Merpati Nabi Ibrahim

“Dan ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. “Allah berfirman: “Belum yakinkah engkau?” Ibrahim menjawab: “Aku telah yakin, akan tetapi agar hatiku tetap mantap.” Allah berfirman: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya.Kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagianburung itu, lalu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Al-Baqarah: 260)

Kami terbang bersama dalam sebuah formasi yang sangat indah di langit biru...
Kembali menuju tanah air kami...

Tanah air kami bukanlah bangunan biru yang telah dibangun oleh Ibrahim Khalilullah. Tanah air merpati biasanya terpisah-pisah dan terpencar di berbagai tempat. Merpati membawa setengah tanah airnya di dalam hatinya dan setengah lagi di hati orang yang dicintainya

Aku berada di baris terdepan sekawanan merpati. Kukepakkan sayap, kuangkat paruh setinggi mungkin lalu aku mulai terbang dengan cepat. Kawanan merpati lainnya mengikutiku. Kugerakkan sayapku sambil meliuk-liuk di udara. Jika udara adalah sebuah kenikmatan yang tiada tara berarti aku saat ini sedang berenang dalam sebuah kenikmatan yang tiada tara.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku seekor burung.

Aku tak tahu bagaimana para makhluk yang merayap di muka bumi bisa bertahan hidup. Di udara terdapat seribu kenikmatan yang tak akan dirasakan kecuali oleh siapa yang sedang berada di atas ketinggian.

Dari udara akan tampak sawah ladang yang hijau dan subur. Sementara kalau di bumi tingkat kehijauan itu akan terlihat berkurang, bahkan debu pun akan masuk ke dalam mata dan membuatnya menangis.

Aku pernah mengalami sebuah peristiwa memilukan untuk pertama kalinya dalam hidupku. Segala puji bagi Allah yang telah menciptakannya untukku; seekor merpati betina putih bernama Nasya.
Ia mempunyai nama lain sebelum mengenal arti cinta. Merpati akan merubah namanya ketika merasakan cinta.

Nama lama tak lagi memadai untuk membuktikan sebuah zat baru yang lahir setelah cinta. Kami tahu ada sebuah zat baru yang akan lahir setelah cinta bersemi.
Kami mengetahui segala rahasia cinta.

Kami mencintai Sang Pencipta yang telah menciptakan kami dari tiada. Tiga perempat cinta kami, kami persembahkan untuk Allah.
Kami mencintai udara yang membawa kami bersama lantunan nada... Seperdelapan dari sisa cinta kami adalah hadiah untuk udara.

Kami juga mencintai manusia dan kami beri mereka makan dari daging kami tanpa mengeluh sedikitpun... Seperenam belas cinta kami yang masih tersisa adalah untuk manusia..

Sisanya adalah cinta kami pada betina...
Tinggallah cinta kami pada betina sebesar biji gandum..
Manusia sering menganggap kecil biji gandum dan mencampakkannya di atas tanah.

Padahal seluruh ladang gandum berharga yang telah memberi makan berjuta-juta orang semua berasal dari satu biji gandum.

Dalam pandangan kisah-kisah cinta maha agung, sebuah cinta kecil tak lagi berharga...
Nilai sebuah cinta sesungguhnya tersimpan dalam kemampuannya untuk selalu memberi energi... dan kami bercinta sampai mati karenanya..

Ketika ibu sakit dan akhirnya mati, ayah merasakan sebuah pukulan yang sangat berat dan begitu menghantuinya. Saat itu kami masih kecil. Kami perhatikan ayah selalu berpergian dan berkelana.

Ketika ayah menggendong ibu menuju peristirahatan terakhir, kepalanya tertunduk dan ia tak mampu berkata apa-apa.

Hari pertama ia masih membisu, tidak mau terbang, makan ataupun minum. Ia buka paruhnya lalu ditutupnya kembali seolah ia ingin mengucapkan sesuatu. Hari kedua ia tidur sambil menelungkup. Ia masih diam dan tidak mau makan, minum, terbang atau sekedar untuk membuka paruhnya.

Hari ketiga ia tidur menelentang lalu menarik nafas panjang seakan-akan sebuah gunung sedang ditimpakan ke dadanya
Di pagi hari keempat paruhnya sudah tersembunyi di balik sayapnya. Ia telah mati...

Ketika mereka membawanya pergi dari hadapan kami, sayapnya basah seakan-akan ia menangis setelah mati.
Kami masih kecil, belum mengerti bahwa cinta adalah sebuah bangunan yang sangat kokoh di alam ini.

Seluruh alam ini dibangun atas dasar cinta, kejujuran dan perdamaianSalah seekor merpati membawa setangkai dahan zaitun dari kapal Nabi Nuh saat badai topan telah menghentikan amukannya dan menyerah pada ketentuan Allah.

Sejak saat itu merpati menjadi simbol perdamaian sejati..
Manusia sudah mengenalnya dari kami...
Namun mereka tidak mengetahui bahwa merpati juga simbol kejujuran, cinta dan kebangkitan... Kebangkitan dari kematian...
Tak ada yang memahami makna kebangkitan dari kematian selain mereka yang mengenal cinta.

Cinta itu sendiri adalah kebangkitan dari kematian sebuah kebiasaan, kejenuhan dari kebersamaan dan kehampaan sebuah makna....
Ketika hati sebuah makhluk gagal merasakan cinta, maka dibangkitkanlah semua yang mati dalam dirinya.Bagaimana mungkin sebuah makhluk percaya pada kebangkitan hati tapi mengingkari kebangkitan badan....
Ya....

Dalam cinta ada saat-saat dimana ia akan menyeru para penyembahnya untuk bangkit dari tidur.
Kekuatan manakah yang mampu memanggil mimpi-mimpi sejarah dari sarangnya yang sudah berdebu selain kekuatan cinta...
Maha tinggi Allah dan Maha Suci asmaNya..


Aku masih terbang diangkasa...
Kembali padanya... pada Nasya...
Pertama akan kurendam paruhku ke dalam air yang telah disediakan Ibrahim untuk kami.
Kurendahkan diriku saat menyebut nama Ibrahim.
Pemilik rumah kami dan juga Baitullah.
Yang senantiasa melangkah menuju Allah.
Kekasih Allah...

Betapa aku sangat mencintainya....
Mustahil ada makhluk yang dekat dengan Ibrahim tapi tidak terpengaruh.
Dialah orang pertama yang mempersembahkan kalbunya pada undang-undang penyatuan cinta.

Yang telah menyalakan jasadnya yang mulia untuk menyinari seluruh makhluk.
Ia pernah dilempar oleh musuh-musuhnya ke dalam api. Api bumi itu padam dalam lautan api langit yang membara dalam hatinya.
Api tak akan membakar api yang lebih besar darinya
Tak ada yang lebih besar dari api cinta

Nasya...
Jantungku berdebar bila mengingatnya...
Ia putih dan kurus. Paruhnya biasa. Tak ada yang istimewa pada tubuhnya.
Barangkali aku lebih indah darinya. Merpati jantan biasanya lebih indah dari merpati betina. Tapi keindahaan ini sesungguhnya hanyalah sebuah kelemahan yang tak tampak. Dalam tubuh betina yang kurus dan dalam ketidakberdayaan mereka ada sesuatu yang tak dapat dilawan.

Tak ada makhluk yang serupa persis dengan makhluk yang lain.
Nasya tak serupa dengan merpati manapun di bumi ini.
Boleh jadi ia merpati yang kurang menarik. Boleh jadi langkahnya menampakkan sebuah kepercayaan diri meskipun dibalik itu sesungguhnya tersimpan kelemahan yang sulit diungkapakan.

Oh...
Aku ingat saat pertama kali aku jumpa dengannya...
Ia sedang menangis...
Ada butiran-butiran debu masuk ke matanya sehingga ia menangis...

Kukembangkan sebelah sayapku untuk melindunginya dari debu. Lalu dengan penuh lembut ia menyampaikan rasa hormat lewat kibasan ekornya....
Belum ada dialog antara kami...

Kuangkat kepala dengan cepat, kuputar lalu aku menoleh padanya.
Kuputar kepala dan aku berjalan... berjalan mengitarinya dan mengelilinginya. Kukepakkan sayapku disekitarnya... aku terbang disekelilingnya. Aku terus berputar dan berputar.... kepalaku ikut berputar... hatiku juga berputar...sementara ia hanya diam memandangiku.

Apakah aku baru saja mendemonstrasikan kekuatan, keperkasaan dan kelembutanku dalam waktu yang bersamaan?
Ataukah aku baru saja menggodanya sebagaimana yang disangka manusia?
Apakah aku telah berbicara dengannya lewat bahasa diam yang terkadang dapat menyampaikan banyak hal lebih dari kata-kata?
Aku tidak tahu...
Barangkali semuanya sudah kulakukan... Barangkali juga semua itu kulakukan tanpa kusadari.

Aku katakan, aku tidak tahu...
Dalam kamus cinta istilah ‘aku tidak tahu’ sangat dominan.
Apa yang diketahui oleh seorang pecinta biasanya hanyalah bayangan yang ia lukiskan dalam dirinya tentang orang yang ia cintai. Adapun hakikat sesungguhnya tetap menjadi milik Allah semata.

Kami berbincang sebentar...
Seolah kata demi kata yang mengalir dari paruhnya bagaikan nyanyian Bulbul atau dendangan Karwan.

Kata-kata itu memiliki makna baru karena keluar dari mulutnya....
Bergeraklah mata air perdamaian silam yang dulu telah dibawa oleh salah seekor moyangku ketika ia kembali dengan setangkai zaitun diparuhnya.
Tumpukan es di puncak bukit meleleh. Awan menaungi bunga-bunga musim semi dan membelai pucuk-pucuknya serta menciumnya. Musim semi lahir dalam hatiku.

Inikah yang disebut cinta...
Aku bertanya padanya: “Siapa namamu?”
“Nusyka”, jawabnya.
“Tak lama lagi, ia akan menjadi nama yang usang.”
“Angin membawa jauh kata-katamu hingga aku tak bisa mendengarmu.”
Aku diam.

Aku berputar di sekitarnya. Kukepakkan sayap. Aku terbang tinggi lalu secepat kilat menukik tajam. Aku berputar disekelilingnya, dengan hati yang penuh kasih dan jiwa yang lembut. Aku gemetar, meliuk-liuk, berputar-putar, berkeliling...
Selesailah pertunjukanku. Aku merasa kehilangan pribadi lamaku...

Kami sering bertemu di halaman rumah Ibrahim.
Itulah rumah satu-satunya yang menebarkan biji-bijian untuk merpati, makanan untuk semut, membuka pintu untuk para tamu dan menyembelih dombanya yang paling gemuk ketika malaikat berkunjung yang ia sangka para tamu dari bangsa manusia.
Kami berempat berlindung di rumahnya.
Dia, aku dan dua yang lain.
Nusyka yang dulu sudah mejadi Nasya.
Suatu hari ia datang padaku dan berkata: “Katakan padaku, seperti apa aku yang kau inginkan?”

Kusandarkan paruhku di lehernya dan aku berbisik: “Aku tak inginkan selain dirimu, aku ingin engkau sebagaimana adanya.”
“Aku tidak cantik. Merpati yang lain tak ada yang menyukaiku. Mereka tak mau memberiku makan.”
“Aku yang akan memberimu makan dari separuh hatiku.”
“Separuhnya lagi?”
“Mungkin engkau akan merasa lapar lagi setelah itu.”
Kubelai lehernya dengan pelan.

Kami berjalan di atas tanah. Kutunjukkan padanya sebuah biji gandum dengan paruhku. Ia menjawab dengan salah satu sayapnya bahwa ia tidak lapar.
Kami berjalan bersama di atas pohon. Kutunjukkan padanya buah-buahan tetapi ia tidak mau makan. Kami terbang bersama di udara yang begitu dingin berhembus dari utara. Tiba-tiba sayap kami menggigil.
Ia bertanya: “Apakah udara ini melewati salju sebelum ia datang?”
“Salju sudah meleleh beberapa hari yang lalu”, jawabku.
“Tapi aku menggigil. Jangan pernah tinggalkan aku.”
“Mari kita bermain untuk memanaskan udara”, ajakku.

Kami lalu terbang sambil mengepakkan sayap. Kami menghembuskan nafas di udara hingga panas pun kembali.
Kami hinggap di sebuah pohon. Rantingnya sedikit oleng saat kami hinggap di atasnya.
Kutundukkan kepala memandangi bumi.
Dengan tubuh masih gemetar aku berpikir, apakah cinta kami menyimpan secercah kepedihan. Apakah salah satu di antara kami akan mati duluan. Hawa dingin menusuk hatiku.

Ia menoleh padaku sambil berbisik: “Aku ingin kau di sisiku saat aku mati”.
“Hidup ini belum dimulai”, sahutku.
“Kematian bukanlah sesuatu yang memilukan sebelum aku mengenalmu...”, desahnya.
Mentari merangkak menuju barat. Perlahan ufuk barat berubah berwarna darah seperti darah merpati. Bayang-bayang disembelih menghantui pikiranku. Aku tidak ingin disembelih sekarang. Aku ingin hidup lebih lama lagi...

Aku belum memulai cintaku oh Tuhan...
Aku berdoa pada Allah. Doa yang panjang. Ia juga turut berdoa.
Kami pulang bergandengan menuju rumah.
Ia lebih dulu tidur. Sementara aku masih terjaga. Tapi kemudian rasa kantuk mulai menyerang.

Kulihat diriku terbang di langit yang putih bersih dan bumi yang hijau ranau.
Aku terbang tinggi sekali. Lebih tinggi dari elang.
Awan-awan yang putih berada di bawahku.
Kulihat Nasya tidur di atas awan. Kupandangi ia dengan tajam. Ia tidak tidur.
Aku terkejut melihat bulu, sayap dan badannya berserakan.
Aku ingin berteriak tapi awan itu sudah berubah dari putih menjadi merah.

Awan telah meminum darahnya dan hujan pun mulai turun.
Hujan mengeluarkan air mata sebesar biji anggur merah.
Aku ingin berteriak... atau menangis... atau segera turun.
Aku terkejut. Awan itu hancur berantakan. Kusaksikan Nasya sudah terpotong-potong dan badannya berserakan di puncak bukit.
Kulihat diriku juga terkoyak-koyak disampingnya di puncak bukit.
Aku bermimpi sedang terbang dan di saat yang sama kulihat diriku berserakan di puncak bukit bersamanya.

Sebagian punggung kiriku melekat dengan sebagian punggung kanannya.
Setiap setengah bagian tubuh kami saling menyempurnakan setengah yang lain..
Aku terjaga dalam keadaan takut. Kulihat ia masih bernafas di sampingku.
Sang kekasih masih ada. Ia masih segar seperti biasa. Tarikan nafasnya menerbangkan beberapa helai bulu lehernya.
Aku masih membolak-balik badan beberapa saat hingga akhirnya aku tenggelam dalam rasa kantuk.

Akhirnya pagi pun menjelang...
Aku bangkit dalam kondisi sangat lemah setelah mimpi-mimpi aneh semalam.
Aku terbang sebentar agar lebih segar.
Aku terbang tanpa melihat ke sekelilingku. Pikiranku dihantui oleh bayangan itu. Banyangan kami dipotong bersama di atas bukit. Aku melayang-layang di udara.

Beberapa jam telah berlalu...
Tiba-tiba kulihat diriku sudah sangat jauh sekali dari kampung halaman dan tempat tinggalku.

Rupanya aku telah tersesat. Aku naik lebih tinggi. Aku berputar-putar di udara dan terbang dalam bentuk lingkaran sambil berusaha mencari tanda-tanda yang dapat menunjukkan daerah dimana aku mulai terbang tadi.
Aku tidak menemukan petunjuk apapun.

Daerah tempat aku terbang tadi adalah daerah pegunungan yang terjal.
Aku naik lebih tinggi lagi. Aku bergantung sepenuhnya pada penglihatanku tapi aku tak menemukan sama sekali tanda-tanda yang pernah kukenal.

Ketika aku mulai putus asa dengan penglihatanku, aku mulai mencoba menemukan arah dengan cara terbang lebih tenang sambil terus berusaha berhubungan dengan garis-garis kekuatan magnet yang terbentang di antara dua kutub bumi.

Ketika penglihatan pun sudah mengecewakanku, begitu juga garis-garis kekuatan magnet, akhirnya aku bergantung pada matahari untuk menemukan arah.
Aku ingin mengetahui sebuah sisi antara arah utara dengan matahari. Kalau aku dapat menemukan arah utara tentu aku akan menemukan arah-arah lainnya dan setelah itu aku akan pulang menuju arah timur.

Aku tenggelam memandangi matahari.
Saat aku menemukan arah yang aku cari, aku segera sadar bahwa aku sedang terbang di tengah perbukitan tempat para elang bersarang.

Aku hinggap dengan penuh rasa takut di sebuah sarang besar yang telah ditinggalkan oleh induk elang. Di dalam sarang itu ada seekor bayi elang.
Bayi elang itu satu setengah kali lebih besar dari ukuranku tapi ia belum bisa terbang.

Mungkin ia baru lahir kemarin. Aku merasakan sedang bergerak di dalam sarangnya.
Bayi elang itu mengangkat kepala botaknya dan paruhnya yang tajam lalu memandangku penuh sinis.

Aku berkata padanya tanpa suara: “Kurangi pandanganmu yang penuh musuh itu wahai pemangsa kecil. Belum tiba saatnya untuk melahap seekor merpati. Aku hampir tak mampu bernafas sampai akhirnya kulempar tubuhku ke udara secepat kilat seolah seribu elang tua tengah mengejarku. Aku terbang dengan cepat hingga akhirnya aku sampai ke pinggir kampungku.

Nasya berdiri disampingku.
Dengan tersengal aku berkata: “Aku selamat dari kematian yang tinggal selangkah lagi...”.
Ia berkata: “Sekarang tenanglah”.
Aku mulai tenang.

Ia mengepakkan kedua sayapnya. Udara sekitarku menjadi segar bercampur dengan aroma tubuhnya. keletihanku sudah hilang dan aku mulai merasa haus.
Ia tahu apa yang aku inginkan tanpa perlu kujelaskan. Ia segera menuju bejana berisi air dan memenuhi paruhnya lalu kembali untuk memberiku minum. Mulutnya di mulutku. Sayapnya menempel dengan sayapku. Hausku pada air sudah hilang berganti dengan hausku padanya.

Aku sampaikan hal itu padanya, lalu ia berkata: “Kawini aku...”.
“Aku kawini engkau”, sahutku.
“Semoga langit memberkati perkawinan kita”.
“Semoga diberkati juga oleh hati yang paling agung di muka bumi ini”, tambahku.
“Kekasih Allah; Ibrahim...”, sambungnya.
“Mari kita terbang bersama menemuinya...”, ajakku kemudian.

Kami beranjak dari halaman rumah Ibrahim dan masuk ke rumahnya.
Kami hinggap di sebuah tiang besar yang ia buat untuk tempat shalat.
Kami menunduk di depannya dan mencium kedua kakinya.
Kedua hati kami terbuai dalam cinta. Ibrahim mengulurkan kedua tangannya yang mulia dan mengusap kepala kami.
Kutarik kekasihku lalu kami terbang.

Kami rayakan hari pengantin kami di udara.
Kami undang awan, bintang-bintang yang bersembunyi di balik sinar mentari.
Kami undang matahari dan bulan yang bersembunyi di balik sinarnya. Kami undang seluruh makhluk Allah. Semuanya... untuk merayakan pesta ini.
Semilir ucapan selamat dari udara... ucapan selamt yang begitu tulus...

Kami empat merpati sudah menganggap rumah Ibrahim sebagai rumah kami...
Kemudian jumlah kami bertambah menjadi sepuluh ekor lalu menjadi dua puluh. Cinta telah mengungkapkan dirinya dengan beribu cara sehingga jumlah merpati-merpati kecil pun semakin bertambah.

Kami tahu banyak tentang kekasih Allah; Ibrahim waktu kami hidup di halaman rumahnya.
Ia banyak melaksanakan shalat, mengajak manusia pada kebaikan dan banyak berpikir.
Sebagai merpati biasa kami tidak mampu mengetahui tingkat kedekatannya dengan Allah atau dalam perasaannya pada Sang Pencipta. Apa yang kami tahu adalah ia banyak menyendiri.

Dalam salah satu khalwatnya ia tenggelam dalam perenungan, kemudian ia angkat kedua tangannya sambil memohon pada Allah.
"Dan ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. “Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah yakin, akan tetapi agar hatiku tetap mantap.” Allah berfirman: “Ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Istriku terlelap di samping anak-anak. Sementara aku duduk di luar sarang ketika tangan tuan kami; Ibrahim menghampiriku. Aku menyerah pada tangan suci itu.
Di tangannya yang lain ada sebilah pisau.
Pisau itu mendekati leherku.
Kutatap kilauan matahari di mata pisau itu.
Kilaunya menyebar di mata pisau itu.
Mata pisau itu mulai mendekati urat leherku sehingga aku bertambah pasrah.
Istriku berteriak tertahan.
Aku tidak merasakan apa-apa..
Mata pisau itu terhunjam di leherku.
Suara terakhir yang kudengar adalah jeritan isteriku. Setelah itu kudengar suara Ibrahim memanggil kami.
Sesaat berikutnya aku sudah terbang menuju Ibrahim bersama tiga ekor burung yang lain.

Kami sampai di pangkuannya lalu segera berhamburan.
Ibrahim sujud kepada Allah.
Aku tidak menemukan isteriku di sarang. Kulihat anak-anak sudah lapar sementara ia menghilang.
Aku mulai emosi. Aku pasti akan mengejarnya. Aku tahu dimana ia berada.
Dipinggir sebuah sungai tempat kami sering bertemu.
Aku terbang menuju sungai.
Isteriku sedang bertengger di dahan-dahan pohon sambil menatap tajam ke arah sungai tanpa bergerak.

Aku hinggap di dahan di sampingnya tapi ia tidak menoleh... Oh Tuhan, apa yang terjadi padanya, apakah ia sakit?
Ia masih tak menoleh. Air matanya mengalir deras. Ia berkata: “Pikiranku terguncang, seolah aku masih mendengar suaranya seakan-akan ia masih hidup”. Kata-katanya membuatku bingung. Kukepakkan sayap dan kupukul ia sekuat-kuatnya. Ia menoleh ke arahku.

Baru saja ia melihatku ia langsung menjerit histeris: “Ya Tuhan, bagaimana mungkin? Bukankah engkau...”
Ia mulai gemetar. Ia coba menghimpun segenap kekuatannya. Tiba-tiba ia berkata: “Bagaimana kau bisa hidup kembali kekasihku? Kau telah disembelih Ibrahim...”

Tiba-tiba aku teringat pisau itu. Kubentangkan sayapku disekitarnya untuk menenangkan rasa cemasnya, lalu aku berkata padanya: “Ceritakan semuanya padaku!”.
“Ibrahim telah membantaimu di depan mataku. Tubuhmu dipotong-potong bersama tiga ekor buung yang lain lalu ia serakkan potongan-potongan itu diatas buki..
“Ibrahim tidak membantaiku tapi ia memanggilku lalu aku segera memenuhi panggilannya”.
“Sungguh, ia telah membantaimu di depan mataku kekasihku.”
“Nyatanya aku masih hidup”.
“Aku hampir tak percaya kau masih hidup. Oh, kekasihku...”
Ia menghambur ke dalam pelukanku.
Tiba-tiba pikiranku mulai menemukan titik terang apa yang sebenarnya terjadi.
Nasya mengatakan kalau Ibrahim telah membantai empat ekor burung dan memotong-motong tubuh kami, kemudian meletakkannya di puncak bukit. Setelah itu ia lalu kembali kerumahnya.

Nasya mengikutinya kemudian ia menangis menyaksikan setengah tubuhku yang telah tercincang-cincang. Ibrahim meninggalkannya dan beranjak pergi. Nasya menangis sejadi-jadinya kemudian ia terbang menuju atas pohon itu.
Beberapa saat kemudian ia terkejut melihatku sudah berada disampingnya.
Lebih dari satu jam kami berbincang-bincang. Perasaan kami meluap-luap. Nasya gemetar saat berkata: “Ia telah membantaimu di depan mataku”.
Tapi aku dengan tenang berkata: “Ibrahim telah memanggilku dan aku segera datang”.
Ketika kami akhirnya sepakat bahwa aku telah disembelih dan kemudian aku bangkit dari kematian, aku mulai bertanya-tanya bagaimana mungkin ini terjadi?
Kata-kata “bagaimana” itu tenggelam dalam air sungai bagai sebuah rahasia yang sulit diungkap.

Tiba-tiba Nasya berkata: “Bukankah Ibrahim pernah berkata: “Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati?” Ibrahim meninggalkan bukit itu dan membiarkanmu dalam keadaan terbantai lalu ia kembali. Kemudian ia memanggilmu sehingga kau segera datang menghampirinya”.
Aku bertanya keheranan: “Untuk apa...?”.
“Boleh jadi Khalilullah ingin melihat 'tangan' Sang Pencipta bekerja, namun tirai ghaib sudah menutupi semua rahasia sehingga ia tidak melihat selain hasil belaka”.
Oh Tuhan... tapi bagaimana mungkin?
Ia kembali bermain di permukaan air.
Aku bergumam: “Jika Khalilullah saja tidak tahu bagaimana aku bisa kembali hidup, apatah lagi aku??”.

Aku mula bertanya-tanya, kekuatan apa ini yang mampu memanggil makhluk yang sudah mati lalu hidup kembali dan segera memenuhi panggilan itu?
“Itulah kekuatan cinta”, jawab Nasya. “Apakah engkau lupa bahwa Ibrahim adalah kekasih Allah (Khalilullah)?”

Jauh sebelum itu Ibrahim hampir saja menyembelih anak yang paling dicintainya. Orang yang mampu menyembelih anaknya karena cinta pada Allah sudah tentu juga mampu memanggil burung yang telah mati berserakan lalu burung-burung itu hidup kembali dan segera memenuhi panggilan itu.

Dalam kedua peristiwa itu ada kekuatan cinta.
Aku berkata: “Aku semakin bingung. Apa hikmah di balik semua ini...”
Nasya menjawab: “Aku tak punya jawabannya, duhai belahan jiwaku... Apa yang kuketahui wahai kekasihku adalah Allah ingin menenangkan hati Ibrahim di saat ia tengah mencari sebuah ketenangan.. Allah juga menenangkan hatimu yang telah disembelih dengan kehadiran seekor betina. Allah pun menenangkan hatiku dengan kembalinya dirimu padaku setelah aku sempat kehilanganmu. Allah telah mengembalikanmu padaku dan telah mengembalikan Ibrahim pada dirinya sendiri, apalagi yang kau inginkan lebih dari itu?”.
“Betapa Allah sangat mencintai Ibrahim”, gumamku.
“Betapa Ia juga mencintaiku dan mencintaimu”, sahut Nasya.

Onta Nabi Shaleh

"Onta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, kamu akan ditimpa siksaan yang pedih"
(Surat Al-A'raf:73)

Aku semata-mata adalah kebaikan yang tidak mengenal kejahatan, lebih suci dari semua yang suci. Itulah aku...
Aku tak pernah menyakiti siapapun sebelum dan setelah aku dilahirkan. Tapi meskipun demikian aku telah disembelih tanpa satupun dosa yang kuperbuat. Meskipun Allah telah mengancam orang yang melakukan itu... Meskipun semua itu aku telah dibantai...
Membantaiku sama artinya dengan membantai kesucian di permukaan bumi, dan boleh jadi tragedi pembantaianku adalah awal munculnya undang-undang yang memaksa kebaikan untuk mempersembahkan darahnya pada drama pembantaian kehidupan. Ya... hidupku memang menakjubkan.

Aku dilahirkan di pangkuan sebuah gunung yang tinggi dengan satu kalimat dari Allah. Aku adalah bagian dari batu-batu gunung yang besar. Aku tak mengenal diriku selain sebagai sebuah bongkahan batu. Kemudian batu yang keras itu berubah menjadi daging yang lembut, darah mengalir dalam urat dan membentuk susu. Dadaku penuh dengan air susu. Setelah aku melahirkan, aku beri anakku minum dengan susu yang telah diberkahi Allah. Aku telah memberi minum beribu-ribu orang-orang kelaparan dan kehausan dari air susuku.

Sehari mereka kuberi minum dan di hari berikutnya aku memberi minum anakku yang masih kecil.

Aku tak mengenal orang-orang yang telah kuberi minum dari air susuku... aku tak mengenal mereka dan nama-nama mereka. Aku memberi mereka minum secara cuma-cuma tanpa bayar, selain mereka harus bersyukur pada Allah ketika dahaga mereka hilang.
Tapi meski begitu tetap saja aku dibunuh. Hari itu sebilah pisau mendarat di leherku. Aku sekarang sudah mati. Aku sudah mati beberapa detik yang lalu. Ketika sadar aku telah mati aku mencari tinta untuk menulis tapi aku tidak menemukan selain seutas benang yang basah oleh darahku. Dengan itulah aku tulis kisah ini, maka seandainya kisah ini tidak sempurna, itu bukan karena aku tak mau menyempurnakannya...

Aku mati dan sebuah senyuman masih mengambang di wajahku. Apakah seekor onta dapat tersenyum? Ya, bila ia benar-benar seekor onta, bila ia adalah penjelmaan seekor hewan dan simbol sebuah ayat. Ketika anda menjadi sesuatu dan di saat yang sama simbol bagi sesuatu yang lain maka anda tak akan pernah mati... atau anda akan mati tapi sebuah senyuman tetap mengambang di wajah anda, orang mengira bahwa anda sedang tidur, dan anda akan bangun lagi...Ya, alangkah besarnya malapetaka yang timbul dari perasaan manusia bahwa mereka akan mati dan tidak akan dibangkitkan untuk selama-lamanya.

Itulah malapetaka orang yang telah membunuhku. "Onta shaleh", itulah namaku dalam sejarah manusia dan "onta Allah" inilah namaku dalam kitab-Nya. "Wahai kaumku, onta Allah ini menjadi tanda bagimu..."

Allah telah menisbahkanku pada-Nya sebagai sebuah kemuliaan bagiku. Aku adalah 'onta' dan bukan hanya onta (biasa). Aku adalah penjelmaan untuk onta, sementara pada hakikatnya aku adalah satu ayat diantara ayat-ayat Allah, dan semua yang ada di alam ini adalah penjelmaan dari ayat. Dari mana aku mesti mulai...
Kelahiranku menjadi sebuah kejutan bagiku sebelum menjadi kejutan bagi kaum Shaleh. Aku terkejut tiba-tiba aku lahir. Kejutan hidup setelah sebelumnya tiada ini membawaku pada perasaan yang baru. Sejujurnya, perasaanku sangat asing. Aku menyadari sedang memakai kulit onta meskipun aku sesungguhnya bukanlah onta. Aku tahu, aku adalah simbol kesucian di dunia yang membenci kesucian.

Aku adalah cinta semata-mata menghadapi kebencian semata-mata. Posisiku sangat sensitif dan rumit. Aku membawa badan, tabiat dan perangai seekor onta tapi di saat yang sama, terlepas dari tampilan fisik ini aku mengandung sesuatu yang tak ada hubungannya sama sekali dengan dunia fitrah binatang. Batinku mengandung suatu alam yang maha luas dan agung yaitu alam ayat-ayat Allah. Setelah lahir aku memahami kisah kelahiranku sebagai sebuah mukjizat.

Aku dilahirkan di tengah-tengah kaum Tsamud. Mereka adalah kaum yang kuat syahwatnya dan lemah akalnya. 'Musibah' ini ditambah lagi dengan kekayaan dan kemampuan untuk melampiaskan syahwat itu. Mereka menyembah berhala. Tapi tidak seluruh masyarakat yang tenggelam dalam kesalahan yang besar ini. Masih ada yang mau memikirkan alam di sekitarnya lalu akhirnya beriman pada Allah, meskipun sebagian besar dari mereka hanyut dalam penyembahan terhadap kepentingan pribadi, harta benda dan segala bentuk berhala hawa nafsu yang tak ada batasnya.
Kemudian Allah berkhendak mengutus seorang nabi pada kaum Tsamud yang Allah pilih dari orang yang paling bertauhid, suci dan baik di antara mereka, lalu Allah utus dia pada kaumnya.

Namanya mengandung hakikat yang sangat dalam dan indah.
Shaleh, itulah namanya. Ia berkata pada kaumnya: "Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak punya tuhan selain-Nya." (Surat Al-A'raf:73). Kata-kata yang sama yang juga diucapkan sebelumnya oleh Hud, Nuh dan seluruh nabi dan rasul-rasul Allah. Kata-kata yang sama yang telah mereka ucapkan sebelumnya, ia ucapkan lagi setelah mereka. Kata-kata itu tak berubah dari satu nabi ke nabi yang lain. Amanah kenabian pada intinya tersimpan dalam sembilan kata itu: "Wahai kaumku, sembahlah Allah kalian tidak punya tuhan selainNya..."

Beribadah pada lahirnya tampak mudah, sesuatu yang fitrah, nyata dan sangat hakiki, tapi ia sebenarnya -dalam realitas sosial- sama dengan sebuah revolusi. Karena arti dari merealisasikannya adalah meninggalkan seluruh tuhan-tuhan yang telah disembah dan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan tuhan-tuhan tersebut dalam anggapan manusia. Dan ini artinya merubah masyarakat dari dasarnya, mengulang peletakan nilai-nilai dan visi-visinya, mengulang dari awal pembangunan moral dan adat kebiasaan, menghancurkan segala bentuk perkumpulan yang didirikan atas dasar kesyirikan, dan ini juga berarti akan ada berbagai kepentingan yang akan runtuh dan lenyap sehingga kepentingan-kepentingan tersebut akan membela dirinya dengan ketajaman senjata. Senjata pertama yang diarahkan kaum Tsamud pada nabi Shaleh adalah perkataaan mereka: "Buktikan bahwa engkau nabi!"

Sebelum kaun Tsamud menuntut nabi mereka untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar seorang nabi, mereka berbicara padanya tentang sesuatu yang sangat aneh dan mengherankan.

Nabi Shaleh melarang mereka menyembah berhala-berhala yang disembah oleh nenek moyang mereka dan mengajak mereka untuk menyembah Allah, sang Khalik yang telah menciptakan segala-galanya. Tapi apa kata mereka: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." (Surat Hud:62)

Cara pandang mereka -menurutku seekor onta- tampak seperti sebuah teka-teki atau dibuat-buat. Sebelum diutus menjadi nabi, mereka menaruh harapan besar pada Shaleh. Ilmunya sangat dihargai, akalnya sangat menakjubkan, ucapannya selalu dipercayai dan mereka telah berpikir untuk menjadikan Shaleh sebagai pimpinan mereka atau sesepuh suku Tsamud, tapi semua itu dirusak oleh seruan asing ini. Ia telah menyeru mereka untuk menyembah Allah semata. Apa yang akan mereka perbuat dengan tuhan-tuhan nenek moyang dan pendahulu mereka? Bagaimana mereka akan menanggung malu dihadapan sejarah nenek moyang seandainya tuhan-tuhan mereka tak lagi disembah?

Perhatikanlah logika terbalik ini, yang ditolak oleh lahirku sebagai binatang dan batinku yang terang bercahaya. Sesungguhnya logika seperti ini seandainya diucapkan oleh seekor kambing pada seekor onta tentu ia akan mengolok-olok kambing itu. Seharusnya, selama Shaleh mereka hargai dan percayai, seruan kenabiannya juga mesti dihargai dan dipercayai, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Setelah dulunya mereka mempercayai Shaleh, sekarang mereka ragu padanya, "Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami." (Surat Hud: 62)

Shalih mencoba mengikuti logika mereka dan bertanya: "Bagaimana agar kalian percaya bahwa aku seorang nabi Allah?"
Mereka berkata: "Buktikan kalau engkau memang nabi! Engkau mengaku diutus oleh Allah dan kami meragui hal itu, jadi kenapa engkau tidak menunjukkan bukti atas klaim kenabianmu?"

Dengan dada lapang Shaleh bertanya: "Apa yang kalian ingin untuk aku tunjukkan?"
"Tunjukkan bukti atas kenabianmu!"
"Apa yang kalian inginkan?"
"Jangan beranggapan bahwa kami ingin ingin menekanmu... kami hanya ingin sesuatu yang luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kami menginginkan sebuah ayat dari Allah atas kenabianmu. kami ingin sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya..."
"Apa yang kalian inginkan?"
"Lihat gunung yang dekat itu, kenapa ia tidak bisa melahirkan seekor onta? Kenapa engkau tidak berdoa pada Allah agar gunung itu terbelah lalu keluarlah seekor onta dari dalamnya."
"Dan kalian akan percaya bahwa aku adalah seorang utusan Allah kalau itu bisa kulakukan?"

"Ya, ketka itulah kami akan percaya padamu, ketika itu saja..."
Salah seorang diantara mereka menyahut: "Bukan sebelum kau lakukan itu..."
Shaleh mencoba berdialog dengan kaumnya tentang jenis mukjuzat yang mereka desak itu. Ia berkata: "Kalian menginginkan sebuah ayat yang tampak nyata dan luar biasa, sementara ayat yang kalian minta ini berada di luar sunnah alam. Bukanlah sebuah adab ketika seorang hamba menuntut pada tuhannya sesuatu di luar sunnah alam agar mereka beriman pada-Nya."

Dengan suara keras mereka berkata: "Akui saja kalau engkau tidak mampu!"
"Perangai kalian seperti anak-anak yang menginginkan mainan ajaib. Dan ini bukanlah adab yang baik kepada Allah."
"Hai Shaleh, ketika engkau mengklaim dirimu sebagai seorang rasul, maka adalah hak kami menuntut engkau menunjukkan pada kami bukti atas klaim itu."
"Aku khawatir, kalau aku perkenankan tuntutan kalian ini, kalian akan mengingkari ayat ini suatu saat nanti, aku sangat takut azab Allah terhadap kalian jika tetap ngotot."

"Kami tak akan kafir, kami berjanji padamu bahwa kami akan percaya pada ayat tersebut dan tidak akan kami ganggu-ganggu."
"Kalian berjanji?"
"Kami semua berjanji padamu."
Ketika Shaleh menyadari bahwa mereka tetap medesak menuntut mukjizat tersebut, ia berdoa pada Allah untuk mengabulkan tuntutan kaumnya.
Akhirnya Allah mengabulkan tuntutan mereka. Keluarlah dari batu-batu gunung seekor onta, itulah aku. Begitulah aku dilahirkan, dengan kalimat Allah dan dari batu-batu gunung.

Mereka terkejut ketika melihat tuntutan mereka benar-benar terbukti. Mukjizat ini menyilaukan penglihatan mereka sehingga mereka hanya bisa bungkam dan tertunduk. Mereka menekurkan kepala dan mengakui bahwa Shaleh benar-benar adalah seorang utusan Allah. Mereka telah mengakui bahwa ia seorang nabi dan mereka berjanji untuk menerima dakwahnya.
Mereka semua pulang dan membiarkanku sendiri. Shaleh berkata pada mereka: "Allah mengancam kalian dengan azab yang sangat dekat jika salah seorang diantara kalian mengganggu onta itu." Mereka berjanji tidak akan mengganggunya sedikitpun.

Mereka berlalu... Shaleh juga berlalu... Semua meninggalkanku.
Aku mulai merasa kesepian dan asing. Aku bukan batu bukan pula onta. Aku adalah ayat yang menjadi pedang peringatan tuhan. Menggangguku berarti mengundang azab. Sebagai sebuah ayat dan seekor onta aku tidak mengerti siapa yang akan berani menggangguku. Aku tidak mengerti bagaimana mungkin terlintas dalam benak manusia untuk menyakitiku. Aku tak pernah membenci seorangpun diantara mereka, bahkan sebaliknya aku mencintai mereka semuanya tanpa terkecuali.

Aku berjalan sebentar di jalan-jalan kota...
Rumah-rumah mereka terbuat dari batu. Para hartawan mempunyai istana di pusat kota dan rumah-rumah pahatan di atas bukit. Aku terus berjalan.
Ketika manusia terbangun sehari setelah peristiwa mukjizat, hal pertama yang mereka lakukan adalah berkumpul di sekitarku. Mereka memandangiku dengan penuh kagum dan takjub. Sedikit saja aku bergerak mereka langsung takut. Setiap kali bergerak aku menggerak-gerakkan kepala dan ekorku sehingga mereka mundur dan menjauh sambil teriak-teriak seolah-olah aku melakukan suatu mukjizat dengan sekedar gerakan.

Awalnya hal itu sedikit membuatku risih. Lalu, aku mulai mengontrol kebebasanku. Aku tetap diam agar tidak membuat mereka takut. Setelah itu aku tetap diawasi. Mata mereka senantiasa membuntutiku kemana pun aku pergi. Mereka kembali berkerumun di sekitarku dan berbisik-bisik tapi aku tak bisa mendengar sedikitpun. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang memberanikan diri untuk maju dan mendekat padaku dan ingin meletakkan tangannya di leherku, tapi ia segera menarik tangannya sebelum sempat menyentuh leherku. Aku tahu ia hanya ingin mengusap kepalaku. Kutundukkan kepalaku dan kudekatkan pada anak kecil itu lalu ia mengusap kepalaku. Perbuatan anak kecil itu telah menghilangkan rasa takut manusia.
Mereka mendekat padaku dan meletakkan tangan mereka di tubuhku lalu mengelus-elusku seakan-akan mereka ingin memastikan keberadaanku yang sesungguhnya. Aku menyambut baik rasa suka yang ditampakkan oleh kaum Tsamud, dan cintaku pada mereka semakin bertambah.

Pada hari ketiga sejak kemunculanku di tengah-tengah kaum Tsamud, aku melahirkan anakku. Ia telah menarik perhatian manusia sebagaimana diriku atau bahkan lebih. Mereka mengusap-usap tubuhnya seakan-akan ingin meyakinkan diri mereka sendiri bahwa ia adalah onta sungguhan bukan khayalan.
Aku mulai menyusui anakku. Kaum Tsamud memandangi susuku dan membuat mereka dahaga. Mereka segera melaporkan pada nabi mereka, Shaleh, berita tentang anak onta yang baru lahir dan susu yang keluar dari dada induknya. Mereka berkata: "Kami ingin mengambil manfaat dari onta itu. Anaknya tidak akan mampu menghabiskan seluruh susu induknya dan boleh jadi susu itu penuh berkat."

Shaleh mengatakan pada mereka bahwa susuku dibolehkan untuk mereka dengan rahmat Allah tapi ia membagi air antara mereka dan aku. Ia berkata: "Kalian biarkan air untuk diminum onta itu dan kalian boleh meminum susunya. Lalu pada hari berikutnya kalian boleh meminum air dan biarkan susu onta itu untuk anaknya.."
Mereka setuju dengan usulan nabi mereka.

Mulailah keberadaanku sebagai sebuah sumber susu yang tak pernah habis. Allah telah memberkahi air susu yang aku produksi sehingga air susu itu dapat mencukupi mereka behaka lebih dari kebutuhan mereka sehingga mereka bisa membuat keju, minyak dan sebagainya dari susu itu.
Air susuku sangat lezat, siapa yang meminumnya tak akan pernah dahaga dan lapar. Aku sangat pemurah, sampai-sampai aku akan mengeluarkan putingku dari mulut anakkku untuk menyusui seorang anak dari kaum Tsamud yang tidak kukenal namanya.

Hari-hari berlalu...
Semua menyukai dan menyintaiku karena aku telah memberi mereka makan dan minum mereka. Tapi ini hanyalah cinta atas dasar manfaat yang akan hilang seiring hilangnya sumber cinta itu dan ia tak bernilai apa-apa dalam hitungan cinta utama. Aku tak akan berhenti hingga disini.
Aku dicintai oleh orang-orang mukmin yang fakir yang menjadi pengikut nabi Shaleh.

Mereka menamakanku dengan onta Allah, sementara para pemimpin masyarakat menyebutku dengan onta Shaleh. Seiring perjalanan waktu aku mulai merasakan bahwa ada tirai kebencian yang sangat pekat mulai menyelimuti dan mengepung diriku. Kemudian terjadilah dialog antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir: "Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri diantara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman diantara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus oleh Tuhannya? Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu." (Surat Al-A'raf: 75-76)

Dialog itu menghasilkan dua golongan yang sangat berbeda; golongan orang-orang beriman dan golongan orang-orang yang sombong. Pada mulanya golongan orang-orang yang sombong bertanya dengan sikap merendahkan: "Apakah kalian yakin kalau Shaleh adalah utusan tuhannya?" Pertanyaan itu adalah jebakan, tetapi objektivitas orang-orang beriman telah mengantarkan mereka pada jawaban yang benar. Mereka menjawab: "Kami beriman pada semua ajaran yang dibawanya". Orang-orang beriman tidak menghiraukan mukjizat yang luar biasa dan ayat yang sangat menakjubkan itu, tapi mereka langsung beriman pada ajaran-ajaran nabi Shaleh yang terangkum dalam beribadah hanya pada Allah.

Jawaban itu tidak menarik bagi orang-orang yang sombong itu bahkan mereka melihat dalam jawaban itu sebuah ketenangan yang semakin membakar emosi mereka. Mereka membalas: "Dan kami engkar dengan semua yang kalian imani." Balasan ini mengandung penghinaan dan peremehan pada orang-orang beriman serta merendahkan kepribadian mereka. Seakan-akan mereka berkata: "Keimanan kalian padanya itulah sumber keraguan kami dan itu pulalah rahasia dibalik kekafiran kami pada semua yang kalian imani."
Orang-orang beriman pulang ke rumah masing-masing dan para pembesar masyarakat itu juga kembali ke istana mereka. Hati mereka dipenuhi kemurkaan dan kebencian yang hampir tampak dalam tindak tanduk mereka.

Seorang tokoh senior dalam masyarakat Tsamud mengundang semua pemimpin dan ketua-ketua suku. Mereka masuk ke dalam ruangan yang luas di istananya dan dimulailah sebuah rapat sejarah. Semua yang hadir adalah orang-orang yang tidak beriman pada Shaleh dan juga denganku. Mereka melihat kami sebagai sebuah konspirasi untuk meruntuhkan sistem yang ada.

Sang pemimpin kaum berkata: "Sesungguhnya keberadaan onta yang dipelihara secara bebas itu telah melenyapkan kewenangan kita dalam suku." Semua hadirin sependapat dengan sang pemimpin. Salah seorang dari mereka menguatkan, "Sesungguhnya keberadaan onta tersebut akan selalu mengingatkan manusia pada ayat Allah dan meyakini kenabian Shaleh." Sebuah pertanyaan muncul: "Bagaimana jalan keluarnya?" Salah seorang yang paling kasar diantara mereka berkata: "Onta itu mesti dilenyapkan!"
Berakhirlah rapat sejarah terkenal yang diadakan kaum Tsamud itu mengenai diriku dengan melahirkan sebuah keputusan. Keputusan itu adalah: "Bantai!"

Pada awalnya semua yang hadir kaget dengan ide untuk membantaiku. Mereka beralasan bahwa Shaleh telah memperingatkan untuk tidak mengganggu onta apalagi membantainya dan ia mengancam siapa saja yang berbuat hal itu dengan azab yang sangat mengerikan setelah tiga hari berikutnya. Mereka terus berpikir bagaimana caranya bebas dan lepas dariku tapi mereka tak juga menemukan solusi apapun. Lalu diedarkanlah gelas-gelas berisi khamar mereka sehingga rara takut mereka menjadi sirna. Berkatalah pemimpin mereka: "Tak ada jalan lain selain membantai onta itu, karena keberadaannya menjadi ancaman serius bagi sistem yang berdiri yang didalamnya ada para sesepuh, pemimpin-pemimpin dan orang-orang kaya yang mempunyai banyak kepentingan. Semua masyarakat sangat terancam disebabkan onta tersebut." Mereka terus berputar-putar pada poin ini, gelas-gelas khamar itu juga berputar-putar di sekeliling mereka dan otak mereka juga ikut berputar-putar.

Beberapa jam setelah pembicaraan itu, konferensi mereka telah berubah menjadi konspirasi dan semua yang hadir sibuk menyusun kejahatan tersebut. Setelah tadi pertanyaannya: "Apa yang akan kita lakukan pada onta itu?" Sekarang pertanyaan itu menjadi: "Bagaimana cara kita membunuh onta itu?" Lalu berkembang lagi pada bentuk berikutnya menjadi: "Siapa yang akan kita tugaskan untuk membunuh onta itu?" Mulailah konspirasi itu dirancang dari dasar kejahatan manusia yang paling dalam.
Aku dapat merasakan semuanya. Aku tidak mendengar apa yang mereka katakan dan tidak juga mengikuti kata demi kata yang mereka ucapkan serta tidak mengerti bahasa mereka yang cepat dan tegas. Tapi meski demikian aku dapat merasakan segalanya.

Sebagai sebuah simbol bagi kesucian, aku dapat merasakan bahwa mereka ingin membantaiku dan mereka sedang merancang hal itu. Hal yang paling membingungkanku adalah aku tak mengerti apa sebabnya mereka ingin membantaiku? Kenapa? Kesalahan apa yang telah kulakukan pada mereka yang dapat menjadi alasan bagi mereka untuk membantaiku? Apa gangguanku pada mereka? Keburukan apa yang telah menimpa mereka yang datang dari dirku?

Tak ada jawaban apapun atas semua pertanyaan itu. Aku hanya tertunduk dan terus mempersembahkan susu dan rasa kasih. Aku dapat merasakan bahwa keputusan untuk membantaiku sudah keluar, tinggal lagi pelaksanaannya.
Suatu malam saat anakku menghangatkan badannya di dadaku, aku merasa sedih... sedih akan akhir sebuah kesucian. Kenapa manusia membantai kesucian di dunia ini... Aku semakin bingung tapi pemahamanku tetap saja seperti itu yaitu tidak pernah paham. Aku terus mempersembahkan susu dan rasa kasih.

Dua malam berlalu dan datanglah malam ketiga.
Aku merasakan bahwa inilah malam terakhirku di tengah-tengah kaum Tsamud. Sebuah perasaan yang sangat jelas tentang akhir hidup merasuk dalam diriku... semuanya akan berakhir. Terjadilah kesepakatan para pembesar masyarakat Tsamud dengan sembilan orang gembong-gembong kejahatan dalam kota. Sembilan orang itu memilih yang paling kuat dan kejam diantara mereka untuk ditugaskan membunuhku.

Aku tak tahu siapa saja nama-nama sembilan orang itu. Tapi aku tahu bahwa mereka meminum susuku bersama anak-anak mereka. Aku tak pernah benci pada siapapun atau minta upah pada siapapun. Allah menyebutkan mereka dalam ayat tapi tidak menyebut nama-nama mereka: "Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan." (Surat An-Naml: 48)

Merekalah perangkat-perangkat kejahatan. Adapun sang eksekutor adalah seorang lelaki yang diisyaratkan dengan kata-kata: "kawan mereka". "Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah mereka dan bersabarlah. Dan beritakanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya air itu terbagi antara mereka; tiap-tiap giliran minum dihadiri. Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya menangkap dan membunuhnya. Alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku." (Surat Al-Qamar: 27-30)

Orang yang diisyaratkan denga kata-kata "kawan mereka" ini sedang sempoyongan karena mabuk ketika ia masuk dan aku sedang terbaring. Pedang itu berkilauan di tangannya. Jiwanya lebih gelap dari malam yang gelap. Sebelum ia sampai, salah satu malaikat datang padaku. Dari gerakan sang malaikat aku dapat memahami bahwa aku akan mati. Aku juga memahami hal-hal lainnya. Aku memahami bahwa aku adalah musibah bagi kaum yang sombong.

Aku berdiri tegak ketika sang pembunuh itu masuk. Ia melihat padaku tapi pandangannya kabur karena ia banyak minum. Ia ayunkan pedang di tangannya dan aku segera melindungi anakku. Pedang itu melayang di telapak kakiku dan memisahkannya dari badanku. Aku tersungkur di tanah dalam keadaan sujud.
Sebuah azab yang sangat mengerikan telah berkumpul tiga hari setelah peristiwa itu. Aku dapat melihat kerasnya azab itu sehingga aku merasa kasihan pada orang yang ditimpa azab seperti ini. Darah segar yang mengucur dari kakiku membakar otak sang pembunuh.

Ia lalu mengangkat pedangnya dan mengayunkannya ke leherku.
Apa yang kurasakan? Aku merasakan ketenangan, kedamaian dan kerelaan. Perasaan ini sangat menakjubkan, detik-detik kesyahidan memang selalu menakjubkan. Aku berubah bersama anakku menjadi bongkahan batu gunung, dan tinggallah makna kesucian tetap dibantai di permukaan bumi. Sementara kaum Shaleh telah berubah menjadi berita yang dimuat secara ringkas dalam kitabullah: "Sesungguhnya Kami menimpakan atas mereka satu suara yang keras mengguntur, maka jadilah mereka seperti rumput kering yang punya kandang binatang." (Surat Al-Qamar: 31)

Gagak Dua Putera Nabi Adam

"Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?"
(Surat Al-Maidah: 31)

Semua yang ada di atas bumi akan memutih dan berubah kecuali bulu burung gagak. Siapa yang melihat apa yang kami lihat dan dapat menanggungnya niscaya ia tak akan berubah walau apapun yang ia lihat setelah itu.
Sebagai makhluk, akulah saksi satu-satunya dalam kasus pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi. Aku telah menyaksikan darah manusia pertama yang ditumpahkan secara zalim dan aku tahu Allah Maha Mendengar, Melihat dan Menyaksikan.

Hari itu betul-betul mencekam. Aku tahu syetanlah penyebab segalanya. Alangkah anehnya perbuatan syetan itu dan alangkah mudahnya anak-anak Adam tunduk padanya. Manusia mencintai Allah tapi juga mendurhakaiNya. Mereka membenci syetan tapi juga mematuhinya. Alangkah anehnya makhluk bernama manusia ini dan alangkah jelasnya tolak belakang tabiatnya. Namun demikian alangkah agungnya santun dan kasih Allah padanya... Aku sedikit emosi jadi mohon maaf...

Manusia berkata tentang hari-hari kelam yang mereka alami: "Hari-hari yang kelam, lebih kelam dari bulu gagak..." Aku tahu warna burung gagak yang hitam kurang disukai manusia meskipun sebenarnya bulu gagak yang paling hitam sekalipun tidak akan lebih hitam dari hati manusia yang hitam dan kelam. Aku tahu manusia memperolok-olok gaya jalan gagak yang berjalan berjingkat-jingkat seperti orang gila yang berjalan di atas bara, melompat-lompat dan tidak tenang langkahnya.
Kita anggap saja gaya jalan kami memang aneh. Anggaplah kami melompat-lompat dan berjingkat-jingkat, tapi bukankah hal ini sesuatu yang normal setelah kami menyaksikan kezaliman manusia pada saudaranya sendiri?

Sebelum manusia diciptakan, kami berjalan bagai raja di muka bumi dengan warna kami yang hitam dan gaya jalan kami yang melompat-lompat. Kemudian kami saksikan seorang saudara membunuh saudaranya sendiri, sehingga gaya jalan kami berubah karena dahsyatnya peristiwa yang kami saksikan, akhirnya anak cucu kami mewarisi cacat ini selama-lamanya. Itu sudah menjadi sebuah ketetapan...

Manusia meyakini bahwa suara gagak sangat jelek. Jika ada gagak yang berteriak di atas pohon, manusia segera menjauh dan berfirasat buruk. Boleh jadi suara kami memang kurang indah dibanding suara burung bul-bul, tapi suara kami tak ada hubungannya dengan kesialan dan firasat buruk. Firasat buruk adalah kata-kata manusia yang memang sejalan dengan perangai mereka sendiri.
Sering terjadi, ada manusia berperangai buruk dan aneh, ketika ia mendengar seekor gagak bersuara di atas pohon, ia akan segera lupa pada perangainya dan hanya ingat pada suara gagak tersebut lalu ia akan berfirasat buruk... Sebuah siasat kuno yang sering digunakan anak Adam, dan tak ada makhluk seperti mereka yang bisa menipu dirinya sendiri sedemikian rupa.

Bangsa manusia menuduh bangsa gagak sebagai makhluk pencuri, perampas dan durhaka pada orang tua serta keluarga. Manusia berkata tentang kami bahwa kami mencuri celak mata dan sabun dari atap rumah mereka, padahal kami tidak pernah tahu sama sekali apa celak itu dan kami juga tidak menggunakan sabun ketika mandi. Kami tak butuh semua itu. Badan dan pikiran kami dalam keadaan sangat kotor pun tidak butuh semua itu. Aku mohon maaf dengan gaya bahasaku yang sedikit pedas. Siapa yang merasakan seperti yang kurasakan sangat wajar kehilangan sikap tenang.

Aku adalah hakim dalam dunia gagak dan saksi dalam dunia manusia. Hakim akan kehilangan sikap adilnya ketika ia kehilangan ketidakberpihakan dan akal sehatnya sehingga ia akan memihak.

Aku telah memainkan kedua peran itu sekaligus; sebagai hakim dalam dunia gagak yang selalu bersikap adil, mengontrol emosi dan ketidakberpihakan pada siapa saja. Tapi ketika aku turun sebagai saksi dalam dunia manusia tanggallah mahkota hakim sehingga aku lepas kontrol dan selalu bersuara. Lalu Allah mengutusku untuk mengajarkan anak Adam sebuah pelajaran tentang rasa kasih.

Hari itu aku berkata pada Qabil dengan suara tajam: "Kami tahu engkau dan pembunuh. Meski begitu engkau tidak tahu, meskipun engkau seorang manusia yang dianggap memiliki ilmu tetapi engkau bodoh dan tak sadar dengan kebodohan itu, engkau tak tahu bagaimana menguburkan bangkai saudaramu..."

Aku masih saja emosional jadi mohon maaf. Terkadang aku mencoba merenungkan peristiwa itu secara lebih tenang dan adil layaknya para hakim. Kezaliman seakan sudah menjadi bagian dari tabiat para makhluk. Ini benar. Terkadang salah seekor burung gagak berbuat sesuatu yang merugikan kelompok, maka di saat itu diadakanlah mahkamah pengadilan. Sudah dikenal, burung gagak memiliki mahkamah pengadilan yang komitmen pada undang-undang keadilan. Pengadilan ini akan digelar ketika salah seekor gagak mencuri sarang gagak yang lain atau berusaha merampas betina gagak lain, ataupun merebut makanan gagak-gagak kecil.

Setiap kesalahan dari kesalahan-kesalahan tersebut mempunyai hukuman tersendiri. Dalam kasus pencurian sarang, kami cukup memusnahkan sarang yang dicuri lalu kami akan berteriak mencela pencuri itu habis-habisan kemudian mengharuskannya membangun sarang baru untuk burung gagak si empunya sarang. Dalam kasus merebut betina gagak yang lain kami akan membunuh si tertuduh dengan paruh kami beramai-ramai. Dalam kasus merebut makanan anak gagak, kami akan melucuti bulu si tertuduh sehingga ia akan tampak seperti anak gagak tanpa sehelai bulupun. Terkadang hukuman dicela atau cabut bulu ditambah lagi dengan hukuman diusir dari kelompok gagak.

Biasanya mahkamah pengadilan gagak digelar di lapangan terbuka atau daerah yang luas. Di sana gagak yang telah hadir lebih dahulu menunggu gagak lain yang belum datang. Penungguan ini akan berlangsung selama berhari-hari dan bermalam-malam sampai semua jumlah yang hadir lengkap. Setelah itu kami akan menggiring si tertuduh dengan penjagaan yang ketat, lalu dimulailah pengadilan. Para gagak mulai menggaok (suara gagak, pent) secara bersama-sama dan dibalas oleh si tertuduh. Para saksi akan segera menyahut dengan suara yang sama lalu mengepakkan sayap mereka dalam keadaan marah. Si tertuduh akan kembali menggaok lalu mengepakkan sayapnya. Kemudian ia akan mengapit kedua sayapnya sambil menekurkan kepala dan ia berhenti menggaok.
Inilah pengakuan terhadap sebuah kesalahan. Setelah itu keluarlah vonis dari sang hakim maka seluruh gagak akan segera melompat menyerang si tertuduh lalu beramai-ramai mencabik-cabik badannya dengan paruh mereka sampai mati. Kemudian terdengarlah suara gaok para gagak bersahutan sambil terbang di angkasa. Salah seekor gagak akan membawa si tertuduh yang telah menjadi bangkai itu untuk dikuburkan.

Gagak yang telah jadi bangkai itu memang bersalah, namun demikian kematian tetap merupakan sebuah hal yang sakral sehingga tubuh bangkai itu mesti dikuburkan. Begitulah, para gagak bisa berlaku adil dalam kedua kondisi; hidup dan mati. Keadilan dalam bangsa para gagak merupakan insting yang paling kuat. Pada dasarnya, keadilan dalam dunia manusia adalah sesuatu yang diperoleh setelah lahir dan bersifat relatif, sementara dalam dunia gagak keadilan adalah sesuatu yang fitri (pembawaan sejak lahir) dan bersifat mutlak.

Ada beberapa undang-undang pokok yang tidak akan pernah berubah dan berganti dalam dunia kami para gagak. Siapa yang melanggar undang-undang itu berarti keluar dari korps gagak dan layak dibuang bahkan dibunuh. Undang-undang tersebut bukanlah buatan burung gagak tapi merupakan sebuah ketentuan dari Allah dan telah ia letakkan dalam fitrah serta tabiat kami. Kami tak pernah membuat undang-undang untuk diri kami sendiri. Kami tahu bahwa jiwa lebih cendrung pada hawa nafsu dan lebih berpihak pada kemaslahatan nafsu itu. Ia melihat batang kayu di kedua matanya sebagai sebuah ranting kecil, sementara ranting di mata orang lain ia lihat sebagai sebuah pohon besar. Burung gagak telah melewati semua ini menuju pantai kedamaian, ketika ia menyerah pada undang-undang sang Pencipta. Sesungguhnya pembuatan undang-undang memerlukan bersih dan bebas dari hawa nafsu, tapi makhluk mana yang bebas dari hawa nafsu selain para malaikat.

Menyebut kata-kata malaikat mengingatkanku pada hari-hari pertama penciptaan.

Saat itu bumi penuh kedamaian sebelum manusia turun menghuninya.
Ombak laut tenang tanpa gangguan kapal, udara bersih tanpa sentuhan badan manusia, dan seluruh wilayah di muka bumi belum pernah diinjak oleh kaki-kaki manusia. Dunia masih suci belum dinodai oleh kebohongan apapun. Semuanya melantunkan kejujuran.

Gunung-gunung diselimuti salju putih di bawah sinar mentari yang damai, lautan bersinar dan ombaknya yang biru dan berbuih naik turun, dari ladang-ladang yang hijau terciumlah aroma segar yang menyebar di udara, semuanya sangat indah bagai sihir. Meski demikian ada sesuatu yang merusak pemandangan dan mengurangi makna semua keindahan itu. Ketika seorang manusia menginjakkan kakinya di bumi ditengah-tengah segala keindahan ini sambil mengangkat kedua tangannya dan memohon pada Allah.

Ketika itu tampaklah makna yang sesungguhnya di balik penciptaan semua keindahan ini. Segala sesuatu akan kurang indah tapi memiliki makna yang lebih dalam ketika ia pernah mengetahui, lalu bersalah kemudian memohon pertolongan. Ini sudah menjadi tabiat sebuah pengetahuan. Pada awalnya kesucian akan sedikit tergores tapi setelah itu lahirlah pengetahuan. Para malaikat Allah sangat menikmati kesucian secara sempurna sementara manusia kesuciannya telah tergores di dalam syurga. Kesucian itu telah dirampas oleh syetan karena sebuah hikmah yang maha agung dibaliknya yaitu untuk menghuni dan memakmurkan bumi. Kami tahu kalau manusia telah datang dari syurga.

Pada awalnya air mata bercucuran...
Tangisan Adam dan Hawa di permukaan bumi menjadi pemandangan yang sangat memilukan. Dari suara tangis mereka kami dapat menangkap makna sebuah dosa, kedurhakaan dan taubat yang jujur.

Saat itu Adam menetap dalam taubat -kalau ungkapan ini benar-.
Alangkah agung wajahnya yang penuh wibawa. Di kedua matanya terpancar kasih kebapakan yang menyapu segala sekat dan tak terbatas pada satu anak atau generasi, sementara Hawa adalah ibu untuk seluruh wanita di muka bumi.
"Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri sendiri, seandainya Engkau tidak mengampuni kami niscaya kami akan menjadi orang-orang merugi". Itulah doa mereka pada Allah.

Hawa melahirkan anak untuk pertama kalinya. Manusia tidak bertelur seperti kami bangsa burung tapi melahirkan. Pada kelahiran pertama, hawa melahirkan seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Pada kelahiran kedua ia juga melahirkan seorang laki-laki dan perempuan. Anak lelaki dari kelahiran pertama halal untuk anak perempuan dari kelahiran kedua. Pada kelahiran pertama Hawa melahirkan Qabil dan saudarinya Iqlima sementara pada kelahiran kedua ia melahirkan Habil dan saudarinya Layutsa. Semua saudara itu tumbuh dewasa.

Habil turun dari lereng bukit sambil tertawa. Wajahnya bersinar dengan cahaya kanak-kanak umur delapan tahun. Di belakangnya Qabil berusaha mengejarnya sambil memegang sebuah tongkat kayu. Keduanya sedang bermain seperti biasanya.
Aku tidak tahu kenapa salah satu di antara mereka tampak lebih lembut seperti tumbuh-tumbuhan ladang yang hijau, sementara satunya lagi sangat kasar seperti duri pegunungan. Ketika bermain, Qabil sering memilih peran sebagai pemburu sementara Habil sebagai mangsa. Habil berusaha menjaga permainan, sementara kedua mata Qabil selalu memancarkan kebencian sambil melayangkan pukulan pada Habil dengan apa saja yang ada di tangannya. Awalnya Habil masih tertawa. Tawanya terdengar di antara lereng gunung dan pepohonan bagaikan gemercik mata air yang menyimpan kejernihan dan kedamaian. Sementara Qabil tetap kasar sambil memegang tongkat kayu dengan kedua tangannya dan bukan sebelah tangan, kemudian wajah Habil berubah dari gembira menjadi pedih dan suara tawanya berakhir seperti sebuah teriakan.
Adam segera bergegas menuju keduanya dan ia mendapati Habil sedang terluka sementara Qabil terus memukulnya. Adam berteriak: "Qabil, apa yang kau lakukan pada Habil saudaramu?"

"Kami sedang bermain dan Habil memillih peran sebagai mangsa", jawab Qabil.
Adam menghardik Qabil lalu memisahkan kedua bersaudara itu. Sambil terus mengajari Qabil, Adam membersihkan luka anaknya yang baik, Habil. Lalu ia menerangkan bahwa keduanya adalah saudara kandung yang terlahir dari ibu yang sama, hidup di bumi yang sama, maka sepantasnyalah keduanya disatukan dalam rasa cinta bukan kebencian. Yang paling mengherankanku adalah Qabil terus menutup mulut kasarnya dan tidak membela dirinya sementara Habil membela saudaranya dan memohon pada bapaknya untuk memaafkan keduanya.

Dalam usia dua puluh tahun.

Tangan Qabil mendarat keras di wajah Habil, lalu ia membentak: "Ini gubukku!" Jari-jari tangannya meninggalkan jejak merah yang sangat jelas di pipi saudaranya, Habil, sehingga kedua matanya mengeluarkan air mata panas. Merasa tak bersalah Habil berkata: "Lihatlah kedua tanganku telah bercucuran keringat dan darah untuk membangun gubuk ini..."

"Kau tak boleh tinggal di gubuk ini setelah matahari terbenam, itulah keputusan Qabil...", kata Qabil tegas.
Dengan lembut Habil menjawab, ia ingin mengucapkan kata-kata: "Aku mencintaimu Qabil tapi kenapa...?" Qabil hanya mendengar sekilas, ia sudah meninggalkan tempat itu.
Aku tak melihat Habil menceritakan peristiwa itu pada Adam. Aku tak tahu kenapa? Bisa jadi ia merasakan bahwa hati bapaknya sudah penuh kesedihan akibat tingkah laku dan perangai Qabil, sehingga ia khawatir hal itu akan membuatnya bertambah sedih. Bisa jadi juga ia berkata pada diri sendiri bahwa ancaman Qabil itu tak perlu dihiraukan.

Ketika matahari terbenam, Habil terkejut melihat saudaranya Qabil mendobrak gubuknya dan tangannya menggenggam batu besar yang runcing.
Sebelum Habil sempat membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, batu itu sudah merobek dahinya dan memuncratkan darah segar. Ia diangkat oleh Qabil lalu dibuangnya keluar gubuk. Habil membalut lukanya dengan rerumputan lalu tidur di tempatnya. Adam terkejut melihat anaknya tidur di luar gubuknya. Ia tambah terkejut melihat darah yang membeku di dahinya.
Adam kemudian berteriak seperti teriakan biasanya meskipun teriakan kali ini berbaur dengan rasa sedih yang mendalam.
"Qabil, apa lagi yang kau lakukan terhadap saudaramu Habil?"

Qabil tidak serupa dengan Habil. Dan Iqlima saudari Qabil juga tidak serupa dengan Layutsa saudari Habil. Qabil lebih kasar dibanding Habil sementara Layutsa kurang cantik dibanding Iqlima. Semestinya Habil menikah dengan Iqlima dan Qabil dengan Layutsa. Secara pribadi aku lebih mengutamakan Habil daripada saudaranya, Qabil dan aku senang karena ia akan menikah dengan yang lebih cantik. Habil tidak pernah marah kalau kami memakan makanannya.

Suatu hari ia melihatku sedang bertengger di depan telur ayam yang dipeliharanya, kemudian ia mengulurkan tangannya dan memberiku sebiji telur. Aku sangat gembira dengan bantuan yang diberikannya pada bangsa rendahan seperti kami. Inilah seorang yang memahami hikmah dibalik saling membantu sesama makhluk dan memahami makna kasih sayang. Dialah orang yang mengenal Allah, mencintai-Nya dan juga takut pada-Nya.

Aku ingin menfokuskan pikiranku untuk mengumumkan kesaksianku di hadapan seluruh reruntuhan dan keindahan lalu akan kuceritakan pada angin yang berhembus di tempat yang paling menakutkan.
Qabil berteriak: "Tidak, aku lebih baik darinya..." Syetanlah yang berada di balik kata-kata itu. Kata-kata itulah yang pernah diucapkan iblis tentang Adam, dan sekarang diajarkannya pada anak Adam untuk diucapkannya tentang saudaranya. Qabil kembali berteriak di depan bapaknya: "Aku tak akan menikah dengan Layutsa, aku akan menikah dengan Iqlima. Dia sudah bersamaku di saat lahir, akulah yang lebih berhak menikahinya."

Adam berusaha memahamkan anaknya bahwa saudari kembarnya itu tidak halal untuknya. Qabil tidak mau surut dari sikap kerasnya. Aku sangat heran melihat kelancangannya dan aku tidak tahu bagaimana Adam menyikapinya.
Adam mundur dari usaha memisahkan keduanya dan menyerahkan urusan itu pada kebijakan langit.

Aku tak paham kenapa Allah menerima korban dan aku juga tidak tahu apa korban itu sesungguhnya.
Dalam beberapa hari ini aku disibukkan dengan dunia gagak berikut segala permasalahannya. Ada seekor gagak pencuri yang melarikan diri dan kami sedang memburunya untuk diadili.

Datanglah hari penyerahan korban pada Allah.
Habil datang membawa domba yang paling gemuk lalu diletakkannya di atas bukit. Kemudian ia berdoa pada Allah untuk menerima korbannya.
Sementara Qabil datang dengan membawa gandum yang masih hijau di tangkainya. Ia datang membawa gandum yang belum masak. Qabil memang kikir sampai-sampai kami para gagak tidak bisa untuk mengecap makanannya. Setelah meletakkan korban itu ia berlalu pergi.

Kedua saudara kandung berdiri jauh.
Dalam hati aku berangan-angan -sebagai seekor hakim gagak yang tidak boleh memihak- agar Allah menerima korban Habil.
Dari langit turunlah api yang memakan korban Habil sebagai tanda bahwa korbannya diterima. Habil segera berteriak penuh gembira dan rasa syukur.
Sementara Qabil berteriak dengan kata-kata pembunuhan. Ia berdiri tegak sambil membentangkan kedua telapak tangannya dan memandang tajam ke arah satu titik di angkasa. Meskipun ia diam tapi dalam dirinya terpancar gelombang permusuhan yang hampir saja berbentuk.

Suatu hari yang sangat indah...
Matahari memancarkan sinarnya di udara. Pohon-pohon beringin yang memanjang ke arah barat bermandikan sinar mentari. Dahan-dahannya berwarna biru akibat pantulan sinar laut. Angin berhembus di lereng-lereng gunung membawa wangi hutan yang masih perawan dan bunga-bunga ketuhanan dari dasar jurang dan lembah yang berbaur dengan aroma rimba yang hijau.

Qabil kembali berteriak: "Aku pasti akan membunuhmu!"
Habil tidak mengerti kenapa Qabil marah padanya.
Kesucian biasanya memang tidak memahami dorongan-dorongan sebuah dosa dan kejahatan. Allah telah menerima korban salah satunya dan tidak menerima yang satunya lagi.
Habil berkata pada saudaranya: "Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa." (Surat Al-Maidah: 27)
Qabil kembali berkata sayup: "Aku akan membunuhmu..."

Sambil membalikkan badannya kembali ke gubuknya, Habil menjawab: "Sungguh kalau engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan dosaku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." (Surat Al-Maidah: 28-29)
Habil kembali dengan isterinya Iqlima. Keduanya telah menikah dan hidup bersama beberapa hari. Ketika tanda-tanda kehamilan sudah tampak pada diri Iqlima, Qabil semakin bernafsu untuk membunuh saudaranya.

Kami akhirnya menemukan gagak pencuri yang melarikan diri dulu dan dimulailah pengadilannya.
Habil tidur menelentang di atas tanah setelah bekerja berat hari itu. Setelah ia mengambil sayur-sayuran sebagai bantalnya ia langsung tertidur.
Matahari telah condong ke arah barat. Pengadilan gagak yang bersalah terus berlangsung. Langit di ufuk barat berwarna darah. Qabil keluar sambil mengikat kuat-kuat tulang rahang keledai yang ia temukan di hutan. Ada seekor keledai mati di hutan yang terdekat lalu dagingnya dimakan binatang buas, sisanya dihabiskan burung elang dan darahnya diminum tanah. Tinggallah rahangnya yang besar tercampak di tanah. Qabil membawa senjata pertama yang dikenal di muka bumi itu kemudian ia mencari saudara kandungnya. Akhirnya ia temukan saudaranya sedang tidur, lalu ia melangkah ke arahnya. Ada sesuatu yang telah membangkitkan emosinya pada wajah teduh penuh santun itu yang tidak kumengerti. Habil terbangun dan membuka kedua matanya.
Tangan Qabil mengangkat tulang rahang besar itu dan memukulkannya ke wajah Habil secepat kilat. Darah menyembur dari wajah Habil dan mengotori dada Qabil. Tangan berdosa itu kembali mengayunkan senjatanya ke muka yang baik itu. Pada pukulan ke lima tangan Qabil sudah berlumpur tanah ladang. Akhirnya Habil tak lagi bergerak. Qabil baru menyadari kalau saudaranya sudah mati. Ia menghentikan pukulan-pukulannya yang keras dan cepat. Ia duduk terpaku di depan korbannya.

Kami belum selesai mengadili gagak yang bersalah. Pengadilan kami tunda hingga besok. Kami sudah mengadakan penjagaan ketat untuknya lalu kami pulang.
Aku berdiri di atas pohon di atas kepala Qabil, lalu aku menggaok keras: "Qabil, apa yang telah kau lakukan pada saudaramu, Habil?"

Qabil mendongakkan kepalanya dan melihat ke arahku. Wajahnya gemetar...
Pengadilan gagak si tertuduh membutuhkan waktu beberapa jam. Ia berbohong, mendebat dan menyangkal tuduhan-tuduhan yang di arahkan padanya, namun kemajuan pengadilan telah membuatnya tak bisa banyak berdalih. Selama pengadilan berlangsung Qabil membopong saudaranya dan membawanya pergi. Ia tak tahu apa yang mesti dilakukannya terhadap bangkai saudaranya. Burung elang sudah berputar-putar di sekitarnya dan binatang buas mulai mencium aromanya. Qabil takut meninggalkan bangkai saudaranya karena akan dimakan oleh binatang buas, karena itu ia terus menggendong dan membawa pergi tubuh tak bernyawa itu. Ia tak tahu apa yang mesti ia perbuat terhadap mayat itu.

Pengadilan gagak telah selesai dan seluruh tuduhan yang diarahkan padanya telah terbukti. Para hakim menjatuhkan hukuman mati padanya. Eksekusipun dilaksanakan. Para gagak membawa bangkai gagak yang bersalah itu untuk dikuburkan di tempat yang cukup jauh. Aku terbang sambil membawa bangkai itu dengan paruhku. Aku merasakan ada sebuah kekuatan yang tersembunyi telah mengarahkan kedua sayapku ke arah Qabil.
Aku tak berniat untuk lewat di depan Qabil dan aku memang tidak menyukainya. Tapi sayapku tetap menuju ke arahnya. Ada sesuatu yang agung di atas batas pemahamanku telah menggerakkan sayapku. Aku diperintahkan oleh salah satu malaikat yang mulia: "Wahai gagak, Allah mengutusmu untuk memperlihatkan pada anak Adam bagaimana caranya menguburkan bangkai saudaranya."

Aku segera turun membawa bebanku di hadapan Qabil. Aku letakkan bangkai gagak itu di depanku dan aku mulai menggali tanah. Aku gali tanah dengan cakar dan paruhku. Kurapatkan kedua sayap gagak itu lalu kuangkat badannya dan kuletakkan di dalam lahat. Setelah menggaok dua kali aku timbun bangkai itu dengan tanah.
Setelah itu aku melihat ke arah anak Adam itu. Pandanganku berkata padanya: "Kami telah membunuhnya dengan adil dan kami mengetahui bahwa bangkainya tetap harus dihargai, sementara engkau..." Aku menggaok keras di mukanya. Kemudian aku terbang di angkasa menuju barat. Sambil terbang aku masih mendengar jeritan Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" (Surat Al-Maidah:31). Aku merasakan jeritan itu terbakar dalam api penyesalan.

Aku tidak tahu dari mana asalnya datang penyesalan itu. Apakah ia menyesal karena telah membawa bangkai saudaranya selama berjam-jam dan tidak tahu bagaimana cara menguburkannya ataukah ia menyesal karena telah membunuhnya secara zalim? Aku tak tahu...

Yang kuingin tahu adalah bagaimana keadaan isteri Habil saat ini. Aku sangat tenang ketika mengetahui mengetahui bahwa isterinya sedang menunggu saat-saat melahirkan. Aku ingin tenang pada bangsa manusia dan memastikan bahwa generasi mereka akan lahir dari keturunan seorang lelaki mulia yang takut pada Allah. Aku tahu anak cucu Qabil sang pembunuh juga akan memenuhi bumi. Aku tahu bahwa pertarungan tak akan berhenti antara mereka dengan anak cucu As-Syahid Habil yang mulia. Boleh jadi tragedi antara bapak dan anak-anak ini akan kembali terulang. Aku tahu semua itu tapi aku tak tahu hikmah dibalik semuanya. Tugasku bukanlah mengetahui itu. Aku adalah saksi atas anak Adam dan menjadi guru baginya untuk beberapa saat dalam sejarah, tetapi tugasku bukanlah mengetahuinya. Boleh jadi manusia mengetahuinya...

THE VIRTUES OF THE FAMILY OF THE PROPHET MUHAMMAD

The family members of the Prophet Muhammad (pbuh) were the true friends and well wishers of the people who felt strong grief when they saw people in any kind of distress or suffering. They worked hard to restore the rights of the deprived and gave all their belongings to the needy.

They were always ready to face hardships in order to save others. Sometimes, they would even give to the needy the food or clothing which they themselves urgently needed. There are many of such happenings that took place in the life of our religious leaders.

For instance, once Imam Ali's (pbuh) children were sick. Their mother Fatima, daughter of the Prophet Muhammad (pbuh), vowed (Nazr) to fast three days on the recovery of her children, in thanksgiving to Allah.

Imam Ali (pbuh) and the children all joined Lady Fatima (pbuh) in thanksgiving. All of them fasted. It was sunset and they had only a few barley loaves of bread for their breakfast. As they were about to eat their food, someone knocked at their door, saying I am a poor man. Please give me some food. The food, which the whole family had, was very little. They gave it all to the poor man.

Again on next day, when the family wanted to break their fast an orphan began knocking at the door asking for food. The same thing happened on the third day also with a stranger. Each time they gave their food to the needy and they, themselves, remained hungry continuing their fast.

Muslim commentators say, The next day, the Prophet Muhammad (pbuh) came to the family with these verses of the Holy Qur'an: "Surely the righteous shall drink of a cup the admixture of which is camphor, a fountain from which the servants of Allah shall drink; they make it to flow a (goodly) flowing forth. They fulfil vows and fear a day the evil of which shall be spreading far and wide. And they give food out of love for Allah to the poor and the orphan and the Active: We only feed you for Allah's sake. We desire from you neither reward nor thanks: Surely we fear from our Allah a stern, distressful day. Therefore, Allah will guard them from the evil of that day and cause them to meet with ease and happiness; And reward them because they were patient, with garden and silk." (Holy Qur'an, 76:5-12)

Moral: Nazr is very powerful. Always think of others before yourself. It is not how much you give to others that is important but the intention with which you give: i.e. "Qurbatan Ilallah" which means to get closer to Allah.

THE GLORIOUS NECKLACE OF FATIMA ZAHRA

The Prophet of Islam Mohammed (may Allah's peace and our salams be unto him and his Ahlul Bayt) had just finished the Asr prayer and he was sitting in the mosque surrounded by his companions. Suddenly a man appeared in the mosque and addressing the assembly in the mosque, he said: "I am hungry, can some one feed me, I have nothing to wear, and can some one provide clothes for me, and I am a wayfarer lost miles away from home, can some one provide for me so that my needs be fulfilled?

No one said anything. Then the Prophet of Islam Mohammed (pbuh) spoke. He said to the man: "I personally do not have anything to help you, but I will send you to a home, where all your needs will be fulfilled. The people of that house love Allah and his Prophet, and Allah and His Prophet love the inhabitants of that house. That is the house of Ahlul Bayt of Naboowah where the family of my daughter Fatima Zahra lives." The Prophet of Islam Mohammed (pbuh) beckoned to Bilal so that he may take the stranger to the house of Fatima Zahra, which was adjacent to the mosque. Bilal did that. The man came to the door and said: "My salam to you O Ahlul Bayt of Naboowah, O you the inhabitants of the house where Jibreel descends and where other angels come and go. I am hungry, please feed me, I have no clothes please provide some clothes for me, and I am lost away from home and destitute, please help me get home."

Fatima Zahra heard the voice. She looked around. The only thing she could see in the house was a goatskin on which his two little children, Hasan and Husayn used to sleep. She picked up the goatskin and came to door. She extended that goatskin to the stranger from behind the door and said: "Please take this and fulfill your needs." The stranger looked at the goatskin and replied: "what can I do with this goatskin? It will not be sufficient for anything." Fatima Zahra thought and then she realized that she was wearing a necklace which was wedding gift her from the daughter of Hamza bin Abdul-Muttalib. Fatima Zahra took the necklace off and gave it to the stranger.

The stranger came back to the mosque and showed to the Prophet of Islam Mohammed (pbuh) what he had been given by Fatima Zahra. The Prophet of Islam Mohammed (pbuh) looked at the necklace and his eyes filled up with tears.

The Prophet of Islam Mohammed (pbuh) turned to the stranger and said: "Fatima Zahra has fulfilled your needs, now you pray for her." The man raised his hands to the heavens and said: "Ya Allah give Fatima Zahra all that which no eyes have ever seen and no ears have ever heard.

Ammar Yasir was also among the companions. He said to the stranger: "Are you selling the necklace?" The man replied: "Yes."

Thus Ammar Yasir bought the necklace for three hundred dirhams. That was sufficient money for the stranger to buy food, clothing and a horse; and soon he was on his way.

Ammar Yasir came home. He wrapped the necklace in a Yamani chadar and daubed it with fragrance. Ammar Yasir had a slave boy named Sahm. He gave the necklace thus wrapped to the boy and asked him to take it to the Prophet of Islam Mohammed (pbuh). Ammar Yasir also said to Sahm that he (the slave boy) too was being given away to the Prophet of Islam Mohammed (pbuh) as a gift. The Prophet of Islam Mohammed (pbuh) said to Sahm: "Take this necklace to Fatima Zahra and after, that you are a free man."

As Sahm returned the necklace to Fatima Zahra and returned from her house, he laughed. People who had been watching the whole thing, asked Sahm for the reason of his laughing.

Sahm replied: "What a glorious necklace - it came out of the house, fed a hungry man, clothed a naked man, and provided for a lost wayfarer. It then freed a slave from his bond and then returned to its rightful owner/mistress."

MORAL OF THE STORY: The Prophet of Islam Mohammed (pbuh) taught us, the Muslims at large, to be grateful to anyone who provides any kind of help. The best expression of that gratitude is doing a Dua for your benefactor. Fatima Zahra did not need any Dua from a stranger, but that was the teaching of the Prophet of Islam Mohammed (pbuh) and his methodology.

That legacy continued in the Prophet's own family and each and every member of that family provided the best example of social and personal morality.

In the 61 year of Hijra, after the tragedy of Karbala, the surviving women and children were taken prisoners and they were being paraded in the streets of Koofa. On both sides, people were watching the passing caravan from their balconies. On one camel back Husayn's sister Zaynab and his orphan daughter Sukayna who was four years old, were riding. As the camel arrived close to a house, there was a woman standing there. Sukayna was thirsty and asked the woman if she could give her a drink. The woman came back quickly with a cup full of water and said: "You appear to be an orphan; Allah accepts an orphan's prayer very quickly. I have longing, I would like you to pray for my wish after you had your drink."

Zaynab, immediately stopped the four year old and said: "You pray for the lady first and then drink the water."

Who would think about morals in such difficult circumstances - no one but the Ahlul Bayt.

This was the character and ideal of the Ahlul Bayt. It is for this reason that the devotees of Ahlul Bayt revere them and look up to them for all their guidance in religious as well as worldly matters.

By: Syed-Mohsin Naquvi

Bukti Atas Adanya Allah

Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Apa bukti atas adanya Allah?”
Ia menjawab, “Daun kayu. Rasa, warna, dan baunya apakah sama menurut kalian?”
“Ya,” jawab mereka.
“Daun itu dimakan oleh ulat sutra lalu menghasilkan sutra, dimakan oleh lebah lalu menghasilkan madu, dimakan oleh kambing lalu menghasilkan kotoran, dimakan oleh kijang lalu menghasilkan misk (sejenis wewangian), siapa yang menjadikan semua itu padahal asal dari semua itu adalah satu?”
Berkat dari jawaban tersebut, ber-Islam-lah tujuh belas orang atheis yang semula mengingkari adanya Allah.
Bukti-bukti tentang adanya Allah di alam ini tak terhingga. Imam Syafi’i rahimahullah telah memilih dalil yang paling sederhana, paling mudah untuk dipahami dan dicerna, serta paling kuat maknanya. Setiap kesempatan tentu ada ucapan yang sesuai dengannya dan itulah di antara bentuk kecerdasan alim rabbani ini.

Abu Hurairah dan Keridhaannya kepada Qadha Allah Ketika Meninggal Dunia

Para penulis buku sejarah tokoh-tokoh Islam mencatat bahwa Abu Hurairah r.a. menangis ketika sakit menjelang kematiannya. Lalu seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dia menjawab, “Saya tidak menangis karena meninggalkan dunia ini. Akan tetapi saya menangis karena jauhnya perjalanan yang akan saya tempuh dan sedikitnya bekal yang saya bawa. Dan saya berada di tempat tinggi namun saya tidak tahu apakah saya turun ke surga atau ke neraka”.
Lalu Marwan Ibnul Hakam datang menjenguknya, lalu berkata, “Semoga Allah menyembuhkan dan mengampunimu wahai Abu Hurairah”.
Maka Abu Hurairah berkata, “Ya Allah saya ingin berjumpa dengan-Mu, maka kuharap Engkau senang untuk berjumpa denganku”.
Setelah Marwan pergi dan sampai ke pasar, dia mendengar bahwa Abu Hurairah r.a. meninggal dunia”.

Asma` Binti Abu Bakar dan Keridhaannya Terhadap Ketentuan Allah

Asma' binti Abu Bakar ash-Shidiq adalah suami dari az-Zubair bin Awwam. Suaminya tersebut adalah seorang yang fakir. Oleh karenanya, Asma' selalu membantu keperluan suaminya. Dia membantu suaminya merawat kuda. Dia juga bekerja mengangkut korma dari kebun suaminya yang berjarak tiga farsakh dari rumahnya dengan membawanya di atas kepalanya. Selain itu, dia juga selalu menyediakan keperluan air bersih dan membuatkan roti untuk suaminya. Semuanya itu dilakukannya dengan penuh  kesabaran dan atas dasar ridha terhadap qada Allah.
Pada suatu hari, ketika sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dengan membawa kurma di atas kepalanya, dia berjumpa dengan Rasulullah saw. di jalan. Rasulullah saw. waktu itu sedang bersama dengan beberapa orang sahabatnya. Lalu beliau memanggil Asma' dan menawarkan kepadanya untuk mengantarnya pulang dengan naik onta di belakangnya. Akan tetapi Asma' merasa malu dan menolak dengan baik tawaran tersebut sembari menceritakan kepada Rasulullah saw. bahwa suaminya, Zubair, adalah seorang yang pencemburu.
Kemudian ketika Zubair kembali ke rumah, Asma' menceritakan padanya perihal pertemuannya dengan Rasulullah saw. tersebut. Lalu setelah mendengar cerita dari istrinya itu, Zubair berkata padanya, "Sungguh demi Allah, melihat kamu bersusah payah membawa biji korma itu lebih berat bagi saya dari pada melihat kamu naik onta bersama Rasulullah saw.”.
Asma' berkata, "Demikianlah semua pekerjaan itu saya jalani sendiri, hingga Abu Bakar —ayahnya— memberikan seorang budak perempuan kepada saya. Maka saya serahkan padanya urusan merawat kuda. Sejak itu saya merasa seakan-akan dia (Abu Bakar ) telah membebaskan saya”.
Saya ( penulis ) berkata, "Asma' adalah sosok yang menggambarkan kesaban seorang muslimah dalam menghadapi kesulitan hidup bersama suaminya. Dia ridha terhadap ketentuan Allah, hidup dalam kesusahan, meskipun ayahnya seorang saudagar yang kaya. Dia menjalani kehidupannya tersebut dengan kesabaran, sampai akhirnya ayahnya memberikan padanya seorang budak perempuan untuk membantu meringankan pekerjaannya. Kemudian setelah itu, karena kesabarannya dan keikhlasannya, Allah membukakan pintu rizki bagi suaminya dengan jalan yang tidak terduga.