TOBAT HISYAM IBNUL

Hisyam ibnul ‘Ashi telah lama masuk Islam di Mekah. Ketika Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat beliau untuk berhijrah ke Madinah al-Munawwarah, Hisyam ibnul ‘Ashi pun ingin berangkat hijrah. Dia bersepakat dengan Umar ibnul hthab dan ‘Ayyasy bin Rabi’ah untuk berhijrah bersama-sama. Mereka saling sepakat bahwa besok paginya mereka harus sudah tiba di sebuah tempat yang telah mereka sepakati. Jika ada yang tertahan satu dari antara mereka, kedua yang lainnya tetap meneruskan hijrahnya.
    Umar ibnul hthab dan ‘Ayyasy pun datang ke sebuah tempat yang telah mereka sepakati, sementara Hisyam tidak datang. Itu karena keluarganya tahu rencana hijrahnya ke Madinah dan mereka pun menahannya. Hisyam mendapat cobaan berat karena agamanya, sehingga dia pun menyatakan keluar dari Islam dan mengikuti agama kaumnya, dan dia tetap tinggal di Mekah.
    Umar ibnul hthab r.a. berkata, “Allah tidak mau menerima orang-orang disiksa untuk berpaling dan tidak pula berlaku adil serta tidak pula untuk tobat. Sebuah kaum yang telah mengenal Allah kemudian mereka kembali kepada kekufuran karena siksa yang mereka alami.”
    Ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, Allah swt. menurunkan kepada beliau firman-Nya, “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya.’” (az-Zumar: 53-55)
    Umar ibnul hthab berkata, “Aku pun segera menulisnya dengan tanganku sendiri di atas sebuah lembaran dan aku kirimkan ke Hisyam ibnul ‘Ashi.”
    Hisyam berkata ketika surat yang dikirim Umar sampai kepadanya dan berisikan ayat tersebut, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” Ketika surat itu sampai kepadaku, aku membacanya di Dzi Thuwa—sebuah tempat di daerah bawah Mekah—aku menaiki tempat itu kemudian aku turun darinya tapi aku tidak juga bisa memahaminya sampai akhirnya aku berkata, ‘Ya Allah, pahamkanlah aku ayat ini.’”
    Dia berkata, “Allah swt. menurunkan ke dalam hatiku pemahaman bahwa ayat ini diturunkan kepada kami dan kepada apa yang sering kami katakan dalam diri kami serta apa yang ditujukan kepada kami. Aku kemudian segera kembali ke untaku dan aku menaikinya. Aku pun langsung berangkat menemui Rasulullah saw. yang sudah berada di Madinah.”
    Sesungguhnya rahmat Allah sangatlah luas sekali, melebihi luas segala sesuatu. Untuk itu, Allah swt. memerintahkan kita untuk bersegera mungkin bertobat dan memohon ampun. Allah swt. berfirman, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
    Kemudian Allah tidak membuat para hamba-Nya yang bergelimangan dosa untuk tidak berputus asa, maka Allah memanggil mereka, “Wahai  hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah….” (az-Zumar: 53)
    Beritahukan kepada mereka bahwa Dia akan mengampuni semua dosa selama nyawa belum sampai ke kerongkongan. Untuk itu, Allah memerintahkan mereka untuk segera kembali ke jalan-Nya dan bertobat kepada-Nya sebelum datang kematian. Sebab, kalau mereka sudah meninggal dunia, mereka akan mendapat azab dan siksa akhirat. Di sana (akhirat) sudah tidak ada lagi yang akan menolong diri mereka.

Hudzaifah Ibnul Yaman dan Ayahnya yang Terbunuh

Ibnu Ishaq berkata, “Ashim bin Amir bin Qatadah memberitahu saya, dari Mahmud bin Labid, dia berkata, “Ketika Rasulullah saw. berangkat menuju Uhud, beliau mengangkat Husail bin Jabir, seorang dari Yaman, dan Tsabit bin Waqsy untuk menjadi  para wanita dan anak-anak di atas benteng.
    Lalu salah satu dari mereka, dan keduanya sama-sama sudah tua, berkata, “Saya tidak peduli apa yang kau tunggu. Demi Allah, kita berdua ini adalah peminum khamar. Sesungguhnya hari ini atau besok kita tetap akan mati. Mengapa kita tidak mengambil pedang kita kemudian kita menyusul Rasulullah saw., dan semoga Allah memberi kita syahadah?”.
    Maka keduanya segera mengambil pedang mereka, kemudian berangkat ke Uhud. Kemudian mereka langsung terjun ke medan peperangan dan tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan mereka. Akhirnya Tsabit bin Waqsy terbunuh oleh orang-orang musyrik. Sedangkan Husail bin Jabir, tanpa sengaja  terbunuh oleh orang-orang muslim karena ketidaktahuan mereka.
    Ketika mengetahui bahwa ayahnya terbunuh oleh orang-orang muslim yang mengira dia termasuk pasukan orang-orang musyrik karena tidak berangkat bersama orang-orang muslim sehingga antara teman dan musuh tidak nampak, Hudzaifah berkata, “Demi Allah, itu ayahku”.
Maka orang-orang muslim berkata, “Demi Allah, jika kami tahu tentu kami tidak akan membunuhnya”.
Hudzaifah berkata, “Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Maha Pengasih”.
Lalu Rasulullah saw. membayarkan diyat ayahnya karena terbunuh secara tidak sengaja, namun Hudzaifah menyedekahkannya kepada orang-orang muslim. Sehingga hal itu menambah kebaikannya di sisi Rasulullah saw..
    Demikianlah, Hudzaifah ridha kepada qadha dan qadar Allah atas kematian ayahnya, semoga Allah meridhai mereka berdua.   

Kisah Humamah dan Keinginan untuk Bertemu Allah

Humaid bin Abdurrahman berkata, “Ada salah seorang sahabat Nabi saw. yang bernama Humamah pergi berperang menuju Ashfahan yang akhirnya ditundukkan pada masa Khilafah Umar. Ketika akan berangkat, Humamah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Humamah mengira bahwa dia ingin bertemu dengan-Mu. Jika dia jujur dengan hal itu, maka tetapkan atasnya kejujurannya tersebut. Namun jika dia bohong, maka tetapkanlah juga atasnya, walaupun dia tidak suka. Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan Humamah dari perjalanannya ini”.
Maka dia pun meninggal dunia di Ashfahan.
Saya ( penulis ) katakan, “Sesungguhnya itu adalah kejujuran seorang mukmin kepada Tuhannya dan keinginannya untuk bertemu dengan-Nya. Juga merupakan keridhaan seorang hamba  kepada Tuhannya dan keridhaan Tuhannya kepada sang hamba. Semoga Allah meridhai mereka semua dan mereka pun ridha kepada Allah. Sesungguhnya yang ada pada Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Surga dan kekekalan di dalamnya adalah lebih baik dari pada dunia dan kefanaan di dalamnya.
Semoga Allah memberi ampunan, kesejahteraan dan husnul khatimah kepada kita”.