Umar bin Abdul Aziz dan Keridhaannya Terhadap Qadha Allah

Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, dia berkata, "Umar bin Abdul Aziz menyuruh saya untuk datang berkunjung kepadanya dua kali setiap bulan. Lalu pada suatu hari saya datang mengunjunginya. Nampak dia melihat saya dari atas benteng dan mengizinkan saya masuk sebelum saya sampai di depan pintu gerbangnya. Lalu saya masuk seperti biasanya.
Setelah sampai ke tempatnya, saya menjumpainya sedang duduk di atas permadani. Di sana juga terdapat tempat duduknya yang seukuran dengan permadani tersebut. Waktu itu dia sedang menambal pakaiannya. Kemudian saya ucapkan salam padanya, dan dia menjawabnya, lalu mempersilahkan saya duduk di atas tempat duduknya tersebut. Kemudian dia menanyakan kepada saya tentang urusan negara. Dia bertanya tentang keadaan para pemimpin, kondisi rakyat secara umum, tentang urusan kepolisian, urusan penjara dan seluruh kegiatan kenegaraan yang ada. Setelah itu, dia baru menanyakan pada saya tentang urusan saya pribadi.
Kemudian, ketika hendak berpamitan, saya berkata padanya, "Apakah tidak ada lagi seseorang dari keluargamu yang dapat menggantikanmu menambal pakainmu itu?" Maka Umar bin Abdul Aziz berkata pada saya, "Wahai Maimun, bagimu cukuplah dari dunia ini apa yang dapat mengantarkanmu ke tempat tujuanmu. Hari ini kita berada di sini, dan besok kita berada di tempat yang lain". Kemudian saya pergi meninggalkannya.

Antara Istri yang Berkeluh Kesah dan Istri yang Ridha

Setelah Nabi Isma'il beristri, Nabi Ibrahim datang ke Mekah mengunjungi anaknya tersebut. Akan tetapi sesampainya di sana, dia tidak menjumpainya. Hanya istrinya yang berada di rumah. Lalu Nabi Ibrahim menanyakannya kepada istrinya. Sang  istri menjawab, "Dia pergi bekerja untuk manafkahi kami". Istri Nabi Isma'il tersebut tidak mengetahui, kalau yang berkunjung dan bertanya padanya itu adalah ayah dari suaminya. Lalu Nabi Ibrahim bertanya lagi tentang kondisi kehidupan mereka. Istri Nabi Isma'il pun menjawab, "Kami dalam kondisi yang buruk. Kehidupan kami susah". Lalu dia mengeluh di depan Nabi Ibrahim tentang bagaimana minimnya nafkah mereka dan buruknya keadaan keluarga mereka. Dia bekeluh kesah di depan orang lain, hal yang biasanya dilakukan oleh sebagian besar wanita kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah.
Kemudian sebelum pergi berpamitan, Nabi Ibrahim berpesan pada Istri anaknya tersebut, "Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam untuknya, lalu sampaikan padanya agar dia mengganti ambang pintunya”.
Ketika Nabi Isma'il kembali, dia bertanya pada istrinya, "Apakah ada seseorang yang datang mengunjungi kita?" Istrinya menjawab, "Ya, ada orang tua yang datang kepada kita. Dia menanyakanmu, maka saya beritahu dia bahwa engkau sedang pergi bekerja. Lalu dia menanyakan tentang kondisi kehidupan kita, maka saya katakan padanya bahwa kita hidup dalam kondisi yang susah”. Kemudian Nabi Isma'il bertanya lagi, "Apakah dia meninggalkan pesan?" Istrinya menjawab, "Ya. Dia menyuruh saya untuk menyampaikan salamnya padamu, dan berpesan padamu agar kamu mengganti ambang pintumu". Kata ambang pintu berarti istri. Setelah mengetahui pesan tersebut, lalu Nabi Isma'il berkata pada istrinya, "Yang datang itu adalah ayahkua. Dia memerintahkan saya untuk menceraikanmu, maka kembalilah kepada keluargamu". Dan Nabi Isma'il pun menceraikan istrinya. Lalu dia menikah lagi dengan seorang wanita yang berasal dari suku Jurhum, sebuah suku yang Nabi Isma’il lama tinggal bersamanya dan di lingkungan suku itu pula dia tumbuh besar.
Nabi Ibrahim telah lama tidak mengunjungi mereka. Kemudian pada suatu ketika dia berkunjung lagi. Seperti halnya pada kunjungannya yang dulu, kali ini pun dia tidak bertemu dengan anaknya, Nabi Isma'il. Maka dia bertanya kepada istri anaknya, “Sedang kemanakah suami?” Istri Nabi Isma'il menjawab, "Dia pergi untuk mencari nafkah buat kami". "Bagaimana kondisi kalian?", tanya Nabi Ibrahim tentang keadaan hidup mereka. Istri Nabi Isma'il menjawab, "Kami dalam kondisi yang baik dan lapang", seraya memuji dan bersyukur kepada Allah. Kemudian Nabi Ibrahim bertanya lagi, "Apa makanan kalian?" Istri Nabi Isma'il menjawab, "Daging". "Dan minum kalian?", tanyanya Nabi Ibrahim lagi.  Istri Nabi Isma'il menjawab bahwa minum mereka adalah air. Lalu Nabi Ibrahim berdo'a untuk mereka, "Ya Allah berilah keberkahan bagi mereka dalam daging dan air mereka".
Kemudian sebelum berpamitan, Nabi Ibrahim berpesan kepada istri anaknya tersebut, "Nanti kalau suamimu datang, sampaikan salamku untuknya, lalu suruh dia untuk mempertahankan ambang pintunya".
Tidak lama setelah itu, datanglah Nabi Isma'il. Lalu dia bertanya pada istrinya, "Apakah ada yang datang mengunjungi kita?" Istrinya menjawab, "Ya, tadi ada seorang yang datang mengunjungi kita. Dia seorang kakek yang masih berperawakan bagus. Lalu dia bertanya pada saya tentangmu, maka saya jawab bahwa engkau sedang menunaikan kewajibanmu mencari nafkah. Dan dia juga bertanya pada saya tentang kondisi kehidupan kita, maka saya katakan padanya bahwa kita hidup dalam kondisi yang lapang". Lalu Nabi Isma'il bertanya lagi, "Adakah pesan yang ditinggalkannya?" Istrinya menjawab, "Ya. Dia berpesan agar saya menyampaikan salam untukmu, dan juga berpesan agar kamu tetap mempertahankan ambang pintumu". Kemudian setelah mendengar apa yang dikabarkan istrinya tersebut, Nabi Isma'il berkata padanya, "Yang datang itu adalah ayahku. Dan kamulah ambang pintu dimaksudnya, dia telah memerintahkan saya untuk tetap mempertahankanmu menjadi istriku".
Saya (penulis) katakan, "Sebaik-baik istri adalah istri yang selalu ridha dengan ketentuan Allah. Istri yang demikian itu merupakan perhiasan dunia yang paling indah. Dia penuhi rumah dengan keberkahan dan kebaikan. Adapun sebaliknya, istri yang suka berkeluh kesah merupakan sumber kesengsaraan, kemalangan dan kesusahan dalam rumah dan keluarga".