Serahkan Segala Urusan Pada Qada dan Qadar Allah

Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitabnya al-Musnad dan juga oleh yang lainnya, bahwasanya khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, “Sunggguh jenggot ini akan basah dengan darah, seorang jahat telah menanti saya”.
    Khalifah Ali berkata demikian, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengabarkan kepadanya bahwa kelak akan datang seorang yang keji, yang akan membunuhnya hingga  jenggotnya basah oleh cucuran darah yang mengalir dari kepalanya sendiri. Hal tersebut tidak membuat Khalifah Ali risau dan khawatir, bahkan sebaliknya dia menanti dengan penuh kerelaan apa yang telah menjadi Qada dan qadar Allah itu.
    Mereka yang mendengar perkataan khalifah Ali tersebut menjadi geram dan berkata padanya, “Wahai khalifah, pemimpin kaum mu’min, beritahukanlah pada kami siapa gerangan orang keji tersebut, maka akan kami musnahkan keluarganya”. Dengan bijak Khalifah berkata pada mereka, “Kalau demikian, yang akan kalian bunuh bukanlah pembunuh saya. Demi Allah, hal itu tidak boleh terjadi”. Lalu mereka mengajukan permintaan, “Jika demikian halnya dan engkau telah mengetahuinya, maka pilihlah diantara kami untuk menjadi penggantimu”. Khalifah Ali menolaknya dengan arif, “Tidak, akan tetapi saya akan menyerahkan urusan itu pada kalian, sebagaimana dulu Rasulullah saw. menyerahkannya pada kalian”. Setelah itu akhirnya mereka bertanya pada Khalifah, “Jika engkau telah menghadap Tuhanmu, maka apa yang akan engkau katakan pada-Nya”. Khalifah Ali menjawab, “Akan saya katakan pada-Nya, “Ya Allah, Engkau telah menempatkan saya berada di tengah-tengah mereka, dalam kondisi yang nampak oleh-Mu. Kemudian Engkau memanggil saya untuk menghadap-Mu, ketika saya masih berada di tengah-tengah mereka. Ya Allah, Engkaulah yang dapat memperbaiki mereka jika itu yang Engkau kehendaki. Dan sebaliknya, Engkau jugalah yang mampu menjadikan mereka rusak jika itu yang menjadi kehendak-Mu”.

Pertemuan dengan Allah dan Menginginkan Kematian

Abu Nu’aim, dalam kitabnya Hilyatul Auliya` menyebutkan bahwa Salamah al-Quwaithi –rahumahullah— berkata, “Saya merindukan kematian selama empat puluh tahun, sejak saya berpisah dengan al-Hasan bin Yahya”.
Maka Ishaq bin Abi Hassan bertanya kepadanya, “Mengapa begitu?”
Dia menjawab, “Seandainya seseorang yang berakal rindu untuk bertemu dengan Allah ‘azza wajalla tentunya dia rindu dengan kematian”.
Ishaq berkata, “Kemudian saya memberitahukan hal itu kepada Abu Sulaiman. Maka Abu Sulaiman berkata, “Bagaimana kamu ini. Seandainya saya tahu bahwa apa yang dikatakannya itu benar, tentu saya ingin nyawaku keluar dari tubuhku saat ini juga. Akan tetapi bagaimana dengan terhentinya ketaatan dan dikurungnya kita di alam Barzakh. Karena sesungguhnya manusia bertemu dengan Allah setelah dibangkitkan kembali”.
Saya ( penulis ) katakan, “Masing-masing dari kedua orang di atas mempunyai pemahaman tersendiri tentang pertemuan dengan Allah.
Menurut Abu Sulaiman pertemuan dengan Allah di dunia adalah dengan zikir kepada-Nya, sedangkan pertemuan Allah di akhirat adalah setelah dibangkitkan dari kubur. Wallahu a’lam.

Sifat Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi dengan sanadnya dari Abu Arakah mengatakan, “Aku pernah shalat subuh bersama Ali bin Abi Thalib. Setelah salam, dia menepi ke sebelah kanannya dan tetap diam terpaku, seakan-akan dia tengah dirundung kesedihan. Dia duduk sampai matahari naik setinggi tombak. Kemudian dia balikkan tangannya dan dia berkata, ‘Demi Allah, aku telah melihat sahabat-sahabat nabi Muhammad saw. dan hari ini aku tak pernah lagi melihat yang serupa dengan mereka. Pada pagi hari mereka keluar berambut kusut, berwajah pucat dan berdebu. Malam harinya mereka lalui dengan sujud dan qiyamullail serta membaca kitabullah. Apabila sudah pagi mereka selalu mengingat Allah dan mereka kembali berzikir bagaikan rindang pohon di musim bercocok tanam. Mata mereka selalu menangis hingga membasahi pakaian mereka. Demi Allah, seolah-olah mereka seperti orang yang lalai.”

Kemudian Ali bangkit dan setelah itu dia tidak pernah lagi terlihat tertawa dan lemah semangat, sampai akhirnya dia dibunuh oleh seorang fasik, yaitu Ibnu Muljam.

Keimanan Ubadah kepada Qadha dan Qadar

Ubadah bin Shamit al-Anshari al-Badri masuk Islam, lalu ikut dalam baiat Aqabah dan membaiat Rasulullah saw.. Dia juga ikut dalam seluruh peperangan bersama Rasulullah saw.. Dia adalah salah seorang pengumpul Al-Qur’an di zaman Nabi saw.. Dan dia adalah salah satu dari lima orang yang hafal Kitab Allah ‘Azza wajalla.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, Ubadah bin Shamit pergi ke Syam bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ketika melihat sesuatu yang tidak bisa dia terima dari Mu’awiyah, dia berkata, “Saya tidak mau tinggal bersamamu dalam satu negeri”. Lalu dia pun pergi ke Madinah al-Munawwarah.
Melihatnya kembali ke Madinah, Umar Ibnul Khaththab bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu pulang ke Madinah?”
Lalu Ubadah memberitahukan apa yang dilakukan Mu’awiyah di sana. Maka Umar berkata, “Tinggalkan tempat itu. Sesungguhnya Allah akan membuat buruk suatu negeri yang di dalamnya tidak ada orang seperti engkau. Dan tidak ada kekuasan bagi Mu’awiyah atas dirimu”.
    Ketika kematian menjemput Ubadah, anaknya, Walid, mendatanginya dan berkata, “Wahai ayahku, berwasiatlah kepadaku dengan bersungguh-sungguh”.
Ubadah berkata kepada orang-orang disekitarnya, “Dudukkanlah saya”.
Stelah duduk, dia berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya engkau belum merasakan keimanan dan belum benar-benar mengetahui Allah, hingga engkau beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk”.
Maka anaknya bertanya, “Wahai ayahku, bagaimana saya bisa tahu mana qadar yang baik dan yang buruk?”
Ubadah menjawab, “Kau dapat mengetahuinya dengan menyadari bahwa sesuatu yang tidak menimpamu memang tidak akan menimpamu. Dan apa yang menimpamu tidak akan meleset darimu. Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “

“Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah pena ( qalam ). Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Tulislah”. Maka ia pun menulis saat itu juga tentang yang terjadi hingga hari kiamat”. Wahai Anakku, jika engkau mati dan tidak beriman kepada qadar, maka engkau akan masuk neraka”.

Menalak Lima Istri dalam Satu Kesempatan

Seorang lelaki berkata kepada Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin, aku pernah mendengar seorang lelaki Arab badui yang menjatuhkan talak dalam satu hari kepada lima orang wanita.”
Khalifah Harun heran dan bertanya, “Sesungguhnya seorang lelaki hanya boleh memiliki empat orang istri, jadi bagaimana mungkin dia menalak lima orang wanita?”
Laki-laki tersebut menceritakan, “Lelaki Arab badui itu mempunyai empat orang istri. Suatu ketika dia pulang ke rumahnya dan dia melihat para istrinya sedang bertengkar. Lelaki ini mempunyai akhlak yang jelek. Dia berkata, ‘Sampai kapan pertengkaran ini akan terus terjadi?’
Kemudian dia berkata kepada salah seorang istrinya, ‘Pertengkaran ini terjadi akibat ulahmu. Sekarang pergilah, kamu aku talak!’
Istrinya yang lain berkata, ‘Engkau terlalu terburu-buru menjatuhkan talak kepadanya. Bukankah sebaiknya engkau ajari dia dengan cara yang lain?’
Mendengar hal itu, lelaki tersebut berkata, ‘Engkau juga aku talak.’
Istri ketiga berkata, ‘Celakalah kamu! Demi Allah, kedua istrimu itu telah banyak berbuat baik kepadamu.’
Lelaki itu berkata, ‘Dan kamu wahai perempuan yang menghitung-hitung kebaikan mereka dihadapanku, juga aku talak.’
Istri keempat yang berasal dari Bani Hilal bersikap lebih hati-hati. Dia berkata, ‘Hatimu terlalu sempit untuk mengajar istri-istrimu, kecuali dengan cara talak.’
Akhirnya, lelaki ini berkata kepada istri yang keempat ini, ‘Engkau juga aku talak.’
Hal ini terdengar oleh istri tetangganya. Tetangga wanita ini datang menemuinya—setelah mendengar semua yang terjadi—dan berkata, ‘Demi Allah, seluruh kabilah Arab tidak menuduhmu dan kaummu sebagai kaum yang lemah, melainkan karena mereka tidak suka melihat sikap kalian seperti ini. Yang kamu inginkan ternyata adalah menalak semua istrimu sekaligus.’
Lelaki ini berkata kepada tetangga wanitanya itu, ‘Dan kamu wahai perempuan yang banyak bicara juga tertalak jika suamimu membolehkannya.’
Dari dalam rumah, suami wanita itu berkata, ‘Ya aku bolehkan... aku bolehkan....’ Maksudnya, dia juga menalak istrinya sehingga wanita ini menjadi orang kelima yang ditalak.”

11. Dia Jual Dirinya kepada Allah

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Kami diceritakan oleh Abul Fath Muhammad bin Abdul Baqi, Dia berkata, 'Abul Fadhl Ahmad bin Ahmad al-Haddad berkata bahwa Abu Nu’aim al-Hafizh menceritakan kepadanya bahwa faktor yang menyebabkan Habib Abu Muhammad menyerahkan dirinya pada akhirat dan berpaling dari dunia adalah dia pernah menghadiri majelis Hasan al-Bashri. Pelajaran dan nasihat Hasan al-Bashri sangat mengena di hatinya, yang membuatnya mau meninggalkan semua kesenangan dunia, dan meyakini janji dan jaminan Allah.”
Dia jual dirinya kepada Allah swt. dengan cara bersedekah sebanyak empat puluh ribu dirham dengan empat kali sedekah. Pertama, dia bersedekah sebanyak sepuluh ribu dirham di permulaan siang, lalu dia berkata, “Wahai Tuhan, aku telah menjual diriku kepada-Mu dengan uang ini.” Kedua, kemudian dia sedekahkan lagi sejumlah sepuluh ribu dirham, dan dia berkata, “Ini sebagai tanda syukur atas taufik yang Allah limpahkan (sehingga aku rela menjual diriku kepada-Mu, pent.).”
Ketiga, dia keluarkan lagi sejumlah sepuluh ribu dirham, dan dia berkata, “Wahai Tuhan, kalau Engkau tidak menerima yang pertama dan kedua tadi dariku, maka terimalah yang ini.” Keempat, dia sedekahkan lagi sepuluh ribu dirham, dan  dia berkata, “Wahai Tuhan, kalau Engkau terima dariku yang ketiga tadi, maka ini sebagai tanda syukur atas hal itu.”
Begitulah tokoh yang kembali kepada Allah swt. ini memberikan sedekah yang bisa meredam murka Allah, agar Allah menerimanya menjadi hamba-Nya yang saleh, dan sebagai bukti bahwa dia benar-benar berjuang untuk akhirat dan meninggalkan dunia yang fana.
Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran besarnya faidah menghadiri majelis-majelis ilmu, dan nasihat yang merupakan salah satu taman surga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah saw..
Dalam majelis-majelis rabbani tersebut, seorang muslim akan bertemu dengan para ulama dan para dai, di mana dia bisa mengambil ibrah dan pelajaran, serta mempelajari agama secara benar. Dengan hilangnya para ulama dan majelis-majelis seperti itu, maka akan tersebarlah kebodohan dan sikap berlebihan dalam mencintai dunia, serta berkembanglah sikap yang ekstrem dalam memahami agama. Para ulama adalah ibarat garam dalam makanan, jika mereka baik maka umat ini akan baik dan maju. Insya Allah.

Aku Khawatir Berbuat Lalai

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dirinya dalam bukunya Shaidul Khathir, “Dalam berbagai majelis zikir sudah lebih dua ratus ribu orang yang tobat dalam bimbinganku dan lebih dua ratus orang yang masuk Islam lewat tanganku, dan sudah berapa banyak orang-orang yang angkuh mencucurkan air mata karena mendengarkan nasihatku.
Tapi aku sangat khawatir dan takut bila melihat pada kesalahan, kekurangan, dan kelalaianku sendiri. Suatu hari aku memberi nasihat di hadapan lebih dari sepuluh ribu orang. Semua mereka tanpa terkecuali merasa tersentuh dan bercucuran air mata. Kemudian aku berkata kepada diri sendiri, “Bagaimana denganmu wahai Ibnu Jauzi seandainya mereka selamat, tetapi kamu justru celaka, bagaimana denganmu wahai Ibnu Jauzi seandainya mereka selamat, tetapi kamu justru celaka?”

Kemudian Ibnu Jauzi berteriak, “Wahai Tuhanku, seandainya Engkau akan siksa aku esok, janganlah mereka sampai tahu agar tidak dikatakan, Allah mengazab orang yang menyeru kepada-Nya, Allah mengazab orang yang menunjukkan orang lain kepada-Nya, dan Engkau Mahamulia dan Maha Pengasih. Jangan kecewakan harapan hamba yang menggantungkan harapannya kepada-Mu, tunduk kepada kekuasaan-Mu, dan menyeru hamba-hamba-Mu kepada agamanya. Meskipun dia tidak pantas memasuki pintu rahmat-Mu, tetapi dia tetap berharap pada keluasan Kasih dan Pemurah-Mu karena Engkau Zat Maha Pemurah dan Mahamulia.”
Tangisannya semakin menjadi-jadi, sehingga orang-orang di sekitarnya berkata kepadanya, “Wahai imam, berbaik sangkalah kepada Allah, berbaik sangkalah kepada-Nya, bukankah kamu telah berbuat ini dan itu....”
Dia berkata, “Demi Allah, aku tidak takut, kecuali pada firman Allah,

KHAT

‘... Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang dahulu tidak pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka kejahatan apa yang telah mereka kerjakan....’ ( az-Zumar: 47—48)

Aku takut telah lalai, berbuat salah dan bahkan berlaku munafik dan sekarang tampak bagiku apa yang tidak aku duga.” Beliau wafat dalam kondisi demikian (kondisi selalu takut kepada azab Allah dan khawatir memperoleh apa yang tidak pernah dia duga, pent.).

TOBAT SEORANG WANITA DI TANGAN ABU MUSLIM AL-KHAULANI

Utsman bin ‘Atha dari ayahnya berkata, “Abu Muslim al-Khaulani apabila dia pulang ke rumahnya dari masjid, dia selalu takbir yaitu dengan meneriakkan Allahu Akbar di depan pintu rumahnya. Istrinya pun akan menjawabnya dengan takbir pula. Apabila dia sampai di ruang tengah rumahnya, dia pun takbir, dan istrinya akan menjawabnya dengan takbir.
    Pada suatu malam, dia meneriakkan takbir di depan pintu rumahnya, namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Kemudian ketika dia sampai di ruang tengah rumahnya, dia pun takbir lagi, namun tidak ada satu orang pun yang menjawabnya. Dia segera masuk ke rumah dan ternyata di dalam rumah tidak ada lampu yang menyala, dan ternyata istrinya ada sedang duduk dengan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memukul-mukul tanah dengan tongkat yang ada di tangannya.
    Dia bertanya kepada istrinya itu, ‘Kenapa kamu?’
    Istrinya menjawab, ‘Kamu adalah orang yang punya kedudukan di mata Mu’awiyah—yaitu Khalifah Mu’awiyah bin Abu Shafyan—sementara kita tidak punya seorang pembantu. Seandainya kamu memintanya agar kita diberikan pembantu, pasti dia akan memberikanmu pembantu.’
    Abu Muslim berkata, ‘Ya Allah, siapa saja yang telah merusak dan memengaruhi istriku ini, butakanlah matanya.’
    Memang ada seorang wanita dari tetangganya yang datang kepada istrinya dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya suamimu adalah orang yang mempunyai kedudukan di mata Mu’awiyah. Jika saja kamu katakan kepadanya agar dia mau meminta kepada Mu’awiyah agar memberikannya pembantu, dia akan memberikannya dan kalian bisa hidup nyaman!’
    Ketika wanita si tentangga itu duduk di rumahnya, tiba-tiba saja matanya tidak bisa lagi melihat, dan dia pun segera menyadari akan dosa dan kesalahannya.
    Dia segera mendatangi Abu Muslim sambil menangis dan memintanya agar dia mau berdoa kepada Allah swt. supaya mengembalikan penglihatan matanya. Abu Muslim pun memaafkan dan kasihan pada wanita itu, dia berdoa kepada Allah swt., lantas matanya pun normal kembali.”77
    Penulis berpendapat bahwa ini adalah sebuah pesan bagi para wanita khususnya mereka yang sering ikut campur dalam urusan rumah tangga orang dengan menganggap bahwa keikutcampurannya itu demi untuk kebaikan. Abu Muslim al-Khaulani telah masuk Islam kemudian dia berangkat ke Madinah langsung setelah wafatnya Rasulullah saw. yaitu pada awal-awal masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a..
    Di antara manaqib-nya adalah Aswad al-‘Ansi seorang yang mengaku sebagai nabi di Yaman telah dilemparkannya ke dalam api. Tapi, itu tidak membuatnya luka dan dia keluar dari api itu dengan selamat menyerupai peristiwa Ibrahim al-Khalil a.s., maka dia menyuruhnya pergi dari Yaman. Ketika sampai di Madinah dia bertemu dengan Umar ibnul hthab r.a., lalu berkata, ‘Alhamdulillah yang belum mematikan aku sehingga aku bisa melihat umat Muhammad saw.. Ini ada orang yang diberlakukan seperti diberlakukannya Ibrahim Khalilur Rahman a.s..

TOBAT IKRIMAH BIN ABI JAHAL

Ayahnya adalah musuh Islam yang pertama, yaitu Abu Jahal Amru bin Hisyam yang secara terus-menerus memerangi Islam dan Rasulullah saw. serta kaum Muslimin hingga dia tewas dengan kekafirannya pada Perang Badar al- Kubra. Dan anaknya, Ikrimah terus mengikuti langkah ayahnya memerangi Rasulullah saw. sampai saat Fathu Mekah. Dia menghadang tentara Khalid bin Walid, tapi akhirnya dia pun kalah lalu melarikan diri setelah Rasulullah saw. menghalalkan darahnya untuk dibunuh.
    Ikrimah ingin melarikan diri ke negeri Yaman. Dia takut kaum Muslimin dapat menemukannya, maka dia pun pergi naik kapal laut yang membawanya ke negeri Habasyah. Saat perjalanan kapal tersebut di tengah lautan, datanglah ombak yang sangat kencang hingga hampir saja kapal itu tenggelam bersama orang-orang yang ada di dalamnya. Kemudian nahkoda kapal itu berkata kepada penumpangnya, “Sucikan diri kalian, sesungguhnya tuhan-tuhan kalian tidak dapat memberikan manfaat apa-apa di sini.”
    Lalu Ikrimah bergumam dalam hatinya, “Jika di laut ini tidak ada yang dapat menolong aku kecuali keikhlasan (kesucian diri), lalu apa yang dapat menolongku di darat nanti? Ya Allah ya Tuhanku, andai Engkau dapat menyelamatkan aku dari apa yang menimpaku saat ini, niscaya aku akan mendatangi Muhammad dan akan aku letakkan tanganku di tangannya, niscsya aku akan dapatkan pintu maaf yang sangat luas.
    Allah pun menyelamatkan dia dan orang-orang yang ada bersamanya di kapal dari bahaya tenggelam kemudian kembali lagi ke tepi pantai. Sedangkan, istrinya Ummu Hakim bintil Harits sudah masuk Islam di Mekah dan ia telah meminta kepada Rasulullah saw. untuk keamanan suaminya. Ia pun bergegas menemui suaminya lalu membawanya ke Mekah setelah ia kabarkan kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah memberikannya hak aman. Setelah itu ia kembali bersama istrinya ke Mekah untuk mengikrarkan tobat serta keislamannya di hadapan Rasulullah yang menerima kedatangannya sambil berkata, “Selamat datang hai orang yang naik kapal dan hijrah.”
    Berakhirlah lembar permusuhan, kedengkian, kemusyrikan, dan kekufuran, dan dibuka lembaran putih yang baru yang penuh dengan Islam, iman, dan jihad di jalan Allah. Ikrimah pun berkata kepada Rasulullah saw., “Aku tidak akan membiarkan hartaku yang aku keluarkan untuk memusuhimu kecuali sebesar itu pula aku akan keluarkan untuk jihad di jalan Allah.” Islamnya pun baik dan dia ikut serta dalam beberapa peperangan, hingga akhirnya dia mati syahid pada Perang Yarmuk.

Kisah Keridhaan Seorang Ahli Ibadah kepada Qadha Allah

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Ali Ibnul Hasan bin Musa, dia berkata, “Seorang lelaki berkata, “Saya akan menguji seseorang yang diuji oleh Allah”.


Lelaki itu berkata, “Lalu saya mendatangi seorang lelaki di Tharthus yang ujung-ujung kakinya sudah dimakan rayap. Lalu saya katakan kepadanya, “Bagaimana kondisimu pagi ini?”


Dia menjawab, “Demi Allah, pagi ini semua urat dan semua anggota tubuhku terasa sangat sakit. Seandainya orang-orang Romawi dengan kekafiran dan kemusyrikan mereka melihat kondisiku, pasti mereka akan merasa kasihan kepadaku. Dan tentunya Allah mengetahui hal ini. Allah menyukai hal ini terjadi kepadaku, sebagaimana saya juga menyukainya dari Allah, karena berapakah yang Dia ambil dari saya? Saya juga ingin Tuhanku memotong anggota-anggota tubuhku yang karenanya saya mendapatkan dosa, sehingga tidak tersisa di tubuhku kecuali lidahku untuk berzikir kepada-Nya”.


Lelaki itu pun bertanya, “Sejak kapan engkau menderita penyakit ini?”


Dia menjawab, “Tidakkah cukup bagimu bahwa semua makhluk adalah hamba dan tanggungan Allah? Jika penyakit menimpa seorang hamba, maka pangaduan hanyalah kepada Allah bukan kepada hamba-hamba-Nya”.


Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Ali Ibnul Hasan bin Musa, dia berkata, “Seorang lelaki berkata, “Saya akan menguji seseorang yang diuji oleh Allah”.


Lelaki itu berkata, “Lalu saya mendatangi seorang lelaki di Tharthus yang ujung-ujung kakinya sudah dimakan rayap. Lalu saya katakan kepadanya, “Bagaimana kondisimu pagi ini?”


Dia menjawab, “Demi Allah, pagi ini semua urat dan semua anggota tubuhku terasa sangat sakit. Seandainya orang-orang Romawi dengan kekafiran dan kemusyrikan mereka melihat kondisiku, pasti mereka akan merasa kasihan kepadaku. Dan tentunya Allah mengetahui hal ini. Allah menyukai hal ini terjadi kepadaku, sebagaimana saya juga menyukainya dari Allah, karena berapakah yang Dia ambil dari saya? Saya juga ingin Tuhanku memotong anggota-anggota tubuhku yang karenanya saya mendapatkan dosa, sehingga tidak tersisa di tubuhku kecuali lidahku untuk berzikir kepada-Nya”.


Lelaki itu pun bertanya, “Sejak kapan engkau menderita penyakit ini?”


Dia menjawab, “Tidakkah cukup bagimu bahwa semua makhluk adalah hamba dan tanggungan Allah? Jika penyakit menimpa seorang hamba, maka pangaduan hanyalah kepada Allah bukan kepada hamba-hamba-Nya”.

Allah Bayarkan Utangnya Sebelum Dia Meninggal

Muhammad bin Hamid menceritakan, “Suatu kali aku mengunjungi Ahmad bin Khadhruyah yang sedang berada dalam sakaratul maut. Saat itu usianya sudah mencapai sembilan puluh lima tahun. Dia ditanya tentang suatu permasalahan, tiba-tiba air matanya menetes. Dia berkata kepada si penanya, ‘Wahai anakku, pintu yang dulu aku ketuk sejak sembilan puluh lima tahun yang lalu sekarang akan dibukakan untukku. Aku tak tahu apakah akan dibukakan untukku dengan kebahagiaan ataukah dengan kesengsaraan. Apa jawaban yang akan aku berikan?’
Dia mempunyai utang sebanyak tujuh ratus dinar. Lalu, datanglah orang-orang yang ingin menagihnya. Dia memandangi mereka lalu berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah menjadikan barang taruhan sebagai barang bukti untuk para pemilik harta, dan sekarang Engkau ambil barang bukti itu dari mereka, maka mohon bayarkanlah utangku.’”
Tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Orang itu bertanya, “Ini rumah Ahmad bin Khadhruyah?”
“Ya,” jawab orang-orang di sekitar itu.
“Mana orang-orang yang menagih utangnya?” tanya orang itu lagi.
Orang-orang yang menagih itu lalu keluar. Kemudian orang tadi membayarkan utang Ahmad. Setelah itu dia langsung wafat.
Di antara ucapannya, “Sabar adalah bekal orang-orang kesulitan sementara ridha adalah derajat para ‘arifin.”
Seseorang pernah meminta nasihat kepadanya lalu dia berkata, “Matikan dirimu kalau kamu ingin menghidupkannya.” 

INAYAH ALLAH KEPADA TAHIYYAH NUBIYAH

    Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan dari Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain as-Sulami dia berkata, “Aku mendengar al-Malini as-Sufi bercerita, ‘Aku pernah datang berziarah kepada Tahiyyah Nubiyah, dan aku mendengarnya dia di dalam rumahnya sedang bermunajat kepada Allah seraya berkata, ‘Wahai Yang selalu mencintaiku dan aku mencintai-Nya.’ Aku pun masuk dan mengucapkan salam kepadanya, lantas aku bertanya, ‘Wahai Tahiyyah, tidak dimungkiri kalau kamu mencintai Allah swt.. Lantas bagaimana kamu tahu kalau Dia mencintaimu?’
    Dia menjawab, ‘Ya, dahulu aku tinggal di negeri Nuba dan kedua orang tuaku beragama Kristen. Pernah ibuku mengajakku pergi ke gereja dan membawaku ke depan salib seraya berkata kepadaku, ‘Ciumlah salib ini.’
    Ketika aku ingin menciumnya, tiba-tiba aku melihat ada telapak tangan yang keluar dan mendorong mukaku, sehingga aku tidak bisa mencium salib itu. Dari situ aku mengerti bahwa inayah Allah kepadaku sudah sejak dahulu. Kemudian aku masuk Islam dan akhirnya aku menjadi salah seorang wanita ahli ibadah dan ahli zuhud.”81

Aku dalam Kondisi Cukup

Muhammad bin Musa bin Hamad az-Zaidi menceritakan, “Hasan bin Abdul Aziz al-Harawi mengirimkan kepadaku harta warisannya di Mesir sejumlah seratus ribu dinar. Dia juga memberikan kepada Ahmad bin Hanbal tiga kantong uang, di setiap kantongnya berisi seribu dinar. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah (gelar Ahmad bin Hanbal) ini harta warisan halal. Ambillah dan gunakanlah untuk memenuhi kebutuhan keluargamu.”
Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tak membutuhkannya. Aku dalam kondisi cukup.” Akhirnya, uang itu ditolaknya dan tiada sedikit pun yang dia ambil.
Putranya, Abdullah, menceritakan bahwa salah seorang sahabat dekat ayahnya mengirimkan kepadanya empat ribu dirham bersama sepucuk surat melalui seorang laki-laki. Dalam surat itu dia menulis, “Wahai Abu Abdillah, aku telah mendengar kondisimu yang sulit dan utangmu yang banyak, maka aku kirimkan kepadamu uang empat ribu dirham ini melalui si fulan untuk membayar utangmu dan melapangkan keluargamu. Uang ini bukan sedekah atau zakat melainkan sedikit harta yang aku warisi dari ayahku.”
Ahmad bin Hanbal membalas suratnya, “Bismillahirrahmanirrahim.Suratmu telah sampai kepadaku dan kami sekeluarga berada dalam keadaan baik. Adapun mengenai utang, itu dari seseorang yang tidak mendesak utangnya, sementara keluarga kami Alhamdulillah mereka berada dalam nikmat Allah.”

Laki-laki itu berkata, “Seandainya Abu Abdillah menerima uang itu lalu dilemparkannya ke Sungai Dijlah tentu dia sudah berpahala.” Karena ternyata lelaki itu tidak pernah dikenal berbuat baik.

Setelah lewat satu tahun Ahmad bin Hanbal berkata, “Seandainya dulu kami terima uang itu tentu sudah habis semuanya.”

Umar bin Abdul Aziz dan Keridhaannya kepada Allah

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Busrah al-Juhani, dia berkata, “Ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdil Aziz, Sahal bin Abdul Aziz dan Muzahim Maula Umar bin Abdil Aziz secara berturut-turut, Rabi’ bin Sabrah mendatangi Umar bin Abdul Aziz dan berkata kepadanya, “Semoga Allah melipatgandakan pahalamu wahai Amirul mukminin. Saya tidak pernah melihat seorang pun tertimpa musibah yang lebih besar dari musibahmu yang beruntun ini. Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang anak yang seperti anakmu. Saya juga tidak pernah melihat seorang saudara seperti saudaramu. Saya juga tidak pernah melihat seorang maula seperti maulamu”.
Lalu dia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu seseorang berkata kepada saya, “Engkau telah menyulut kesedihannya”.
Kemudian Umar bin Abdil Aziz mengangkat kepalanya dan berkata, “Apa yang engkau katakan kepadaku tadi wahai Rabi’?”.
Lalu saya mengulangi apa yang saya katakan tadi.
Lalu Umar berkata, “Tidak. Demi Zat yang telah menetapkan kematian mereka, saya tidak menginginkan hal itu tidak terjadi”. Saya ( penulis ) katakan, “Itulah sikap orang yang ridha kepada qadha dan qadar Allah. Dia tetap ridha dengan terjadinya qadha Allah, walaupun hal itu bukan hal yang menyenangkan. Dan sikap itu hanyalah muncul dari seorang mukmin. Dan tidak diragukan lagi, bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz termasuk mereka yang berkata dan melakukan perkataannya, serta tahu dan memahami dengan baik. Kita tidaklah menganggap baik seseorang dengan melampaui Ilmu Allah. Hanya saja, kita melihat sejarah Khalifah Umar bin Abdil Aziz harum dengan pancaran-pancaran keimanan dan dia selalu berjalan di atas jalur orang-orang mukmin di masa awal Islam. Semoga Allah ridha terhadap mereka.

TOBAT SESEORANG DARI BANI ISRAIL YANG BERNAMA AL-KIFL

Dia adalah seseorang dari Bani Israil dan namanya adalah al-Kifl dan dia bukanlah Dzul Kifl yang disebutkan dalam Al-Qur’anul Karim. Karena seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Qishashul Anbiya` bahwa ucapan katanya adalah al-Kifl tanpa ada tambahan – Dzul – maka berarti dia adalah orang lain.
    Adapun kisahnya ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., dia berkata, “Aku telah mendengar dari Rasulullah sebuah hadits yang kalau aku cuma mendengarnya sekali atau dua kali bahkan sampai tujuh kali, maka aku tidak akan menceritakannya, akan tetapi aku telah mendengarnya lebih dari itu, beliau bersabda, ‘Al-Kifl adalah seorang dari Bani Israil yang tidak mau meninggalkan dosa perbuatannya, maka dia pun didatangi oleh seorang perempuan. Wanita itu diberi enam puluh dinar dengan syarat dia akan menyetubuhinya. Ketika dia hendak menggauli wanita itu layaknya seseorang menggauli istrinya, wanita itu menggigil dan menangis.
    Dia berkata kepada wanita itu, ‘Apa yang membuatmu menangis? Apakah aku telah membenci kamu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, melainkan perbuatan ini adalah perbuatan yang belum pernah aku lakukan sama sekali, akan tetapi aku terjerumus oleh karena kebutuhan.’ Dia berkata, ‘Kamu hendak melakukan ini dan kamu belum pernah melakukan sebelumnya sama sekali .’  Kemudian dia turun dan berkata kepada wanita itu, ‘Pergilah dan bawalah dinar-dinar itu untukmu.’ Kemudian dia berkata, ‘Demi Allah, al-Kifl tidak mau bermaksiat lagi kepada Allah selamanya.  Hingga dia pun meninggal dunia pada suatu malam dan pagi harinya tertulis di atas pintunya, ‘Allah telah mengampuni al-Kifl.’” 

Seorang Ahli Ibadah dari Qazwin dan Keridhaan kepada Allah

As-Sari bin Yahya –ketika di Ibadan— meriwayatkan dari Walan bin Isa bin Maryam, orang saleh dari Qazwin, dia berkata, “Pada suatu malam, sinar bulan sangat terang. Lalu saya pergi ke masjid dan melakukan shalat sebanyak-banyaknya. Saya juga bertasbih dan berdoa. Lalu rasa kantuk menyerangku sehingga saya pun tertidur. Kemudian saya bermimpi dan melihat serombongan yang setahu saya bukan dari golongan manusia. Mereka membawa piring-piring besar yang berisi roti berwarna putih bagaikan salju. Di atas setiap roti tersebut terdapat mutiara seperti buah delima. Lalu mereka berkata kepada saya, “Makanlah”.
Maka saya jawab, “Saya ingin berpuasa”.
Mereka berkata lagi, “Pemilik rumah ini ingin engkau memakannya”.
Maka saya memakannya. Dan saya juga berusaha mengambil mutiara tersebut untuk saya bawa.
Maka mereka berkata kepada saya, “Biarkan mutiara itu. Dan kami akan menanamkan sebuah pohon untukmu, yang menumbuhkan sesuatu yang lebih baik dari mutiara ini”.
Saya pun bertanya, “Dimana kalian akan menanamnya?”
Mereka menjawab, “Di suatu tempat yang tidak akan pernah hancur, buahnya tidak akan busuk, kerajaannya tidak akan berakhir dan pakaiannya tidak akan menjadi usang. Di dalamnya terdapat keridhaan dan kecukupan, juga terdapat penyedap mata, yang berupa isteri-isteri yang cantik yang diridhai dan meridhai. Mereka tidak cemburu dan tidak dicemburui. Maka engkau harus cepat-cepat pergi dari tempatmu, karena itu hanyalah tidur sejenak lalu engkau pergi dan singgah di tempat tersebut”.
Lalu setelah dua Jum’at, dia pun meninggal dunia. As-Sari bin Yahya berkata, “Pada malam hari dia meninggal dunia, saya bermimpi melihatnya dan dia berkata kepada saya, “Jangan heran dengan sesuatu yang ditanam untukku yang saya ceritakan kepadamu, karena sesungguhnya ia telah hamil”.
Saya jawab, “Hamil seperti apa?”
Dia menjawab, “Jangan engkau tanya tentang sesuatu yang tidak seorang pun mampu menggambarkannya. Ia seperti anggur yang mulai akan berbuah”.
Saya ( Penulis ) katakan, “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang taat kepada-Mu, orang-orang yang mendapatkan ampunan-Mu dan keridhaan-Mu”.