Fudhail bin Iyadh dan Kematian Anaknya

Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa` meriwayatkan dari Abu Ali ar-Razi, dia berkata, “Saya menyertai Fudhail bin Iyadh selama tiga puluh tahun, dan saya tidak pernah melihatnya tertawa ataupun tersenyum kecuali di hari kematian anaknya, Ali. Kemudian saya bertanya padanya tentang hal itu. Dia pun menjawab, “Sesungguhnya Allah menyukai suatu perkara, dan saya menyukai apa yang disukai Allah itu”.
Saya ( penulis ) katakan, “Sesungguhnya kondisi orang-orang zuhud dan para ahli ibadah itu berlawanan dengan kondisi orang kebanyakan. Mereka, orang kebanyakan itu tertawa ketika mendapatkan kebahagiaan dan menangis ketika ditimpa kesusahan. Sedang orang-orang zuhud serta para ahli ma’rifah, mereka tertawa tatkala diuji dengan musibah. Kondisi seperti itu menandakan keridhaan mereka terhadap qadha Allah. Akan tetapi, bukan berarti dengan kisah ini seseorang dilarang menangisi sebuah kematian tanpa disertai ratapan. Karena Rasulullah sendiri, ketika kematian anaknya Ibrahim, menangis sebagai tanda kasih sayang beliau. Kemudian beliau bersabda, “Kita hanya mengatakan apa yang diridhai Tuhan”, atau sebagaimana yang beliau sabdakan. Demikian juga Nabi Ya’qub, tatkala berpisah dengan dua orang anaknya Nabi Yusuf dan Bunyamin, dia menagis karena sedih.

0 comments:

Post a Comment