Keimanan Ubadah kepada Qadha dan Qadar

Ubadah bin Shamit al-Anshari al-Badri masuk Islam, lalu ikut dalam baiat Aqabah dan membaiat Rasulullah saw.. Dia juga ikut dalam seluruh peperangan bersama Rasulullah saw.. Dia adalah salah seorang pengumpul Al-Qur’an di zaman Nabi saw.. Dan dia adalah salah satu dari lima orang yang hafal Kitab Allah ‘Azza wajalla.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, Ubadah bin Shamit pergi ke Syam bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ketika melihat sesuatu yang tidak bisa dia terima dari Mu’awiyah, dia berkata, “Saya tidak mau tinggal bersamamu dalam satu negeri”. Lalu dia pun pergi ke Madinah al-Munawwarah.
Melihatnya kembali ke Madinah, Umar Ibnul Khaththab bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu pulang ke Madinah?”
Lalu Ubadah memberitahukan apa yang dilakukan Mu’awiyah di sana. Maka Umar berkata, “Tinggalkan tempat itu. Sesungguhnya Allah akan membuat buruk suatu negeri yang di dalamnya tidak ada orang seperti engkau. Dan tidak ada kekuasan bagi Mu’awiyah atas dirimu”.
    Ketika kematian menjemput Ubadah, anaknya, Walid, mendatanginya dan berkata, “Wahai ayahku, berwasiatlah kepadaku dengan bersungguh-sungguh”.
Ubadah berkata kepada orang-orang disekitarnya, “Dudukkanlah saya”.
Stelah duduk, dia berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya engkau belum merasakan keimanan dan belum benar-benar mengetahui Allah, hingga engkau beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk”.
Maka anaknya bertanya, “Wahai ayahku, bagaimana saya bisa tahu mana qadar yang baik dan yang buruk?”
Ubadah menjawab, “Kau dapat mengetahuinya dengan menyadari bahwa sesuatu yang tidak menimpamu memang tidak akan menimpamu. Dan apa yang menimpamu tidak akan meleset darimu. Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “

“Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah pena ( qalam ). Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Tulislah”. Maka ia pun menulis saat itu juga tentang yang terjadi hingga hari kiamat”. Wahai Anakku, jika engkau mati dan tidak beriman kepada qadar, maka engkau akan masuk neraka”.

Menalak Lima Istri dalam Satu Kesempatan

Seorang lelaki berkata kepada Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid, “Wahai Amirul Mukminin, aku pernah mendengar seorang lelaki Arab badui yang menjatuhkan talak dalam satu hari kepada lima orang wanita.”
Khalifah Harun heran dan bertanya, “Sesungguhnya seorang lelaki hanya boleh memiliki empat orang istri, jadi bagaimana mungkin dia menalak lima orang wanita?”
Laki-laki tersebut menceritakan, “Lelaki Arab badui itu mempunyai empat orang istri. Suatu ketika dia pulang ke rumahnya dan dia melihat para istrinya sedang bertengkar. Lelaki ini mempunyai akhlak yang jelek. Dia berkata, ‘Sampai kapan pertengkaran ini akan terus terjadi?’
Kemudian dia berkata kepada salah seorang istrinya, ‘Pertengkaran ini terjadi akibat ulahmu. Sekarang pergilah, kamu aku talak!’
Istrinya yang lain berkata, ‘Engkau terlalu terburu-buru menjatuhkan talak kepadanya. Bukankah sebaiknya engkau ajari dia dengan cara yang lain?’
Mendengar hal itu, lelaki tersebut berkata, ‘Engkau juga aku talak.’
Istri ketiga berkata, ‘Celakalah kamu! Demi Allah, kedua istrimu itu telah banyak berbuat baik kepadamu.’
Lelaki itu berkata, ‘Dan kamu wahai perempuan yang menghitung-hitung kebaikan mereka dihadapanku, juga aku talak.’
Istri keempat yang berasal dari Bani Hilal bersikap lebih hati-hati. Dia berkata, ‘Hatimu terlalu sempit untuk mengajar istri-istrimu, kecuali dengan cara talak.’
Akhirnya, lelaki ini berkata kepada istri yang keempat ini, ‘Engkau juga aku talak.’
Hal ini terdengar oleh istri tetangganya. Tetangga wanita ini datang menemuinya—setelah mendengar semua yang terjadi—dan berkata, ‘Demi Allah, seluruh kabilah Arab tidak menuduhmu dan kaummu sebagai kaum yang lemah, melainkan karena mereka tidak suka melihat sikap kalian seperti ini. Yang kamu inginkan ternyata adalah menalak semua istrimu sekaligus.’
Lelaki ini berkata kepada tetangga wanitanya itu, ‘Dan kamu wahai perempuan yang banyak bicara juga tertalak jika suamimu membolehkannya.’
Dari dalam rumah, suami wanita itu berkata, ‘Ya aku bolehkan... aku bolehkan....’ Maksudnya, dia juga menalak istrinya sehingga wanita ini menjadi orang kelima yang ditalak.”

11. Dia Jual Dirinya kepada Allah

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Kami diceritakan oleh Abul Fath Muhammad bin Abdul Baqi, Dia berkata, 'Abul Fadhl Ahmad bin Ahmad al-Haddad berkata bahwa Abu Nu’aim al-Hafizh menceritakan kepadanya bahwa faktor yang menyebabkan Habib Abu Muhammad menyerahkan dirinya pada akhirat dan berpaling dari dunia adalah dia pernah menghadiri majelis Hasan al-Bashri. Pelajaran dan nasihat Hasan al-Bashri sangat mengena di hatinya, yang membuatnya mau meninggalkan semua kesenangan dunia, dan meyakini janji dan jaminan Allah.”
Dia jual dirinya kepada Allah swt. dengan cara bersedekah sebanyak empat puluh ribu dirham dengan empat kali sedekah. Pertama, dia bersedekah sebanyak sepuluh ribu dirham di permulaan siang, lalu dia berkata, “Wahai Tuhan, aku telah menjual diriku kepada-Mu dengan uang ini.” Kedua, kemudian dia sedekahkan lagi sejumlah sepuluh ribu dirham, dan dia berkata, “Ini sebagai tanda syukur atas taufik yang Allah limpahkan (sehingga aku rela menjual diriku kepada-Mu, pent.).”
Ketiga, dia keluarkan lagi sejumlah sepuluh ribu dirham, dan dia berkata, “Wahai Tuhan, kalau Engkau tidak menerima yang pertama dan kedua tadi dariku, maka terimalah yang ini.” Keempat, dia sedekahkan lagi sepuluh ribu dirham, dan  dia berkata, “Wahai Tuhan, kalau Engkau terima dariku yang ketiga tadi, maka ini sebagai tanda syukur atas hal itu.”
Begitulah tokoh yang kembali kepada Allah swt. ini memberikan sedekah yang bisa meredam murka Allah, agar Allah menerimanya menjadi hamba-Nya yang saleh, dan sebagai bukti bahwa dia benar-benar berjuang untuk akhirat dan meninggalkan dunia yang fana.
Dari kisah ini kita bisa mengambil pelajaran besarnya faidah menghadiri majelis-majelis ilmu, dan nasihat yang merupakan salah satu taman surga, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah saw..
Dalam majelis-majelis rabbani tersebut, seorang muslim akan bertemu dengan para ulama dan para dai, di mana dia bisa mengambil ibrah dan pelajaran, serta mempelajari agama secara benar. Dengan hilangnya para ulama dan majelis-majelis seperti itu, maka akan tersebarlah kebodohan dan sikap berlebihan dalam mencintai dunia, serta berkembanglah sikap yang ekstrem dalam memahami agama. Para ulama adalah ibarat garam dalam makanan, jika mereka baik maka umat ini akan baik dan maju. Insya Allah.