Orang Tertipu adalah Orang yang Kalian Tipu

Al-Baihaqi dan yang lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Aku datang menjenguk Umar ibnul Khaththab r.a. setelah dia ditusuk dengan tombak. Aku berkata kepadanya, ‘Bergembiralah dengan surga Allah wahai Amirul Mukminin. Engkau telah ber-Islam ketika orang-orang masih kafir, engkau telah berjihad bersama Rasulullah saw. ketika orang-orang memusuhinya, Rasulullah saw. wafat dalam keadaan ridha kepadamu dan tidak ada orang yang menentang kekhilafahanmu, dan engkau terbunuh dalam keadaan syahid.’
Umar berkata, ‘Coba ulangi lagi!’
Aku lalu mengulanginya. Dia berkata, ‘Demi Allah, yang tidak ada tuhan selain-Nya, seandainya aku memiliki emas dan perak sepenuh bumi niscaya akan aku korbankan untuk menebus hari yang sangat dahsyat nanti. Sesungguhnya orang tertipu adalah orang yang kalian tipu.’”
Ibnu Mubarak dalam kitab az-Zuhd dan Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat-nya meriwayatkan bahwa putra Umar, Abdullah, meletakkan kepala ayahnya di atas pahanya di saat dia sedang sekarat. Umar berkata, “Letakkan kepalaku di atas lantai.”
Abdullah bin Umar berkata, “Apa bedanya di atas lantai atau di atas pahaku.”
Umar sedikit marah, “Letakkan di atas lantai!”
Abdullah masih mencoba membujuk, “Bukankah pahaku dan lantai adalah sama?”
“Letakkan pipiku di atas lantai!”
Abdullah berkata, “Akhirnya, aku meletakkan di atas lantai, lalu aku mendengarnya berkata, ‘Celakalah aku seandainya Tuhanku tidak mengasihiku, celakalah aku seandainya Tuhanku tidak mengampuniku.’ Dia terus mengucapkan hal itu sampai ruhnya melayang menuju Tuhannya.”
Umar ibnul Khaththab tidak tertipu dan sombong dengan apa pun yang dikatakan tentangnya. Yang dia inginkan adalah memohon belas kasih Tuhannya di detik-detik terakhir kehidupannya agar dia dimaafkan. Begitulah kondisi setiap mukmin yang mencintai Allah swt., takut kepada azab-Nya dan mengharap rahmat serta ampunan-Nya. Semoga Allah meridhainya.

Tamim ad-Dari dan Keridhaan kepada Allah

    Yazid bin Abdullah bercerita, “Seorang lelaki berkata kepada Tamim ad-Dari, “Bagaimana shalatmu di malam hari?”
Maka Tamim ad-Dari pun tidak suka mendengar pertanyaan itu dan berkata, “Demi Allah, satu rakaat yang saya lakukan di tengah malam secara diam-diam, lebih saya sukai dari pada saya melakukannya di seluruh waktu malam kemudian saya menceritakannya kepada orang-orang”.
Maka lelaki tersebut ikut kesal dan berkata, “Allah lebih tahu akan kondisi kalian wahai para sahabat Rasulullah saw.. Kalau kami bertanya kepada kalian, kalian bersikap kasar kepada kami, jika kami tidak bertanya, kalian meremehkan kami”.
Maka Tamim ad-Dari berkata kepadanya, “Bagaimana menurutmu, jika engkau seorang mukmin yang imannya kuat sedangkan saya seorang mukmin yang imannya lemah, lalu apakah saya akan memberikan kepadamu melebihi apa yang diberikan Allah kepadamu? Akan tetapi ambillah bagian dari agamamu untuk dirimu dan ambillah dari dirimu sendiri untuk agamamu, hingga engkau dapat istiqamah dalam beribadah sesuai dengan kemampuanmu”.
Muhammad ibnul Munkadir meriwayatkan bahwa pada suatu malam, Tamim ad-Dari tidur hingga pagi dan tidak melakukan shalat tahajjud. Maka karena hal itu, dia pun tidak tidur malam selama satu tahun, sebagai hukuman atas apa yang dilakukannya itu”.