TOBAT SEORANG ARAB BADUI PADA HARI ARAFAH

Yahya bin Kamil al-Qurasyi berkata, “Sufyan ats-Tsauri menceritakan kepadaku dan dia berkata, ‘Aku mendengar seorang Arab badui sedang wukuf di Arafah. Dia berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, tidak ada orang yang paling pantas untuk tergelincir dan lalai dari aku karena Engkau telah ciptakan aku dalam keadaan lemah. Tidak ada yang lebih memaafkan dari Engkau karena Engkau Mahatahu tentang diriku dan apa yang aku lakukan.’
    Aku taat kepada Engkau dengan izin-Mu dan karunia itu milik-Mu untuk-ku. Jika aku bermaksiat kepada-Mu, itu pun Engkau mengetahuinya dan akan menjadi hujjah bagi-Mu. Aku memohon kepada-Mu pastinya hujjah-Mu dan terputusnya hujjah-ku. Dengan segala harapanku kepada-Mu dan tidak ada nilainya diriku bagi-Mu, aku mohon agar Engkau mengampuni dan merahmatiku.
    Ya Allah ya Tuhanku, aku tidak bisa melakukan kebaikan kecuali jika Engkau beri aku kekuatan, dan aku tidak melakukan kejelekan kecuali memang itu semua sudah engaku takdirkan atasku.
    Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya kami taat kepada-Mu dengan nikmat dan karunia-Mu dalam amal yang paling Engkau cintai, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kami pun belum pernah bermaksiat dalam perbuatan yang sangat Engkau benci dan murkai, yaitu syirik kepada-Mu. Ampunilah aku dalam amal antara keduanya.
    Ya Allah ya Tuhanku, tidak ada rahasia bagiku di hadapan-Mu dan aku selalu mengadukan diriku kepada-Mu. Jika kesendirianku membuatku rindu, aku menghiburnya dengar zikir kepada-Mu. Jika aku dirundung susah, aku akan segera datang kepada-Mu memohon pahala dari-Mu. Aku tahu bahwa segala perkara semuanya ada di tangan-Mu dan Engkaulah sumbernya dari qadha-
Mu.

TOBAT SEORANG PENDETA DAN KISAH KEISLAMANNYA

    Ketika penulis duduk di Masjidil Haram setelah shalat zuhur, penulis berkenalan dengan seorang yang terlihat pada dirinya sosok orang yang bertakwa dan saleh. Tangannya memegang sebuah mushaf Al-Qur’an. Kami pun larut dalam obrolan, sehingga penulis tahu bahwa dia adalah orang Mesir yang tinggal di Sudan sejak beberapa tahun silam. Kemudian dia menceritakan kepada penulis kisah perjalanan hidupnya.
    “Sesungguhnya aku dari keluarga Kristen yang taat di Mesir. Ayahku seorang yang punya jabatan tinggi dan begitu juga saudara-saudaraku. Keluargaku adalah keluarga kaya. Setelah aku lulus di sekolah menengah atas, aku masuk ke fakultas kedokteran, namun ayahku memaksa aku dan memasukkanku ke gereja untuk mempelajari teologi Kristen dan kepasturan agar aku bisa menjadi seorang pendeta. Hingga akhirnya aku benar-benar belajar kepasturan sampai aku mendapat gelar magister, kemudian aku menjadi seorang pastur seperti yang diinginkan oleh ayahku.
    Pada saat aku mempelajari teologi Kristen, di sana ada berbagai hal yang tidak bisa diterima dan tidak masuk dalam akalku seperti tabiat al-Masih dan penyatuan zat manusia pada trinitas. Aku pernah bertanya kepada para dosen seniorku tentang hal itu, namun aku tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Mereka selalu berkata pahamilah seperti adanya dan ajarkan kepada manusia!
    Setelah beberapa tahun aku menjalankan tugasku sebagai pastur di salah satu gereja, aku pun pergi ke London. Dengan izin dan kehendak Allah, duduk di sampingku seorang syekh ulama terkenal yang juga sama denganku akan berangkat ke London. Aku pun berbicara panjang lebar dengannya, sehingga timbul persahabatan di antara kami. Seorang syekh dan seorang pendeta. Aku pun banyak bertanya kepadanya tentang hal-hal yang menyangkut dengan agama Islam dan agama Kristen. Darinya aku mendapat jawaban yang sangat memuaskan dan bisa diterima.
    Selama satu tahun dari persahabatan itu, aku pun telah mengenal dan mengetahui hakikat kebenaran, yaitu bahwa aku adalah salah dan sesat. Syekh ini pun mengirimkan aku buku-buku fiqih Islam dan akidah dan aku belajar banyak dari buku-buku tersebut. Yang tersisa di hadapanku hanyalah mengumumkan keislamanku, akan tetapi aku merasa takut pada keluargaku dan mereka akan menyerangku dengan kekerasan. Setelah keraguan yang tidak begitu panjang, aku segera pergi ke instansi keamanan yang berwenang dan segera aku kumandangkan keislamanku. Lantas aku menanggalkan seragam kepasturanku untuk selamanya.
    Itulah awal mula aku masuk Islam. Sudah bisa ditebak sebelumnya, keluargaku semua memerangiku dan mereka telah menghalalkan darahku untuk dibunuh, sampai akhirnya sebagian menasihatiku untuk pergi ke luar Mesir karena takut atas nyawaku, hingga aku pun pergi ke Sudan. Melalui jalur Organisasi Pekerja Islam, aku berangkat menuju imam salah satu masjid di sana.
    Dia menerimaku sebagai tamunya selama tiga hari, kemudian dia menawarkan agar aku menikah dengan salah satu putrinya hingga aku pun jadi menikahi salah seorang putrinya. Di sana aku bekerja sebagai tenaga pengajar selama enam belas tahun, dan Allah mengaruniai aku dua orang anak. Aku pun masih menjalin hubungan dengan keluargaku melalui telepon dan aku merasa tidak ada harapan untuk mengajak mereka masuk Islam dan itu telah aku lakukan tanpa hasil.
    Kemudian kondisi ekonomi pada saat itu mengalami krisis, hingga Rabithah ‘Alam Islami di Sudan mengirimku ke Saudi agar aku bisa mendapat pekerjaan di sana. Saat ini aku sudah di sini sejak dua bulan tinggal di Masjidil Haram, namun aku belum bisa bertemu dengan ketuanya karena dia masih dalam perjalan ke luar negeri, sampai-sampai uangku habis. Aku tidak pernah putus asa dari rahmat Allah karena aku telah banyak mengambil manfaat dari keberadaanku di Masjidil Haram ini dengan melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt..”
    Setelah dua hari dari pertemuan ini, penulis datang ke Masjidil Haram untuk menemuinya di tempat yang biasa dia duduk. Aku pun menjumpainya dalam keadaan senang dan penuh keceriaan, dan memberitahukanku bahwa Rabhithah ‘Alam Islami telah memberinya pekerjaan di perguruan tinggi di Mekah dan memberikannya uang untuk kebutuhannya agar dia bisa mencari tempat tinggal dan memulai kehidupan barunya. Dia juga mengirim uang itu untuk istri dan anak-anaknya. Hanya untuk Allah segala pujian.

Penduduk Mekkah Menangisi Kepergian al-Harits bin Hisyam

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari al-Aswad bin Syaiban dari Abu Naufal bin Abu Aqrab, dia berkata, “Ketika al-Harits bin Hisyam r.a. akan pergi meninggalkan Mekkah, orang-orang Mekkah sangat bersedih. Sehingga tidak seorang pun, walaupun sedang makan, yang tertinggal untuk mengantarkannya. Ketika di daerah tinggi Mekkah atau di tempat yang diketahui oleh Allah Swt, dia berhenti. Orang-orang juga berhenti di sekitarnya sembari menangis. Ketika melihat kesedihan mereka dia berkata, “Wahai orang-orang, demi Allah saya meninggalkan Mekkah bukan karena lebih mementingkan diri saya atas kalian. Juga bukan karena lebih memilih negeri lain dari negeri Mekkah. Akan tetapi saya pergi karena dulu orang-orang Quraisy yang bukan para pembesarnya dan bukan para pemilik rumah-rumah mewahnya, berangkat demi agama ini. Sehingga, demi Allah, seandainya gunung-gunung di Mekkah adalah emas, niscaya mereka menyedekahkannya fi sabilillah. Sedangkan kita tidak mendapati masa mereka sama sekali. Demi Allah, jika mereka mendahului kita dengan keutamaan itu di dunia, maka kita berusaha untuk menyertai mereka di akhirat, maka hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah”.
Lalu al-Harits bin Hisyam pergi menuju Syam, lalu dia berperang hingga mati syahid. Semoga Allah meridhainya.
Saya ( penulis ) katakan, “Al-Harits bin Hisyam ingin mendapatkan apa yang terlewatkan olehnya sebelum dia masuk Islam, karena keislamannya agak belakangan, yaitu ketika Fathu Makkah. Sedangkan sebelumnya, dia memerangi Islam, yaitu sejak Rasulullah saw. diangkat menjadi seorang Nabi. Maka ketika Allah memberinya petunjuk, dia ingin menggantikan apa yang telah terlewatkan olehnya dan mendapatkan ridha Allah ‘azza wajalla. Dan dia tidak menemukan jalan lain untuk itu kecuali berjihad fi sabilillah. Maka dia pun berangkat dengan jiwa dan hartanya, menyusul para mujahidin di Syam, hingga memperoleh apa yang dia angan-angankan dan apa yang dia inginkan dari Allah.

Aku Takut Kamu Akan Menjadi Syahid

Dalam sebuah kisah disebutkan, ada seorang lelaki yang selalu mengutuk iblis setiap hari sebanyak seribu kali. Suatu kali saat dia tidur datanglah seseorang yang membangunkannya. Orang itu berkata, “Bangunlah, dinding rumah ini hampir runtuh menimpamu.”
Lelaki itu bertanya, “Siapa kau yang telah sangat baik kepadaku?”
Dia menjawab, “Aku iblis.”
Lelaki itu heran dan bertanya, “Kenapa kamu selamatkan aku, padahal aku selalu mengutukmu seribu kali setiap hari?”
Iblis menjawab, “Hal itu karena aku tahu tingginya posisi syuhada` di sisi Allah, maka aku takut kalau kamu dikumpulkan bersama mereka dan kamu memperoleh seperti apa yang mereka peroleh.”

Begitulah iblis, selalu tidak pernah berbuat kebaikan. Meskipun dia berbuat sesuatu yang secara lahirnya adalah kebaikan, tetapi pada hakikatnya hal itu adalah keburukan. Bahkan, dia akan membuka tujuh puluh pintu kebaikan untuk seorang mukmin supaya dia terjatuh dalam satu pintu keburukan. Itulah Iblis yang dilaknat Allah sampai hari Kiamat.

Ke mana Akan Lari

Ahli sejarah menyebutkan bahwa Perang Yarmuk, yaitu perang antara kaum Muslimin dan bangsa Romawi di Syam, menggambarkan bahwa sebagian pasukan berkuda kaum Muslimin mundur termasuk Abu Sufyan. Mereka lari ke kemah para istri kaum Muslimin yang berada di belakang pasukan. Di antara wanita itu ada Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Para wanita tersebut keluar menemui para pasukan berkuda yang lari itu dan berkata, “Ke mana kalian akan lari dan kepada pasukan Allah yang mana kalian akan bergabung? Sesungguhnya Allah mengetahui kondisi kalian, maka takutlah pada-Nya.”
Hindun binti Utbah mengambil tongkat kemahnya dan memukul kepala kuda suaminya dan berkata, “Wahai Ibnu Shakhar (gelar Abu Sufyan), kembalilah ke medan perang dan jadikan dirimu sebagai tebusan di jalan Allah untuk memperoleh ridha Allah, agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu, dan ingatlah hari-hari waktu kamu mendorong manusia untuk menentang Rasulullah saw. dan kamu bantu kaum kafir serta musyrikin untuk memeranginya.”
Akhirnya, para pasukan itu kembali ke medan perang dan mereka berjuang dengan penuh berani sampai akhirnya kaum Muslimin meraih kemenangan. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.

Isa bin Maryam A.s. dan Para Pengikutnya yang Setia

Nabi Isa A.s. menerangkan kepada para pengikutnya yang setia tentang tahapan-tahapan manusia dalam menyikapi qadha dan qadar Allah, "Wahai Para pengikutku yang setia. Sesungguhnya manusia diciptakan di dunia ini dalam empat tahapan. Di tiga tahapan yang pertama, manusia masih merasa yakin dan senantiasa berprasangka baik terhadap ketetapan Tuhannya. Adapun di tahapan yang keempat, dia sudah mulai berprasangka buruk terhadap ketetapan Tuhannya dan senantiasa merasa khawatir Tuhannya  akan meninggalkannya, sehingga hidupnya menjadi terlantar.
Di tahapan yang pertama, manusia diciptakan oleh Allah dalam perut ibunya melalui fase-fase tertentu. Dia diciptakan dalam tiga kegelapan; kegelapan perut, kegelapan rahim dan kegelapan placenta (ari-ari). Lalu Allah memberikan rizki padanya semenjak dia masih berada dalam perut ibunya. Kemudian ketika sudah keluar dari perut ibunya, yang berarti telah masuk pada tahapan yang kedua, dia diberi rizki oleh Allah berupa asi, yang mana dia bisa mendapatkannya tanpa harus melalui usaha. Malah diharuskan baginya untuk menerimanya, hingga tulang, daging dan darahnya dapat tumbuh dengan baik. Setelah itu, ketika dia sudah tidak lagi bergantung pada asi, dia memasuki tahapan yang ketiga. Pada tahapan ini, Allah memberikan rizki padanya lewat kedua orang tuanya. Dan apabila keduanya meninggal dunia tanpa meninggalkan apa-apa untuknya, maka Allah akan memberinya rizki lewat orang-orang yang berbelas kasihan kepadanya. Diantara mereka ada yang memberinya makan, minum dan ada pula yang menyediakan tempat tinggal.
Kemudian ketika manusia telah memasuki tahapan yang keempat, dia telah mampu menjadi dirinya sendiri. Hanya saja dia berprasangka buruk kepada Allah, khawatir Allah tidak akan menurunkan rizki kepadanya. Sehingga dia mulai berani berbuat lalim terhadap manusia yang lain, menghianati amanat mereka, mencuri barang-barang mereka, serta menguasai harta mereka secara zalim. Itu semua disebabkan karena perasaan buruk sangka terhadap Allah telah merasuki dirinya. Dia khawatir hidupnya akan menjadi sengsara, karena ditinggalkan oleh Allah.

Ummu Sulaim Bintu Malhan dan Keridhaannya Kepada Qada Allah

Ummu Sulaim al-Ghumaisha` bintu Malhan al-Anshriyah an-Najjariyah adalah ibunda Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw.. Saudaranya yang bernama Haram, gugur dalam keadaan syahid ketika peperangan Bi'r Ma'unah. Dan saudarinya yang bernama Ummu Haram bintu Malhan, juga gugur dalam keadaan syahid ketika dalam perjalanan pulang dari peperangan di Cyprus.
Ummu Sulaim masuk Islam di Madinah, sebelum Rasulullah saw. melakukan hijrah. Suaminya yang bernama Malik, terbunuh dalam keadaan kafir. Kemudian setelah beberapa tahun hidup menjanda, datanglah Abu Thalhah meminangnya. Ketika itu Abu Thalhah masih dalam kemusyrikannya. Oleh karena itu, Ummu Sulaim menolak untuk menikahinnya, hingga dia masuk Islam. Maka Abu Thalhah masuk Islam, dan Ummu Sulaim menjadikan keislamannya itu sebagai maharnya. Itulah mahar termahal yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Seiring dengan perjalanan waktu, Keislaman Abu Thalhah pun semakin baik. Adapun Ummu Sulaim, pernikahannya dengan Abu Thalhah membuahkan seorang putra yang diberi nama Abu Umair. Abu Thalhah sangat menyayangi putranya tersebut. Pada suatu hari putranya itu menderita sakit keras, lalu dia meninggal dunia di saat sang ayah berada di luar rumah. Karena tidak ingin melihat suaminya dirundung sedih, Ummu Sulaim meminta para tetangganya agar menyembunyikan dulu perihal kematian anaknya tersebut dari suaminya, dan nanti dia sendiri yang akan mengabarinya. Pada malam harinya Abu Thalhah pun kembali dari bepergiannya. Seperti biasanya, Ummu Sulaim telah menyiapkan hidangan malam buatnya. Lalu Abu Thalhah langsung menyantap hidangan yang telah disediakan istrinya tersebut. Pada malam itu juga Ummu Sulaim telah berdandan rapih buat suaminya, maka malam itu pun menjadi malam yang indah bagi mereka berdua, sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Kemudian pada esok harinya dengan tutur kata yang bijak, Ummu Sulaim mulai menceritakan pada suaminya perihal kematian anaknya. Dia berkata kepada Abu Thalhah, "Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau memperhatikan apa yang dilakukan oleh keluarga Abu Fulan? Mereka meminjam sebuah barang pinjaman, lalu mereka menahannya dan tidak mau mengembalikannya. Ketika diminta untuk mengembalikannya mereka malah mempersulitnya". Abu Thalahah pun memberikan komentar dengan berkata, "Mereka telah berbuat zalim". Setelah mendengar komentar dari suaminya tersebut, Ummu Sulaim lalu bercerita padanya perihal kematian anaknya, "Sesungguhnya anak kamu itu juga pinjaman, yaitu pinjaman dari Allah. Dan saat ini Allah telah mengambilnya kembali darimu". Seketika itu Abu Thalhah langsung mengucapkan kalimat, "Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun". Lalu dia memuji kebesaran Allah.
Kemudian pada pagi harinya, setelah menjalankan shalat shubuh, Abu Thalhah menceritakan perihal kematian anaknya tersebut pada Rasulullah saw.. Setelah mendengar cerita dari Abu Thalhah tersebut, Rasulullah saw. mendo'akannya beserta keluarganya, "Semoga Allah memberikan keberkatan bagi kalian berdua di waktu malam yang kalian lewati".
Tidak beberapa lama setelah do'a Nabi saw. tersebut, Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu dia memerintahkan agar membawanya kepada Rasulullah saw.. Tatkala anaknya itu telah sampai ke pangkuan Rasulullah saw. beliau mengoleskan korma ke dalam mulutnya, lalu memberikannya nama Abdullah dan mendo'akannya. Di kemudian hari berkat do'a Rasulullah saw. tersebut, Abdullah bin Abu Thalhah dikaruniai tujuh orang anak yang kesemuanya hafal Al-Qur'an”.
Demikianlah keberkahan yang dilimpahkan kepada orang yang ridha terhadap qada dan qadar Allah. Dan demikian jugalah balasan yang diberikan kepada orang-orang yang bersabar.

Penduduk Madyan adalah orang-orang yang mu

Dikisahkan bahwa Bani Israel berkata kepada Nabi Musa a.s., “Tanyakanlah kepada Tuhanmu tentang sesuatu yang jika kami lakukan maka Dia ridha kepada kami”.
Lalu Musa berkata Allah, “Ya Tuhanku, Engkau telah mendengar apa yang mereka katakan”.
Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Musa, katakan kepada mereka, hendaknya mereka ridha kepada-Ku, hingga Aku ridha kepada mereka”.

***

Dan diriwayatkan bahwa Musa a.s. bermunajat kepada Allah, “Ya Tuhanku, siapakah makhluk-Mu yang paling Engkau cintai?”
Allah menjawab, “Yaitu hamba-Ku yang jika Aku ambil sesuatu yang dicintainya maka dia tidak menuntut-Ku”.
Musa bertanya lagi, “Siapakah makhluk-Mu yang Engkau benci?”
Allah menjawab, “Yaitu orang yang meminta kepada-Ku untuk menentukan pilihan dalam suatu perkaranya, namun ketika Aku menentukannya dia tidak menerima qadha-Ku”.

Hadits Riwayat Imran bin Khushshain dan Abdullah Bin Mas'ud Tentang Iman Kepada Qadha dan Qadar

Al-Ajuri dalam kitabnya asy-Syari'ah menyebutkan sebuah riwayat dari Abul Aswad ad-Du'ali yang berkata, "Saya pergi mengunjungi Bashrah. Di sana Imran bin Khushshain, salah seorang sahabat Rasulullah saw., bertempat tinggal. Pada suatu ketika, saya menghadiri sebuah majlis dan ternyata orang-orang yang berada dalam majlis tersebut sedang asyik mempersoalkan masalah qadar. Hal itu membuat saya marah dan sedih. Lalu saya mendatangi Imran bin Khushshain dan saya katakan padanya, "Wahai Abu Nujaid, tadi saya menghadiri sebuah majlis dimana orang-orangnya asyik mempersoalkan masalah qadar, hal itu membuat sakit hati saya. Oleh karena itu, maukah kamu memberitahukan kepada saya apa yang kamu ketahui tentang qadar". Lalu Imran bin Khushshain menjawab, "Ya tentu saja saya mau. Kamu tahu, sesungguhnya jika Allah ingin menimpakan siksaan kepada makhluk-Nya yang berada di langit dan di bumi, niscaya Allah akan melakukan hal itu, dan Dia samasekali tidak menzalimi mereka. Sebaliknya, jika Allah ingin melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka semua, maka rahmat-Nya itu sangatlah luas. Dan seandainya kamu memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu kamu menginfakkannya, maka Allah tidak akan menerimanya kecuali kamu telah beriman kepada qadar-Nya, baik qadar yang baik maupun yang buruk. Kemudian jika kamu datang ke Madinah, di sana kamu akan bertemu dengan Ubai bin Ka'b dan Abdullah bin Mas'ud. Maka bertanyalah pada mereka".
Abul Aswad berkata melanjutkan ceritanya, "Kemudian saya datang ke Madinah. Di sana saya juga menjumpai sebuah majlis yang mana orang-orangnya asyik mempersoalkan masalah qadar. Hal itu membuat pedih hati saya. Lalu saya mengunjungi Ibn Ka'b dan meminta kesediaannya untuk menjelaskan kepada saya tentang masalah qadar. Maka dia pun berkata kepada saya, "Ya, akan saya menjelaskannya kepadamu. Kamu tahu, sesungguhnya jika Allah hendak mengazab para penghuni langit dan bumi, niscaya Dia benar-benar akan mengazab mereka, dan Dia sekali-kali tidaklah menzalimi mereka. Begitu juga sebaliknya, jika Allah hendak melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka, maka sungguh rahmat Allah itu sangatlah luas. Dan seandainya kamu mempunyai emas sebesar gunung Uhud, lalu kamu menginfakkannya, maka hal itu tidak akan diterima oleh Allah hingga kamu beriman kepada qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”.
Kemudian Ibn Ka'b berkata pada Ibn Mas'ud, "Wahai Abu Abdir Rahman, beritahukanlah hal itu kepada saudaramu". Abul Aswad berkata, "Kemudian Ibn Mas'ud memberitahukan kepada saya apa yang pernah saya dengar dari Ubai bin Ka'b tersebut.
Demikianlah, bukti bahwa para sahabat memahami masalah qadar dengan pemahaman yang sama. Hal itu disebabkan karena mereka memperoleh ilmu dari sumber yang sama, yaitu Rasulullah saw.. Oleh karenanya, mereka memperoleh jawaban yang sama atas permasalahan yang ditanyakan.

TOBAT ORANG YANG TELAH MEMBUNUH SERATUS NYAWA

Salah satu kisah orang-orang tobat yang kembali kepada Allah swt. yang paling masyhur adalah kisah tentang seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan nyawa, kemudian dia ingin bertobat. Kisah ini telah diceritakan oleh Rasulullah saw., beliau berkata, “Dahulu sebelum kalian ada seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan nyawa. Orang itu bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ini. Dia kemudian ditunjukkan kepada seorang pendeta dan dia mendatanginya dan berkata kepadanya bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan nyawa, apakah dia bisa bertobat.
    Pendeta itu berkata, ‘Tidak.’
    Mendengar jawaban pendeta tersebut orang itu membunuhnya, maka sempurnalah menjadi seratus nyawa.
    Kemudian dia bertanya tentang orang yang paling alim di atas bumi ini. Dia pun ditunjukkan pada seorang alim dan dia berkata, ‘Sesungguhnya dia telah membunuh seratus nyawa, apakah dia bisa bertobat?’
    Orang alim itu berkata, ‘Ya, siapa yang menghalangi antara dia dengan tobat? Pergilah ke sebuah negeri ini dan itu, dan di sana ada orang-orang yang selalu menyembah kepada Allah. Maka, sembahlah Allah bersama mereka, dan janganlah kamu kembali lagi ke negerimu, karena sesungguhnya itu adalah negeri yang jahat.’
    Orang itu pun segera berangkat sampai akhirnya dia tiba di pertengahan jalan, ajalnya datang. Malaikat Rahmah dan Malaikat Azab bertengkar tentang nasib orang itu.
    Malaikat Rahmah mengatakan, ‘Orang ini telah datang dengan sepenuh hati untuk bertobat kepada Allah swt..’
    Namun Malaikat Azab berkata, ‘Sesungguhnya orang ini belum pernah sama sekali melakukan kebaikan.’
    Kemudian datang kepada keduanya seorang malaikat dalam bentuk seorang manusia yang menjadi hakim dan penengah di antara keduanya seraya dia berkata, ‘Ukurlah antara dua negeri itu. Ke mana orang ini lebih dekat, maka dia termasuk negeri itu.’
    Mereka pun mengukur dan mereka mendapatkan bahwa orang ini lebih dekat kepada negeri yang sedang dia tuju, maka dia pun langsung dibawa oleh Malaikat Rahmah.” 
    Penulis mengatakan bahwa dalam hadits ini ada beberapa perkara fiqh yang begitu besar di antaranya bahwa orang alim yang pintar lebih mulia daripada seorang ahli ibadah. Pendeta tadi yang merupakan seorang ahli ibadah telah membuat orang itu putus asa dari rahmat Allah oleh karena dia tidak punya ilmu dan minimnya ilmu pengetahuan agamanya, karena sesungguhnya rahmat Allah bagi para hamba-Nya tidak pernah putus dan pintu tobat selalu terbuka selama orang yang berdosa mau bertobat dan dia masih punya napas dalam kehidupan ini sementara ruhnya belum sampai ke kerongkongan atau matahari terbit di ufuk barat.
    Inilah yang difatwakan oleh orang alim itu ketika datang kepadanya orang itu, maka dia pun menunjukkannya ke jalan yang benar yang membuatnya ingin bertobat dan kembali kepada Allah swt..
    Hadits ini juga menunjukkan akan pentingnya berteman kepada orang saleh ketika orang alim itu menyuruhnya untuk meninggalkan negeri yang dia tinggali yang merupakan negeri jahat dan pergi ke sebuah negeri lain yang di dalamnya ada orang-orang saleh agar mereka bisa membantunya untuk taat kepada Allah swt..
    Dalam hadits ini juga terdapat isyarat jelas bahwa manusia itu bisa dinilai dengan niat yang benar, walaupun dia belum mengerjakan amalannya dan hikmah itu adalah dengan kesudahan. Wallahu a’lam.

Pelajar Al-Qur

Abu Bakar Hasan bin Abdul Wahab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat ayahku tertawa sama sekali, kecuali sekadar tersenyum. Aku juga tidak pernah melihatnya bercanda sama sekali. Suatu kali dia melihatku tertawa bersama ibuku, lalu  dia berkata, ‘Pelajar Al-Qur’an tertawa seperti ini?’”
Abu Bakar al-Muruzi berkata, “Aku mendengar Ishaq bin Dawud berkata, ‘Suatu kali aku mengundang Abdul Wahab al-Warraq. Kemudian aku letakkan makanan di depannya, lalu aku makan dan aku membiarkannya.’ Dia berkata, ‘Wahai Abu Ya’kub, katakanlah kepadaku, 'Makanlah!’”
Aku pura-pura tidak mendengar dan aku terus makan. Kemudian dia pegang tanganku dan dia berkata, “Katakanlah kepadaku, ‘Makanlah!’”
Akhirnya, aku berkata kepadanya, “Lalu untuk apa aku mengundangmu (kalau bukan untuk makan, pent.)?” 

TOBAT SEORANG `ABID DAN AHLI ZUHUD

Al-Abbas bin Yusuf as-Syakli berkata, “Aku pernah datang ke Iskandaria, dan aku bertanya apakah di sini ada salah seorang dari ahli zuhud.
    Mereka menjawab, ‘Ada seorang anak muda yang selalu puasa di siang hari dan beribadah di malam hari. Jika dia berbuka puasa dia berbuka dengan memuaskan semua keinginan dan syahwatnya. Hingga suatu hari, dia pernah melihat mimpi yang sangat menakutkannya. Dia pun akhirnya mengurangi buka puasanya, sehingga dia hanya berbuka puasa pada setiap lima hari sekali.’     Aku pun bertanya, ‘Dengan apa dia biasanya berbuka puasa?’
    Mereka menjawab, ‘Dia berbuka dengan hasil kerjanya dan buah-buahan yang dihaluskan. Begitulah dia berbuka puasa dari waktu ke waktu.’
    Aku bertanya lagi, ‘Apa mimpi yang telah dia lihat?’
    Berlapar-laparlah karena rasa lapar itu akan memberikan kepada orangnya sumber kebajikan yang kebaikannya sepanjang masa.
    Sesungguhnya kamu adalah makhluk yang punya perut yang penuh dengan keinginan syahwat yang menjadikan kamu di dunia itu mempunyai hati yang mati.

Antara Orang Mukmin, Orang Kafir dan Pahala Allah Swt.

As-Samarqandi dalam kitabnya Tanbiihul Ghaafiliin, menyebutkan sebuah cerita, "Pada zaman dahulu, ada seorang mukmin dan seorang kafir yang sama-sama pergi untuk menangkap ikan. Ketika menangkap ikan, orang yang kafir tersebut selalu menyebut nama-nama tuhannya agar mendapatkan ikan yang banyak, hingga akhirnya dia benar-benar mendapatkan ikan yang banyak. Adapun orang yang mukmin tersebut, dia selalu menyebut nama Allah ketika menangkap ikan. Akan tetapi tidak seekor ikan pun yang dia dapatkan.
Kemudian tatkala matahari terbenam, dia baru bisa mendapatkan seekor ikan yang kemudian terlepas kembali ke dalam air. Maka orang yang mukmin itu pun pulang dengan tangan kosong. Sedangkan yang kafir pulang dengan jaring yang penuh dengan ikan. Melihat apa yang dialami orang mukmin tersebut, malaikat yang bertugas menjaganya pun ikut bersedih. Lalu dia naik ke langit. Sesampainya di sana Allah memperlihatkan padanya tempat tinggal mukmin tersebut di surga. Maka seketika itu dia pun berkata, "Sungguh demi Allah, dia tidaklah merugi dengan apa yang menimpanya, karena Allah telah menetapkannya sebagai salah satu penghuni surga".
Saya ( penulis ) berkata, "Hal yang demikian itu tidak akan didapatkan oleh seorang mukmin, kecuali jika dia ridha dengan ketetapan Allah, sabar dalam menghadapi cobaan-Nya, dan syukur terhadap nikmat-Nya. Dunia bukanlah tempat untuk menuai pahala, melainkan tempat ujian dan cobaan. Tidak jarang dunia adalah surga bagi orang kafir dan penjara bagi orang mukmin. Apabila seorang yang mukmin meninggal dalam keimanannya, maka dia akan memperoleh pahala dari Allah. Dengan itu dia akan menikmati kebahagiaan yang sejati, karena apa yang diperolehnya dari Allah tersebut merupakan pahala dan kenikmatan yang abadi. Adapun kenikmatan dunia, maka itu hanyalah sementara. Ia akan sirna dan cepat terlupakan. Oleh karena itu, dalam kehidupan dunia ini orang mukmin senantiasa bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup dan cobaan yang dialaminya, dengan harapan akan memperoleh balasan pahala dari Allah di akhirat kelak. Kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal bagi orang yang bertakwa.

Apa yang Allah Lakukan kepadamu?

Abul Husein as-Sa’dani menceritakan, “Aku bermimpi bertemu dengan Mansur bin Ammar, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia menjawab, ‘Aku berdiri di hadapan-Nya lalu Dia bertanya kepadaku, ‘Engkau yang dulu telah membuat manusia zuhud pada dunia?’’
‘Benar, dan setiap kali aku memulai majelis aku selalu awali dengan dengan puji-pujian untuk-Mu, lalu aku ikuti dengan shalawat untuk Nabi-Mu kemudian baru aku mulai memberi nasihat kepada hamba-hamba-Mu.’
Allah berfirman, ‘Hamba-Ku ini benar. Buatkan untuknya kursi di langit-Ku agar dia dapat memuji-Ku di langkit-Ku di antara para malaikat-Ku sebagaimana dia telah memuji-Ku di bumi-Ku di antara para hamba-Ku.’
Putranya, Sulaim bin Mansur, juga menceritakan, ‘Aku bermimpi bertemu dengan ayahku, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia menjawab, ‘Tuhan mendekatkan diriku dan berfirman, ‘Wahai Syekh, kau tahu kenapa Aku mengampunimu?”
‘Tidak, wahai Tuhanku.’
‘Suatu hari kamu duduk di depan manusia untuk memberi mereka nasihat lalu kamu mampu membuat mereka menangis. Di antara yang menangis itu ada seorang hamba-Ku yang sebelumnya belum pernah menangis karena takut kepada-Ku sama sekali. Aku pun mengampuninya dan seluruh orang yang berada di majelis itu dan Aku juga mengampunimu bersama mereka.’”

Asma` Bintu Abi Bakar dan Makanan Milik Seorang Wanita Yahudi

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Asma` bintu Abi Bakar r.a., dia berkata, “Pada suatu ketika saya tinggal di daerah Bani Nadhir, di tempat yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. untuk Abu Salamah dan Zubair. Lalu pada suatu hari Zubair pergi bersama Rasulullah saw..  Dan kami mempunyai seorang tetangga Yahudi. Ketika itu orang yahudi itu menyembelih seekor kambing dan memasaknya. Lalu saya mencium baunya, sehingga timbul keinginan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Dan ketika itu saya sedang mengandung puteri saya, Khudaijah. Saya pun tidak kuat menahan keinginan tersebut, lalu saya mendatangi istri yahudi tersebut untuk meminta api, dengan berharap dia akan memberi saya sebagian dari daging tersebut. Sedangkan saya sendiri sedang tidak membutuhkan api. Ketika pulang, saya kembali mencium bau masakannya, sehingga keinginan untuk merasakannya semakin bertambah. Maka api yang saya ambil darinya pun saya matikan. Kemudian saya mendatanginya kembali untuk meminta api. Dan saya melakukannya sebanyak tiga kali. Kemudian saya menangis dan berdoa kepada Allah. Lalu suami wanita Yahudi itu pulang dan bertanya kepada isterinya, “Apakah ada seseorang yang mendatangi kalian?”
Isterinya menjawab, “Ya. Tadi ada seorang wanita Arab meminta api”.
Sang suami pun berkata kepada istrinya, “Saya tidak mau makan daging itu, kecuali setelah engkau memberikan sebagian kepadanya”.
Lalu dia pun mengirimkan masakannya dengan mangkuk kepada saya. Maka ketika tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang lebih mengagumkan bagi saya dari masakan itu”.

TOBAT KA

Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma adalah salah seorang penyair zaman jahiliah yang sangat terkenal. Ia senantiasa memusuhi Islam dan Rasul-Nya sampai-sampai ia selalu menghujat Rasulullah saw. dengan syairnya.
    Setelah Allah membuka kota Mekah bagi Rasul-Nya kemudian kemenangan di Perang Hunain, Bujair bin Zuhair yang telah masuk Islam  menulis surat untuk saudaranya Ka’ab, yang memberitakan kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah membunuh orang-orang yang dulu telah menghujatnya dan menyakitinya di Mekah. Tidak ada yang tertinggal dari para penyair Quraisy kecuali Ibnu Zab’ari dan Habirah Bin Abi Wahab. Keduanya telah melarikan diri dari tanah Mekah. Kemudian ia menasihati saudaranya untuk menyelamatkan diri dan pergi menemui Rasulullah saw. untuk bertobat dan masuk Islam. Sesungguhnya Rasulullah tidak membunuh orang yang datang kepadanya untuk bertobat dan masuk Islam.
    Ketika surat itu sampai ke tangan Ka’ab bin Zuhair, ia pun sangat sedih, orang- orang di sekelilingnya mengatakan bahwa ia akan mati. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah menghalalkan darahnya dan orang-orang yang telah menghujat Rasulullah dengan syair-syair mereka dan perkataan mereka. Akan tetapi, Ka’ab mengharap pintu maaf dari Rasulullah, dan ia dengarkan nasihat saudaranya, lalu ia memutuskan untuk pergi ke Madinah al-Munawarah untuk mengumumkan tobat dan keislamannya kepada Rasulullah saw..
    Sampailah Ka’ab bin Zuhair di Madinah diantar seorang laki-laki temannya. Setelah shalat subuh di Masjid Nabawi, duduklah Ka’ab di hadapan Rasulullah lalu ia meletakkan tangannya di atas tangan Rasulullah saw.. Saat itu Rasulullah tidak mengenalinya, maka Ka’ab pun berkata, “Wahai Rasulullah, Ka’ab bin Zuhair telah datang untuk meminta hak perlindungan darimu dengan bertobat dan masuk Islam. Apakah engkau akan menerimanya apabila aku menghadirkannya?”
    Rasulullah saw menjawab, “Ya.”
    Ia berkata, “Akulah  Ka’ab bin Zuhair, wahai Rasulullah.“
    Ka’ab pun melantunkan bait syairnya yang terkenal di hadapan Rasulullah seraya memuji beliau. Bait syair itu dinamakan Banat Su’ad. Penggalan awalnya seperti ini:
<<>>
    Dikisahkan oleh Ibnu Ishaq bahwa ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang mencaci Ka’ab bin Zuhair seraya berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan aku dan musuh Allah ini, akan aku penggal batang lehernya.”
    Rasulullah saw. kemudian berkata, “Biarkan dia, sesungguhnya dia telah datang untuk bertobat dan melepaskan apa yang dulu dia lakukan.”
    Begitulah Ka’ab bin Zuhair kembali ke jalan Allah dan masuk Islam dengan baik.

Sesungguhnya Aku Takut Azab di Hari Kiamat

Wuhaib ibnul Wird berkata, “Suatu ketika anak-anak Marwan  berkumpul di depan pintu rumah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Datanglah Abdul Malik, putra Umar, menemui mereka. Mereka berkata, ‘Engkau bisa memohonkan izin kepada Khalifah agar kami menemuinya atau kamu sampaikan saja pada pesan dari kami Amirul Mukminin.’
‘Sampaikanlah!’ ujar Abdul Malik.
‘Sesungguhnya para khalifah sebelumnya dari kalangan Bani Umayyah sering memberi kami santunan. Mereka mengetahui posisi dan derajat kami, sementara ayahmu tidak memberi kami apa-apa.’
Abdul Malik masuk menemui ayahnya Umar bin Abdul Aziz dan menyampaikan apa yang telah mereka katakan. Umar berkata, “Katakan kepada mereka, sesungguhnya ayahku berkata pada kalian, ‘Sesungguhnya aku takut—kalau aku durhaka kepada Tuhanku—terhadap azab yang besar.’”

Semua Musibah Selain Kehilangan Rasulullah saw. adalah Kecil

Ibnu Ishaq berkata, “Abdul Wahid bin Abu Aun meriwayatkan Isma’il bin Muhammad dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw. berpapasan dengan seorang wanita dari Bani Dinar yang suami, saudara dan ayahnya terbunuh pada perang Uhud ketika berperang bersama Rasulullah saw..
Ketika wanita itu diberitahu tentang kematian mereka, dia malah balik bertanya, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah?”
Orang-orang menjawab, “Beliau dalam keadaan baik wahai Ummu Fulan. Alhamdulillah beliau dalam kondisi yang engkau harapkan”.
Maka wanita itu berkata, “Perlihatkan beliau kepada saya”.
Lalu ketika ditunjukkan kepadanya, dia berkata, “Segala musibah yang selain terjadi padamu adalah ringan wahai Rasulullah”.
Saya ( penulis ) katakan, “Demikianlah kecintaan orang-orang muslim terhadap Rasulullah saw.. Mereka mengutamakan beliau daripada ayah, suami, anak dan kerabat mereka sendiri. Wanita dalam kisah di atas, ayahnya, suaminya dan saudaranya telah terbunuh dalam peperangan Uhud, dan dia tidak peduli. Dia ridha terhadap qadha dan qadar Allah, bahkan dia memikirkan yang lebih jauh, yaitu keselamatan Rasulullah saw. sehingga beliau dapat menyempurnakan dakwah dan risalah Islam. Kecintaan sahabat terhadap Rasulullah saw. adalah termasuk bukti kesempurnaan iman mereka”.