Keridhaan Imam Ahmad bin Hambal Terhadap Qadha Allah

Ali Ibnul Jahm berkata, “Dulu kami mempunyai seorang tetangga. Pada suatu hari dia membawa sebuah buku, lalu dia bertanya, “Tahukah kalian tulisan siapa ini?”
Kami menjawab, “Ini adalah tulisan Ahmad bin Hambal. Namun bagaimana dia menulis untukmu?”
Dia menjawab, “Ketika di Mekkah, kami menginap di rumah Sufyan bin Uyainah. Lalu berhari-hari kami tidak melihat Ahmad bin Hambal. Kemudian kami mendatangi rumah tempat Ahmad bin Hambal menginap. Penghuni rumah itu menjawab, “Dia di rumah itu”, sembari menunjuk ke sebuah rumah. Lalu kami mendatanginya. Pintu rumah itu menjorok ke dalam. Setelah kami mendekat, ternyata pintunya hanya kain yang sudah usang.
Setelah bertemu dengan Ahmad bin Hambal, kami bertanya kepadanya, “Bagaimana kabarmu wahai Abu Abdullah? Kami tidak pernah melihatmu sejak beberapa hari”.
Dia menjawab, “Bajuku dicuri”.
Maka saya katakan kepadanya, “Saya mempunyai sejumlah uang dinar. Jika engkau mau, hutanglah dulu atau engkau ambil saja”.
Namun dia tidak mau melakukannya.
Maka saya kembali bertanya kepadanya, “Apakah engkau mau saya upah untuk menuliskan saya?”
Dia menjawab, “Ya”.
Lalu saya memberikan satu dinar untuknya. Namun dia tidak mau menerimanya, dan berkata, “Belikan saya sehelai kain, dan potonglah menjadi dua”. Seraya memberi isyarat bahwa dia akan menggunakan setengahnya sebagai sarung dan setengahnya untuk tubuh bagian atas.
Dan dia berkata, “Dan bawalah kesini keperluan untuk menulis”.
Lalu saya menghadirkan kertas. Lalu dia menulis untuk saya. Dan inilah tulisannya”.

Aku Ingin Sesuatu yang Bukan Karena Jasa Makhluk

Sari as-Saqthi menceritakan, “Suatu hari aku pulang dari Mekah. Ketika sudah masuk ke daerah padang pasir aku melihat di sebuah sungai seonggok lobak. Lalu aku ambil lobak itu dan aku berkata, ‘Segala puji bagi Allah, aku berharap lobak ini halal dan tak ada jasa makhluk di dalamnya.’
Beberapa orang yang melihatku mengambil lobak itu berkata kepadaku, ‘Wahai Abul Hasan, lihatlah ke sini!’
Aku menoleh. Ternyata ada lobak lain yang lebih banyak. Orang itu berkata, ‘Ambillah!’
Aku berkata kepadanya, ‘Lobak pertama tidak ada jasa orang lain di sana. Sementara ini adalah atas petunjukmu dan aku ingin sesuatu yang tidak ada jasa makhluk di dalamnya dan tidak pula sesuatu yang akan menjadi beban di hadapan Allah kelak.’”

Abu Musa al-Asy

Adh-Dahhak bin Abdirrahman berkata, “Ketika menjelang kematiannya, Abu Musa al-Asy’ari memanggil para budaknya. Lalu dia berkata, “Galilah kuburan untukku, buatlah yang lebar dan dalam”.
Setelah selesai mereka pun datang, lalu berkata, “Kami telah menggali kubur untukmu, kami telah membuatnya lebar dan dalam”.
Lalu Abu Musa berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ada satu dari dua hal yang akan saya alami. Kemungkinan pertama, kubur saya akan diluaskan, hingga lebar setiap sisinya adalah empat puluh depa. Kemudian akan dibukakan pintu surga untuk saya, sehingga saya dapat melihat istri-istri saya dan rumah saya, serta kemuliaan yang disediakan oleh Allah swt. di sana. Kemudian keharuman dan anginnya akan sampai kepada saya hingga saya dibangkitkan kembali.
Namun jika yang terjadi sebaliknya, dan saya berlindung kepada Allah darinya, kubur saya akan menjadi sempit, hingga saya berada di dalam ruangan yang lebih sempit dari lubang di ujung tombak. Kemudian akan dibukakan pintu neraka Jahannam, sehingga saya dapat melihat rantai-rantai, belenggu-belenggu dan teman-teman yang disediakan untukku. Kemudian racun dan bara apinya akan menerpa saya hingga saya dibangkitkan”.

TOBAT SESEORANG DARI BANI ISRAIL

Ka’ab al-Ahbar berkata bahwa pada masa Nabi Musa a.s., Bani Israil mengalami paceklik. Karena paceklik tersebut, mereka pun memintanya agar berdoa memohon hujan untuk mereka. Mendengar permintaan tersebut, Nabi Musa berkata, “Keluarlah kalian bersamaku pergi ke gunung.”
    Mereka menuruti permintaan Musa a.s. untuk keluar. Ketika menaiki gunung, Musa berkata, “Seseorang yang pernah melakukan dosa tidak boleh ikut aku.”
    Kemudian mereka semua kembali pulang, kecuali ada satu orang yang sebelah matanya buta yang bernama Burkhul ‘Abid. Musa lalu berkata kepadanya, “Tidakkah kamu mendengar apa yang telah aku katakan?”
    Dia menjawab, “Benar.”
    Musa bertanya, “Apakah kamu belum pernah melakukan dosa?”
    Dia menjawab, “Aku tidak tahu kecuali ada sesuatu yang aku ingat. Jika memang itu termasuk dosa, aku akan kembali pulang.”
    Musa berkata, “Apa itu?”
    Dia bercerita, “Pernah aku lewat di sebuah jalan. Aku dapati pintu kamar yang terbuka. Maka, dengan mataku yang sedang pergi ini aku melirik seseorang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku berkata kepada mataku, ‘Kamu berada di hadapanku, begitu cepat kamu melakukan kesalahan, janganlah kamu menemani aku sesudah ini.’ Aku pun memasukkan jariku dan aku mencongkelnya. Jika ini adalah sebuah dosa, aku akan kembali pulang.”
    Musa berkata bahwa itu bukan sebuah dosa, lalu berbicara kepada lelaki buta itu, “Mintalah hujan, wahai Barkh.”
    Barkh pun berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Quddus, ya Quddus, apa yang ada pada-Mu tidak pernah habis dan perbendaharaan-Mu tidak pernah binasa, dan Engkau tidak pernah bakhil dan kikir, dan itu yang tidak pernah ada pada-Mu, turunkanlah kami hujan selekasnya.”
    Ka’ab al-Ahbar berkata, “Keduanya—yaitu Musa dan orang itu—kembali pulang dan jalan pun becek karena banyaknya air.”
Penulis berpendapat bahwa jika pada masa dahulu atau pada umat-umat terdahulu yang namanya tobat harus dengan menghilangkan anggota tubuh yang melakukan maksiat, maka dalam agama kita tidak ada yang memerintahkan hal itu.
    Dahulu, tobatnya Bani Israil ketika mereka menyembah patung anak sapi pada zaman Nabiyullah Musa dan Rasul-Nya adalah dengan membunuh mereka yang telah menyembah patung anak sapi itu, dan itu benar-benar terjadi seperti yang diceritakan kepada kita oleh Allah swt. dalam Al-Qur’anul Karim, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu….’” (al-Baqarah: 54)
    Adapun dalam syariat agama kita, hal tersebut telah dihapus dan menjadikan tobat antara hamba dan Tuhannya menjadi hal yang sangat mudah sekali dengan mengikuti syarat-syarat tobat, yaitu menjauhi benar-benar maksiat tersebut, menyesalinya, bertekad kuat untuk tidak kembali lagi melakukan maksiat, dan dengan mengembalikan hak-hak kepada para pemiliknya.

Taubah al-Anbari Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Ibnu Hamdun dalam kitab tadzkirah-nya menulis tentang Taubah al-Anbari rahimahullah: "Taubah bercerita: "Yusuf bin Umar –salah seorang Gubernur- memaksaku untuk bekerja. Ia juga menyiksa dan mengikatku. Setelah itu ia memenjarakanku, sehingga tidak sehelaipun rambutku yang masih berwarna hitam. Pada suatu malam aku bermimpi didatangi oleh seseorang. Ia berkata: "Wahai Taubah, mereka lama memenjarakanmu?"
"Ya," jawabku.
"Mohonlah pada Allah kemaafan dan keselamatan di dunia dan akhirat sebanyak tiga kali."
(Doanya berbunyi:)
Kemudian aku terbangun lalu aku tulis doa tersebut. Aku berwudhuk dan shalat sebanyak yang aku mampu kemudian aku berdoa dengan doa tersebut sampai datangnya waktu shalat subuh.
Tiba-tiba datanglah penjaga. Ia bertanya: "Mana Taubah al-Anbari?"
Lalu ia membawaku dalam keadaan dirantai. Aku dihadapkan pada sang Gubernur. Aku masih terus membaca doa tadi. Ketika Gubernur melihatku ia segera memerintahkan untuk membebaskanku. Doa itu juga aku ajarkan pada seorang lelaki yang bersamaku dalam penjara. Laki-laki itu menceritakan: "Setiap kali aku digiring untuk disiksa lalu aku baca doa itu aku selalu dilepaskan. Suatu hari aku diseret untuk disiksa, lalu aku ingat doa itu tapi aku tidak membacanya. Akhirnya aku dicambuk seratus kali, kemudian aku baca doa itu lalu aku dilepaskan." 

Ya Allah Terimalah Amal Kami

Allah menguji Nabi Ibrahim dengan perintah dan larangan yang berat, dan Nabi Ibrahim menunaikannya dengan baik. Allah telah memerintahkan kepadanya untuk mengerjakan sesuatu yang sulit dikerjakan oleh orang biasa.
Al-Qur'an menjelaskan kepada kita, bahwa Allah telah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangun sebuah rumah suci (Ka'bah). Maka Nabi Ibrahim datang ke tempat anaknya, Nabi Isma'il di Mekah. Sesampainya di sana, sebagaimana yang ditulis dalam kitab-kitab yang bercerita tentang sejarah nabi, dia mendapati anaknya sedang meraut anak panah di bawah pohon dekat sumur zam-zam. Ketika melihat Nabi Ibrahim datang, Nabi Isma'il langsung menyambut dan memeluk ayahnya tersebut. Lalu Nabi Ibrahim berkata padanya, "Wahai Isma'il, Allah telah memerintahkan saya untuk membangun sebuah rumah suci di sini", se,bati menunjuk pada sebuah anak bukit yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya.
Setelah itu, Nabi Isma'il membantu ayahnya dalam memenuhi perintah Allah, yaitu membangun Ka'bah. Dia mengangkut bebatuan dari atas gunung untuk dijadikan bahan bangunan. Sedang ayahnya, dia menata bebatuan tersebut hingga menjadi bangunan. Akhirnya dengan kerja keras, keduanya pun mampu menyelesaikan bangunan Ka'bah tersebut dengan baik.
Setelah pekerjaan membangun Ka'bah itu selesai, mereka berdua berdo'a kepada Allah dengan sebuah do'a yang diberkahi, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur'an,

"Ya Tuhan kami terimalah dari pada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-Baqarah: 127)
Demikianlah, Nabi Ibrahim telah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dengan baik. Dia melaksanakannya dengan penuh keridhaan. Dan juga anaknya, Nabi Isma'il, telah membantu menyelesaikan tugas suci ayahnya dengan segenap keikhlasannya.

TOBAT SEORANG PEMUDA DI MAJELIS ZIKIR

    Raja bin Maisur al-Mujasyi’i bercerita, “Pada saat kami sedang berada dalam sebuah majelis Shalih al-Muri—salah seorang ahli ibadah dan ulama di Bashrah—dia membaca ayat Al-Qur’an, ‘Dan berilah mereka peringatan akan hari yang semakin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan. Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).’” (al-Mu`min: 18)
    Dia menjelaskan ayat itu seraya berkata, “Bagaimana seorang yang zalim mempunyai teman dan penolong sementara yang menuntutnya adalah Tuhan semesta alam? Sesungguhnya demi Allah, jika kamu melihat dan menyaksikan bagaimana orang-orang yang zalim dan orang-orang sering melakukan maksiat digiring dalam keadaan terikat rantai dan terbelenggu menuju ke neraka. Mereka dalam keadaan telanjang dan tidak berpakaian, muka mereka hitam pekat, mata mereka biru melotot, tubuh mereka meleleh, mereka berteriak,  ‘Betapa celakanya kami, betapa terkutuknya kami, apa yang telah diturunkan kepada kami? Apa yang telah ditimpakan kepada kami? Apa yang diinginkan dari kami?’”
    Sementara malaikat menggiring mereka dengan cambuk dari besi dan api. Sesekali mereka didorong dengan menyungkurkan muka mereka lantas mereka ditarik di atas muka-muka mereka itu. Mereka digiring ke dalam neraka dalam keadan terikat dengan menangis darah yang mengalir setelah air mata terputus dan habis dan dengan teriakan burung gagak yang bingung. Sesungguhnya demi Allah, jika kamu melihat dan menyaksikan pemandangan itu, mata kamu tidak akan mampu melihatnya dan hatimu tidak akan tega menyaksikannya.
    Kemudian syekh itu lalu menangis dengan suara yang keras seraya berkata, “Betapa jeleknya pemandangan itu, betapa jeleknya tempat kembali itu. Orang-orang pun turut menangis. Tiba-tiba ada seorang anak muda yang berdiri dari tengah orang banyak seraya berkata,  ‘Apakah semua ini dalam hari Kiamat wahai manusia?’”
    Dia menjawab, “Ya, demi Allah wahai anak muda. Bahkan, akan lebih dari itu, aku pernah mendengar bahwa mereka terus berteriak di dalam neraka sampai suara mereka terputus.”
    Anak muda itu pun berteriak, “Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan betapa aku telah melupakan-Nya dari diriku selama hidup ini. Betapa kasihannya aku yang telah menyia-nyiakan untuk taat kepada-Mu wahai Tuhan Yang Esa. Betapa kasihannya karena aku telah membuang-buang umurku hanya untuk urusan dunia.”
    Anak muda itu lalu menangis dan langsung menghadap Ka’bah seraya berdoa, “Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku menghadap Engkau saat ini untuk bertobat yang murni yang tidak berbau riya bagi selain Engkau. Wahai Tuhanku, ampunilah aku atas segala apa yang telah aku perbuat. Maafkanlah apa yang telah terdahulu aku lakukan, angkatlah aku dari ketergelinciran dan kasihanilah aku dan orang-orang yang hadir bersamaku. Berikan kemuliaan atas kami dengan kedermawanan dan kemurahan Engkau wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”
    Kemudian anak muda itu tidak sadarkan diri dan dia terjatuh pingsan. Orang-orang yang ada di situ mengangkatnya dalam keadaan terkapar. Dia bertahan hidup sampai beberapa hari. Setelah itu dia meninggal dunia.
    Syekh Shalih selalu menyebutnya dengan berkata, “Demi ayahku, dia dibunuh Al-Qur’an, demi ayahku dia dibunuh nasihat dan mau’izhah serta kesedihan itu.”
    Dia berkata, “Ada seseorang yang memimpikannya seraya bertanya kepada anak muda itu,  ‘Apa yang kamu lakukan?’”
    Dia menjawab, “Majelis Shalih telah memberiku berkah yang berlimpah dan aku pun masuk dalam kelapangan rahmat Allah yang tiada batas.”

TIDAK ADA SATU PUN YANG MENGAMPUNI DOSA SELAIN DIA

Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Mani’ meriwayatkan dari Ali bin Rabi’ah. Dia berkata, “Aku pernah diajak berjalan di belakang Ali r.a. ke pinggiran Madinah, kemudian dia mengangkat kepalanya ke langit seraya berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada satu pun yang mengampuni dosa selain Engkau.’ Kemudian Ali menoleh kepadaku dan tertawa.
    Aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, engkau memohon ampun kepada Tuhanmu dan engkau menoleh kepadaku sambil tertawa?’
    Ali berkata, ‘Rasulullah saw. pernah mengajakku berjalan di belakang beliau pergi ke pinggiran Madinah, kemudian beliau mengangkat kepala beliau ke langit seraya berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya tidak ada satu pun yang mengampuni dosa selain Engkau.’ Kemudian beliau menoleh kepadaku dan tertawa. Aku pun berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, engkau memohon ampun kepada Tuhanmu dan engkau menoleh kepadaku sambil tertawa?’
    Beliau berkata, ‘Aku tertawa disebabkan tertawanya Tuhanku karena keheranan-Nya kepada hamba-Nya. Sesungguhnya Dia tahu bahwa tidak ada satu pun yang mengampuni dosa selain Dia.’”

Nabi Ayub A.s. dan Keridhaannya Kepada Qada

Nama lengkap Nabi Ayub adalah Ayub bin Mush bin Razih ibnul Ish bin Ishaq bin Ibrahim. Dia nabi Allah yang penyabar. Dia termasuk salah satu anak cucu Nabi Ibrahim, bapak para nabi. Yaitu melalui Garis keturunan al-Ish bin Ishaq bin Ibrarim. Al-Ish adalah saudara Nabi Ya’qub. Selain itu, Nabi Ayub juga punya saudara kembar bernama Isau. Jadi dari silsilah nasabnya tersebut dapat diketahui bahwa Nabi Ayub adalah satu-satunya nabi yang berasal dari garis keturunan al-Ish. Ibn Asakir menambahkan dalam penjelasannya, bahwa ibu Nabi Ayub adalah putri dari nabi Luth. Dan sebagaimana yang telah diketahui, Romawi juga merupakan keturunan dari al-Ish bin Ishaq.
    Adapun yang terpenting di sini adalah kisah perjalanan hidup Nabi Ayub a.s.. Pada mulanya Nabi Ayub adalah orang kaya. Allah menganugerahkan padanya limpahan nikmat berupa harta benda, anak-anak, status sebagai seorang nabi, kesalehan dan ketakwaan. Kemudian pada suatu ketika, dengan hikmah yang Allah ketahui, Dia menguji Nabi Ayub dengan mengambil semua nikmat tersebut. Semua anak-anaknya meninggal dunia. Harta bendanya musnah. Bahkan dirinya sendiri menderita sakit parah. Hingga tidak satu pun dari anggota badannya yang luput dari penyakit, kecuali hati dan lisannya, yang dengan keduanya dia selalu berzikir kepada Allah. Nabi Allah Ayub dengan penuh kesabaran dan mengharapkan balasan dari Allah semata, menghadapi semua ujian tersebut. Dia ridha terhadap qada dan qadar Allah dan senantiasa mengingat Allah dengan berzikir di waktu pagi dan sore hari.
    Sakit parah yang diderita Nabi Ayub berkepanjangan, hingga orang-orang menjauh darinya. Bahkan mereka mengusirnya keluar dari negeri dan kampung halamannya, karena khawatir penyakitnya akan menular. Dia dibuang ke tempat pembuangan sampah yang terletak di luar kampungnya. Hanya istrinya, Rahmah binti Afratsim, yang setia menemani dan membantunya. Dialah yang mencarikan makanan dan minuman untuk Nabi Ayub, hingga harus bekerja sebagai seorang pembantu yang membantu pekerjaan orang lain dengan upah. Ujian berat yang dihadapi Nabi Ayub tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, karena seberat-berat manusia yang ditimpa ujian adalah mereka para nabi. Hal tersebut senada dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.,

“Seberat-berat manusia yang ditimpa ujian adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian orang-orang yang setingkat di bawah mereka dalam hal kesalehan, kemudian orang-orang yang tingkat kesalehannya di bawahnya lagi”.
Dan beliau juga bersabda,

“Seseorang akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Apabila dia seorang yang agamanya kuat, maka ujiannya akan semakin bertambah”. 
    Ujian bukanlah sebuah hukuman sebagaimana yang difahami oleh orang-orang awam, orang-orang yang tidak berpengetahuan dan mereka yang dangkal imannya. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan berapa lama Nabi Ayub ditimpa ujian. Ada yang mengatakan tiga tahun, ada yang mengatakan tujuh tahun, juga ada yang berpendapat bahwa dia diuji selama delapan belas tahun.
    Dalam kisahnya tentang apa yang diderita Nabi Ayub, as-Sadi berkata, “Daging yang membalut tubuhnya habis terkikis. Hanya tulang dan ototnya saja yang masih setia menghiasi tubuhnya. Suatu ketika istrinya datang membawakan abu untuk dijadikan alas tempat pembaringannya. Dan saat dirasa bahwa penderitaan yang dialami suaminya semakin berkepanjangan, dia berkata padanya, “Wahai Ayub jika engkau berdoa memohon pada Tuhanmu, niscaya Dia akan mengeluarkanmu dari penderitaan ini”. Nabi Ayub menjawabnya dengan penuh keridhaan, “Saya telah menikmati hidup sehat selama tujuh puluh tahun, apakah tidak sepantasnya selama itu juga saya bersabar menerima cobaan dari Allah, yang jika dibandingkan dengan nikmat-Nya tidaklah seberapa”.
    Istri Nabi Ayub adalah sosok istri yang penyabar. Dia senantiasa ridha terhadap qada dan qadar Allah. Dia setia menemani suaminya yang sedang sakit parah dan menerima ujian berat dari Allah. Disaat yang sama, orang-orang menjauhi suaminya karena yang dialaminya itu. Mereka takut jika bergaul dengan suaminya akan tertular penyakitnya. Oleh karena itu tidak seorang pun mau membantunya untuk merawat suaminya. Dengan kondisi seperti itu apakah yang bisa dia perbuat?
    Istrti Nabi Ayub yang penyabar itu, dengan suka rela menjual salah satu dari dua rambutnya yang dikepang pada seorang anak perempuan dari orang terpandang. Dengan cara itu dia bisa mendapatkan makanan yang baik dan banyak buat suaminya. Ketika dia datang membawakan makanan tersebut, dengan bijak suaminya bertanya padanya, “Dari mana engkau mendapatkan makanan ini?” Istrinya menjawab, “Saya mendapatkannya dengan cara bekerja membantu orang lain”.
    Kemudian pada keesokan harinya, dia menjual lagi rambutnya yang dikepang. Dengan itu dia kembali dapat membawakan makanan buat suaminya. Akan tetapi Nabi Ayub menolak untuk memakannya sampai sang istri mau bersumpah untuk memberitahukan yang sebenarnya padanya, dari mana dia memperoleh makanan tersebut. Akhirnya istrinya memperlihatkan kepalanya padanya hingga dia menyaksikan bahwa tidak ada lagi rambut yang menghiasi kepala istrinya. Kemudian disaat itu juga disamping istrinya dia berdoa kepada Tuhannya sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, “Ya Tuhan saya, sesungguhnya saya telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang”. (al-Anbiyaa`: 83 ).
Kemudian mereka berdua saling mendoakan. Istrinya berkata, “Allah akan menolongmu wahai Ayub”. Lalu Nabi Ayub berkata pada istrinya, “Allah juga akan menolongmu wahai Rahmah”.
    Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Ubaid bin Umair, dia berkata, “Nabi Ayub mempunyai dua saudara. Suatu hari, keduanya datang menjeguknya. Sesampainya di tempat tujuan, mereka tidak sanggup mendekatinya karena terganggu oleh bau badannya yang tidak sedap akibat sakit parah yang dideritanya. Mereka hanya mampu berdiri memandang dari jauh. Dan ketika menyaksikan keadaan Nabi Ayub tersebut, salah seorang dari mereka berkata, “Seandainya saja Ayub mempunyai kebaikan dan Allah mengetahuinya, niscaya Allah tidak akan mencobanya seperti ini”. Nabi Ayub menjadi sedih dan gelisah ketika mendengar perkataan mereka. Padahal sebelumnya, perasaan tersebut tidak pernah terlintas dalam dirinya walau apa pun yang dihadapinya. Nabi Ayub pun berkata dalam pengaduannya kepada Allah, “Ya Allah Engkau tahu bahwa saya tidak pernah melewatkan satu malam pun dalam keadaan kenyang. Dan dengan keadaan seperti itu, saya menjadi tahu bagaimana rasanya orang lapar. Maka tunjukkanlah pada mereka bahwa apa yang saya ucapkan ini adalah benar. Kemudian datanglah pembenaran tersebut langsung dari langit dan didengar oleh kedua saudaranya tersebut. Dan Nabi Ayub juga berkata dalam pengaduannya itu, “Ya Allah Engkau juga tahu bahwa saya sama sekali tidak pernah memiliki dua helai pakaian. Dan dengan itu saya tahu bagaimana rasanya orang tanpa pakaian. Maka tunjukkanlah juga pada mereka kebenaran ucapan saya ini. Kemudian tidak berselang lama, datanglah pembenaran tersebut dari langit dan juga didengar oleh mereka berdua.
    Nabi Ayub juga berkata dalam munajatnya, “Ya Allah dengan keagungan Zat-Mu, hamba-Mu ini memohon”. Lalu dia sujud bersimpuh sembari berkata, “Ya Allah, demi Zat-Mu Yang Maha Agung, saya tidak akan mengangkat kepala saya selamanya sampai Engkau berkenan melepaskan saya dari cobaan ini”. Nabi Ayub pun tetap dalam posisi sujud tidak mengangkat kepalanya, hingga dia terlepas dari cobaan yang selama ini dialaminya.
    Maka Allah mewahyukan kepadanya dan dia masih berada ditempat munajatnya, “Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum”.
    Maha Suci Allah, Zat Yang Maha Kuasa lagi Maha memberi kesembuhan dan kesehatan. Dialah yang meletakkan obat bagi Nabi Ayub tepat di bawah telapak kakinya, dengan tanpa disadarinya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah bentuk kekuasaan dan kebijaksanaan Allah Yang Maha Tinggi, yang hanya bisa difahami oleh orang berakal dan beriman, yang senantiasa rida dengan qada dan Qadar Allah.
Ketika istri Nabi Ayub kembali, dia sudah tidak menjumpai suaminya berada ditempatnya semula. Allah telah menyembuhkan penyakit Nabi Ayub a.s.. Kemudian dalam kondisi yang sudah sehat tersebut, Nabi Ayub menghampiri istrinya. Ketika sang istri melihatnya, seakan dia tidak mengenalinya lagi, hingga bertanya padanya, “Semoga Allah memberkati anda, apakah anda berjumpa dengan seorang nabi Allah yang sedang ditimpa cobaan? Sungguh demi Allah Yang Maha Kuasa, saya tidak pernah menjumpai orang semirip dia ketika sehat kecuali anda”. Lalu Nabi Ayub menjawabnya, “Inilah saya yang sedang kamu cari”.
Wahb bin Munabbih berkata, “Allah telah mewahyukan kepada Nabi Ayub, “Aku telah mengembalikan padamu keluarga dan hartamu. Dan Aku melipatgandakannya untukmu. Maka mandilah dengan air ini, karena di dalamnya terdapat obat bagimu. Kemudian berkurbanlah untuk sahabat-sahabatmu dan mintakanlah ampunan untuk mereka, karena sesungguhnya mereka telah mendurhakai-Ku”.
Allah Swt berfirman,

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhannya, “Sesungguhnya saya diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman), “Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.” Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. Dan ambilah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya)”. (Shaad: 41-44)
Allah telah memuji Nabi Ayub sebagai orang yang sabar, sebagaimana bunyi firmannya,

“Dan ambilah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar.” ( Shaad: 44 ).
Dikisahkan bahwa Nabi Ayub, ketika sedang menderita sakit parah karena diuji oleh Allah, istrinya berusaha keras  supaya bisa mendapatkan makanan untuknya, sampai dia harus menjual rambutnya yang dikepang. Nampaknya Nabi Ayub kurang berkenan dengan pengorbanan istrinya tersebut, oleh karenanya dia bersumpah jika kelak Allah menyembuhkan penyakitnya dia akan mencambuk istrinya sebanyak seratus kali. Akan tetapi Allah memberikan keringanan padanya berkenaan dengan sumpahnya itu. Allah hanya memerintahkannya supaya mengumpulkan seratus helai rumput atau tangkai-tangkai kecil pada tanaman, dan mengikatnya menjadi satu, kemudian memukulkannya ke istrinya sekali pukulan, dan itu dihitung sama seperti seratus kali pukulan. Jadi dengan adanya keringanan Allah tersebut, Nabi Ayub bisa tetap memegang sumpahnya. Demikianlah, Allah memberikan kemudahan bagi dua orang hamba-Nya yang penyabar, Nabi Ayub dan istriya.
Diceritakan juga, bahwa setelah terbebas dari ujian berat tersebut, Nabi Ayub hidup selama tujuh puluh tahun di negeri Romawi dengan menjalankan ajaran agama Hanifiah. Dikatakan bahwa kelak di hari kiamat, Allah akan membungkam hujjah orang-orang kaya dengan Nabi Sulaiman, para budak dengan Nabi Yusuf, dan orang-orang yang ditimpa cobaan dengan Nabi Ayub.
Ya Allah, berilah keselamatan pada kami semua dan janganlah Engkau timpakan cobaan yang berat. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua penyayang.

Fudhail bin Iyadh dan Kematian Anaknya

Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa` meriwayatkan dari Abu Ali ar-Razi, dia berkata, “Saya menyertai Fudhail bin Iyadh selama tiga puluh tahun, dan saya tidak pernah melihatnya tertawa ataupun tersenyum kecuali di hari kematian anaknya, Ali. Kemudian saya bertanya padanya tentang hal itu. Dia pun menjawab, “Sesungguhnya Allah menyukai suatu perkara, dan saya menyukai apa yang disukai Allah itu”.
Saya ( penulis ) katakan, “Sesungguhnya kondisi orang-orang zuhud dan para ahli ibadah itu berlawanan dengan kondisi orang kebanyakan. Mereka, orang kebanyakan itu tertawa ketika mendapatkan kebahagiaan dan menangis ketika ditimpa kesusahan. Sedang orang-orang zuhud serta para ahli ma’rifah, mereka tertawa tatkala diuji dengan musibah. Kondisi seperti itu menandakan keridhaan mereka terhadap qadha Allah. Akan tetapi, bukan berarti dengan kisah ini seseorang dilarang menangisi sebuah kematian tanpa disertai ratapan. Karena Rasulullah sendiri, ketika kematian anaknya Ibrahim, menangis sebagai tanda kasih sayang beliau. Kemudian beliau bersabda, “Kita hanya mengatakan apa yang diridhai Tuhan”, atau sebagaimana yang beliau sabdakan. Demikian juga Nabi Ya’qub, tatkala berpisah dengan dua orang anaknya Nabi Yusuf dan Bunyamin, dia menagis karena sedih.

Yang Dipercaya Menjaga Nama Allah yang Paling Agung

Yusuf bin Husain berkata, “Aku mendengar bahwa Dzun Nun al-Mishri mengetahui nama Allah yang paling agung, maka aku datang ke Mesir dan menjadi pembantunya selama setahun. Setelah genap setahun aku berkata kepadanya, ‘Wahai tuanku, aku telah menjadi pembantumu selama setahun, maka sekarang sudah selayaknya aku mendapat upah darimu. Aku dengar kamu mengetahui nama Allah yang paling agung dan kamu sudah tahu siapa diriku maka aku ingin kamu beritahukan hal itu kepadaku.’ Dzun Nun diam dan tidak menjawab apa-apa, tetapi seolah-olah dia mengisyaratkan akan memberitahukan hal itu kepadaku suatu saat nanti.
Enam bulan sudah berlalu. Suatu ketika dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang diikat dengan sehelai sapu tangan. Saat itu Dzun Nun tinggal di Giza. Dia berkata kepadaku, ‘Engkau tahu si fulan sahabat kita yang tinggal di Fusthat (sekarang bernama Cairo)?’
‘Ya,’ jawabku.
Dia berkata, ‘Aku ingin kamu memberikan ini kepadanya.’
Kemudian aku ambil bungkusan yang diikat itu dan aku segera berangkat. Sepanjang perjalanan aku selalu berpikir, orang seperti Dzun Nun memberikan hadiah kepada seseorang, kira-kira apa isinya?
Aku tak sabar untuk membukanya sebelum sampai ke perbatasan daerah tujuan. Akhirnya, aku buka juga bungkusan itu. Ternyata seekor tikus keluar dan meloncat dari dalam bungkusan tersebut.
Aku merasa sangat kesal sekali. Aku berkata dalam hati, Dzun Nun ingin mempermainkanku? Dia mengirim seekor tikus melalui orang sepertiku?
Kemudian aku kembali kepada Dzun Nun dalam keadaan marah. Ketika melihatku, dia langsung tahu apa yang aku rasakan. Dia berkata, ‘Wahai bodoh, sesungguhnya kami hanya ingin mengujimu. Apakah setelah aku memercayakan kepadamu seekor tikus dan kau tak bisa menjaga amanah itu, aku akan mengamanahkan kepadamu nama Allah yang paling agung? Pergilah dan jangan kembali lagi.’”
Nama Allah yang paling agung maksudnya adalah nama yang kalau digunakan untuk berdoa kepada Allah, pasti akan Allah kabulkan dan kalau bermohon menggunakan nama itu pasti akan Allah berikan.