Umar bin Abdul Aziz dan Keridhaannya Terhadap Qadha Allah

Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, dia berkata, "Umar bin Abdul Aziz menyuruh saya untuk datang berkunjung kepadanya dua kali setiap bulan. Lalu pada suatu hari saya datang mengunjunginya. Nampak dia melihat saya dari atas benteng dan mengizinkan saya masuk sebelum saya sampai di depan pintu gerbangnya. Lalu saya masuk seperti biasanya.
Setelah sampai ke tempatnya, saya menjumpainya sedang duduk di atas permadani. Di sana juga terdapat tempat duduknya yang seukuran dengan permadani tersebut. Waktu itu dia sedang menambal pakaiannya. Kemudian saya ucapkan salam padanya, dan dia menjawabnya, lalu mempersilahkan saya duduk di atas tempat duduknya tersebut. Kemudian dia menanyakan kepada saya tentang urusan negara. Dia bertanya tentang keadaan para pemimpin, kondisi rakyat secara umum, tentang urusan kepolisian, urusan penjara dan seluruh kegiatan kenegaraan yang ada. Setelah itu, dia baru menanyakan pada saya tentang urusan saya pribadi.
Kemudian, ketika hendak berpamitan, saya berkata padanya, "Apakah tidak ada lagi seseorang dari keluargamu yang dapat menggantikanmu menambal pakainmu itu?" Maka Umar bin Abdul Aziz berkata pada saya, "Wahai Maimun, bagimu cukuplah dari dunia ini apa yang dapat mengantarkanmu ke tempat tujuanmu. Hari ini kita berada di sini, dan besok kita berada di tempat yang lain". Kemudian saya pergi meninggalkannya.

Antara Istri yang Berkeluh Kesah dan Istri yang Ridha

Setelah Nabi Isma'il beristri, Nabi Ibrahim datang ke Mekah mengunjungi anaknya tersebut. Akan tetapi sesampainya di sana, dia tidak menjumpainya. Hanya istrinya yang berada di rumah. Lalu Nabi Ibrahim menanyakannya kepada istrinya. Sang  istri menjawab, "Dia pergi bekerja untuk manafkahi kami". Istri Nabi Isma'il tersebut tidak mengetahui, kalau yang berkunjung dan bertanya padanya itu adalah ayah dari suaminya. Lalu Nabi Ibrahim bertanya lagi tentang kondisi kehidupan mereka. Istri Nabi Isma'il pun menjawab, "Kami dalam kondisi yang buruk. Kehidupan kami susah". Lalu dia mengeluh di depan Nabi Ibrahim tentang bagaimana minimnya nafkah mereka dan buruknya keadaan keluarga mereka. Dia bekeluh kesah di depan orang lain, hal yang biasanya dilakukan oleh sebagian besar wanita kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah.
Kemudian sebelum pergi berpamitan, Nabi Ibrahim berpesan pada Istri anaknya tersebut, "Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam untuknya, lalu sampaikan padanya agar dia mengganti ambang pintunya”.
Ketika Nabi Isma'il kembali, dia bertanya pada istrinya, "Apakah ada seseorang yang datang mengunjungi kita?" Istrinya menjawab, "Ya, ada orang tua yang datang kepada kita. Dia menanyakanmu, maka saya beritahu dia bahwa engkau sedang pergi bekerja. Lalu dia menanyakan tentang kondisi kehidupan kita, maka saya katakan padanya bahwa kita hidup dalam kondisi yang susah”. Kemudian Nabi Isma'il bertanya lagi, "Apakah dia meninggalkan pesan?" Istrinya menjawab, "Ya. Dia menyuruh saya untuk menyampaikan salamnya padamu, dan berpesan padamu agar kamu mengganti ambang pintumu". Kata ambang pintu berarti istri. Setelah mengetahui pesan tersebut, lalu Nabi Isma'il berkata pada istrinya, "Yang datang itu adalah ayahkua. Dia memerintahkan saya untuk menceraikanmu, maka kembalilah kepada keluargamu". Dan Nabi Isma'il pun menceraikan istrinya. Lalu dia menikah lagi dengan seorang wanita yang berasal dari suku Jurhum, sebuah suku yang Nabi Isma’il lama tinggal bersamanya dan di lingkungan suku itu pula dia tumbuh besar.
Nabi Ibrahim telah lama tidak mengunjungi mereka. Kemudian pada suatu ketika dia berkunjung lagi. Seperti halnya pada kunjungannya yang dulu, kali ini pun dia tidak bertemu dengan anaknya, Nabi Isma'il. Maka dia bertanya kepada istri anaknya, “Sedang kemanakah suami?” Istri Nabi Isma'il menjawab, "Dia pergi untuk mencari nafkah buat kami". "Bagaimana kondisi kalian?", tanya Nabi Ibrahim tentang keadaan hidup mereka. Istri Nabi Isma'il menjawab, "Kami dalam kondisi yang baik dan lapang", seraya memuji dan bersyukur kepada Allah. Kemudian Nabi Ibrahim bertanya lagi, "Apa makanan kalian?" Istri Nabi Isma'il menjawab, "Daging". "Dan minum kalian?", tanyanya Nabi Ibrahim lagi.  Istri Nabi Isma'il menjawab bahwa minum mereka adalah air. Lalu Nabi Ibrahim berdo'a untuk mereka, "Ya Allah berilah keberkahan bagi mereka dalam daging dan air mereka".
Kemudian sebelum berpamitan, Nabi Ibrahim berpesan kepada istri anaknya tersebut, "Nanti kalau suamimu datang, sampaikan salamku untuknya, lalu suruh dia untuk mempertahankan ambang pintunya".
Tidak lama setelah itu, datanglah Nabi Isma'il. Lalu dia bertanya pada istrinya, "Apakah ada yang datang mengunjungi kita?" Istrinya menjawab, "Ya, tadi ada seorang yang datang mengunjungi kita. Dia seorang kakek yang masih berperawakan bagus. Lalu dia bertanya pada saya tentangmu, maka saya jawab bahwa engkau sedang menunaikan kewajibanmu mencari nafkah. Dan dia juga bertanya pada saya tentang kondisi kehidupan kita, maka saya katakan padanya bahwa kita hidup dalam kondisi yang lapang". Lalu Nabi Isma'il bertanya lagi, "Adakah pesan yang ditinggalkannya?" Istrinya menjawab, "Ya. Dia berpesan agar saya menyampaikan salam untukmu, dan juga berpesan agar kamu tetap mempertahankan ambang pintumu". Kemudian setelah mendengar apa yang dikabarkan istrinya tersebut, Nabi Isma'il berkata padanya, "Yang datang itu adalah ayahku. Dan kamulah ambang pintu dimaksudnya, dia telah memerintahkan saya untuk tetap mempertahankanmu menjadi istriku".
Saya (penulis) katakan, "Sebaik-baik istri adalah istri yang selalu ridha dengan ketentuan Allah. Istri yang demikian itu merupakan perhiasan dunia yang paling indah. Dia penuhi rumah dengan keberkahan dan kebaikan. Adapun sebaliknya, istri yang suka berkeluh kesah merupakan sumber kesengsaraan, kemalangan dan kesusahan dalam rumah dan keluarga".

34. Tinggal Satu Pintu yang Belum Aku Tutup

Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menceritakan dari Ibrahim bin Junaid, dia berkata, “Ada seorang lelaki yang merayu seorang wanita di tempat yang sunyi. Wanita itu berkata, ‘Engkau telah mendengar Al-Qur’an dan hadits, jadi kau lebih tahu.’
‘Kalau begitu tutuplah pintu,’ kata laki-laki itu.
‘Tetapi ada satu pintu yang belum kututup.’
‘Pintu yang mana?’ tanya lelaki itu penuh heran.
Sambil bercucuran air mata wanita itu berkata, ‘Pintu antaramu dan Allah swt..’
Laki-laki itu segera tersadar dari kelalaiannya. Akhirnya, dia meninggalkan wanita itu begitu saja tanpa dia sentuh sedikit pun.”

Surat Peringatan dalam Satu Kata

Khalifah Bani Abbasiyah, Al-Makmun, sangat marah kepada gubenurnya Thahir bin Abdullah. Thahir bermaksud pergi menemui Khalifah untuk memohon maaf dan ridhanya. Tiba-tiba datanglah surat dari seorang temannya. Dalam surat itu yang ada hanya salam dan satu kata di pinggirnya, “Wahai Musa.”

Thahir bin Abdullah memandangi surat itu dan dia tidak memahami maksudnya serta apa yang diinginkan oleh temannya dengan kata-kata, “Wahai Musa.”
Thahir mempunyai seorang budak wanita yang cerdas. Budak itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya dia ingin mengatakan kepadamu,

KHAT
“Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu….” ( al-Qashshash: 20)

Thahir memahami maksud surat itu dan dia tidak jadi menghadap Khalifah dan akhirnya dia selamat dari rencana pembunuhan terhadap dirinya.
Itulah firasat dan kecerdasan alami yang bersumber dari taqwa kepada Allah. Mahabenar Allah dalam firman-Nya, “Dan takutlah kepada Allah dan Allah akan mengajarkanmu.”

Abu Hurairah dan Baktinya kepada Ibunya

Ibnu Majah meriwayatkan di dalam sunannya dengan sanad shahih dari Abu Hurairah r.a., bahwa pada suatu hari, Abu Hurairah dan enam orang sahabat lainnya diserang rasa lapar. Abu Hurairah berkata, “Lalu Rasulullah saw. memberi kami tujuh biji kurma. Satu biji untuk satu orang”.
Dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Pada suatu hari saya pergi ke masjid karena rasa lapar yang menyayat. Lalu saya bertemu dengan beberapa orang sahabat Rasulullah saw.. Lalu mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, apa yang membuatmu keluar di waktu yang terik ini?”
“Tidak ada yang membuatku keluar kecuali rasa lapar”, jawabku.
Maka mereka pun berkata, “Demi Allah, kami pun demikian”.
Lalu kami pun bangkit dan menemui Rasulullah saw.. Lalu beliau bertanya, “Apa yang membuat kalian kemari di waktu siang ini”.
Saya ( Abu Hurairah ) menjawab, “Wahai Rasulullah, kami sangat kelaparan”.
Lalu Rasulullah saw. meminta diambilkan piring yang di dalamnya terdapat beberapa biji kurma. Lalu beliau memberi masing-masing dari kami dua biji kurma.
Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Makanlah dua kurma ini, dan minumlah air setelahnya. Sesungguhnya ia mencukupi kalian untuk satu hari ini”.
Lalu saya memakan satu biji kurma, dan saya simpan satunya di gulungan sarung saya. Melihat hal itu Rasulullah saw. bertanya kepada saya, “Wahai Abu Hurairah, mengapa engkau simpan kurma itu?”
“Saya menyimpannya untuk ibu saya”, jawabku.
Rasulullah pun bersabda, “Makanlah, karena kami akan memberi ibumu dua biji kurma juga”.
Lalu Rasulullah saw. memberi saya dua kurma lagi untuk ibu saya.

Laa ilaaha illallaah dalam Timbangan Amal di Hari Kiamat

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. memilih salah seorang dari umatku untuk dihadirkan ke hadapan seluruh makhluk di hari Kiamat nanti. Kemudian diserahkan kepadanya sembilan puluh sembilan catatan, luas masing-masing catatan sejauh mata memandang.
Allah bertanya, ‘Apakah ada yang kamu tidak setuju?’
Dia menjawab, ‘Tidak, wahai Tuhan.’
Allah bertanya lagi, ‘Apakah malaikat pencatatku berlaku tidak adil kepadamu?’
‘Tidak, wahai Tuhan.’
‘Apakah kamu mempunyai alasan atau kebajikan?’
‘Tidak, wahai Tuhan.’
Kemudian Allah swt. Berfirman, ‘Namun di sisi Kami, kamu mempunyai kebajikan. Dan hari ini tidak akan ada ketidakadilan untukmu.’ Kemudian dikeluarkanlah sebuah catatan yang tertulis di sana, ‘Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadar Rasuluullaah (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah).’
Allah berfirman, ‘Engkau tidak akan dizalimi.’ Lalu diletakkan semua catatan itu dalam satu daun timbangan dan kartu kalimat tauhid tadi dalam daun timbangan yang lain. Seluruh catatan itu terbang (karena ringan) dan kartu itu ternyata lebih berat. Tidak ada yang lebih berat dari nama Allah.’” 
Itulah di antara bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, umat Nabi Muhammad saw. di hari Kiamat kelak. Hadits ini juga menjelaskan agungnya syahadat tauhid yang benar-benar murni dan bagaimana dia dapat menyelamatkan seseorang pada hari yang tidak lagi berguna harta dan keturunan kecuali siapa yang datang kepada Allah dengan hati yang suci.
Dalam Shahih Bukhari juga disebutkan, “Siapa yang mengucapkan,

KHAT

‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba Allah, putra hamba Allah, kalimat-Nya yang dikaruniakan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah benar dan neraka adalah benar,’ niscaya Allah akan memasukkannya dari delapan pintu surga yang mana saja yang Dia kehendaki.” (Muttafaq ‘Alaih) 

Pertanyaan Nabi Musa A.s. kepada Allah tentang Keridhaan-Nya

Diriwayatkan bahwa Musa a.s. berkata kepada Allah, “Ya Allah, tunjukkan kepada saya sesuatu yang Engkau ridhai untuk saya laksanakan”.
Lalu Allah ta’ala mewahyukan kepadanya, “Sesungguhnya keridhaan-Ku ada dalam sesuatu yang tidak engkau sukai, dan engkau tidak akan bersabar melakukan apa yang tidak engkau sukai”.
Nabi Musa pun memohon, “Ya Allah, tunjukkan hal itu kepada saya”.
Allah menjawab, “Sesungguhnya keridhaan-Ku ada dalam keridhaanmu terhadap qadha-Ku”.
Saya ( penulis ) katakan, “Itulah keridhaan kepada qadha dan qadar Allah ‘azza wajalla. Yaitu ridha kepada apa yang Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya, tanpa adanya perasaan tidak suka. Dan sedikit sekali dari mereka yang ridha kepada Allah.
Sedangkan kebanyakan orang, jika diuji oleh Allah dengan perkara dunia, maka mereka akan berkata, “Mengapa saya yang diuji, padahal orang lain lebih buruk dari saya namun dia tidak mengalami apa yang saya alami”. Dan sayang sekali, inilah yang terjadi pada kebanyakan orang.

KESALAHANKU BESAR NAMUN AMPUNAN-MU BERLIMPAH

Sa’id bin Tsa’libah al-Warraq berkata, “Ketika pada suatu malam kami bersama seorang dari ahli ibadah di pantai Basiraf. Dia terus menangis dan menangis tidak berhenti sampai kami hampir masuk waktu akan terbit fajar dan dia tidak berbicara apa-apa.”
    Kemudian orang itu berkata, “Kesalahanku besar, namun ampunan-Mu berlimpah. Gabunglah antara kesalahanku dengan ampunan-Mu wahai Yang Maha Pemurah.”
    Sa’id berkata, “Maka, orang-orang dari segala arah saling berteriak histeris.”
    Menangis bagi para ahli ibadah merupakan tanda tobat dan kelenturan hati yang khusyu kepada Allah. Begitulah keadaan para ahli ibadah yang bertobat kepada Allah dan itu yang selalu menjadi ciri khas mereka. Na’udzubillah dari mata yang tidak pernah menangis, karena mata yang tidak pernah menangis karena takut kepada Allah menjadi mata yang keras yang jauh untuk menyambung kepada Tuhannya dan nantinya akan menjadi lebih dekat kepada azab Allah jika tidak segera menemukan kasih sayang dan rahmat Allah swt. dengan banyak menangis dan khusyu kepada-Nya.

RASULULLAH BERTANYA KEPADAKU DI MANA KHALID

Khalid bin Walid berkata, “Ketika Rasulullah saw. keluar dan berangkat menuju Hudaibiyah, aku pun keluar dengan sebuah kuda bersama orang-orang musyrik Mekah dan aku pun bertemu Rasulullah saw. bersama para sahabat beliau. Aku sering mengejek dan mengganggu beliau. Ketika beliau shalat zuhur bersama para sahabat di hadapan kami, kami berencana untuk memprotes mereka, namun hal itu urung kami lakukan. Beliau mengetahui rencana apa yang akan kami lakukan. Kemudian beliau melaksanakn shalat qasar dan shalat khauf bersama para sahabat beliau. Hal itulah yang mengharukan kami.”
    Aku berkata, “Orang itu tidak boleh, maka kami pun menjauh dan beliau menyimpangi perjalanan kuda kami. Aku memilih ke sebelah kanan ketika beliau mengadakan kesepakatan damai dengan Quraisy di Hudaibiyah.”70
    Lantas, orang-orang Quraisy mengantarkan beliau untuk pergi. Aku berkata pada diriku sendiri, apa yang tersisa? Ke mana aku akan pergi?
    Pergi ke Najasyi, padahal dia telah mengikuti Muhammad dan para sahabat beliau aman di tengah perlindungannya. Pergi ke Harqal, aku pun harus keluar dari agamaku dan masuk ke agama Kristen atau Yahudi dan aku akan tinggal dalam keterasingan, apakah aku tinggal di rumahku? Aku menjadi bingung dalam urusanku ini.
    Rasulullah saw. datang dan masuk Mekah untuk melaksanakan umrah qadha. Saat itu sedang tidak ada di Mekah maka aku tidak menyaksikan beliau masuk Mekah. Sementara saudara kandungku Walid bin Walid telah masuk Islam dan mengikuti Rasulullah saw. pada saat umrah qadha. Dia pun mencariku tapi dia tidak menjumpaiku, kemudian dia menulis surat untukku yang isinya, 
Sesungguhnya Rasululah saw. telah bertanya kepadaku tentang dirimu seraya beliau berkata,  “Di mana Khalid?”
    Akupun menjawab,  “Dia akan datang Insya Allah.”
    Beliau berkata,  “Orang seperti dia hanya karena tidak mengenal Islam. Gapailah wahai saudaraku apa yang telah lewat dari tempat-tempat perjanjian damai itu.”
    Ketika surat itu sampai ke tanganku, aku bertambah semangat untuk pergi dan menambah keinginanku untuk masuk ke dalam agama Islam. Pertanyaan Rasulullah saw. tentang diriku sangat menggembirakanku. Dalam tidur aku bermimpi seakan aku berada di sebuah negeri yang sempit dan kering tandus. Aku lalu pergi keluar ke suatu negeri. Aku segera pergi berhijrah ke Madinah masuk Islam dan membaiat Rasulullah saw..

Pencuri yang Tidak Ridha Dengan Qadha Allah

As-Samarqandi berkata, "Berkenaan dengan firman Allah Swt,

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (al-Maa'idah: 38).
Sebagian ulama menjelaskan, "Barang siapa yang mencuri sepuluh dirham, maka dia dikenakan hukuman potong tangan. Hukuman potong tangan tersebut ditimpakan padanya, bukan karena nilai sepuluh dirham yang sangat berharga, melainkan karena dua hal. Yang pertama, karena dia telah melanggar hak-hak orang muslim. Dan yang kedua, karena dia tidak ridha dengan bagian yang telah diberikan Allah kepadanya, malah berusaha untuk merampas bagian orang lain. Maka dari itu, Allah memerintahkan untuk memotong tangannya, sebagai balasan dari perbuatannya. Juga supaya dijadikan pelajaran bagi yang lain agar senantiasa ridha dengan segala pemberian Allah.
Seyogyanya orang yang beriman selalu ridha kepada apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Sesungguhnya ridha terhadap pemberian Allah adalah salah satu bentuk akhlak mulia yang dimiliki oleh para nabi dan orang-rang saleh.

TOBAT SEORANG WANITA DI TANGAN UBAID BIN UMAIR

Al-Ajali berkata, “Diceritakan bahwa ada seorang wanita di Mekah yang memiliki kecantikan yang sangat luar biasa dan dia telah memiliki seorang suami. Pada suatu hari, wanita itu melihat wajah cantiknya di cermin seraya berkata kepada suaminya, ‘Kira-kira ada tidak laki-laki yang tidak tergoda dengan wajahku ini?’
    Sang suami menjawab, ‘Ya, ada.’
    Dia bertanya, ‘Siapa orangnya?’
    Dia menjawab, ‘Ubaid bin Umair bin Qatadah.’
    Wanita itu berkata, ‘Izinkan aku untuk menggoda dan menaklukkannya.’
    Suaminya berkata, ‘Aku telah mengizinkanmu.’
    Wanita itu pun mendatanginya seperti orang yang hendak meminta fatwa darinya. Ubaid pun bersamanya berduaan di salah satu pojok Masjidil Haram, dan wanita itu segera membuka wajahnya. Wajahnya memang terlihat bagaikan bulan purnama. Maka, Ubaid berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah.’
    Wanita itu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya aku sangat tergoda denganmu, lihatlah permasalahanku.’
    Ubaid berkata, ‘Sesungguhnya aku akan menanyakan sesuatu kepadamu. Jika kamu menjawab dengan benar, aku akan memperhatikan urusanmu.’
    Wanita itu berkata, ‘Janganlah kamu menanyakan aku tentang sesuatu, aku pasti akan membenarkanmu.’
    Ubaid berkata, ‘Katakan kepadaku jika saja malaikat maut datang mencabut nyawamu. Apakah akan menggembirakanmu seandainya aku memenuhi hajat ini untukmu?’
    Wanita itu menjawab, ‘Demi Allah, tidak.’
    Ubaid berkata, ‘Engkau benar, dan jika kamu telah dimasukkan ke dalam kuburmu, lantas kamu dihadapkan pada pertanyaan alam kubur. Apakah akan menggembirakanmu seandainya aku memenuhi hajat ini untukmu?’
    Wanita itu menjawab, ‘Demi Allah, tidak.’
    Dia berkata, ‘Engkau benar. Jika semua manusia telah diberikan kitab mereka, dan kamu tidak tahu apakah kamu akan menerima kitabmu dengan tangan kananmu atau dengan tangan kirimu, apakah akan menggembirakanmu seandainya aku memenuhi hajat ini untukmu?’
    Wanita itu menjawab, ‘Demi Allah, tidak.’
    Dia berkata, ‘Engkau benar. Jika semua manusia dibawa ke tempat penimbangan amal perbuatan dan kamu juga di bawa kesana, dan kamu tidak tahu apakah timbanganmu berat atau ringan, apakah akan menggembirakanmu seandainya aku memenuhi hajat ini untukmu?’
    Wanita itu menjawab, ‘Demi Allah, tidak.’
    Dia berkata, ‘Engkau benar. Jika kamu dihadapkan kepada Allah untuk ditanya segala amal perbuatanmu, apakah akan menggembirakanmu seandainya aku memenuhi hajat ini untukmu?’
    Wanita itu menjawab, ‘Demi Allah, tidak.’
    Dia berkata, ‘Engkau benar, bertakwalah kamu wahai hamba Allah. Allah telah banyak memberimu nikmat dan banyak berlaku baik padamu.’
    Wanita itu pun kembali ke suaminya, dan sang suami berkata kepadanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan?’
    Wanita itu menjawab, ‘Kamu menganggur dan kita menganggur.’
    Lantas, wanita itu pun berkonsentrasi beribadah dan berzuhud, dan suaminya selalu mengatakan, ‘Sial, Ubaid bin Umair telah merusak penampilan istriku di depanku. Dahulu dia selalu bagaikan pengantin dan sekarang berubah menjadi biarawati.’”47

TOBAT KUZ BIN

Ketika ada delegasi Najran datang ke Rasulullah saw. di Madinah dan mereka adalah orang-orang ?Arab Nasrani, adalah Abu Haritsah bin ‘Alqamah yang merupakan salah seorang pemimpin dan pembesar mereka. Pada saat Haritsah duduk di atas baghal-nya dan berjalan menuju Rasulullah saw., di sampingnya ada adiknya yang bernama Kuz bin Alqamah atau Kuraz. Saat itu baghal yang ditunggangi Abu Haritsah terpelanting jatuh. Kuz bin ‘Alqamah berkata, “Celaka yang jauh.” Yang dia maksudkan adalah Rasulullah saw., maka kakaknya Abu Haritsah berkata kepadanya, “Kamu yang celaka.”
    Kuz berkata, “Kenapa memang, wahai kakakku?”
    Dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia adalah benar-benar Nabi yang kita tunggu-tunggu.” Kemudian Kuz pun berkata kepadanya, “Apa yang menghalangi kamu untuk menjadi pengikutnya, sementara kamu tahu ini?”
    Dia menjawab, “Apa yang telah dilakukan oleh mereka dari kaum kita. Mereka telah menjadikan kita sebagai orang terhormat, berwibawa, dan telah meninggikan kita. Mereka tidak menginginkan kecuali harus menentangnya (Muhammad), dan jika aku mengikutinya, mereka akan melepas semua apa yang selama ini kamu lihat.”
    Abu Haritsah memaksudkan Romawi sebagai negara Kristen dan para raja mereka yang selalu memberikan penghargaan dan penghormatan jika mereka masuk ke dalam agama mereka.
    Namun, Kuz bin ‘Alqamah menyembunyikan hakikat kebenaran yang telah dikatakan oleh kakaknya tadi. Kemudian dia segera bertobat kepada Allah dan kembali ke jalan yang benar. Dia masuk Islam dan mengikuti Rasulullah saw..

Umar Ibnul Khathab dan Seorang Lelaki yang Ingin Berjihad

Hannad meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, “Seorang lelaki datang kepada Umar Ibnul Khathab r.a., lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bawalah saya, sungguh saya ingin berjihad”.
Maka Umar berkata kepada seorang lelaki lain, “Bawalah dia ke Baitul Maal dan biarkan dia mengambil apa yang dikehendakinya”.
Ketika lelaki itu masuk ke Baitul Maal, dia melihat emas dan perak di dalamnya. Maka dia pun berkata, “Apa ini? Saya tidak membutuhkan semua ini. Yang saya inginkan adalah bekal dan tunggangan untuk berjihad”.
Lalu orang-orang membawanya menghadap Umar dan memberitahunya tentang apa yang dia katakan.
Maka Umar memerintahkan agar disiapkan perbekalan dan tunggangan untuknya dan Umar sendiri ikut mempersiapkannya.
Ketika menunggangi tunggangannya, dia pun mengangkat tangannya dan memuji Allah atas apa yang didapatkannya, sedangkan Umar berjalan di belakangnya dan berharap agar lelaki itu berdoa untuknya. Ketika selesai memuji Allah, lelaki tersebut berkata, “Ya Allah, dan berilah pahala yang baik kepada Umar”.