Demi Allah, Sesungguhnya Aku Melihatmu Selamat

Imam al-Ghazali menulis dalam kitab Ihya`Ulumiddin, “Suatu hari seorang pelayan Khalifah Umar bin Abdul Aziz datang. Setelah memberi salam, dia pergi ke mushalla yang berada di dalam rumah Khalifah dan shalat dua rakaat. Setelah shalat, matanya terasa berat dan akhirnya dia tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi. Setelah bangun, dia segera menemui Khalifah dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku baru saja bermimpi yang cukup aneh.’
‘Apa mimpimu?’ tanya Khalifah.
‘Aku bermimipi melihat neraka bergerak-gerak mencari penghuninya. Kemudian dibentangkalah shirath (titian) dan diletakkan di atas neraka.’
‘Lalu?’ tanya Khalifah penasaran.
‘Lalu dibawalah Walid bin Abdul Malik—salah seorang khalifah Bani Umayyah—dan diletakkan di atas shirath tersebut. Belum berapa langkah dia tergelincir dari shirath dan masuk ke dalam Jahanam.’
‘Lalu?’ kata Khalifah tidak sabar.
‘Kemudian dibawalah Sulaiman bin Abdul Malik (khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz) dan tak berapa langkah dia juga terjatuh dari shirath.’
‘Lalu?’
‘Lalu dibawalah kau, wahai Amirul Mukminin.’
Mendengar itu Umar segera berteriak dan jatuh pingsan. Sang pembantu mendekati tuannya. Dia terus memanggil-manggil di telinga tuannya, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku melihatmu selamat.’ Dia terus memanggil-manggil sementara Umar masih berteriak dan meluruskan kedua kakinya di lantai.
Itulah rasa takut kepada Allah. Rasa takut yang akan menyelamatkan seseorang. Seorang mukmin sejati beribadah kepada Allah atas dasar rasa takut dan harap. Takut kepada azab Allah dan berharap kepada rahmat dan maaf Allah swt.. Siapa yang takut kepada Allah di dunia, maka Allah akan memberikan dia rasa aman di hari Kiamat dan siapa yang merasa aman di dunia, maka Allah akan memberikan rasa takut kepadanya di hari Kiamat. Menyeberangi shirath termasuk fase sangat menentukan di hari Kiamat. Apabila seorang hamba berhasil menyeberanginya maka dia akan beruntung dan selamat dengan izin Allah. Kita memohon pertolongan kepada Allah di hari Kiamat kelak.”

Orang yang Bertobat dari Dosa Sama dengan tidak Berdosa

Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a. meriwayatkan, “Seorang pemuda dari Anshar bernama Tsa’labah bin Abdurrahman masuk Islam. Kemudian  dia bekerja sebagai pembantu Rasulullah saw.. Suatu kali Rasulullah saw. menyuruhnya untuk suatu keperluan. Ketika  dia lewat di depan rumah seorang lelaki dari Anshar, dia melihat seorang wanita dari Anshar sedang mandi. Dia takut kalau akan turun wahyu kepada Rasulullah saw. tentang apa yang dia lakukan. Akhirnya,  dia melarikan diri.
Dia pergi ke sebuah bukit di antara Mekah dan Madinah, lalu dia memasuki salah satu gua di bukit itu. Nabi saw. kehilangan dia selama empat puluh hari. Kemudian Jibril a.s. turun membawa wahyu kepada Nabi. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan Dia berfirman, ‘Sesungguhnya ada seseorang dari umatmu yang berlindung kepada-Ku di antara bukit-bukit itu.’”
Nabi saw. bersabda, “Wahai Umar dan Salman, pergilah ke bukit itu dan bawalah Tsa’labah bin Abdurrahman ke sini.”
Keduanya segera berangkat dari Madinah. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang penggembala kambing dari Madinah yang bernama Dzafafah. Umar bertanya kepadanya, “Apakah kau mengetahui seorang pemuda di antara bukit-bukit ini yang bernama Tsa’labah?”
Pengembala itu menjawab, “Barangkali yang kau maksudkan adalah seseorang yang lari dari neraka Jahanam?”
“Bagaimana kau tahu kalau dia lari dari neraka Jahanam?”
“Karena, setiap tengah malam dia keluar dari bukit-bukit itu sambil meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berteriak, ‘Wahai Tuhan, andaikan Engkau cabut saja ruhku di antara ruh-ruh yang telah tiada dan Engkau binasakan jasadku di antara jasad-jasad yang sudah punah dan tidak Engkau seret aku pada hari penentuan kelak.”
Umar berkata, “Memang dialah yang kami maksud.”
Penggembala itu lalu menemani mereka ke tempat yang dimaksud.
Di tengah malam, Tsa’labah muncul dari balik bukit-bukit tersebut sambil meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berteriak, “Wahai Tuhan, andaikan Engkau cabut saja ruhku di antara ruh-ruh yang telah tiada dan Engkau binasakan jasadku di antara jasad-jasad yang sudah punah dan tidak Engkau seret aku pada Hari Penentuan kelak.”
Kemudian Umar menuju ke arah Tsa’labah lalu memeluknya.
Dia berkata, “Wahai Umar, apakah Rasulullah mengetahui dosaku?”
“Aku tidak tahu, namun dia menyebut namamu dalam majelisnya kemarin kemudian beliau mengutusku bersama Salman untuk mencarimu.”
Dia berkata, “Wahai Umar, jangan masukkan aku ke majelis Rasulullah kecuali ketika beliau sedang shalat.”
Umar dan Salman segera mengambil shaf dalam shalat. Ketika Tsa’labah mendengar bacaan Nabi saw., dia langsung jatuh pingsan. Setelah Nabi saw. mengucapkan salam beliau bertanya, “Wahai Umar, wahai Salman, bagaimana kabar Tsa’labah?”
Keduanya menjawab, “Ini dia, wahai Rasulullah!”
Nabi saw menghampirinya dan menggerakkan tubuhnya. Tsa’labah sadar. Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang membuatmu menghilang dariku?”
Tsa’labah menjawab, “Dosaku, wahai Rasulullah....”
“Maukah aku tunjukkan kepadamu sebuah ayat yang akan menghapus segala dosa dan kesalahan?”
“Mau, ya Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah: KHAT (Wahai tuhan kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa api neraka).” (al-Baqarah: 201)

Tsa’labah berkata,  “Dosaku lebih besar, wahai Rasulullah....”
Rasulullah saw. bersabda, “Bahkan firman Allah lebih agung.”
Kemudian Rasulullah saw. mempersilakannya pulang ke rumah. Setelah itu Tsa’labah sakit selama delapan hari. Salman datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, maukah engkau menjenguk Tsa’labah? Kondisinya sangat memprihatinkan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Mari kita jenguk  dia!”
Ketika sampai di rumah Tsa’labah, Rasulullah meletakkan kepala Tsa’labah di pangkuannya. Tsa’labah menarik kepalanya dari pangkuan Rasulullah. Rasulullah saw. bertanya, “Kenapa kau tarik kepalamu dari pangkuanku?”
“Karena  aku  penuh dengan dosa.”
“Apa yang kau rasakan?”
“Rasanya ada semut yang merayap di antara tulang, daging, dan kulitku.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Ampunan Tuhanku.”

Jabir melanjutkan bahwa kemudian Jibril a.s. turun dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, ‘Seandainya hambaku ini berjumpa dengan-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, niscaya Aku akan menjumpainya dengan ampunan sepenuh bumi pula.’”
Nabi memberitahukan hal itu kepada Tsa’labah, kemudian dia berteriak dan akhirnya wafat.
Jabir melanjutkan, “Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk memandikan dan mengafaninya. Setelah menshalatkannya, Rasulullah saw. berjalan di ujung jarinya (berjingkat). Setelah selesai dikuburkan, sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami melihat engkau berjalan sambil berjingkat?’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Demi Dzat yang mengutusku dengan sesungguhnya, aku tak mampu menginjakkan kakiku di tanah karena banyaknya para malaikat yang turun untuk mengiringinya.’

Zuhud Sufyan ats-Tsauri

Yahya bin Ayub berkata, “Aku mendengar Ali bin Tsabit mengatakan bahwa andaikan kau berjumpa dengan Sufyan ats-Tsauri di jalan menuju Mekah, dan kau mempunyai uang recehan yang ingin kau sedekahkan, sementara kau tidak mengenal Sufyan, tentu kau akan berniat untuk memberikan uang itu kepadanya. Aku tak pernah melihat Sufyan duduk di bagian depan suatu majelis sekalipun. Dia lebih suka duduk di samping dinding sambil bersila."
Dia (Sufyan) rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aku sangat takut kepada Allah, alangkah aneh kenapa aku tidak mati, akan tetapi aku memiliki ajal yang pasti akan sampai akhirnya. Aku selalu merasa takut, dan aku berharap bahwa rasa takut itu akan meringankanku dari sesuatu yang aku khawatir akan menghilangkan pikiranku.”
Dia juga berkata, “Aku sering meletakkan tanganku di atas kepalaku pada malam hari. Setiap kali aku mendengar sebuah suara keras, aku berkata, ‘Telah datang azab kepada kita.’”
Abatsar berkata, “Suatu kali Sufyan bangun sebelum matahari tergelincir, lalu dia mendengar sebuah ayat dibacakan, ‘Maka apabila sangkakala ditiup, maka itulah hari yang serba sulit.’ (al-Muddatstsir: 8—9). Lalu  dia keluar dan berlari. Orang-orang baru menemukannya di daerah al-Hamra` lalu mereka mengembalikannya ke rumahnya.”
Dia berkata, “Tak ada kondisi yang paling sulit bagiku selain kondisi sakaratul maut. Aku takut kalau hal itu akan berat sekali bagiku, lalu aku minta untuk diringankan, tetapi tidak diperkenankan. Akhirnya, aku memperoleh fitnah (malapeteka yang besar).” 
Yahya bin Ayub berkata, “Aku mendengar Ali bin Tsabit mengatakan bahwa dia melihat Sufyan ats-Tsauri di jalan menuju Mekah. Kemudian dia memperkirakan harga seluruh perbekalannya hingga kedua sandalnya, ternyata hanya satu dirham empat daunaq (mata uang dibawah dirham, pent).”
Begitulah kondisi para ahli zuhud. Hal itu tidaklah mengherankan, karena mereka telah menjadikan dunia di tangan mereka, bukan di hati mereka. Mereka memakmurkan akhirat mereka, setelah mereka menyadari bahwa seorang mukmin di dunia ini ibarat seorang pengembara, dan seorang mukmin akan mengutamakan Allah swt. daripada hawa nafsunya dan dunia.