Wafatnya Ahmad bin Hanbal

Ahmad bin Hanbal rahimahullah wafat pada tahun 241 H dalam usia 77 tahun. Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah sakit pada malam Rabu, malam kedua bulan Rabiul Awal tahun 241 H. Dia sakit selama sembilan hari. Berita itu diketahui orang banyak sehingga mereka datang menjenguknya dan bahkan menginap di depan pintu rumahnya. Terkadang dia izinkan orang-orang untuk masuk lalu mereka masuk berbondong-bondong dan memberi salam kepadanya dan  dia menjawab dengan tangannya.”
Abu Abdillah berkata, “Salah seorang pembantu Ibnu Thahir (gubernur daerah itu) datang dan berkata, ‘Gubernur menyampaikan salam kepadamu dan sangat ingin menjengukmu.’”
Aku berkata kepadanya, “Ini yang tidak aku suka dan Amirul Mukminin sendiri sudah membebaskanku dari apa yang tidak aku suka.”
Di hari Jumat manusia datang berduyun-duyun sehingga memenuhi jalan dan lorong-lorong. Beliau wafat pada siang hari. Banyak orang menangis dan seolah-olah dunia berguncang dengan wafatnya Ahmad bin Hanbal.
Salah seorang kerabat Ahmad bin Hanbal berkata, “Ketika Abu Abdillah berada di penjara, al-Fadhl bin Rabi’ memberinya tiga helai rambut dan dia berkata, ‘Ini adalah rambut Rasulullah saw..’ Maka, Abu Abdillah mewasiatkan agar meletakkan sehelai dari rambut itu di kedua matanya dan sehelai lagi di lidahnya. Wasiat itu pun dilaksanakan ketika  dia wafat.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Ketika ayah wafat, aku duduk di dekatnya sambil memegang kain untuk mengikat jenggotnya. Dia mulai berkeringat kemudian sadar kembali. Lalu dia buka kedua matanya dan mengisyaratkan dengan tangannya sambil berkata, ‘Belum lagi... belum lagi....’”  Dia lakukan hal itu sampai dua kali. Pada ketiga kalinya aku bertanya kepadanya, ‘Ayah, apa yang ayah ucapkan pada saat-saat seperti ini? Keringatmu bercucuran sehingga kami kira engkau sudah tiada lalu engaku sadar dan berkata, 'Belum lagi... belum lagi...'”
Dia berkata kepadaku, “Wahai anakku, tahukah kamu apa yang aku katakan?”
“Tidak,” jawabku.
“Iblis berada di depanku sambil menggigit jari-jariku dan berkata, ‘Wahai Ahmad, kamu telah menghancurkanku.’ Lalu aku berkata, ‘Belum lagi...belum lagi sampai aku mati.’”
Jenazahnya dihadiri lebih kurang delapan ratus ribu orang laki-laki dan enam puluh ribu wanita.

Wahb bin Qabus dan Keponakannya, al-Harits, dan Keridhaan kepada Allah

Muhammad bin Sa’ad berkata, “Wahab bin Qabus al-Muzani dan anak lelaki saudara perempuannya, al-Harits bin Uqbah, datang dengan kambing-kambing ke Madinah dari gunung Muzayyanah. Lalu keduanya mendapati Madinah dalam keadaan sepi. Lalu Wahab bin Qabus bertanya kepada orang yang ada di situ, “Mana orang-orang?”
Dia menjawab, “Di Uhud”.
Kemudian keduanya masuk Islam, lalu pergi menemui Rasulullah saw. yang sedang berperang di Uhud, dan ketika itu orang-orang muslim dalam posisi terdesak.
    Maka keduanya pun ikut berperang bersama orang-orang muslim dengan penuh semangat. Ketika itu sekelompok orang-orang musyrik telah memisahkan diri. Lalu Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah yang akan menghadapi sekelompok orang-orang musyrik itu?”
Wahab bin Qabus al-Muzani menjawab, “Saya”.
Lalu Qabus al-Muzani berdiri dan mengusir mereka dengan pedangnya, hingga mereka pun menjauh. Lalu Qabus al-Muzani mendatangi Nabi saw..
Kemudian muncul sejumlah orang-orang musyrik yang lain kembali muncul. Maka Rasulullah saw. bertanya, “Siapa yang akan menghadapi mereka?”
Qabus al-Muzani menjawab, “Saya”.
Maka Rasulullah saw. pun bersabda, “Berdirilah dan engkau akan mendapatkan surga”.
Maka dengan bahagia Qabus al-Muzani pun berdiri dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan mundur dan tidak akan minta untuk mundur”.
Lalu dia pun menyerang orang-orang musyrik tersebut dengan pedangnya, hingga dia turun dari bagian atas gunung. Kemudian dia pun terbunuh dan orang-orang musyrik pun merusak tubuhnya.
Kemudian keponakannya pun bangkit lalu berperang melawan musuh sebagaimana yang dia lakukan. Kemudian keponakan juga ikut terbunuh.
Lalu Rasulullah saw. berdiri di dekat jasad keduanya, lalu bersabda, “Semoga Allah meridhaimu dan saya ridha terhadapmu”.
Rasulullah saw. mengatakannya untuk Wahab. Kemudian Rasulullah saw. berdiri di sisi kedua kakinya, dan di tubuh Rasulullah saw. sendiri banyak luka yang membuat beliau sulit untuk berdiri. Akan tetapi beliau tetap berdiri, hingga meletakkan Qabus al-Muzani di liang lahatnya. Umar dan Sa’ad bin Malik pun berkata, “Kondisi kematian seperti apa yang lebih kami senangi dari pada kondisi seperti Qabus al-Muzani ketika bertemu Allah?”