5. Jasadnya Diangkat ke Langit

Dia adalah Amir bin Fuhairah r.a., salah seorang yang mula-mula masuk Islam, bahkan sebelum Rasulullah saw. berdakwah di Darul Arqam. Saat itu, dia adalah seorang budak, lalu dia dibeli oleh Abu Bakar r.a. dan kemudian dimerdekakan.
Ketika Rasulullah saw. bersama Abu Bakar r.a. hijrah ke Madinah al-Munawwarah dan bersembunyi di Gua Tsur, Amir bin Fuhairah yang mengembalakan kambing Abu Bakar r.a.. Dia yang menghapus jejak Abdullah bin Abu Bakar r.a. yang pergi ke Gua Tsur menyampaikan berita dan perkembangan tentang Quraisy kepada ayahnya dan Rasulullah saw.. Pada malam harinya, dia memerah susu lalu dia mengantarkannya kepada Rasulullah dan sahabatnya di dalam gua.
Amir hijrah ke Madinah dan ikut dalam Perang Badar Kubra serta Uhud. Dia syahid dalam peristiwa Bi`ru Ma’unah pada tahun 4 H.
Ka’ab bin Malik berkata, “Rasulullah saw, mengutus beberapa orang sahabat ke Bani Sulaim termasuk Amir bin Fuhairah. Mereka diserang oleh Amir bin Thufail bersama komplotannya. Mereka membunuh seluruh sahabat yang diutus di Bi`ru Ma’unah.
Zuhri berkata, “Berita yang sampai kepadaku menyebutkan bahwa orang-orang mencari jasad Amir bin Fuhairah, tetapi mereka tidak menemukannya. Mereka yakin bahwa malaikat telah menguburkannya.” 
Ahli sejarah menyebutkan bahwa Jabbar bin Salmi yang telah menusuk tubuh Amir bin Fuhairah dalam peristiwa Bi`ru Ma’unah tersebut. Lalu Amir berkata, “Demi Allah, aku telah menang wahai Jabbar.” Kemudian dia mencabut kembali tombaknya. Jasad Amir tidak di temukan di antara jasad-jasad lainnya yang telah mati. Akhirnya, Jabbar bin Salmi masuk Islam dan keislamannya semakin hari semakin baik. Urwah bin Zubair berkata, “Mereka berpendapat bahwa malaikatlah yang telah menguburkannya.”
Hiram bin Milhan al-Anshari juga ditombak dalam kisah yang sama ketika tujuh puluh orang sahabat dibunuh secara keji, lalu dia berkata, “Aku menang, demi tuhan Ka’bah.” Rasulullah saw. sangat sedih mendengar berita itu, dan selama sebulan beliau selalu mendoakan keburukan terhadap para pembunuh tersebut.
Hal yang menarik adalah bahwa pembunuh Amir justru akhirnya masuk Islam. Penyebab masuk Islamnya adalah ucapan Amir, “Aku menang, demi tuhan Ka’bah.” Pembunuh tersebut bertanya kepada orang-orang apa makna ucapan itu. Mereka menjawab, “Sesungguhnya yang dia maksudkan dengan kemenangan itu adalah surga.” Akhirnya,  dia masuk Islam. Adapun tentang hilangnya jasad Amir hal itu adalah karamah (kemuliaan) dari Allah swt. untuknya.

Dia Mendoakan Seorang Wanita dan Allah Melapangkan Kesulitannya

Muzhaffar bin Sahal al-Muqri berkata, “Aku terlibat pembicaraan tentang manaqib (sifat-sifat baik) Sari as-Saqthi bersama Alan al-Khayyath. Alan berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Sari. Tiba-tiba, datanglah seorang wanita. Dia berkata, ‘Wahai Abul Hasan, aku adalah salah seorang tetanggamu. Putraku telah ditangkap oleh polisi, aku khawatir dia akan disiksa. Maukah kau pergi bersamaku (menemui polisi itu) atau kau mengutus seseorang kepadanya?’”
Alan berkata, “Aku mengira dia akan mengutus seseorang. Kemudian dia bangkit, lalu dia bertakbir dan mengerjakan shalat dengan panjang dan lama.”
Wanita itu berkata, “Wahai Abul Hasan, tolonglah aku karena Allah, aku takut dia akan disiksa oleh sultan (penguasa).”
Sari membaca salam dan berkata kepada wanita itu, “Aku akan membantumu.”
Alan berkata, “Tak berapa lama setelah itu, datanglah seorang wanita menemui wanita tadi dan berkata, ‘Bangkitlah segera, mereka telah melepaskan putramu, dan dia telah selamat berkat karunia Allah.’”

`Ammar bin Yasir dan Kelapangan Setelah Kesempitan

'Ammar bin Yasir sudah masuk Islam sejak lama di Mekah bersama ibunya; Sumayyah binti Khayyat dan juga ayahnya; Yasir. Kaum musyrikin menyiksa keluarga muslim tersebut. Suatu ketika Rasulullah saw. lewat di hadapan mereka yang sedang disiksa di Mekah, lalu Rasulullah bersabda: "Sabarlah wahai keluarga Yasir karena sesungguhnya surga telah dijanjikan untuk kalian."

Ayahnya; Yasir dan ibunya; Sumayyah akhirnya dibunuh oleh kaum msuyrikin setelah disiksa terlebih dahulu sehingga kedua orang suami istri tersebut menjadi syahid pertama dalam Islam.

'Ammar terus disiksa setelah kedua orang tuanya syahid. Kaum musyrikin membakar tubuhnya. Ketika Rasulullah saw. lewat di depannya beliau menggosokkan tangannya ke kepala 'Ammar dan berkata: "Wahai api, dinginlah dan selamatkan 'Ammar sebagaimana engkau telah menyelamatkan Nabi Ibrahim." 
Rasulullah saw. sering mendoakan kelaurga Yasir. Beliau bersabda: "Sabarlah. Ya Allah ampunilah keluarga Yasir." Allah pun mengabulkan doa Rasul-Nya.

Kaum musyrikin terus saja menyiksa 'Ammar dan tidak melepaskannya sampai akhirnya dengan terpaksa Amar mencela Rasulullah dan memuji tuhan-tuhan kaum musyrikin. Ketika ia datang menemui Rasulullah, beliau bertanya: "Bagaimana kabarmu?"
"Kabar buruk wahai Rasulullah. Aku tak dilepaskan sampai aku mencela engkau dan memuji tuhan-tuhan mereka."
Rasulullah saw. bertanya: "Bagaimana kondisi hatimu?"
"Aku rasakan hatiku tetap damai dalam keimanan."
"Kalau mereka kembali menyiksamu maka ucapkanlah itu kembali." 

Begitulah Allah melapangkan kesempitan dan kesulitan Ammar r.a. Ia wafat dalam perang Shiffin saat ia berperang di pihak Ali bin Abi Thalib r.a untuk memusnahkan kelompok pembangkang yaitu pasukan Syam di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan r.a pada tahun 37 H. Umurnya saat itu lebih kurang sembilan puluh tiga atau sembilan puluh empat tahun.

Nabi Ibrahim dan Malaikat Maut

Ubaid bin Umair berkata, "Nabi Ibrahim sangat senang jika ada orang datang bertamu padanya. Bahkan pada suatu hari, dia pergi ke luar rumah untuk mencari orang yang mau diajak bertamu ke rumahnya. Akan tetapi setelah lama mencari, dia  tidak kunjung menemukannya. Akhirnya dia pun pulang sendirian. Kemudian sesampainya di rumah, dia melihat rumahnya ada seorang laki-laki yang sedang berdiri di dalam. Lalu dia bertanya pada laki-laki itu, "Wahai hamba Allah, apa yang membuatmu masuk rumah saya ini tanpa seizin saya?" Laki-laki itu menjawab, "Saya masuk dengan izin Tuhan rumah ini". Lalu dengan perasaan ingin tahu, Nabi Ibrahim bertanya lagi padanya, "Siapakah sebenarnya anda ini?" Laki-laki itu menjawab, "Saya adalah malaikat maut. Saya diutus Tuhan saya untuk menemui seorang hamba-Nya, lalu memberitahukan kepadanya sebuah kabar gembira dari-Nya, yaitu bahwa Allah telah memilih dia sebagai kekasih-Nya".
Setelah mendengar penuturan tamunya itu, Nabi Ibrahim bertanya padanya, "Siapakah adanya hamba Allah yang sangat beruntung itu. Sungguh demi Allah, jika kamu berkenan memberitahukannya kepada saya, maka saya akan datang menemuinya walaupun dia tinggal di negeri yang paling jauh. Lalu saya akan tinggal di dekatnya untuk menjadi tetangganya sampai ajal memisahkan kami". Lalu sang malaikat maut itu pun berkata pada Nabi Ibrahim, "Hamba Allah yang beruntung itu adalah engkau sendiri dan bukannya orang lain". Seketika itu Nabi Ibrahim pun terkejut. Lalu dia bertanya memastikan, "Benarkah saya yang kamu tuju itu?" "Ya, engkaulah orangnya", jawab malaikat maut singkat. Kemudian Nabi Ibrahim bertanya kembali, "Apa yang menyebabkan Tuhan saya berkenan memilih saya untuk menerima gelar kemuliaan ini?" Malaikat maut menjawab, "Karena engkau sering memberi dan membantu banyak orang. Dan engkau sendiri tidak pernah meminta apapun dari mereka".

Abdullah bin Umar dan Kematian Anaknya

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dari Nafi’ maula Ibnu Umar, dia berkata, “Suatu ketika anak Ibnu Umar merintih-rintih karena sakit parah. Hal itu membuat Ibnu Umar bersedih, hingga beberapa orang yang melihatnya berkata, ”Sungguh kami khawatir akan terjadi sesuatu pada diri orang tua ini”. Tidak selang lama sang anak pun meninggal dunia. Lalu Ibnu Umar keluar mengiring  jenazahnya dengan wajah yang tetap berseri, tidak seorang pun yang wajahnya lebih cerah dari dia kala itu. Orang pun bertanya-tanya karenanya. Maka Ibnu Umar berkata, “Kesedihan saya adalah kasih sayang baginya. Maka ketika keputusan Allah berlaku padanya saya ridha dengan keputusan itu”. Maksud dari perkataan Ibnu Umar tersebut adalah bahwa kesedihannya tatkala anaknya sakit merupakan curahan rasa kasih sayangnya terhadap sang anak. Itu adalah perasaan yang wajar, karena setiap manusia yang mencintai anak-anaknya akan merasakan hal itu. Kemudian ketika anaknya meninggal dunia sesuai dengan keputusan Allah maka dia pun ridha terhadap keputusan itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang mu’min terhadap keputusan Tuhannya yang Maha Agung. Dan sikap seperti itu tidak akan dimiliki oleh seorang pun kecuali dia ridha terhadap qadha dan qadar Allah.

Apa Kepentingan Saya kepada Orang-orang Itu?

Abu Abdillah berkata, “Muhammad bin Aslam berkata kepada saya, “Wahai Abu Abdillah, saya tidak mempunyai urusan dengan orang-orang itu. Saya dulu sendirian di dalam tulang sulbi ayah saya. Kemudian saya sendirian di dalam rahim ibu saya. Kemudian saya sendirian keluar ke dunia. Kemudian nyawa saya akan dicabut sendirian. Kemudian saya masuk ke dalam kubur sendirian. Kemudian Munkar dan Nakir mendatangi saya dan menanyai saya sendirian. Jika saya menuju ke surga, maka saya menuju ke sana sendirian. Kemudian amal dan dosa saya sendiri diletakkan di atas neraca. Jika saya dimasukkan ke neraka, maka saya dimasukkan ke dalamnya sendiri. Jadi apa kepentingan saya terhadap orang-orang itu?”
Kemudian dia diam dan berpikir sejenak, tiba-tiba badannya bergetar, sampai saya merasa khawatir dia akan terjatuh.
Dan saya mengikuti dia selama lebih dari dua puluh tahun. Selama itu saya tidak pernah melihatnya melakukan shalat sunnah, kecuali pada hari jum’at. Saya juga tidak pernah melihatnya bertasbih dan membaca Al-Qur’an. Padahal tidak seorang pun yang lebih tahu dari saya tentang rahasia dan apa yang dilakukannya.
Pada suatu hari saya pernah mendengarnya bersumpah dan berkata, “Seandainya saya mampu melakukan ibadah sunnah tanpa dilihat oleh kedua malaikat yang selalu mengawasiku, pasti akan saya lakukan. Akan tetapi saya tidak mampu melakukannya”. Dia melakukan semua itu karena takut dari riya`. Dia juga menjalin silaturahmi dengan orang-orang, dia memberi makanan dan pakaian kepada mereka dengan mengutus orang lain. Dia berpesan kepada utusannya tersebut, “Hati-hati, jangan sampai mereka tahu siapa yang mengirim semua ini kepada mereka”.
Dia juga mendatangi orang-orang miskin pada malam hari dengan membawa apa yang akan diberikannya kepada mereka. Dengan sembunyi-sembunyi dia memberikannya. Terkadang saat itu pakaian orang-orang yang diberi tersebut sudah rusak dan makanan mereka habis. Setelah menerima pemberian tersebut, mereka tidak tahu siapa yang memberi mereka” .
    Saya ( penulis ) katakan, “Ahli ibadah tersebut selalu berusaha semampunya untuk menyembunyikan ibadah dan sedekah-sedekahnya agar tidak terlihat oleh orang lain. Dia melakukannya karena takut dari riya`”.

Keridhaan Ufairah al-Bashriyyah kepada Qadha Allah

Ibnul Jauzi menyebutkan di dalam Shifatush Shafwah tentang biografi Ufairah al-Bashriyyah ( seorang wanita dari Bashrah ) yang diuji dengan hilangnya nikmat penglihatan darinya, lalu dia bersabar, ikhlas dan banyak beribadah kepada Allah. Dia hanya sedikit tidur malam.
Melihat kondisi yang demikian, keluarganya menegurnya dan berkata, “Engkau hanya tidur sebentar di malam hari dan banyak melakukan shalat”.
Dia menjawab, “Terkadang saya ingin tidur tapi saya tidak mampu melakukannya. Bagaimana seseorang bisa tidur, sedangkan dua malaikat yang mengawasinya tidak pernah tidur siang dan malam?”
Adapun penyebab kebutaannya, dia sering menangis  di siang dan malam hari karena takut kepada Allah.
Maka keluarganya berkata, “Alangkah berat kebutaan bagi orang yang sebelumnya pernah melihat”.
Maka dia menjawab, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya kebutaan hati untuk mengetahui Allah adalah lebih berat dari pada kebutaan mata untuk melihat dunia”.

Si Kudis, Si Botak, dan Si Buta

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Kitab Shahih mereka dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya ada tiga orang Bani Israil, yang pertama kena kudis, yang kedua botak, dan yang ketiga buta. Allah ingin menguji mereka, maka diutus-Nya seorang malaikat. Pertama, malaikat itu mendatangi si Kudis dan bertanya, ‘Apa yang paling kamu sukai?’
Dia menjawab, ‘Warna yang indah dan kulit yang indah serta hilangnya dariku penyakit yang membuat orang jijik kepadaku ini.’
Malaikat itu mengusap tubuhnya dan seketika itu juga lenyaplah penyakitnya dan dia diberikan warna yang indah.
Malaikat bertanya lagi, ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’
Dia menjawab, ‘Unta (atau dia berkata, sapi—ada keraguan dari sang perawi cerita).’
Sang malaikat memberinya seekor unta betina yang sedang hamil. Malaikat berkata, ‘Semoga Allah memberkahi hartamu ini.’
Kemudian sang malaikat mendatangi si Botak. Malaikat bertanya, ‘Apa yang paling kamu sukai?’
Dia menjawab, ‘Rambut yang indah dan hilangnya kebotakan yang membuat orang-orang menjauh dariku ini.’
Malaikat kemudian mengusap kepalanya, maka hilanglah kebotakannya dan dia diberikan rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi, ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’
Dia menjawab, ‘Sapi.’
Malaikat memberinya seekor sapi yang sedang hamil dan berkata, ‘Semoga Allah memberkahi hartamu.’
Setelah itu malaikat mendatangi si Buta dan bertanya kepadanya, ‘Apa yang paling kamu sukai?’
Dia menjawab, ‘Pemandangan yang indah dan hilangnya kebutaan yang membuat orang menjauh dariku ini.’ Kemudian malaikat mengusap matanya dan hilanglah kebutaannya. Lalu malaikat bertanya lagi, ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’
Dia menjawab, ‘Kambing.’
Lalu malaikat memberinya seekor kambing yang sedang hamil. Akhirnya, binatang-binatang tersebut berkembang biak. Orang pertama mempunyai selembah unta, orang kedua mempunyai selembah sapi, dan yang ketiga mempunyai selembah kambing.
Kemudian malaikat datang kepada yang pertama (yang awalnya kudis) dalam bentuk seorang lelaki yang berpenyakit kudis. Dia berkata, ‘Aku seorang miskin yang kehabisan bekal dalam perjalanan, aku tak punya daya lagi kecuali dengan rahmat Allah kemudian dengan bantuanmu. Demi Zat yang telah memberimu warna dan kulit yang indah serta harta dalam bentuk unta, sudikah kau memberiku bekal?’
‘Keperluanku masih banyak,’ jawabnya.
Malaikat berkata, ‘Sepertinya aku mengenalmu. Bukankah kamu yang dulunya berkudis dan orang-orang menjauhimu, kamu dulunya seorang miskin lalu Allah memberimu harta?’
Dia berkata, ‘Hartaku ini warisan turun-temurun.’
Malaikat berkata, ‘Jika kamu bohong, maka Allah akan mengembalikanmu seperti dulu.’
Kemudian malaikat mendatangi si Botak dalam bentuk seorang lelaki botak. Dia berkata kepadanya seperti apa yang dia katakan pada yang pertama tadi dan jawaban yang dia terima juga sama. Lalu malaikat berkata, ‘Jika kamu bohong maka Allah akan mengembalikanmu seperti dulu.’
Selanjutnya  dia mendatangi si Buta dalam bentuk seorang lelaki buta. Dia berkata, ‘Aku seorang miskin dan seorang musafir yang kehabisan bekal, dan tidak ada tempatku mohon bantuan selain kepada Allah kemudian kepadamu. Demi Zat yang telah mengembalikan penglihatanmu, aku minta seekor kambing untuk melanjutkan perjalananku.’
Laki-laki itu berkata, ‘Aku dulunya buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Aku dulunya miskin, lalu Allah jadikan aku kaya. Sekarang ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkan apa yang tidak kamu inginkan. Demi Allah, aku tak akan membiarkanmu susah dengan menahan sesuatu yang aku dapatkan dari Allah.’
Malaikat berkata, ‘Simpanlah hartamu, sesungguhnya kalian telah diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada dua temanmu.’” 
Begitulah posisi hamba yang bersyukur terhadap karunia Allah dan selalu ingat kepada-Nya, serta bagaimana akibat mengingkari karunia Allah.
Kita bermohon kepada Allah untuk menjadi hamba-hamba yang selalu ingat pada karunia Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Jangan sampai kita lupa terhadap nikmat Allah pada kita, jangan sampai melupakan masa lalu, mengusir orang yang minta-minta yang memohon karunia Allah yang diberikan-Nya kepada kita, karena sesungguhnya Yang Maha Pemberi itu adalah Allah dan Yang Maha Pemberi rezeki itu adalah Allah swt..

TOBAT MALIK BIN DINAR

Malik bin Dinar adalah salah seorang pembesar ahli zuhud dan ahli ibadah. Dia pernah bercerita tentang dirinya sebelum Allah memberinya petunjuk dan dia tobat kepada-Nya.
“Dahulu pada saat aku masih muda, aku adalah seorang polisi yang ditugaskan untuk menjaga pasar. Tidak ada satu orang pun yang selamat dari kezalimanku dan sikap kasarku. Berapa banyak orang pernah berkelahi denganku dan telah aku sakiti mereka, semoga Allah senantiasa mengampuniku. Apa yang aku ingat dari nasib mereka membuat kesedihan dalam diriku. Aku saat ini bukan aku seperti yang ada sekarang.”
    Di meneruskan ceritanya, “Aku tidak pernah meninggalkan satu pun larangan-larangan kehancuran yang ada dalam agama. Aku sering minum khamr, sering memukuli orang dan ikut campur dalam urusan mereka yang tidak semestinya, bahkan sampai urusan jual beli. Aku selalu memenangkan orang yang mau membeli dengan harga tinggi walau dia zalim.
    Hingga pada suatu hari, ketika aku sedang berjalan di pasar, aku melihat ada dua orang yang sedang bertikai dalam perkara mereka berdua. Seorang adalah pembeli barang dan yang lain adalah penjualnya. Si penjual bersikeras untuk menjual barang dengan harga tertentu dan si pembeli berupaya meminta penurunan harga tersebut.
    Aku segera menghardik si pembeli itu dan hampir saja aku memukulnya dengan tongkatku kalau saja tidak ada sesuatu hal yang tidak kukenali mencegahku. Aku pandangi dia dan aku mengamatinya. Ternyata dia adalah seorang yang rambutnya sudah beruban, dan di mukanya terdapat tanda-tanda orang baik.
    Dia menunjuk ke arahku dengan tangannya agar aku diam dan tidak menjadi hakim penengah pertikaian antara si pembeli dan penjual. Dan untuk pertama kali dalam hidupku aku tunduk dan patuh pada seorang pelapor. Dia mengakhiri kata-katanya dengan mengatakan bahwa dia pernah mendengar satu hadits dari Rasulullah saw. yang bersabda,

“Apabila di antara kalian ada yang pergi ke pasar, kemudian dia membeli sesuatu yang bisa menggembirakan hati anak-anaknya, Allah akan memperhatikannya.”
    Aku datang dari sebuah perjalanan. Sebelum aku pulang ke rumahku, aku ingin membeli sesuatu yang bisa menyenangkan hati tiga anak perempuanku, sehingga Allah akan memperhatikanku.
    Malik berkata, “Aku sangat terkesan dengan pembicaraan orang itu, maka aku pun membelikan untuknya barang yang dia ingini dan aku berikan kepadanya. Setelah itu aku tinggalkan dia setelah aku meminta kepadanya agar anak-anaknya nanti mau berdoa kepada Allah untuk mendoakanku.
    Hari-hari pun berlalu, sementara pembicaraan orang itu masih saja terngiang di telingaku, sampai akhirnya aku melihat seorang budak perempuan yang cantik sekali sedang dijual di pasar. Aku sangat tertarik dengan budak itu dan aku jatuh cinta padanya. Aku lalu membelinya dan aku nikahi dia. Aku lalui hari-hari hidupku bersamanya dengan sangat indah, sehingga membuatku lupa akan rusaknya kelakuanku. Aku mulai hidup dengan istiqamah, khususnya sejak Allah mengaruniaiku seorang bayi perempuan yang cantik.
    Akan tetapi, belum begitu lama hari-hari indah berjalan dengan kehadiran bayi kecilku, istriku wafat dan meninggalkan anaknya yang masih mungil untuk hidup piatu tanpa ibu. Aku pun hidup sesudah itu dua tahun tidak ingin menikah dan memang tidak ada keinginan kecuali mencurahkan perhatian penuhku kepada anakku yang telah menjadi segalanya bagiku.
    Pada suatu hari, ketika aku pulang dari pekerjaanku, aku mendapatkan anakku jatuh sakit. Aku segera mencari obat kepada dokter-dokter yang ada, akan tetapi keputusan Allah itu lebih luas dan lebih cepat, anakku meninggal dunia dalam gendonganku. Aku memeluknya erat-erat dengan anggapan bahwa nyawanya bisa kembali lagi dan dia bisa hidup kembali. Aku basahi dia dengan air mataku dan terus aku panggil namanya. Akhirnya aku sadar dan aku serahkan segala sesuatunya kepada Allah swt..”
    Dia berkata, “Kemudian aku lari dari jiwaku, dari kehidupanku, dan dari kenyataanku. Aku pun terjerumus lagi ke dunia minuman keras. Aku hidup selalu dalam keadaan mabuk agar aku bisa melupakan duniaku yang sangat sedih itu. Aku kembali lagi menjadi orang yang bersikap kasar kepada siapa saja, seakan-akan aku sedang balas dendam kepada mereka.
    Pada suatu, ketika aku sedang berada di pasar, aku melihat seorang wanita sedang membawa makanan. Aku merampas makanan itu dengan kasar. Aku tidak peduli dengan tangisnya atau teriakannya, atau bahkan tangisan anak kecilnya.
    Aku segera pulang ke rumahku lebih cepat. Saat itu adalah pertengahan bulan Sya’ban dan aku tertidur dengan sangat lelap sekali. Ketika tidur itu, tiba-tiba aku bermimpi dan melihat dalam mimpi itu bahwa hari Kiamat telah tiba, terompet sangkakala telah ditiup, semua makhluk telah dibangkitkan oleh Allah. Kemudian aku mendengar suara yang sangat menakutkan berulang-ulang. Ketika aku menoleh, ternyata ada seekor ular naga sangat besar berwarna hitam kelam yang mulutnya sedang menganga, kedua matanya memancarkan api, rasa takutku sangat mencekam terhadap ular naga ini. Aku segera berlari dari hadapannya sampai akhirnya aku berjumpa dengan seorang kakek tua yang lemah dan sudah uzur. Aku pun memanggilnya agar dia dapat menolong dan menyelamatkanku dari kejaran ular naga ini.
    Kakek tua tersebut justru menangis di depanku dan mengeluh karena dia sudah lemah, kemudian dia berkata kepadaku, ‘Cepatlah, semoga Allah memberikan rahmat-Nya yang bisa menyelamatkanmu darinya.’
    Akupun segera kabur dan lari dengan cepat sampai akhirnya aku tiba di puncak dan penghujung Kiamat. Aku tetap melihat ular naga itu akan memangsaku. Ada suara yang meneriakkan, ‘Kembalilah, kamu bukanlah termasuk golongan itu.’ Aku lekas kembali, sementara ular naga itu tetap saja mengejarku dan aku kembali mendatangi kakek tua tadi. Aku meminta rahmatnya untuk kedua kalinya. Namun, lagi-lagi dia mengeluhkan kelemahannya melawan ular naga yang menyeramkan itu. Kemudian kakek itu berkata, ‘Pergilah ke gunung ini, karena di sana ada titipan-titipan kaum Muslimin, dan kamu mempunyai titipan di sana yang bisa menolongmu.’
    Aku pandangi gunung yang gemerlap dengan perak dan tabir yang bergantung di atas semua lokasi dua daun pintu yang terbuat dari emas merah yang berkilau. Di atas masing-masing daun pintu ada satu tabir dari sutera yang keindahannya bisa memikat mata yang memandang. Aku segera berlari ke sana, sementara ular naga itu masih saja mengejar di belakangku, sampai ketika aku sudah mendekatinya ada sebagian malaikat yang berteriak, ‘Angkat tabir dan bukalah daun pintunya.’
    Kemudian aku pun melihat anak-anak kecil yang bagaikan bulan. Ular naga itu mendekat kepadaku dan hampir saja ia menerkamku, namun sebagian anak kecil itu berteriak, ‘Celaka kalian, mendekatlah kalian semua, musuhnya telah mendekatinya. Kelompok demi kelompok maju ke depan dan tiba-tiba aku dapat bersama dengan anak perempuanku yang telah meninggal dunia. Dia memandangiku dalam-dalam dan menangis seraya berkata, ‘Ayahku….’ Demi Allah, lantas dia melompat dalam sebuah telapak cahaya dan meluncur bagaikan anak panah sampai akhirnya dia berada di sisiku.
    Dia segera mengulurkan tangan kirinya ke tangan kananku dan aku pun bergantungan dengannya. Dia juga mengulurkan tangan kanannya ke ular naga itu, namun dia segera pergi dan kabur. Anakku memberiku tempat untuk duduk dan aku amat sangat lelah dan capek, aku memeluk dan menciuminya sementara air mata mengalir dari kedua mataku, seakan aku takut kehilangan dirinya untuk kedua kali. Aku angkat tangannya ke jenggotku dan dia pun mengelus-elusnya. Dia pandangi aku dalam-dalam dengan kedua matanya yang lentik dengan penuh kasih sayang dan kecintaan. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai Ayahku, ‘Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyu mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)….’ (al-Hadiid : 16)
    Aku pun menangis ketika aku mendengar ayat ini dengan tangisan sejadi-jadinya. Seakan ketika aku pertama kali mendengar ayat ini. Aku berkata kepadanya, ‘Apakah kalian juga mengenal Al-Qur’an?’
    Dia menjawab, ‘Kami lebih tahu ketimbang kalian.’
    Aku bertanya, ‘Tolong beritahuku tentang ular naga yang ingin memangsa dan membinasakanku.’
    Dia berkata, ‘Itu adalah amal perbuatan jahatmu yang banyak yang berubah menjadi memusuhimu dan menginginkanmu masuk ke dalam api neraka.’
    Aku berkata, ‘Lantas tentang kakek tua tadi?’
    Dia menjawab, ‘Itu adalah amal perbuatan salehmu yang memang sedikit dan lemah sehingga tidak bisa menolongmu.’
    Aku berkata, ‘Wahai anakku, apa yang kalian kerjakan di gunung ini?’
    Dia menjawab, ‘Anak-anak kaum Muslimin ditempatkan di tempat ini sampai datangnya hari Kiamat. Kami menunggu kalian yang datang kepadamu dan kami akan memberi syafaat kepada kalian.’
    Aku segera terbangun dari tidurku dengan keadaan terkejut sekali. Setelah itu aku langsung bangkit, sementara keringat membasahi badanku seakan-akan ada hujan lebat yang membasahiku. Aku pun segera mengambil tongkatku untuk menghancurkan alat-alat musik milikku dan botol-botol minuman keras. Aku bertekad untuk bertobat kepada Allah. Setelah mimpi tersebut aku tetap di atas tempat tidurku sampai beberapa hari karena tidak kuat lagi untuk bergerak. Sepanjang waktu itu aku terus beristigfar kepada Allah dan memohon tobat kepada-Nya, aku mohon rahmat-Nya, aku berjanji dan bertekad sejak hari itu untuk menyucikan niat berjalan di jalan Allah.”
    Dia menutup ceritanya seraya berkata, “Bertobatlah kalian kepada Allah wahai para hamba Allah.” Semoga Allah merahmati Malik bin Dinar.

Orang-orang itu Lebih Dahulu Beriman

Hasan al-Bashri berkata, “Beberapa orang, yang diantaranya adalah Suhail  bin Amr, Abu Sufyan dan beberapa sesepuh dari pembesar Quraisy, datang ke rumah Umar dan menunggu di depan pintunya. Lalu Umar mengizinkan orang-orang yang ikut perang Badr, seperti Shuhaib, Bilal, Ammar bin Yasir, untuk masuk. Umar sendiri adalah termasuk orang yang ikut perang Badar, dan dia, demi Allah, sangat mencintai orang-orang Badr. Dia juga telah berwasiat agar mereka diberi prioritas. Melihat mereka belum mendapat izin masuk, Abu Sufyan berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kondisi seperti hari ini. Dia memberi izin kepada para budak tersebut dan tidak mempedulikan kita yang sedang duduk di sini”.
Maka Suhail bin Amr berkata, “Alangkah pandainya dia. Wahai orang-orang, demi Allah saya telah melihat sesuatu di wajah kalian. Jika kalian marah, maka marahlah terhadap diri kalian. Dulu orang-orang itu dan kalian diseru untuk masuk Islam. Mereka cepat-cepat memenuhi seruan itu sedangkan kalian tidak segera memenuhinya. Demi Allah, Umar mengizinkan mereka masuk terlebih dahulu adalah karena keutamaan mereka yang mendahului kalian. Apa mereka peroleh dan yang tidak kalian peroleh adalah lebih besar dari sekedar pintu yang kalian perebutkan ini”. Kemudian Suhail berkata lagi, “Sesungguhnya orang-orang itu mendahului kalian dalam sesuatu yang kalian ketahui. Dan demi Allah, tidak ada jalan bagi kalian untuk mendahului mereka dalam hal ini. Maka perhatikanlah jihad itu dan selalulah ikut di dalamnya, semoga Allah ‘azza wajalla mengaruniakan syahadah kepada kalian”.
Kemudian dia mengibaskan jubahnya, lalu bangkit dan pergi menuju Syam. Dan dia telah jujur kepada Allah. Dia berjihad fi sabilillah hingga mendapatkan syahadah.
Dan Suhail bin Amr r.a. berkata, “Keberadaan kalian sesaat di sabilillah adalah lebih baik dari pada pekerjaan yang kalian lakukan seumur hidup untuk keluarga kalian”.
Suhail berkata, “Sungguh saya akan berjaga-jaga untuk orang-orang muslim hingga mati, dan saya tidak kembali ke Mekkah”. 

Aku Ingin Menginjak Surga dengan Kaki Pincang Ini

Seorang sahabat bernama Amru bin Jamuh r.a. tidak ikut dalam Perang Badar. Dia dicegah oleh putra-putranya karena kakinya pincang. Ketika akan terjadi Perang Uhud, dia ingin ambil bagian. Anak-anaknya berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan pada ayah. Sebaiknya ayah di rumah saja, cukup kami yang berangkat ke medan jihad. Allah telah membebaskan ayah dari kewajiban jihad.”
Akan tetapi, Amru bin Jamuh tidak terima dan dia tidak puas dengan ucapan anak-anaknya. Akhirnya, dia pergi menghadap Rasulullah saw. dan mengadukan apa yang dikatakan oleh anak-anaknya. Dia berkata, “Sesungguhnya anak-anakku melarangku untuk pergi jihad bersamamu. Demi Allah, aku berharap mendapat syahid dan menginjakkan kaki pincangku ini di surga.”
Rasulullah saw. bersabda, “Adapun mengenaimu, memang Allah telah membebaskanmu dari kewajiban jihad.” Kemudian Rasulullah saw. berkata kepada anak-anaknya, “Sementara untuk kalian, kenapa tidak kalian biarkan  dia pergi? Semoga Allah mengaruniakannya syahadah.”
Akhirnya, Amru bin Jamuh benar-benar berangkat bersama pasukan kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Dia berperang dan kemudian terbunuh, serta meraih syahid. Dia telah menginjakkan kaki pincangnya di surga yang telah berubah menjadi kaki yang sehat dengan izin Allah swt..

Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami Telah Menzalimi Diri Kami Maka Maafkanlah Kami

Ibnu Abi Dunya menceritakan dari Said bin Sinan al-Himshi, ia berkata: "Allah mewahyukan kepada seorang Nabi-Nya yang berasal dari Bani Israil bahwa azab akan datang menimpa kaumnya. Sang Nabi menyampaikan hal itu pada kaumnya dan memerintahkan mereka untuk mengutus pemuka-pemuka mereka supaya bertaubat.

Berangkatlah tiga orang diantara pemuka mereka sebagai utusan Bani Israil untuk menghadap Allah. Orang pertama berkata: "Ya Allah, Engkau memerintahkan kami dalam taurat yang Engkau turunkan pada hamba-Mu; Musa, agar kami tidak mengusir peminta-minta yang berdiri di depan pintu rumah kami, dan sekarang kami meminta-minta di pintu rahmat-Mu maka janganlah engkau tolak dan usir orang yang meminta pada-Mu."

Yang kedua berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau memerintahkan kami dalam taurat yang Engkau turunkan pada hamba-Mu; Musa, agar kami memaafkan orang yang berlaku zalim terhadap kami, dan sekarang kami mengaku telah menzalimi diri sendiri maka maafkanlah kami."

Yang ketiga berkata: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau memerintahkan kami dalam taurat yang Engkau turunkan pada hamba-Mu; Musa, agar kami memerdekakan budak-budak kami, dan sesungguhnya kami adalah budak-budak-Mu maka bebaskan dan merdekakanlah kami."

Kemudian Allah mewahyukan kepada nabi-Nya bahwa Dia telah menerima taubat mereka dan memaafkan mereka." 

Begitulah datangnya kelapangan dari Allah SWT berkat orang-orang mulia dan bertakwa diantara mereka dan Allah angkatkan dari mereka azab yang hampir saja ditimpakan akibat dosa-dosa dan maksiat mereka terhadap Tuhan mereka. Dari sini kita ketahui bahwa tidak ada tempat untuk lari dari azab Allah kecuali kepada Allah sendiri karena Dialah yang akan menghilangkan segala keresahan dan melerai segala duka. Mahasuci dan Maha Tinggi Dia.

Zainab bintu Jahsy dan Keridhaannya Terhadap Ketetapan Allah dan Rasul-Nya

Zainab bintu Jahsy adalah salah seorang Ummul mukminiin ( ibu bagi orang-orang mukmin), karena dia adalah istri Rasulullah saw.. Dia masuk Islam di Mekah bersama keluarga Jahsy. Mereka termasuk golongan yang pertama masuk Islam. Zainab berangkat hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Dia adalah putri dari bibi Rasulullah saw..
Zaid bin Haritsah –orang kesayangan Rasulullah saw. dan sebelum ada larangan mengadopsi anak, dia adalah putra angkat kesayangan beliau— ketika akan dinikahkan oleh Rasulullah saw. dengan Zainab putri bibi beliau, dia menyetujuinya dan berkata pada Zainab, "Saya rela menikah denganmu". Akan tetapi di sisi lain Zainab menolaknya dan berkata, "Tapi saya tidak rela menikah dengannya". Itu dilakukan  oleh Zainab, karena dia melihat bahwa dirinya tidaklah sepadan dengan Zaid. Dia adalah wanita terpandang dari kaum Quraisy dan anak perempuan dari Abdu Syams. Adapun Zaid, dia hanyalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw. yang kemudian oleh beliau diangkat sebagai anak. Setelah penolakan Zainab tersebut, turunlah firman Allah yang berbunyi,

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". ( al-Ahzaab: 36 )
Maka setelah turunnya ayat tersebut, tidak ada pilihan lain bagi Zainab dan keluarganya kecuali menyetujui dan menerima pinangan Zaid. Zainab ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu. Maka dia pun menikahi Zaid bin Haritsah.
Akan tetapi hubungan pernikahan tersebut tidaklah berlangsung lama. Zaid datang mengadu pada Rasulullah saw. tentang istrinya Zainab yang selalu merasa derajatnya lebih tinggi darinya. Oleh karena itu dia berniat menceraikannya. Lalu Rasulullah saw. menasihatinya, "Bertaqwalah pada Allah dan pertahankan istrimu itu".
Sebenarya Rasulullah saw. telah mengetahui apa yang menjadi ketetapan Allah. Beliau diberitahu oleh Allah bahwa suatu saat Zaid akan menceraikan istrinya Zainab, dan beliaulah yang akan menggantikan Zaid menjadi suami Zainab. Dan dengan itu, kebiasaan mengadopsi anak dalam Islam dihapuskan.
Apa yang telah menjadi ketetapan dan keputusan Allah  pastilah akan berlaku. Zaid kemudian menceraikan istrinya, Zainab. Dan setelah masa iddah Zainab berakhir, Rasulullah saw. datang untuk menikahinya. Dalam pernikahan yang penuh berkah itu, Allah sendiri yang menjadi wali bagi Zainab. Dengan itu, maka Zainab menjadi wanita termulia dalam hal wali yang menikahkannya. Ditambah juga, bahwa yang dinikahinya adalah orang yang paling mulia, tuan bagi anak cucu adam, dialah Rasulullah saw..
Allah berfirman,

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni'mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat kepadanya, "Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi". (al-Ahzab: 37)