Wanita yang Mengadukan Khalifah kepada Allah

Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan dari Abbas bin Hisyam al-Kalabi, dia berkata, “Khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan mengutus sebuah pasukan ke wilayah Yaman. Di sana mereka menetap selama beberapa tahun. Suatu malam ketika Khalifah berada di Damaskus, dia berkata, ‘Demi Allah, malam ini aku akan memantau kota Damaskus dan aku ingin mendengar apa tanggapan masyarakat tentang pasukan yang aku kirim bertahun-tahun hingga kubuat mereka membujang dan aku tahan harta mereka?’
Ketika  dia sedang melewati beberapa jalan di kota Damaskus, tiba-tiba  dia mendengar suara sorang wanita yang sedang shalat. Ketika wanita itu hendak menuju pembaringannya untuk tidur dia berkata, ‘Ya Allah Yang mengerahkan kemuliaan, yang menurunkan kitab dan yang memberi asa serta cita-cita, aku mohon kepada-Mu untuk mengembalikan suamiku yang jauh untuk melepas luka laraku dan menyejukkan jiwaku dan aku mohon kepada-Mu untuk mengadili Abdul Malik bin Marwan yang telah melakukan semua ini kepada kami.’ Kemudian  dia melantunkan sebuah syair,

Malam semakin larut, air mata terus bercucuran
Hatiku dicabik oleh luka lara dan kesedihan
Aku berusaha melewati malam ini
Dengan memandang bintang gemintang
Namun hatiku terus menahan pilu
Bila sebuah bintang lenyap dalam kegelapan malam
Mataku akan menangkap bintang lain yang sedang muncul
Kalau kukenang apa yang pernah ada di antara kita
Aku rasakan hatiku semakin tercabik-cabik
Setiap kekasih yang ingat pada kasihnya
Selalu ingin berjumpa setiap hari
Arasy pun bergoncang melihat rinduku yang meluap-luap
Engkaulah yang diseru para hamba dan mendengarkan seruan itu
Seruan-Mu dalam senang dan susah adalah seruan yang sesungguhnya
Menunaikan hajat di antara manusia dengan segera

Khalifah Abdul Malik bertanya kepada pengawalnya, ‘Tahukah kamu rumah siapa ini?’
‘Ya, ini rumah Yazid bin Sinan.’
‘Siapakah wanita itu?’ tanya Khalifah lagi.
‘Itu istrinya.’
Pada pagi harinya, Khalifah Abdul Malik bertanya kepada para pembantunya, ‘Berapa lamakah seorang istri bisa bersabar berpisah dengan suaminya?’
Mereka menjawab, ‘Enam bulan.’
Akhirnya Khalifah menginstruksikan agar sebuah pasukan dalam peperangan tidak boleh tinggal (di medan perang) lebih dari enam bulan.”

Akan Muncul dari Orang Rusak Orang yang Saleh

Dalam kitab Siyar A’lamin Nubala`, adz-Dzahabi meriwayatkan dari Imam Malik rahimahullah, “Beberapa orang anak muda datang menemui Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya ayah kami sudah wafat dan dia meninggalkan harta yang sekarang berada di tangan paman kami; Hamid al-Amji.’
Umar lalu memanggil Hamid al-Amji. Setelah dia datang Umar berkata kepadanya, “Engkau yang mengatakan,

Hamid yang rumahnya diguncang
Teman arak, beruban dan botak
Datang masa tua dalam cinta pada minuman
Dulu  dia mulia, tetapi dia tidak bisa lepas

Hamid menjawab, “Ya.”
“Kalau demikian, aku akan menegakkan hukum had kepadamu karena kamu telah mengakui meminum khamar dan tidak akan lepas darinya.”
Hamid berkata, “Tidakkah kamu pernah mendengar firman Allah,
KHAT
 “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah, dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?” (asy-Syu’araa`: 224—226)

Umar berkata, “Adalah lebih baik bagimu wahai Hamid meninggalkan semua itu. Aku rasa kamu telah lepas dari tuduhan ini. Celakalah kamu Hamid, ayahmu adalah seorang yang saleh, tetapi kamu seorang yang jahat.”
Dia berkata, “Semoga Allah memperbaikimu, siapa di antara kita yang benar-benar serupa dengan ayahnya? Ayahmu sendiri adalah seorang yang jahat, tetapi kamu seorang yang shaleh.”
Umar melanjutkan, “Para pemuda ini mengatakan bahwa ayah mereka telah wafat dan menitipkan harta mereka padamu.”
“Mereka benar.” Lalu, dia datang membawa cap dari ayah mereka.
Hamid melanjutkan, “Aku telah membiayai mereka dari uang pribadiku, dan ini harta mereka aku serahkan dalam kondisi sempurna.”
Umar berkata, “Tidak ada yang lebih pantas memiliki uang ini daripadamu.”
Hamid berkata, “Apakah harta itu akan kembali kepadaku, padahal dia baru saja lepas dariku?”

Qaisabah bin Kultsum Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Ibnu al-Kalabi menceritakan dari ayahnya, "Suatu kali Qaisabah bin Kultsum as-Sukuni –salah seorang pembesar Yaman- berniat untuk melaksanakan haji. Pada waktu itu masyarakat Arab di masa jahiliah sering melaksanakan haji dan mereka tidak pernah saling mengganggu satu sama lain.

Dalam perjalanan menuju Mekah ia dihadang oleh suku Bani Amir bin Aqil. Kemudian mereka menawannya dan merampas harta bendanya serta seluruh perbekalannya. Setelah itu mereka menjebloskannya ke dalam penjara. Qaisabah mendekam di dalam penjara itu selama tiga tahun. Di negerinya; Yaman, kabar yang tersebar adalah bahwa ia diculik jin.

Qaisabah sudah putus asa akan datangnya bantuan. Ia ditempatkan di rumah seorang wanita tua dari Bani Amir. Pada suatu hari yang sangat dingin, ia berkata pada wanita itu: "Apakah engkau izinkan aku untuk memanaskan tubuh sebentar di tempat yang di sinari matahari karena dingin ini cukup menyiksaku."
Wanita itu menjawab: "Silahkan."

Saat itu ia mengenakan jubah biru yang menjadi pakaian khas Yaman. Ia mulai merangkak dengan rantai yang membelenggunya kemudian ia naik ke tempat yang agak tinggi untuk mendapatkan cahaya matahari. Ia layangkan pandangannya ke arah Yaman. Perasaannya membuncah dan akhirnya ia menangis. Kemudian ia melayangkan pandangannya ke langit dan berdoa: "Ya Allah pencipta langit, lapangkanlah apa yang aku derita saat ini."

Di saat seperti itu tiba-tiba terlihat seorang penunggang kuda. Qaisabah mengisyaratkan padanya untuk mendekat. Penunggang kuda itu mendekat dan bertanya: "Apa yang engkau inginkan?"
"Engkau hendak kemana?" tanya Qaisabah.
"Aku hendak ke Yaman," jawab laki-laki itu.
"Engkau siapa?"
"Aku Abu Thamhan al-Qini." 

Abu Thamhan bertanya: "Dan engkau siapa? Aku melihat sifat-sifat baik dari penampilanmu dan pakaian para raja sementara engkau berada di daerah yang tidak memiliki raja?"
"Aku adalah Qaisabah bin Kultsum as-Sukuni. Aku berniat pergi haji pada tahun sekian tapi penduduk daerah ini menawanku dan memperlakukanku seperti yang engkau lihat sekarang."
Abu Thamhan melepaskan rantai dan belenggunya. Abu Thamhan menangis melihat kondisi seorang raja seperti itu. Qaisabah bertanya padanya: "Maukah engkau memiliki seratus onta merah?"
"Tentu aku sangat mau."
"Turunlah."

Kemudian Qaisabah menulis sepucuk surat di atas sehelai pelepah kayu yang terdapat di sekitarnya dengan tulisan al-humairi yang merupakan tulisan penduduk Yaman. Surat itu ditujukan pada saudaranya agar ia memberi Abu Thamhan seratus ekor unta. Di dalam surat itu ia juga menulis beberapa bait syair. Qaisabah berkata padanya: "Bacakan ini pada kaumku maka mereka akan memberimu seratus ekor unta merah."

Diantara bait syair yang ditulis oleh Qaisabah adalah sebagai berikut:

Mereka sampai di Bani Kindah bersama seluruh raja
Dimana orang-orang mulia berjalan mengendarai unta
Ketika mereka mengembalikan kuda dengan lima puluh sapi
Mereka giring semuanya berikut barangnya yang berat

Kemudian Abu Thamhan menyampaikan surat Qaisabah tersebut kepada saudaranya al-Jun bin Malik. Lalu ia berkata padanya: "Wahai tuan, aku akan menunjukkan padamu dimana Qaisabah berada dan ia telah menjanjikan upahnya adalah seratus ekor unta merah untukku."
"Itu hakmu."

Abu Thamhan menerangkan dimana Qaibasah berada. Setelah al-Jun bin Malik membaca surat itu ia memerintahkan para pembantunya untuk memberi Abu Thamhan seratus ekor unta merah. Kemudian al-Jun bin Malik dan Qais bin Ma'dikarib al-Kindi bersama pasukannya berangkat menuju Bani Amir untuk membebaskan Qaisabah dari tawanan mereka. Banyak diantara Bani Amir yang terbunuh waktu itu. Akhirnya Qaisabah dapat dibebaskan. Begitulah, datangnya kelapangan setelah kesempitan dengan doa dan kembali kepada Allah.