TOBAT TUKANG FITNAH DI TANGAN UMAR IBNUL HTHAB

Ada seseorang yang datang menemui Amirul Mukminin Umar bin hthab r.a.. Kemudian di depannya dia menghasut seseorang dari teman-temannya. Dia menyampaikan hal-hal jelek temannya itu kepada Umar. Dia menuangkan kemarahan hatinya kepada Umar. Ketika orang ini selesai memfitnah, Umar pun mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan dia sedang memikirkan dan mencerna fitnahan itu. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan berkata kepada orang itu, “Hai dengarkan, kami telah mengamati masalahmu dan telah mendengarkan beritamu. Jika kamu bohong, kamu termasuk dari kelompok ayat ini, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.’ (al-Hujuraat: 6)
    Jika kamu jujur dan benar, kamu termasuk dari golongan ayat ini, ‘Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah.’ (al-Qalam: 10-11)
    Jika kamu mau, kami akan memaafkan kamu dan janganlah kamu kembali lagi ke majelis kami setelah ini, karena kamu bukanlah teman duduk bagi orang-orang mukmin.”
    Orang itu pun merasa hina dalam dirinya dan berkata, “Aku meminta maaf kepadamu wahai Amirul Mukminin dan berjanji kepadamu untuk tidak kembali lagi melakukan fitnah dan menggunjing orang lain.”
    Kemudian dia keluar dari majelis Umar ibnul hthab r.a. seperti yang telah diperintahkan dan dia merasa menyesal atas apa yang telah dia katakan kepada Amirul Mukminin.
    Dan begitulah, para pemimpin dan masyarakat umum harus terus waspada kepada orang-orang pengumpat dan penyebar fitnah serta penggunjing aib orang lain.

Penyair Kasmaran dan Wanita Suci

Dalam kisah-kisah para wanita, Ibnu Jauzi menceritakan tentang seorang penyair kasmaran bernama Umar bin Abi Rabiah. Ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah, tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang berasal dari Bashrah. Dia tertarik melihat wanita itu dan mencoba untuk mendekatinya. Dia ingin mengajaknya bicara tapi wanita itu tidak menoleh sama sekali. Pada malam berikutnya, dia kembali berusaha mendekatinya. Wanita itu berkata, “Menjauhlah dariku, kamu berada di tempat yang suci.”
Ketika penyair itu terus mengejarnya dan mengganggunya melakukan thawaf, wanita itu datang kepada suaminya dan berkata, “Mari bersamaku, ajarkan kepadaku manasik haji.” Dia kembali thawaf bersama suaminya. Umar bin Abi Rabi’ah duduk menunggu di jalan yang biasa dilalui wanita itu untuk menggodanya seperti yang dia lakukan sebelumnya. Ketika dia melihat wanita itu datang bersama suaminya, Umar menghindar dan tidak lagi berani menggodanya setelah itu. Wanita itu berkata,

Serigala hanya berani pada kambing tanpa pengawalan anjing
Tetapi  dia ciut melihat penjaga laksana singa yang siaga menjaga

Kisah ini didengar oleh Khalifah Al-Mansur dan dia berkata, “Aku berharap seandainya setiap wanita Quraisy yang berada di rumahnya mendengarkan kisah ini.”
Begitulah, wanita yang salehah ini tahu cara mengusir serigala-serigala manusia yang tidak menghargai kesucian tempat dan kesucian agama. Dia juga telah memberikan pelajaran berharga kepada seluruh wanita agar tidak diganggu oleh serigala-serigala seperti itu di sepanjang masa.

Antara Ali Bin Abi Thalib dan Adi Bin Hatim

Diriwayatkan oleh Ibn Asakir dalam kitabnya Tarikh Dimasyq, bahwa al-Aghar bin Sulaik al-Kufi berkata, "Suatu ketika Ali bin Abi Thalib melihat Adi bin Hatim yang nampak sedang sedih dan berduka. Lalu Ali bertanya kepadanya, "Wahai Adi apa, yang menyebabkan kamu nampak begitu sedih dan berduka?" Adi menjawab, "Bagaimana saya tidak sedih, kedua anak saya terbunuh dan saya sendiri kehilangan mata saya”.
Lalu Imam Ali menasihatinya, "Wahai Adi, barang siapa yang ridha dengan qada Allah, dan qada Allah itu pasti akan berlaku, maka dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Dan barang siapa yang tidak ridha dengan qada-Nya, dan qada Allah itu pasti juga akan berlaku pada dirinya, maka pahala amal baiknya akan terhapus”.
Demikianlah nasihat yang diberikan Imam Ali. Yang intinya bahwa keridhaan pada qada Allah akan mendatangkan pahala yang besar dari Allah. Dan sebaliknya, ketidakridhaan terhadap qada Allah akan mendatangkan murka dari Allah dan mengakibatkan hilangnya pahala amal baik.
Sesungguhnya qada Allah itu pasti akan berlaku tanpa adanya keraguan. Oleh karenanya sudah seharusnya  bagi setiap mu'min untuk selalu ridha dan berserah. Barang siapa tidak ridha terhadap qada Allah, maka dia harus mencari tuhan lain selain Allah dan bumi lain selain bumi Allah ini. Sedangkan itu adalah suatu hal yang mustahil. Keridhaan terhadap qada Allah adalah buah dari keimanan.

Abud Dahdah dan Keridhaan kepada Allah

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika turun ayat Al-Qur’an,

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik ( menafkahkan hartanya di jalan Allah ), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”. ( al-Baqarah: 245 ), Abud Dahdah al-Anshari berkata, “Apakah Allah juga ingin pinjaman dari kita?”
Rasulullah saw. menjawab, “Ya, wahai Abud Dahdah”.
Abu Dahdah lalu berkata, “Ulurkanlah tanganmu wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah saw. mengulurkan tangannya ke arah Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, “Dengan ini saya meminjamkan kebunku kepada Tuhanku”.
Ibnu Mas’ud berkata, “Di dalam kebun Abud Dahdah tersebut terdapat enam ratus pohon kurma. Di dalamnya juga tinggal Ummud Dahdah dan anak-anaknya. Maka setelah itu, Abud Dahdah segera pulang dan memanggil istrinya, “Wahai Ummud Dahdah”. Istrinya menjawab, “Ya, suamiku”. Sang suami menjawab, “Keluarlah dari kebun ini, karena saya telah meminjamkannya kepada Tuhanku ‘azza wajalla”.
Mendengar hal itu, Ummud Dahdah segera mendatangi anak-anaknya, mengeluarkan kurma-kurma yang ada di mulut mereka dan mengeluarkan yang ada di dalam baju-baju mereka.
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Alangkah banyak anggur-anggur yang besar milik Abud Dahdah di surga”.