katakan. Demi Allah, jika saya mengakui apa yang dituduhkan orang-orang —dan Allah tahu bahwa saya tidak melakukannya— tentu saya mengatakan apa yang tidak saya lakukan. Sedangkan jika saya mengingkari tuduhan itu, kalian tetap tidak mempercayaiku. Maka saya katakan seperti yang dikatakan Ya’qub a.s., ayah Yusuf a.s.,

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." ( Yusuf: 18 ).
Maka demi Allah, ketika Rasulullah saw. masih berada di tempat duduk beliau, Allah pun menurunkan wahyu kepada beliau. Maka beliau menutupkan baju ke tubuh beliau, lalu diletakkan bantal yang terbuat dari kulit di bawah kepada beliau. Ketika melihat apa yang terjadi, saya tidak terkejut dan saya tidak peduli. Saya tahu bahwa saya terbebas dari tuduhan orang-orang, dan Allah tidaklah menzalimi saya.
    Kemudian Rasulullah saw. pun kembali tenang, lalu beliau duduk. Dan dari wajah beliau mengalir keringat seperti mutiara-mutiara di hari yang dingin. Lalu beliau mengusap keringat dari kening beliau seraya bersabda, “Selamat wahai Aisyah”. Dan beliau membacakan ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau ketika itu,  yaitu sebagian dari surah an-Nur,

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. ( an-Nuur: 11 ).
Demikianlah, bukti ketidakbersalahan Aisyah r.a. turun dari Allah ‘Azza wajalla, setelah dia ikhlas dan ridha terhadap qadha Allah. Semoga Allah ridha dan membuatnya ridha.

Kelapangan Setelah Kesempitan Untuk Nabi Ibrahim as.

Diantara cobaan berat yang diderita oleh Nabi Ibrahim as. adalah di saat ia menyeru kaumnya untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan terhadap patung, bintang-bintang dan segala sesuatu selain Allah. Akan tetapi mereka durhaka dan bahkan berkonspirasi untuk membunuhnya dengan cara membakarnya dalam kobaran api.

"Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia dalam api yang menyala-nyala itu." Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina." ( ash-Shaffat: 97-98)

Mereka mulai mengumpulkan kayu bakar dari setiap penjuru daerah. Bahkan mereka mengumpulkan itu dalam waktu yang cukup lama untuk menyenangkan tuhan-tuhan mereka. Kemudian mereka gali sebuah lobang yang besar lalu mereka lemparkan kayu bakar yang mereka kumpulkan tersebut ke dalamnya. Setelah itu mereka nyalakan api. Api mulai membesar dan semakin membara. Jilatan-jilatannya menjulang ke langit.

Kemudian mereka letakkan Ibrahim dalam sebuah ketapel raksasa setelah terlebih dahulu mereka ikat dengan kuat. Sementara itu Ibrahim selalu mengulang-ulang:

"Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau Tuhan semesta alam, bagi-Mu segala puji, bagi-Mu segenap kekuasaan, tak ada sekutu bagi-Mu."

Ketika mereka hendak melemparkannya ke dalam kobaran api, ia berkata:

"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."

Sebagian ulama salaf berkata: "Di saat Ibrahim dilemparkan ke dalam api –setelah orang-orang kafir itu melepaskan ketapel besar tersebut- datanglah Jibril as. kepadanya dan bertanya: "Wahai Ibrahim, apakah engkau mempunyai kebutuhan?"
"Kalau kepadamu tidak," jawab Ibrahim.
Yang dimaksud Nabi Ibrahim adalah bahwa yang akan menyelamatkannya dari semua kesulitan itu hanyalah Allah SWT.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair bahwa saat itu malaikat hujan bertanya-tanya: "Kapan aku diperintahkan untuk menurunkan hujan?" Ternyata perintah Allah lebih cepat. 

Kelapangan yang Allah turunkan kepada Nabi Ibrahim as. adalah ketika Allah memerintahkan api menjadi dingin dan menyelamatkan Ibrahim.

"Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim." ( al-Anbiyaa`: 69)    

Seketika itu juga api menjadi dingin dan Nabi Ibrahim pun selamat. Para ulama menyebutkan bahwa tak seorangpun penduduk bumi saat itu yang bisa menggunakan api. Jadi, perintah itu adalah untuk seluruh api yang ada di atas bumi. Api tersebut hanya membakar rantai yang membelenggunya saja.

Adh-Dhahhak berkata: "Diriwayatkan bahwa Jibril as. ada di dekat Ibrahim sambil menyeka keringat dari wajahnya tapi ia tidak terkena apa-apa."

As-Sudiy berkata: "Malaikat naungan juga ada bersamanya. Saat itu Nabi Ibrahim sudah hampir binasa. Di sekelilingnya api tapi sesungguhnya ia berada di taman yang hijau. Orang-orang tidak bisa mendekat padanya dan ia juga tidak bisa keluar."

Al-Minhal bin 'Amru berkata: "Diceritakan padaku bahwa Nabi Ibrahim berada di dalam api itu selama empat puluh atau lima puluh hari. Ia berkata: "Tak ada hari-hari dan malam-malam yang lebih indah aku rasakan daripada di saat aku berada di sana. Aku sangat berharap seandainya hidupku seluruhnya adalah seperti di saat aku berada di dalamnya."

Keridhaan Ummu Salamah kepada Allah

Ummu Salamah, yang nama aslinya Hindun Bintu Umayyah bin Suhail r.a., masuk Islam ketika masih di Mekkah bersama suami pertamanya, Abu Salamah Abdullah bin Asad. Abu Salamah Abdullah bin Asad sendiri adalah salah seorang saudara sesusuan Rasulullah saw. dan anak bibi beliau.
Ummu Salamah ikut hijrah pertama ke Habasyah ( Ethiopia ) bersama suaminya. Kemudian hijrah ke Madinah sendirian setelah keluarganya melarangnya hijrah bersama suaminya. Dan dia adalah wanita pertama yang hijrah ke Madinah.
Suaminya terkena panah pada perang Uhud namun masih sempat tertolong. Akan tetapi lukanya kembali kambuh, akhrinya dia pun meninggal dunia. Semoga Allah ridha terhadapnya.
Sebelum suaminya meninggal, Ummu Salamah pernah berkata kepadanya, “Saya mendengar bahwa setiap wanita yang ditinggal mati suaminya yang menjadi penghuni surga, kemudian isterinya itu tidak menikah lagi, maka Allah mempertemukan mereka di surga”.
Lalu Ummu Salamah berkata lagi kepada suaminya, “Saya mengajakmu berjanji, bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalanku, dan saya tidak akan menikah lagi sepeninggalanmu”.
Maka suaminya berkata, “Apakah engkau akan taat kepadaku”.
Ummu Salamah menjawab, “Ya”.
Suaminya berkata, “Jika saya mati, maka menikahlah”.
Kemudian suaminya berdoa untuk Ummu Salamah, “Ya Allah, setelah saya meninggal berilah Ummu Salamah suami yang lebih baik dariku, yang tidak membuatnya sedih dan tidak menyakitinya”.
Ketika suaminya meninggal, Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw., “Apa yang harus saya ucapkan?”
Rasulullah saw. menjawab,

“Katakanlah, “Ya Allah, ampunilah dia, dan berilah saya pengganti yang baik”.
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda,

“Jika seseorang dari kalian tertimpa musibah, maka katakanlah, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya. Ya Allah, pada-Mu saya mengikhlaskan musibah yang menimpaku, maka berilah saya pahala karenanya dan berilah saya pengganti yang lebih baik darinya”.
Setelah mengulang-ulang doa yang diberkati tersebut, Ummu Salamah berkata, “Namun siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah?”.
Ummu Salamah ridha terhadap qadha Allah, dan dia pun sabar serta ikhlas kepada Allah ‘azza wajalla. Ketika masa ‘iddahnya selesai, Abu Bakar melamarnya, namun dia menolaknya. Umar pun melamarnya, maka dia tetap menolaknya.  Lalu Nabi saw. mengirimkan pesan kepadanya, maka Ummu Salamah pun menjawab, “Selamat datang kepada Rasulullah saw.”.
Kemudian berkata, “Saya adalah seorang wanita yang sangat pencemburu. Dan saya seorang janda yang mempunyai beberapa anak. Di samping itu, saat ini tidak seorang pun dari waliku yang ada”.
    Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Adapun perkataanmu bahwa engkau janda yang mempunyai anak, maka Allah akan memberi kecukupan bagi anak-anakmu. Adapun ucapanmu, bahwa engkau adalah wanita yang sangat pencemburu, maka saya akan berdoa agar Allah menghilangkan kecemburuanmu. Adapun para wali, maka tidak seorang pun dari mereka kecuali akan ridha terhadap saya”.
Kemudian Ummu Salamah pun menikah dengan Rasulullah saw. dan menjadi salah satu Ummahatul Mukminin, radhiyallahu anhaa wa ardhaahaa.

Orang yang Pahalanya Paling Besar

Dari Artha`ah Ibnul Mundzir, bahwa suatu hari Umar ibnul Khathab bertanya kepada orang-orang yang ada di dekatnya, “Siapakah orang yang paling besar pahalanya?”
Maka orang-orang menyebutkan puasa dan shalat yang dilakukan Umar, seraya berkata, “Setelah Amirul Mukminin, orang yang pahalanya paling besar adalah si fulan dan si fulan”.
Namun Umar berkata, “Apakah kalian mau saya beritahu tentang orang yang pahalanya lebih besar dari orang-orang yang kalian sebutkan dan dari Amirul Mukminin?”
“Ya”, jawab mereka singkat.
Umar berkata, “Dia adalah seorang pemuda di Syam. Dia memegang kendali kudanya, menjaga pasukan muslim dari belakang. Dia tidak tahu apakah binatang buas akan menerkamnya, binatang melata akan menyengatnya atau musuh akan menyerangnya. Dialah orang yang pahalanya lebih besar dari orang yang kalian sebutkan dan dari Amirul Mukminin”.

Istri yang Setia kepada Suaminya

Al-Jabarati, seorang ahli sejarah terkenal menceritakan satu kisah yang sangat menakjubkan tentang kehidupan seorang istri, “Ayahku, Syekh Hasan al-Jabarati menikah dengan putri Ramadhan al-Halabi. Istrinya sangat baik dan patuh kepadanya. Di antara bentuk ketaatan dan kebaikannya itu, suatu kali dia membelikan seorang budak wanita untuk suaminya dengan uangnya sendiri. Budak itu dihiasinya dengan pakaian dan perhiasan yang indah-indah, lalu diserahkannya kepada suaminya. Dia sangat yakin bahwa dia akan memperoleh pahala dan ganjaran dari Allah. Suaminya banyak memiliki istri dan budak wanita, tetapi hal itu tidak menimbulkan rasa cemburu dalam dirinya.
Salah satu peristiwa yang mengagumkan adalah sewaktu ayahku melaksanakan haji pada tahun 1156 H, dia bertemu dengan Syekh Umar al-Halabi. Syekh Umar menyarankannya untuk membeli seorang budak wanita yang cantik dan masih gadis. Setelah pulang haji, dia meminta kepada pembantunya untuk membelikan seorang budak wanita sesuai dengan kriteria yang disarankan oleh Syekh Umar. Setelah lama mencari, akhirnya ditemukanlah budak wanita dengan sifat-sifat tersebut, lalu dikirimnya budak tersebut kepada istrinya tadi.
Ketika datang saatnya untuk melakukan sebuah perjalanan, dia memberitakan hal tentang budak itu kepada istrinya. Sang istri berkata, ‘Aku sangat mencintai gadis ini dan aku tak sanggup berpisah dengannya. Aku tidak mempunyai anak, maka aku sudah menganggap dia sebagai putriku sendiri.’
Mendengar hal itu budak wanita tersebut menangis dan berkata, ‘Aku juga tidak akan meninggalkan tuanku dan aku tidak akan pergi dari sisinya selamanya.’
Sang suami sedikit kebingungan, ‘Lalu bagaimana semestinya?’
Istrinya berkata, ‘Aku akan bayar harganya dengan uangku sendiri dan kamu membeli yang lain.’ Sang suami setuju. Kemudian sang istri memerdekakan budak tersebut dan dia dinikahkan dengan suaminya, lalu disiapkan untuknya tempat khusus secara terpisah. Ayahku mulai berhubungan dengan istri barunya itu pada tahun 1165 H. Sang istri tadi tetap tidak bisa berpisah dengan istri baru suaminya ini meskipun sekarang dia sudah menjadi istri suaminya. Istri baru ini dapat mempersembahkan anak untuk suaminya.
Pada tahun 1182 H, istri muda ini sakit. Istri tua pun ikut sakit karenanya dan sakitnya semakin parah. Pada suatu siang, istri muda menjenguk tuannya (istri tua) yang sedang berada dalam kondisi tak sadarkan diri. Melihat kondisi tuannya  dia menangis dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, seandainya Engkau takdirkan tuanku meninggal, maka wafatkanlah aku terlebih dahulu sebelumnya.’
Pada malam harinya, istri muda ini wafat. Orang-orang membaringkan tubuhnya di samping tuannya (istri tua). Di penghujung malam istri tua ini terbangun dan  dia merasakan ada tubuh yang berada di sampingnya. Dia segera memanggil-manggil, ‘Zulaikha...Zulaikha....’ Orang-orang berkata untuk menghiburnya, ‘Ia sedang tidur.’
Akan tetapi, istri tua ini sudah menyadari. Dia berkata, ‘Sesungguhnya firasatku mengatakan bahwa dia sudah wafat. Aku sudah tahu hal itu dari mimpiku.’
Orang-orang berkata, ‘Yang penting kau akan tetap hidup.’
Lalu dia bangkit dan berkata, ‘Tak ada lagi kehidupan bagiku setelah dia wafat.’
Dia terus menangis sampai siang hari. Akhirnya, mayat istri muda tersebut dimandikan di depan tuannya (istri tua).
Selesai pemakaman, istri tua ini kembali ke pembaringannya dan akhirnya dia pun wafat di sore hari itu. Namun, pemakaman jenazahnya baru diselenggarakan pada hari berikutnya. Kisah ini adalah di antara kisah yang paling menakjubkan yang pernah aku lihat dan saksikan sendiri. Saat itu usiaku masih empat belas tahun.”

Berharap Mati di Sampah

Shalt bin Hakim berkata, “Abdullah bin Marzuq kelihatan seperti seseorang yang kehilangan akal. Seolah-olah dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dia mempunyai beberapa helai rambut di kedua pelipisnya. Apabila dia berzikir air matanya akan berlinangan.”
Salamah menceritakan bahwa ketika sakit, Abdullah bin Marzuq memberi wasiat kepadaku, “Wahai Salamah, aku mempunyai satu permintaan kepadamu.”
“Apa itu?” tanyaku.
“Engkau angkat badanku dan lemparkan ke sampah, biar aku mati di sana. Semoga Dia melihatku di tempat itu dan mau mengasihiku.” Semoga Allah merahmatinya.
Abu Abdirrahman as-Silmi mengatakan bahwa dulunya Abdullah bin Marzuq adalah seorang Gubernur Harun ar-Rasyid, tetapi dia tinggalkan semua itu dan  dia lebih memilih hidup zuhud.

TOBAT HISYAM IBNUL

Hisyam ibnul ‘Ashi telah lama masuk Islam di Mekah. Ketika Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat beliau untuk berhijrah ke Madinah al-Munawwarah, Hisyam ibnul ‘Ashi pun ingin berangkat hijrah. Dia bersepakat dengan Umar ibnul hthab dan ‘Ayyasy bin Rabi’ah untuk berhijrah bersama-sama. Mereka saling sepakat bahwa besok paginya mereka harus sudah tiba di sebuah tempat yang telah mereka sepakati. Jika ada yang tertahan satu dari antara mereka, kedua yang lainnya tetap meneruskan hijrahnya.
    Umar ibnul hthab dan ‘Ayyasy pun datang ke sebuah tempat yang telah mereka sepakati, sementara Hisyam tidak datang. Itu karena keluarganya tahu rencana hijrahnya ke Madinah dan mereka pun menahannya. Hisyam mendapat cobaan berat karena agamanya, sehingga dia pun menyatakan keluar dari Islam dan mengikuti agama kaumnya, dan dia tetap tinggal di Mekah.
    Umar ibnul hthab r.a. berkata, “Allah tidak mau menerima orang-orang disiksa untuk berpaling dan tidak pula berlaku adil serta tidak pula untuk tobat. Sebuah kaum yang telah mengenal Allah kemudian mereka kembali kepada kekufuran karena siksa yang mereka alami.”
    Ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, Allah swt. menurunkan kepada beliau firman-Nya, “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya.’” (az-Zumar: 53-55)
    Umar ibnul hthab berkata, “Aku pun segera menulisnya dengan tanganku sendiri di atas sebuah lembaran dan aku kirimkan ke Hisyam ibnul ‘Ashi.”
    Hisyam berkata ketika surat yang dikirim Umar sampai kepadanya dan berisikan ayat tersebut, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Ketika surat itu sampai kepadaku, aku membacanya di Dzi Thuwa—sebuah tempat di daerah bawah Mekah—aku menaiki tempat itu kemudian aku turun darinya tapi aku tidak juga bisa memahaminya sampai akhirnya aku berkata, ‘Ya Allah, pahamkanlah aku ayat ini.’”
    Dia berkata, “Allah swt. menurunkan ke dalam hatiku pemahaman bahwa ayat ini diturunkan kepada kami dan kepada apa yang sering kami katakan dalam diri kami serta apa yang ditujukan kepada kami. Aku kemudian segera kembali ke untaku dan aku menaikinya. Aku pun langsung berangkat menemui Rasulullah saw. yang sudah berada di Madinah.”
    Sesungguhnya rahmat Allah sangatlah luas sekali, melebihi luas segala sesuatu. Untuk itu, Allah swt. memerintahkan kita untuk bersegera mungkin bertobat dan memohon ampun. Allah swt. berfirman, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
    Kemudian Allah tidak membuat para hamba-Nya yang bergelimangan dosa untuk tidak berputus asa, maka Allah memanggil mereka, “Wahai  hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (az-Zumar: 53)
    Beritahukan kepada mereka bahwa Dia akan mengampuni semua dosa selama nyawa belum sampai ke kerongkongan. Untuk itu, Allah memerintahkan mereka untuk segera kembali ke jalan-Nya dan bertobat kepada-Nya sebelum datang kematian. Sebab, kalau mereka sudah meninggal dunia, mereka akan mendapat azab dan siksa akhirat. Di sana (akhirat) sudah tidak ada lagi yang akan menolong diri mereka.

Hudzaifah Ibnul Yaman dan Ayahnya yang Terbunuh

Ibnu Ishaq berkata, “Ashim bin Amir bin Qatadah memberitahu saya, dari Mahmud bin Labid, dia berkata, “Ketika Rasulullah saw. berangkat menuju Uhud, beliau mengangkat Husail bin Jabir, seorang dari Yaman, dan Tsabit bin Waqsy untuk menjadi  para wanita dan anak-anak di atas benteng.
    Lalu salah satu dari mereka, dan keduanya sama-sama sudah tua, berkata, “Saya tidak peduli apa yang kau tunggu. Demi Allah, kita berdua ini adalah peminum khamar. Sesungguhnya hari ini atau besok kita tetap akan mati. Mengapa kita tidak mengambil pedang kita kemudian kita menyusul Rasulullah saw., dan semoga Allah memberi kita syahadah?”.
    Maka keduanya segera mengambil pedang mereka, kemudian berangkat ke Uhud. Kemudian mereka langsung terjun ke medan peperangan dan tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan mereka. Akhirnya Tsabit bin Waqsy terbunuh oleh orang-orang musyrik. Sedangkan Husail bin Jabir, tanpa sengaja  terbunuh oleh orang-orang muslim karena ketidaktahuan mereka.
    Ketika mengetahui bahwa ayahnya terbunuh oleh orang-orang muslim yang mengira dia termasuk pasukan orang-orang musyrik karena tidak berangkat bersama orang-orang muslim sehingga antara teman dan musuh tidak nampak, Hudzaifah berkata, “Demi Allah, itu ayahku”.
Maka orang-orang muslim berkata, “Demi Allah, jika kami tahu tentu kami tidak akan membunuhnya”.
Hudzaifah berkata, “Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Maha Pengasih”.
Lalu Rasulullah saw. membayarkan diyat ayahnya karena terbunuh secara tidak sengaja, namun Hudzaifah menyedekahkannya kepada orang-orang muslim. Sehingga hal itu menambah kebaikannya di sisi Rasulullah saw..
    Demikianlah, Hudzaifah ridha kepada qadha dan qadar Allah atas kematian ayahnya, semoga Allah meridhai mereka berdua.   

Kisah Humamah dan Keinginan untuk Bertemu Allah

Humaid bin Abdurrahman berkata, “Ada salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Humamah pergi berperang menuju Ashfahan yang akhirnya ditundukkan pada masa Khilafah Umar. Ketika akan berangkat, Humamah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Humamah mengira bahwa dia ingin bertemu dengan-Mu. Jika dia jujur dengan hal itu, maka tetapkan atasnya kejujurannya tersebut. Namun jika dia bohong, maka tetapkanlah juga atasnya, walaupun dia tidak suka. Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan Humamah dari perjalanannya ini”.
Maka dia pun meninggal dunia di Ashfahan.
Saya ( penulis ) katakan, “Sesungguhnya itu adalah kejujuran seorang mukmin kepada Tuhannya dan keinginannya untuk bertemu dengan-Nya. Juga merupakan keridhaan seorang hamba  kepada Tuhannya dan keridhaan Tuhannya kepada sang hamba. Semoga Allah meridhai mereka semua dan mereka pun ridha kepada Allah. Sesungguhnya yang ada pada Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Surga dan kekekalan di dalamnya adalah lebih baik dari pada dunia dan kefanaan di dalamnya.
Semoga Allah memberi ampunan, kesejahteraan dan husnul khatimah kepada kita”.

TOBAT ASIAH ISTRI FIR

Dia menjadi contoh yang jarang adanya dari wanita yang telah Allah jadikan sebagai teladan bagi orang-orang yang beriman dan juga Maryam binti Imran. Rasulullah saw. bersabda,

“Cukup bagimu empat orang dari wanita di dunia ini: Maryam binti Imran, Asiah istri Fir’aun, Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad saw..”45
    Asiah binti Muzahim adalah istri seorang musuh Allah yaitu Fir’aun pada masa Nabi Musa a.s.. Dia pernah mengasuh Musa dan menjadi ibu angkatnya setelah ibu kandung yang melahirkan dan menyusuinya.  Allah swt. mengutus Musa kepada Fir’aun dengan risalah kenabiannya dan mengajaknya kepada kebenaran dan menyembah kepada Allah Yang Esa dan mengajaknya agar membiarkan jalan bagi Bani Israil dan tidak menyiksa mereka. Namun, Fir’aun menolak dan menunjukkan kesombongannya.
    Akan tetapi Asiah, istrinya, langsung beriman kepada Musa dan risalah yang dibawanya. Dia percaya dengan kalimat-kalimat Allah dan apa yang telah Allah turunkan berupa kebenaran. Dia terus mendukung dan mempertahankan Musa dan dakwahnya di hadapan keganasan Fir’aun yang memang telah mengetahui perkara keislamannya dan tidak mau lagi tunduk dengan ketuhanan Fir’aun.
    Kemudian Fir’aun berusaha untuk memalingkannya dari jalan keimanan dengan melakukan penganiayaan dan penyiksaan terhadapnya di bawah panas matahari, hingga dia memohon kepada Allah swt., “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (at-Tahriim : 11)
    Allah swt. langsung mangabulkan doanya dan Allah menyelamatkannya dari Fir’aun dan para pasukannya ketika mereka hendak memasukkannya ke dalam sebuah kuali besar. Allah langsung mengangkatnya kepada-Nya dan mencabut nyawanya untuk selanjutnya hidup di Jannatun Na’im.
Allah swt. berfirman,
    “Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun, ketika dia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.’” (at-Tahriim: 11)
    Asiah r.a. merupakan contoh dan teladan bagi wanita mukminah yang telah meninggalkan kekuasaannya dan tidak mau tunduk kepada orang-orang yang telah melakukan kezaliman dan terlepas dari mereka, karena dia adalah istri seorang raja Mesir yaitu Fir’aun. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk beriman kepada Allah swt. dan mengikuti rasul-Nya Musa a.s.. Dia tetap bersabar atas segala penyiksaan yang dialaminya dari sang suami, Fir’aun. Karena amalnya tersebut, yang menjadi ganjarannya adalah Jannatun Na’im, sementara balasan atas suaminya adalah neraka Jahanam yang kekal di dalamnya. Bahkan, Allah swt. telah menjadikan wanita ini sebagai contoh dan teladan bagi semua orang yang beriman. Dia telah termaktub dalam Al-Qur’an yang terus akan dibaca sampai hari Kiamat nanti.46

Atha` bin Muslim dan Keridhaan kepada Allah

Abdurrahman bin Yazid bin Jabir berkata, “Pada suatu ketika kami dalam peperangan bersama Atha` al-Khurasani. Di masa-masa peperangan tersebut, Atha` selalu bangun malam dan melakukan shalat malam. Ketika telah berlalu sepertiga atau setengah malam, dari dalam tendanya dia memanggil kami, “Wahai Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, wahai Yazid bin Yazid, waha Hisyam ibnul Ghaz, wahai fulan bin fulan, bangunlah dan wudhulah, lalu lakukanlah shalat. Karena sesungguhnya shalat malam dan puasa di hari-hari ini lebih ringan dari pada meminum nanah dan potongan-potongan besi. Dengarkanlah wahyu Allah dan marilah menuju keselamatan”. Kemudian dia melakukan shalat.
Dia juga berkata, “Saya tidak berwasiat kepada kalian untuk memperhatikan dunia kalian, karena kalian memang sudah perhatian dan sangat ambisi kepada dunia kalian. Akan tetapi saya berwasiat kepada kalian untuk memperhatikan akhirat kalian. Maka ambillah dari dunia yang fana ini untuk bekal tempat yang kekal nanti. Dan jadikanlah dunia seperti sesuatu yang kalian tinggalkan, karena demi Allah kalian pasti akan meninggalkannya. Dan jadikanlah kematian sebagai sesuatu yang benar-benar akan kalian rasakan, karena demi Allah, kalian pasti akan merasakannya. Dan jadikanlah akhirat sebagai tempat yang benar-benar akan kalian tempati, karena demi Allah, kalian pasti akan menempatinya; ia adalah tempat semua manusia.
Setiap seorang yang pergi melakukan perjalanan pasti membawa bekal. Maka barang siapa membawa bekal yang baik dan cukup, maka dia pun merasa bahagia. Dan barang siapa tidak membawa bekal, maka dia pun akan menyesal. Apabila diterpa terik matahari dia tidak bisa berteduh. Dan apabila kehausan, dia tidak menemukan air untuk menghilangkan dahaga. Sesungguhnya perjalanan di dunia akan berakhir. Dan orang yang terbaik adalah yang bersiap-siap untuk perjalanan yang tidak pernah berakhir”.

Yang Menghalangiku adalah Zat Mahakuat Lagi Perkasa

Ibnul Qayyim dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin menceritakan bahwa ada seorang wanita bernama ‘Atbah yang mempunyai paras sangat cantik dan menarik. Ada seorang pemuda yang sangat mendambakan dan mencintainya. Pemuda itu minta untuk dapat melihat wajahnya meskipun sekali saja, tetapi ‘Atbah tidak bersedia membuka hijabnya. Hati pemuda itu semakin terpaut kepadanya sampai akhirnya dia jatuh sakit. Sakitnya semakin parah dan akhirnya dia wafat.
Ketika pemuda itu telah wafat ada yang bertanya kepada ‘Atbah, “Apa salahnya kamu senangkan hatinya dengan memperlihatkan wajahmu kepadanya?”
‘Atbah menjawab, “Yang menghalangiku melakukan hal itu adalah rasa takut kepada Zat Yang Mahakuat lagi Perkasa, juga takut mendapat aib dan kedengkian para tetangga. Sesungguhnya di hatiku ada perasaan yang lebih berat dari yang dia rasakan, tetapi aku meyakini bahwa tutupan dari Allah lebih mengekalkan rasa kasih, lebih terpuji kesudahannya, lebih menampakkan ketaatan kepada Tuhan, dan lebih meringankan azab.”

TOBAT SEORANG PEDAGANG DARI KETAMAKAN DUNIA

Ibnul Jauzi dalam kitab Shafwatush Shafwah menyebutkan dari Ibnu Jabir, “Sesungguhnya Abu Abdurrabbih adalah seorang warga Damaskus yang paling banyak hartanya. Suatu waktu dia pergi ke kota Adzarbaijan untuk urusan dagang. Saat datang waktu sore dia sampai di tepi padang rumput dan sungai. Dia pun singgah di situ. Dia mendapatkan seseorang di sebuah lubang tanah berbalut dengan tikar. Aku mengucapkan salam kepadanya dan bertanya siapa kamu wahai hamba Allah?”
    Dia menjawab, “Seseorang dari kaum Muslimin.”
    Aku bertanya, “Bagaimana keadaanmu ini?”
    Dia menjawab, “Keadaan nikmat yang wajib aku syukuri kepada Allah.”
    Aku bertanya, “Bagaimana, padahal kamu saja berbalut tikar?”
    Dia menjawab, “Apa alasanku untuk tidak mau mensyukuri Allah, padahal Allah telah menciptakan aku dalam bentuk ciptaan yang paling baik, kemudian Allah telah menjadikan kelahiran besarku di tengah agama Islam, Allah telah memberikan aku kesehatan pada semua anggota tubuhku, Allah telah menutupi apa yang aku benci menyebutnya atau menyebarkannya. Siapa lagi yang harus paling aku butuhkan dalam keadaanku seperti ini?”
    Aku berkata kepadanya, “Semoga Allah merahmatimu. Jika kamu mau bersamaku ke rumah itu, kita akan menginap di rumah samping sungai itu?”
    Dia berkata, “Untuk apa?”
    Aku berkata, “Agar kamu bisa merasakan makanan dan kami akan memberikanmu apa yang kamu butuhkan daripada kamu memakai tikar itu.”
    Dia berkata, “Aku tidak butuh apa-apa. Aku makan rerumputan pun sudah cukup.” Orang itu pun bersikeras untuk tetap tinggal di situ dan tidak mau ikut pergi bersama saudagar itu.
    Abu Abdurrabbih si saudagar itu berkata, “Aku pun pergi. Aku segera mencela dan mencaci maki diriku sendiri bahwa aku di Damaskus tidak pernah rela jika ada seseorang yang kekayaannya melebihi kekayaanku. Aku pasti mencari tambahan.”
    Saudagar itu berkata, “Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dari kejelekan yang selama ini aku lakukan.”
    Pada pagi harinya saudagar itu pulang dan kembali ke Damaskus dan tidak jadi pergi ke Adzarbaijan untuk berdagang seperti yang dia mau. Dia segera pulang ke rumahnya dan mengeluarkan emas dan perak yang dia miliki kemudian dia sedekahkan di jalan Allah. Dia juga membeli kain dan pakaian yang dia bagi-bagikan kepada para tentara miskin. Dia juga menjual rumahnya dengan harga yang mahal dan dia sedekahkan uangnya, juga semua yang dia miliki sampai ketika dia meninggal dunia dia tidak memiliki apa-apa kecuali seharga kain kafannya.
    Dia selalu berkata, “Demi Allah, jika sungai kalian ini mengalirkan emas dan perak, aku tidak akan mau pergi ke sana. Jika dikatakan bahwa barangsiapa yang menyentuh tiang ini dia mati, akan menjadi kebahagiaanku untuk melakukannya karena kerinduanku kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw..”57
    Begitulah, saudagar kaya yang selalu ingin menambah kekayaan dan hartanya berubah menjadi orang yang bertobat kepada Allah dan menjadi seorang yang zuhud di dunia. Hal tersebut terjadi karena dia telah mengetahui tentang hakikat kehidupan ini yang akan pergi dan binasa. Sesungguhnya apa yang ada pada Allah itu kekal dan jauh lebih banyak daripada apa yang ada di dunia yang fana ini.
    Kita senantiasa memohon kepada Allah tobat yang benar dan kezuhudan pada apa yang ada di tangan manusia.

Ikrimah bin Abi Jahl, Anaknya dan Pamannya Pada Peperangan Yarmuk

Dari Abu Utsman al-Ghatsani dari ayahnya r.a., dia berkata, “Pada peperangan Yarmuk, Ikrimah bin Abi Jahl berkata kepada para musuh, “Saya beberapa kali telah berperang melawan Rasulullah saw., maka apakah kini saya akan melarikan diri dari kalian?”
Kemudian dia berseru, “Siapakah yang mau berbaiat untuk mati?”
Maka anak dan pamannya, al-Harits bin Hisyam r.a. serta Dhirar ibnul Azwar r.a. dengan empat ratus tentara dan ksatria muslim. Lalu mereka berperang di depan tenda Khalid bin Walid hingga mereka terluka dan beberapa orang dari mereka terbunuh yang diantaranya Dhirar bin Azwar”.
    Kemudian Khalid bin Walid datang setelah Ikrimah terluka. Lalu Khalid memangku kepala Ikrimah dan meletakkan Amr bin Ikrimah di salah satu betisnya. Lalu dia mengusap wajah keduanya dan meminumkan air kepada mereka, serta berkata, “Ibnul Hantamah mengira kita tidaklah syahid. Tidak, tidak benar anggapan itu”.
Pada hari itu, Ikrimah, anaknya dan pamannya meninggal dunia, semoga Allah meridhai mereka semua.
Demikianlah. Mereka ikhlas dan ridha kepada Allah, sehingga Allah ridha terhadap mereka. Dan Allah pun memilih mereka sebagai para syahid di surga-Nya.

MENGAPA KITA MEMBENCI KEMATIAN?

Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bertanya kepada Abu Hazim Salmah bin Dinar, “Wahai Abu Hazim, kenapa kita selalu benci pada kematian?”
    Abu Hazim menjawab, “Karena kalian telah menghancurkan akhirat dan meramaikan kehidupan dunia kalian. Jelas kalian akan terus benci pindah dari yang ramai ke yang hancur.”
    Khalifah berkata, “Anda benar. Lalu, bagaimana keadaan pada saat datang menghadap Allah swt.?”
    Dia menjawab, “Adapun orang yang baik, dia bagaikan orang yang pergi lama datang menghadap keluarganya, sementara orang yang banyak salah dan dosa, dia bagaikan budak yang lari dari tuannya menghadap tuannya itu.”
    Khalifah Sulaiman pun menangis seraya berkata, “Bagaimana kita nanti di hadapan Allah, wahai Abu Hazim?”
    Dia menjawab, “Serahkan dirimu kepada Kitabullah dan sesungguhnya kamu akan tahu bagaimana kamu nanti dihadapan Allah.”
Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, di mana aku mendapatkan itu?”
    Dia menjawab dengan membaca firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (al-Infithaar: 13-14)
    Sulaiman bertanya, “Di mana ada rahmat Allah?”
    Dia menjawab,  “Dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Abu Musa al-Asy

Abu Burdah meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, “Pada suatu kami pergi berperang dengan naik perahu. Ketika itu angin bertiup kencang dan layar pun berkembang. Lalu kami mendengar seseorang menyeru, “Wahai para penumpang perahu. Berdirilah, saya akan memberitahukan sesuatu kepada kalian”.
Orang itu mengulangi panggilannya sebanyak tujuh kali. Kemudian saya pun berdiri di bagian depan perahu. Lalu saya bertanya kepadanya, “Siapakah engkau dan dari mana asalmu? Apakah engkau tidak melihat kondisi kami ini? Apakah engkau fikir kami bisa berdiri?”
Lalu dia menjawab, “Maukah kalian saya beritahu tentang ketetapan Allah terhadap diri-Nya?”
“Katakanlah”, jawabku.
Dia berkata lagi, “Sesungguhnya Allah menetapkan atas diri-Nya, bahwa barang siapa menahan haus di hari yang panas karena Allah, maka pada hari kiamat Allah akan memberinya minum”.
Abu Burdah berkata, “Kemudian Abu Musa menanti-nanti hari yang sangat panas, yang membuat kulit hampir terkelupas, lalu dia berpuasa di hari itu”.

Putra-Putra

Seorang sahabat wanita bernama ‘Afra` binti Ubaid r.a memliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain, yaitu  dia mempunyai tujuh orang putra yang seluruhnya terjun dalam Perang Badar Kubra bersama Rasulullah saw.. Dua orang di antara mereka berhasil membunuh musuh Allah, Abu Jahal, lalu keduanya syahid dalam perang itu juga.
Putra-putranya adalah Mu’adz, ‘Auf, dan Mu’awwidz dari suaminya Harits bin Rifa’ah dan Iyas, ‘Aqil, Khalid serta Amir dari suaminya Bakir bin Abd Yalail.
Dua putranya, Mu’awwidz dan Mu’adz, berjasa besar dalam membunuh Abu Jahal. Sebelum terjun ke medan perang, keduanya telah berniat untuk membunuh Abu Jahal karena mereka mendengar bahwa Abu Jahal banyak menyakiti Rasulullah saw. di Mekah.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdurrahman bin Auf r.a., Dia berkata, “Aku berada di barisan depan pada saat Perang Badar. Ketika aku menoleh, ternyata di sebelah kanan dan kiriku ada dua orang remaja yang masih sangat muda. Aku merasa khawatir melihat posisi keduanya. Tiba-tiba salah seorang dari keduanya berbisik kepadaku, ‘Wahai paman, tunjukkan kepadaku yang mana Abu Jahal!’
‘Wahai anakku, apa yang akan kamu lakukan kepadanya?’ tanyaku.
‘Aku sudah berjanji kepada Allah, kalau aku melihatnya aku akan membunuhnya atau aku yang terbunuh.’
Yang seorang lagi juga bertanya hal yang sama kepadaku. Aku tak akan begitu gembira seandainya yang berada di depanku adalah laki-laki dewasa. Kemudian aku tunjukkan kepada mereka posisi Abu Jahal. Keduanya segera melesat bagaikan dua ekor elang lalu memukul Abu Jahal. Kedua remaja itu ternyata adalah putra ‘Afra`.”
Abu Jahal adalah seorang yang sangat kuat meskipun usianya telah tua pada saat Perang Badar. Kedua putra ‘Afra` tersebut belum mampu untuk langsung membunuh Abu Jahal karena mereka masih terlalu muda. Maka, turunlah malaikat membantu mereka dalam membunuh musuh Allah, Abu Jahal. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Semoga Allah merahmati kedua putra ‘Afra`. Mereka ikut membantu membunuh Fir’aun umat ini dan gembong kekafiran.”
Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa yang membunuhnya di samping kedua remaja itu?”
“Para malaikat, dan Ibnu Mas’ud juga turut membunuhnya.”

Setelah perang usai, Rasulullah saw. berkata kepada para sahabatnya, “Siapa yang mau menginformasikan tentang Abu Jahal?”
Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkan aku, ya Rasulullah.”
Ibnu Mas’ud segera berangkat dan dia lihat Abu Jahal telah dipukul oleh dua orang putra ‘Afra` sampai roboh. Ibnu Mas’ud memegang jenggot Abu Jahal dan berkata, “Abu Jahal?”
Kemudian dia berkata, “Tiada laki-laki yang lebih agung dari diriku yang telah kalian bunuh.”
Abu Jahal masih hidup, maka Ibnu Mas’ud segera membunuhnya dan memenggal kepalanya, lalu membawanya kepada Nabi saw.. Nabi berkata, “Tidak ada tuhan selain Allah (sebanyak tiga kali). Segala puji bagi Allah yang telah menghinakanmu wahai musuh Allah. Inilah Fir’aun umat ini.”

YUNUS A.S. DAN KAUMNYA

Allah swt. mengutus Yunus bin Matius a.s. ke penduduk Nainawa di tanah Mosul. Dia mengajak mereka untuk menyembah Allah swt. dan meninggalkan apa yang sedang mereka sembah berupa berhala dan patung. Lama dia melakukan itu dan dia tetap melihat penolakan dan kesombongan mereka yang melampaui batas. Dia pun marah dan pergi meninggalkan mereka dan mengancam akan diturunkan kepada mereka azab Allah setelah tiga tahun. Yunus tidak mau menunggu perintah Tuhannya dan tidak mau bersabar dalam berdakwah mengajak mereka.
    “Maka bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau seperti (Yunus) orang yang berada dalam (perut) ikan ketika dia berdoa dengan hati sedih.” (al-Qalam: 48)
    Yunus adalah pemilik cerita ikan besar. Dia pergi membawa kemarahan dan meninggalkan kaumnya dengan menaiki kapal mengarungi laut, perahu kapal itu diguncang oleh ombak dan hampir menenggelamkan semua orang yang ada di atasnya.
    Manusia pada zaman itu, apabila mereka berada di atas kapal yang hampir tenggelam, mereka akan mengadakan undian. Barangsiapa yang terkena undian itu, dia harus menyeburkan dirinya ke laut agar bisa meringankan beban kapal setelah terlebih dahulu mereka membuang ke laut barang-barang bawaan mereka.
    Undian itu jatuh pada diri Yunus a.s., namun orang-orang yang ada di atas kapal itu menolak kalau orang yang saleh itu harus menyeburkan dirinya ke laut. Mereka lalu mengulang kembali undian tadi untuk kedua dan ketiga, namun tetap saja undian itu jatuh kepadanya. Akhirnya Yunus pun menyadari bahwa itu adalah kehendak Allah swt., hingga dia pun langsung menyeburkan diri ke laut. Allah lalu memerintahkan ikan yang besar untuk menelannya tanpa harus menyakitinya.
    “Dan sungguh, Yunus benar-benar termasuk salah seorang rasul, (ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut diundi ternyata dia termasuk orang-orang yang kalah (dalam undian). Maka dia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.” (as-Shaaffaat: 139-142)
    Dengan kudrat dan kekuatan Allah, Yunus berada di dalam perut ikan besar itu dalam keadaan selamat. Pada awalnya dia menganggap bahwa dirinya telah mati, dia pun menggerakkan anggota tubuhnya. Ternyata, anggota tubuhnya itu bergerak. Dia pun sadar bahwa dia masih hidup. Dia lalu langsung sujud bersyukur kepada Allah dengan berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah menjadikannya tempat sujud kepada-Mu yang tidak ada satu orang pun menyembah Engkau seperti tempat ini.”
    Selama Yunus berada dalam perut ikan besar seperti yang dikehendaki Allah, dia terus berdoa kepada-Nya dan berzikir kepada-Nya dengan doa ini,

“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
    Kalau tidak ada doa dan istigfar ini, Yunus akan terus berada di dalam perut ikan besar sampai hari Allah akan bangkitkan seluruh makhluk ciptaan-Nya.
    Allah swt. berfirman, “Dan sungguh, Yunus benar-benar termasuk salah seorang rasul, (ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut diundi ternyata dia termasuk orang-orang yang kalah (dalam undian). Maka dia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit. Kemudian Kami lemparkan dia ke daratan yang tandus, sedang dia dalam keadaan sakit. Kemudian untuk dia Kami tumbuhkan sebatang pohon dari jenis labu. Dan Kami utus dia kepada seratus ribu (orang) atau lebih, sehingga mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu tertentu.” (as-Shaffaat: 139-148)
    Dan tentang doa dan istigfar Yunus, Allah swt. berfirman, “Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (al-Anbiyaa`: 87-88)
    Rasulullah saw. bersabda,

“Nama Allah yang apabila Dia dipanggil dengan nama itu, Dia akan menjawab. Apabila diminta dengannya, Dia akan memberi, yaitu doa Yunus bin Matius.”
    Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu khusus untuk Yunus saja ataukah umum untuk umat Islam?” Beliau berkata, “Doa itu khusus untuk Yunus dan juga orang-orang yang beriman secara umum apabila mereka berdoa dengannya, tidakkah kamu mendengar firman Allah swt., ‘…maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (al-Anbiyaa`: 87-88)
    “Itu merupakan sebuah janji dari Allah bagi orang-orang yang berdoa dengannya.” 
    Dan doa Yunus a.s. ini terdiri dari awalannya tauhid bagi Allah dan tengahnya adalah zikir kepada Allah dan akhirnya adalah istigfar kepada Allah. Allah swt. menyelamatkan Yunus dari perut ikat besar dan mengutusnya kembali kepada kaumnya sementara semua telah beriman setelah kepergian Yunus a.s. meninggalkan mereka dan mengancam akan azab Allah. Allah swt. mengetuk ke dalam hati mereka dengan rasa takut kepada-Nya, tobat, serta mohon ampun dan keimanan sehingga mereka semua merasa menyesal atas apa yang telah mereka lakukan terhadap nabi mereka Yunus a.s..
    Mereka pun lantas memakai pakaian compang-camping, mereka memisahkan semua binatang dari anaknya kemudian mereka berteriak kepada Allah dengan teriakan lantang, dengan tangis dan kekhusyukan doa, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak dan orang-orang tua, semuanya menangis. Kemudian semua binatang hewan peliharaan dan binatang lainnya pun datang dengan suaranya, saat itu suasana sangat mencekam. Kemudian Allah swt. dengan rahmat dan kasih sayang-Nya menghapus azab-Nya yang hampir saja diturunkan kepada mereka.
    Yunus pun kembali ke kaumnya setelah mereka beriman dan dia menyadari kesalahannya dengan bersabar atas mereka. Lantas dia pergi meninggalkan mereka tanpa ada izin dari Allah. Sesungguhnya hidayah itu adalah milik Allah dan bagi rasul adalah hanya menyampaikan dengan jelas.
    “Dan Kami utus dia kepada seratus ribu (orang) atau lebih, sehingga mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu tertentu.” (as-Shaffaat: 147-148)
    Juga Allah berfirman tentang mereka, tentang tobat dan kembalinya mereka kepada Allah, “Mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman. Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai pada waktu yang tertentu.” (Yunus: 98)
    Betapa manisnya kembali kepada Allah swt. dan bertobat kepada-Nya sehingga mendapatkan magfirah dan keridhaan-Nya. Sesungguhnya ini kemenangan yang sangat besar di dunia dan akhirat dan Allah akan senantiasa menyelamatkan orang yang bertobat dan kempali kepada-Nya dari kenistaan dunia dan akan memberinya nanti surga-Nya di akhirat.

Ketika Akan Wafat Dia Menangis Lalu Setelah Itu Tertawa

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Afirah al-Abidah bahwa Mu’adzah binti Abdullah al-Adawiyah rahimahallah ketika ajal akan menghampirinya, dia menangis lalu tertawa. Hal itu ditanyakan kepadanya, “Kenapa kau menangis kemudian tertawa?”
Dia menjawab, “Adapun tangis yang kalian lihat, hal itu karena aku teringat bahwa apabila aku mati aku akan berpisah dengan puasa, shalat, dan zikir. Maka, aku pun menangis karena sedih berpisah dengan semua itu. Sementara senyum dan tertawa yang kalian lihat, hal itu karena aku melihat suamiku (yang telah wafat lebih dulu) datang di tengah-tengah rumah memakai dua gamis hijau yang indah bersama bidadari-bidadari yang banyak yang tidak kulihat yang seperti mereka di dunia, sehingga aku tersenyum pada suamiku. Aku kira aku tidak akan mendapatkan lagi shalat berikutnya bersama kalian.”
Dan memang dia wafat sebelum masuknya waktu shalat berikutnya.

Hakim bin Hizam dan Keridhaannya Kepada Ketetapan Allah

Hakim bin Hizam baru masuk Islam ketika peristiwa Fathu Makkah. Ketika itu dia termasuk orang-orang mu`allaf. Dia ikut ambil bagian dalam perang Hunain, sehingga mendapatkan bagian dari harta rampasan perang yang dibagikan oleh Rasulullah saw.. Sebagaimana dia, orang-orang yang mu`allaf, seperti Abu Sufyan, Suhail bin Amr dan yang lainnya, juga mendapatkan bagian dari harta rampasan tersebut. Kemudian Hakim meminta kepada Rasulullah saw. agar bagiannya ditambah lagi. Maka beliau menambah bagiannya, lalu berkata padanya, "Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini adalah suatu yang indah dan menyenangkan. Maka barang siapa yang mengambilnya dengan tidak bernafsu untuk memiliknya, maka dia akan mendapatkan berkahnya, dan barang siapa yang mengambilnya dengan keinginan memilkinya maka dia akan kehilangan berkahnya. Dan yang demikian itu seperti orang yang makan, akan tetapi tidak pernah merasakan kenyang. Dan ketahuilah bahwa tangan yang di atas itu lebih baik daripada yang di bawah". Kemudian Hakim berkata, "Wahai Rasulullah, demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan meminta-minta lagi pada orang setelah ini, hingga ajal menjemput saya”.
Hakim memenuhi sumpahnya tersebut. Di masa kekhilafahan Abu Bakar ash-Shidq, dia pernah diundang oleh khalifah untuk menerima pemberian darinya, akan tetapi dia enggan menerima pemberian tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh Hakim di masa kekhalifahan Umar bin Khathab, hingga Umar terpaksa harus meminta persaksian orang-orang tatkala Hakim menolak untuk menerima bagiannya dari harta rampasan perang. Umar berkata, "Wahai orang-orang muslim, saya ingin mempersaksikan pada kalian semua perihal Hakim. Sesungguhnya saya telah mengajukan padanya haknya dari harta rampasan perang ini, akan tetapi dia sendiri yang menolaknya dan tidak mau mengambilnya".
Demikianlah keridhaan Hakim, dengan ikhlas dia menjalankan apa yang dinasihatkan oleh Rasulullah saw. padanya. Dia tidak pernah meminta-minta pada seorang pun setelah Rasulullah saw. meninggal dunia, sampai haknya dari harta rampasan perang pun tidak diambilnya. Yang demikian itu dia dijalani, sampai akhirnya dia menghadap Sang Pencipta dalam keadaan ridha dan diridhai.