Tanda Seorang Pecinta yang Benar

Ibnu Jauzi menceritakan dari Muhammad bin Sa’ad at-Taymi, dia berkata, “Aku pernah melihat seorang budak wanita berkulit hitam di salah satu kota Syam. Di tangannya ada sepotong roti yang sedang dia makan. Sambil memakannya dia berkata,

Engkau Mahatahu apa yang terpendam dalam hatiku
Kasihilah kehinaan dan kesendirianku

Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai budak kulit hitam, apa tanda seorang pecinta?’
Tiba-tiba ada seorang lelaki yang kesurupan di dekatnya.  Wanita itu memandangku lalu mengalihkan pandangannya kepada lelaki yang kesurupan itu. Lalu dia berkata, ‘Wahai sahabat, tanda seorang pecinta Allah yang benar itu adalah kalau dia berkata kepada laki-laki yang sedang kesurupan ini, ‘Berdirilah,’ maka  dia akan berdiri.’
Tiba-tiba laki-laki itu berdiri (maksudnya sembuh dari kesurupan) dan jin wanita  yang masuk ke tubuhnya berkata (dengan menggunakan mulut lelaki itu), “Demi cintamu kepada Tuhanmu, sungguh aku tidak akan kembali lagi kepadanya.”

TOBAT SEORANG PEMUDA YANG INGAT ALLAH KETIKA MELAKUKAN MAKSIAT

Yahya bin Ayyub berkata, “Di Madinah ada seorang pemuda yang kepribadiannya sangat dikagumi oleh Umar ibnul hthab r.a.. Pada suatu malam, ketika dia pulang dari shalat Isya, ada seorang wanita yang berdiri di hadapannya. Wanita itu menawarkan dirinya dan pemuda itu pun tergoda dan hingga mengikuti wanita itu sampai di depan pintu rumahnya. Namun tiba-tiba timbul rasa cemas dan takut dari dalam hati pemuda itu dan dia langsung teringat ayat ini, ‘Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).’” (al-A’raaf: 201)
    Dia langsung pingsan. Wanita itu melihat ke pemuda itu sudah seperti orang mati. Maka, wanita itu dan budak perempuannya saling berjibaku untuk mengangkatnya dan membawanya ke depan pintu rumahnya. Ayah pemuda itu keluar dan dia melihat anaknya sedang tergeletak di depan pintu rumahnya. Ayahnya langsung mengangkat dan membawanya ke dalam dan pemuda itu akhirnya sadar. Sang ayah bertanya, “Wahai anakku, apa yang telah terjadi padamu?”
    Sang anak tidak mau memberitahukannya, tetapi sang ayah ngotot terus bertanya sampai akhirnya dia bercerita kepadanya. Ketika dia membaca ayat tadi, dia menjerit histeris dengan satu jeritan yang membawa nyawanya keluar.
    Kisah pemuda itu pun sampai kepada Umar r.a., dia berkata, “Apakah kalian mengizinkanku untuk mengumandangkan azan atas kematiannya?”  Umar lalu pergi sampai dia tiba di tempat pemakamannya. Dia memanggil, “Wahai fulan, ‘Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.’” (ar-Rahmaan: 46)
    Umar pun mendengar suara dari dalam kuburnya, “Tuhanku telah memberikannya wahai Umar.”49

Firasatku Mengatakan Dia Seorang Perempuan

Ketika ajal akan menjemput Abu Bakar Shiddiq r.a., dia berkata kepada putrinya Ummul Mukminin Aisyah r.a., “Wahai putriku, tiada seorang pun yang lebih aku inginkan dia menjadi kaya selain dirimu dan tiada seorang pun yang aku tak ingin dia menjadi miskin sepeninggalku nanti selain dirimu. Oleh karena itu, aku telah memberimu lebih kurang dua puluh wasaq (sebuah ukuran untuk beras atau gandum seperti gantang dan sejenisnya, pent.). Seandainya kamu simpan itu adalah hakmu. Akan Tetapi, saat ini ia adalah harta warisan, sementara kamu mempunyai dua saudara dan dua saudari, maka bagikanlah sesuai dengan kitabullah.”
Abu Bakar r.a. mempunyai putri, yaitu Aisyah r.a. dan saudarinya Asma`. Aisyah r.a. bertanya, “Wahai ayah, kalau kondisinya demikian tentu akan aku tinggalkan dan itu untuk Asma`, tetapi siapa saudariku yang satu lagi?”
“Dia masih berada dalam perut Binti Kharijah. Aku punya firasat dia seorang perempuan.”
Istri Abu Bakar r.a., Habibah binti Kharijah sedang hamil. Maka, Abu Bakar r.a. berpesan kepada putrinya Aisyah, “Aku berfirasat bahwa dia seorang perempuan. Maka, didiklah dia dengan baik.”
Tidak berapa lama setelah itu,  Abu Bakar r.a. wafat. Setelah dia wafat istrinya melahirkan seorang putri, yaitu Ummu Kultsum yang terdidik dalam asuhan dan bimbingan Aisyah r.a. sebagaimana yang diwasiatkan oleh ayahnya.

Keridhaan Nabi Ibrahim A.s di Saat Ajal Menjemputnya

Abu Nu'aim menyebutkan dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa`, “Diriwayatkan dari Rakin al-Fazari, dia berkata, "Ketika Allah ingin menyabut nyawa Nabi Ibrahim, Dia mengutus malaikat maut kepadanya. Lalu Nabi Ibrahim berkata kepada malaikat tersebut, "Adakah Kekasih yang ingin menyabut nyawa kekasih-Nya?” Kemudian karena perkataan Nabi Ibrahim tersebut, malaikat maut langsung naik menghadap Allah. Setelah itu dia turun kembali menemui Nabi Ibrahim dan berkata padanya, "Wahai Ibrahim, adakah seorang kekasih merasa tidak senang berjumpa dengan Kekasihnya?" Setelah mendengar itu, seketika Nabi Ibrahim berkata pada malaikat maut, "Cabutlah nyawa saya sekarang juga".
Demikianlah keridhaan Nabi Ibrahim terhadap qadha dan qadar Allah, dia sambut pertemuannya dengan Tuhannya dengan perasaan senang dan bahagia.

Rindu yang Membara

Ja’far al-Khalidi berkata, “Aku mendengar Imam al-Junaid rahimahullah bercerita, ‘Suatu kali aku pergi haji seorang diri kemudian aku menetap di Mekah (semoga Allah selalu memuliakan Mekah). Pada malam hari aku pergi untuk melaksanakan thawaf. Ketika sedang thawaf aku melihat seorang wanita sedang thawaf.  Dia berkata,
Cinta ini enggan bersembunyi meski sudah kupendam
Ia selalu ingin muncul dan menggelora
Bila rinduku membara, hatiku senantiasa menyebutnya
Bila aku ingin dekat dengan Kekasihku, Dia akan dekat
Ia akan berhubungan denganku hingga aku dapat hidup
Ia membuatku mabuk hingga aku terbuai dan melayang-layang

Al-Junaid berkata, ‘Wahai wanita, tidakkah kamu takut kepada Allah? Kamu mengucapkan perkataan semacam itu di tempat yang mulia ini?’
Dia lalu menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai Junaid, jangan ikut campur antara-Nya dan para pecinta-Nya.’
Kemudian  dia kembali melantunkan,

Kalau bukan karena perjumpaan
Engkau tak akan melihatku meninggalkan semua kesenangan
Sesungguhnya hawa telah membuatku meninggalkan kampung halaman
Aku telah mabuk karena cintaku kepada-Nya
Cinta-Nya telah memabukkanku

Kemudian  dia berkata, ‘Wahai Junaid, Kamu thawaf di Baitullah, apakah kamu melihat Tuhan Baitullah ini?’
Aku berkata, ‘Ini sesuatu yang membutuhkan dalil.’
Dia lalu mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, ‘Mahasuci Engkau, Mahasuci Engkau, alangkah Agungnya Engkau, alangkah mulianya kekuasaan-Mu. Makhluk-makhluk thawaf seperti batu dan mengingkari ahli rahasia hati.’
Setelah itu  dia kembali melantunkan,

Mereka thawaf di Baitullah untuk bertaqarrub
kepada-Mu sementara hati mereka lebih keras dari batu
Andaikan mereka ikhlaskan hati tentu sifat mereka akan baik
Dan sifat-sifat Tuhan akan selalu berada pada mereka”

Al-Junaid berkata,  “Mendengar ucapannya itu aku jatuh pingsan.”

2. Kisah Islamnya Abul

Abul ‘Ash bin Rabi’ masih dalam kedaan musyrik sampai sebelum pembebasan (fathu) kota Mekah. Suatu kali, bersama beberapa orang tokoh Mekah dia pergi berdagang membawa harta kaum Quraisy ke Syam. Di dalam perjalanan pulang, dia dicegat oleh ekspedisi Rasulullah saw. yang berada di bawah komando Zaid bin Haritsah. Kaum Muslimin mengambil seluruh harta mereka dan menawan beberapa orang di antara mereka. Abul ‘Ash dapat lolos. Akhirnya, dia masuk ke kota Madinah pada malam hari ke tempat kediaman Zainab r.a. putri Nabi, dan dia meminta perlindungan kepadanya. Zainab memberi perlindungan kepada Abul ‘Ash, dan perlindungan itu dia umumkan di masjid setelah shalat subuh di depan kaum Muslimin. Ketika Rasulullah saw. mendengar hal itu, beliau berkata kepada para sahabat, “Apakah kalian mendegar seperti yang aku dengar?”
“Ya,” jawab mereka.
“Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, aku tidak mengetahui hal itu sampai aku mendengarnya sekarang seperti yang kalian dengar. Boleh memberi perlindungan kepada kaum Muslimin orang yang paling rendah di antara mereka.”
Kemudian beliau menemui putrinya dan berkata kepadanya, “Muliakan  dia! tetapi jangan sampai  dia menyentuhmu, karena kamu tidak halal baginya.” 
Zainab r.a. berkata, “Dia datang untuk meminta hartanya.”
Rasulullah saw. mengumpulkan seluruh pasukan ekspedisi yang telah berhasil menawan beberapa tokoh Quraisy dalam kafilah dagang yang dipimpin oleh Abul ‘Ash dan berhasil pula menyita seluruh harta dan barang dagangan milik Quraisy. Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Posisi orang ini (maksudnya Abul ‘Ash) di antara kita sudah kalian ketahui dan kalian sudah menyita hartanya dan harta itu termasuk di antara harta rampasan (fai`) yang Allah karuniakan kepada kalian, tetapi aku ingin kalian berbuat baik, dan kalian kembalikan kepadanya harta miliknya, tetapi kalau kalian keberatan itu adalah hak kalian.”
Mereka berkata, “Kami akan kembalikan semuanya.”

Dan memang, akhirnya mereka mengembalikan semua yang mereka ambil sampai tali dan kendil tempat air. Ketika semua hartanya telah kembali kepadanya, Abul ‘Ash kembali ke Mekah dan dia pulangkan seluruh harta tersebut kepada pemiliknya lalu  dia berkata, “Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaah, tak ada yang menghalangiku masuk Islam (saat berada di Madinah, pent.) selain aku khawatir kalian menyangka aku memakan harta kalian.” Kemudian  dia hijrah ke Madinah sebagai seorang muslim. Lalu, Rasulullah saw. mengembalikan putrinya kepadanya dengan akad nikah yang lama. Keislaman Abul ‘Ash semakin baik.  Dia wafat pada tahun 12 H.

Perindu yang Tak Pernah Tenang

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Muhammad bin Ibrahim al-Akhram,  dia berkata, “Suatu ketika aku pergi dari Mesir. Di tepi sebuah pantai aku melihat seorang wanita datang dari arah daratan. Aku bertanya kepadanya, ‘Hendak pergi ke mana wahai hamba Allah?’
Dia menjawab, ‘Ke tempat ibadah sebelah sana, anakku ada di sana.’
Aku berjalan bersamanya. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara dari arah tempat peribadatan itu,

Seorang perindu yang tak pernah merasa tenang
Selalu ingin lari, tetapi dia tak berdaya
Seorang perindu hatinya bagaikan malam yang panjang
Di sana dia akan damai, tapi di saat siang dia merasa kesepian
Ia lakukan segala kebutuhannya untuk memperoleh ilmu
Tapi kepuasannya adalah dalam ibadah dan lari dari dunia
Duhai diri sabarlah terhadap dunia, sabarlah...
Setiap sesuatu di dalamnya akan diperhitungkan

Aku bertanya pada wanita itu, ‘Sudah sejak kapan anakmu disini?’
‘Sejak aku memberikan dia kepada-Nya dan Dia terima dariku.’” 

Khalifah Abbasiyah Bersama Mentrinya

Ibnu Rajab dalam Thabaqat al-Hanabilah menyebutkan bahwa Ibnu Hubairah yang menjadi Menteri Khalifah Abbasiyah al-Muqtadhi Billah difitnah oleh Sultan Mas'ud dan para pengikutnya. Khalifah tidak mampu berbuat apa-apa, karena pada masa itu bangsa Turki lebih berkuasa daripada Daulah Abbasiyah sehingga dalam banyak kesempatan Khalifah tak memiliki peran apa-apa dalam pemerintahan. Kekuasaan yang sesungguhnya ada di tangan orang-orang Turki tersebut yang dengan leluasa dapat memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi Sultan di samping jabatan Khalifah.

Ketika sang Menteri; Ibnu Hubairah melihat bahwa ia tidak mampu untuk menghadapi Sultan Mas'ud dan para pengikutnya, ia berkata kepada Khalifah: "Aku melihat tak ada jalan lain dalam mengatasi hal ini selain dengan kembali ke Allah SWT dan benar-benar bersandar kepada-Nya. Maka segeralah lakukan hal ini dengan penuh keikhlasan. Rasulullah saw. sendiri pernah mendoakan keburukan untuk kaum Ri'il dan Dzakwan selama sebulan, maka tak ada salahnya jika kita juga mendoakan keburukan untuk mereka selama sebulan."

Saran itu diamini oleh Khalifah. Sejak saat itu Khalifah dan sang menteri selalu mendoakan keburukan terhadap Sultan Mas'ud berikut para pengikutnya di waktu sahur sampai akhirnya mereka binasa tepat di akhir bulan tidak lebih dan tidak kurang.

Ibnu Hubairah berkata: "Aku selalu berdoa pada waktu sahur. Akhirnya Mas'ud mati setelah genap satu bulan, tidak lebih dan tidak kurang."
Begitulah Allah menghilangkan kegundahan dan melapangkan kesempitan.

Abdullah Bin Mas

Disebutkan oleh Ibnul Jauzi dari al-Akhwash al-Jusyami, dia berkata, “Suatu ketika, kami mengunjungi Ibn Mas’ud. Dia mempunyai tiga orang putra yang kesemuanya berwajah tampan. Mereka ibarat emas yang berkilauan. Decak kagum menghiasi raut muka kami tatkala melihat mereka, hingga Ibn Mas’ud berkata pada kami, “Sepertinya kalian membayangkan betapa bangganya saya punya anak seperti mereka”. Kami langsung menanggapinya dan berkata, “Sungguh demi Allah seorang muslim manakah yang tidak akan bangga punya anak seperti mereka”. Kemudian Ibn Mas’ud mendongakkan kepalanya ke atas, memandang kearah langit-langit rumahnya yang mungil, tampak di sana seekor burung telah membuat sarang dan bertelur. Ketika melihatnya, Ibn Mas’ud berkata, “Sungguh demi Zat Yang menguasai jiwa saya ini, membersihkan debu dari kubur mereka ( kehilangan mereka karena meninggal dunia ) adalah lebih baik bagi saya dari pada sarang burung ini terjatuh dari langit-langit dan telur di dalamnya menjadi pecah”. Dia juga berkata, “Saya tidak peduli ( karena ridha dengan ketentuan Allah ) jika saya pulang, apakah saya akan mendapati keluarga saya dalam keadaan baik, buruk ataukah dalam keadaan bahaya. Juga jika saya berada dalam keadaan tertentu, saya tidaklah berangan untuk dapat berada dalam keadaan yang lain”. Lalu dia juga berkata dalam sebuah nasihatnya, “Di dunia ini, kalian semua tidak lebih dari seorang tamu. Sedang harta kalian hanyalah pinjaman belaka. Dan setiap tamu pasti akan pergi pulang, sedangkan hartanya yang merupakan harta pinjaman sudah barang tentu akan kembali pada yang punya”.
    Menjelang wafatnya Abdullah bin Mas’ud berpesan kepada anak-anaknya agar senantiasa membaca surat al-Waqi’ah, karena dengan membacanya dapat menjauhkan seorang hamba dari kefakiran.

Saya Tahu Kapan Tuhan Ingat kepada Saya

Tsabit bin Muslim al-Bunnani, Seorang ahli ibadah yang tsiqqah. Dia berasal dari kota Basrah. Dia meninggal dunia dalam usianya yang ke delapan puluh enam tahun.
Diriwayatkan oleh Ja'far dari Tsabit, dia berkata, "Suatu hari ada seorang ahli ibadah yang berkata pada kawan-kawannya, "Saya tahu kapan Tuhan ingat kepada saya”. Maka kawan-kawannya yang mendengarkan itu pun terkejut, lalu mereka bertanya memastikan, "Benarkah kamu tahu kapan Tuhanmu  mengingatmu?" Dia menjawab, "Ya". Mereka lalu bertanya serentak, "Kapankah itu?" Sang ahli ibadah tersebut menjawab, "Tuhan akan mengingat saya di saat saya mengingat-Nya".
Ahli ibadah itu juga berkata pada kawan-kawannya, "Dan saya juga tahu kapan Tuhan menerima do'a saya". Sekali lagi dia membuat kawan-kawannya terkejut dan heran dengan perkataannya tersebut. Lalu mereka bertanya kepadanya memastikan kebenaran perkataannya itu, "Benarkah kamu juga tahu kapan Tuhan menerima do'amu?" Dia menjawab, "Ya". Lalu mereka betanya lagi, "Bagaimana kamu mengetahuinya?" Dia menjawab, "Jika hati saya bergetar, tubuh saya menggigil, mata saya basah oleh air mata, dan mata hati saya terbuka ketika berdo'a, maka dari sana saya tahu bahwa Tuhan mengabulkan do'a saya".