ASH-SHAAHIBU BIL JANBI (TEMAN SEJAWAT)

Allah SWT berfirman,

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anakk yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.

KISAH TENTANG TEMAN SEJAWAT

Ayah    : Anak-anakku, kisah kita malam ini tentang ash-shaahibu bil janbi (teman sejawat). Apakah kalian mengetahui, dalam ayat apa kata-kata ini disebutkan dalam Al-Qur`an?
Tasniim    : Dalam firman Allah,
       
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anakk yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (an-Nisaa`: 36).
Ayah        : Semoga Allah memberkatimu, Anakku.
Sundus    : Ayah, terangkan kepada kita makna ayat ini?
Ayah    : Ibnu Katsir berkata, “Allah SWT memerintah untuk menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dialah Pencipta, Pemberi rizki dan kenikmatan, Yang Maha Penyantun atas hamba-Nya. Dialah yang berhak disembah dan tidak patut untuk disekutukan dengan makhluknya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepaa Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,

    “Apakah kamu tahu hak Allah atas hambanya?”
    Muadz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Maka Rasulullah saw. lalu bersabda,

    “Mereka harus menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.
    Kemudian beliau melanjutkan,

    “Apakah kamu tahu hak hamba kepada Allah jika mereka melaksanakan hal itu?    yaitu tidak menghukum mereka”.
    Kemudian Allah SWT berwasiat agar berbuat baik kepada kedua orang tua. Maksudnya berbuat baiklah kepada mereka dengan berbakti, memberi nafkah dan berlaku sopan. Kemudian Allah berwasiat untuk berbuat baik kepadam semua kerabat, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sesuai dengan hadits,

    “Bersedekah kepada orang miskin merupakan sedekah biasa. Sedangkan bersedekah kepada kerabat mempunyai dua tujuan; sedekah dan menyambung silaturahmi”.
    Kemudian Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim.
Aaya    : Siapakah yang dimaksud dengan anak-anak yatim  itu, Ayah?
Ayah    : Anak yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya. Jadi anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan orang yang bertanggung jawab memberi nafkah kepada mereka dan yang mengurus keperluan mereka. Maka Allah SWT memerintahkan untuk berbuat baik dan mengasihi mereka. Hal ini serupa dengan perintah untuk berbuat baik kepada orang miskin, yaitu orang yang tidak mempunyai nafkah bagi dirinya.
Dhuhaa    : Siapakah yang dimaksud dengan tetangga dekat dan tetangga jauh?
Ayah    : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa berkata, “Tetangga dekat adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan denganmu. Sedangkan tetangga jauh adalah orang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan denganmu. Ada juga yang mengatakan bahwa tetangga dekat adalah tetangga yang beragama Islam. Sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang berasal dari ahlul kitab”.
    Adapun yang menjadi bahan pembicaraan malam ini adalah teman sejawat.
    Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa mengartikannya sebagai tamu.
    Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu maksudnya adalah orang perempuan.
    Mujahid, Ikrimah dan Qatadah berpendapat bahwa ia adalah teman dalam perjalanan.
    Said bin Jubair mengatakan ia adalah teman yang shaleh.
    Adapun Zaid bin Aslam berpendapat bahwa ia adalah sahabatmu di rumah dan di waktu pergi.
    Sedangkan yang dimaksud dengan ibnu sabil adalah musafir yang tidak mempunyai bekal untuk perjalanannya. Maka Allah SWT memerintahkan kita agar berbuat baik kepadanya dan memberinya sedekah yang dapat mengantarkan dia ke negerinya.
Aalaa`    : Apa maksud firman Allah, “dan hamba sahayamu” dalam ayat di atas?
Ayah    : Allah SWT berwasiat kepada kita agar berbuat baik kepada budak-budak. Karena mereka tidak mempunyai kekuatan dan bagaikan tawanan di tangan orang-orang. Rasulullah saw. bersabda,

“Apa yang kamu nafkahkan untuk dirimu maka itu adalah sedekah bagimu. Apa yang kamu nafkahkan untuk isterimu maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang kamu nafkahkan untuk pembantumu maka itu adalah sedekah bagimu” .
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Budak mempunyai hak untuk mendapatkan makanan dan pakaian. Ia juga tidak dibebankan pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya” .
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Mereka adalah saudaramu dan budakmu. Allah menjadikan mereka di bawah tanggung jawabmu. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah tanggung jawabnya, maka hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan dan memberinya pakaian dari apa yang ia pakai. Dan janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang tidak mereka mampu. Dan jika kalian tetap membebaninya maka bantulah dia”.
Kemudian Allah SWT mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (an-Nisaa`: 36).
Allah SWT memperingatkan kita dari sikap bakhil dan pelit serta memerintahkan kita agar menjauhi sikap menyombongkan diri kepada saudara-saudara dan kerabat-kerabat kita.
Begitu juga setelah kita mengetahui makna teman, baik teman sejawat atau teman yang mempunyai hubungan kerabat dengan kita, kita harus membantu dan menolong mereka sehingga dengan perbuatan itu kita berarti telah mengamalkan perintah Allah SWT.
Anak-anak : Jazaakallahu khairan, Ayah.
Ayah        : Wajazaakumullahu khairan.

Ia Bermimpi Melihatnya Duduk di Pinggir Kuburnya

Sha’id menceritakan, “Ketika Abdullah bin Farj wafat aku turut menyelenggarakan jenazahnya. Pada malam harinya aku bermimpi melihatnya sedang duduk di tepi kuburannya sambil memegang selembar catatan. Aku bertanya kepadanya, “Apa yang Allah lakukan kepadamu?”
Dia menjawab, “Dia mengampuniku dan juga semua orang yang turut mengantar jenazahku.”
“Aku  juga termasuk di antara mereka,” kataku penuh harap.
“Ini namamu ada dalam catatan ini. Wassalam.”
Ibrahim bin Sahal berkata bahwa Abdullah bin Farj pernah berkata, “Mohonlah kepada Allah maaf yang indah.”
Aku bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah yang dimaksud dengan maaf yang indah itu?”
Dia menjawab, “Yaitu ketika Dia menyuruhmu langsung masuk ke surga dari Padang Mahsyar (maksudnya: tidak memeriksa atau menghisabmu).”

Rindu Bertemu Allah

Ibnul Jauzi rahimahullah menulis dalam Shifatush Shafwah dari Muhammad bin Bakkar, dia berkata, “Di Mekah kami berjumpa dengan seorang wanita. Setiap saat dia selalu menangis. Suatu hari ada yang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kami melihatmu dalam kondisi yang tak pernah kami lihat pada orang lain. Seandainya kau sakit, maka kami akan membantu mengobatimu.’ Mendengar hal itu dia menangis dan berkata, ‘Siapa yang bisa mengobati penyakit ini? Bahkan, pikiranku selalu sibuk memikirkan untuk mendapatkan obatnya.’
Kemudian dia berkata, ‘Bukankah sebuah hal yang aneh, aku berada di antara kalian, tetapi hatiku selalu rindu kepada Tuhanku, bagaikan nyala api yang tidak pernah padam sebelum aku bertemu dengan dokter yang akan menyembuhkan penyakitku dan menenangkan hatiku yang telah dilanda sedih yang berkepanjangan, di kampung dunia ini dan aku tidak mendapatkan cara lain selain menangis.’”
Wanita ahli ibadah ini mengumpamakan rindunya berjumpa dengan Tuhannya, bagai api yang selalu menyala dan tidak pernah padam dan dia tidak mendapatkan penolong apa-apa di dunia ini. Hal itulah yang menjadikannya selalu menangis sepanjang waktu. Itulah cinta Ilahi yang kalau sudah menyentuh hati akan mengantarkan pada ridha dan surga Allah serta kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya.

TOBAT SEORANG PEMUDA DAN PEMUDI KARENA TAKUT KEPADA ALLAH SWT

Raja bin Umar an-Nakha’i berkata, “Ada seorang pemuda di Kufah yang mempunyai paras muka yang tampan, sangat tekun beribadah kepada Allah, dan bersikap zuhud terhadap dunia. Dia singgah di tempat sebuah kabilah hingga melihat seorang pemudi kabilah itu yang sangat cantik. Pemuda itu pun tertarik dengan wanita itu dan pikirannya melayang-layang. Wanita itu pun merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh pemuda itu. Kemudian pemuda tampan tersebut pergi mendatangi ayah pemudi itu untuk melamarnya. Namun, sang ayah memberitahukan kepadanya bahwa anaknya sudah dicalonkan untuk anak pamannya.
    Asmara kedua pemuda itu kian membara, dan keduanya saling mengalami mabuk cinta, kemudian pemudi itu pun segera menulis surat kepadanya,
    Aku mendengar betapa membaranya api cintamu kepadaku, dan aku pun merasa merana dengan hal itu dan bersama cinta padamu. Jika kamu mau, aku akan mengunjungimu atau jika kamu mau, aku akan memfasilitasimu untuk datang ke rumahku.
    Pemuda itu pun berkata kepada utusan yang datang dari wanita itu,  “Tidak satu pun dari dua bagian ini.”  “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku takut akan azab pada hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.’” (az-Zumar: 13)  Aku takut api neraka yang tidak pernah padam apinya dan tidak pernah dingin baranya.
    Ketika utusan itu pergi darinya dan menyampaikan kepada sang pemudi apa yang telah dikatakan oleh pemuda itu, pemudi itu berkata dengan memperlihatkan dalam hal ini zuhud dan rasa takutnya kepada Allah swt., “Demi Allah, tidak ada satu orang pun yang lebih berhak dalam hal ini. Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu semua mempunyai kesempatan yang sama.”
    Kemudian pemudi itu menjauhkan diri dari dunia. Dia menaruh semua perhiasan yang menggantung di belakang punggungnya. Dia mengenakan pakaian kasar dan berkonsentrasi beribadah. Dia larut dalam dahaga cinta kepada pemuda tadi dan merasa sedih sampai akhirnya dia meninggal dunia karena rindu kepadanya.
    Pemuda tadi pun datang ke makam kuburnya. Dia melihat pemudi itu dalam mimpinya terlihat cantik dan anggun. Dia berkata, “Bagaimana keadaanmu dan apa yang telah engkau dapatkan?”
    Wanita itu menjawab, “Cinta yang terbaik wahai kekasih, cintamu adalah cinta yang mengajak kepada kebaikan dan ihsan. Kepada kenikmatan hidup yang tidak ada habisnya, di dalam surga yang kekal, kerajaan yang tak pernah sirna.”
    Pemuda itu berkata kepadanya, “Sebut dan ingatlah aku di sana, sesungguhnya aku tidak pernah lupa padamu.”
    Pemudi itu berkata, “Juga aku, demi Allah, aku tidak pernah lupa padamu. Aku telah memohon kepada Tuhanku dan Tuhanmu, Dia menolongku untuk itu dengan berijtihad.”
    Kemudian pemudi itu berpaling dan pemuda itu berkata kepadanya, “Kapan aku bisa melihatmu?”
    Pemudi itu menjawab, “Kau akan mendatangi kami dalam waktu dekat ini.”
    Tak lama kemudian pemuda itu meninggal dunia seminggu setelah peristiwa mimpi itu.

Keridhaan Abul Hasan al-Lu`lu`i dan Keridhaannya kepada Allah

Abul Hasan al-Lu`lu`i berkata, “Pada suatu ketika saya naik perahu. Lalu perahu yang naiki itu pecah sehingga semua penumpangnya masuk ke dalam air. Padahal di tempat dudukku terdapat permata yang harganya empat ribu dinar, sedangkan musim haji sudah dekat sehingga saya pun takut kehilangannya. Lalu Allah menyelamatkan saya dengan mendamparkan di daratan. Kemudian saya berjalan mencari-cari bawaan saya. Kemudian orang-orang yang juga selamat berkata kepadaku, “Cobalah berhenti dulu, semoga ada yang datang dan mengeluarkan sesuatu dan membawa sebagian dari bawaanmu”.
Maka saya katakan, “Allah Maha Tahu tentang apa yang saya alami. Ketika di kapal, di tempat dudukku saya membawa sesuatu yang harganya empat ribu dinar. Dan saya tidak menginginkannya kecuali untuk menunaikan haji”.
Lalu orang-orang berkata, “Apa yang membuatmu sampai mempunyai pikiran seperti itu?”
Saya katakan, “Saya adalah orang yang ingin sekali menunaikan haji. Saya mencari keuntungan dan pahala. Dan pada suatu ketika saya pernah menunaikan haji kemudian saya sangat kehausan. Kemudian saya menyuruh orang yang naik onta bersamaku untuk duduk di tengah tunggangan”. Lalu saya turun untuk mencari air. Ketika itu semua orang dalam rombongan saya juga sangat kehausan”.
Kemudian saya bertanya dan terus bertanya kepada orang-orang, baik yang sendiri maupun yang berkelompok yang saya temui, “Apakah kalian mempunyai air?”.
Namun kondisi mereka tidak berbeda; mereka tidak mempunyai air. Kemudian saya melintasi sebuah tempat yang biasanya untuk mengumpulkan air, seperti kolam. Di sana saya melihat seorang lelaki yang fakir sedang menancapkan tongkatnya di tempat itu dan air menyembur dari tempat tongkatnya, lalu dia minum darinya. Maka saya pun segera turun mendekatinya dan ikut minum hingga merasa puas. Kemudian saya kembali lagi ke rombongan saya untuk mengambil kantung air. Ketika itu orang-orang sudah turun dari atas onta-onta mereka. Kemudian saya kembali ke tempat air tadi, lalu saya memenuhi kantung air saya tersebut lalu saya kembali ke tempat saya semula. Melihat saya memanggul kantung air yang penuh, orang-orang segera mengambil kantung-kantung air mereka lalu pergi ke tempat air tersebut. Maka semuanya pun mendapatkan air dan tidak kehausan lagi.
Kemudian saya mendatangi lagi kolam air tadi, dan saya lihat ia penuh dengan air dan ombaknya berdeburan karena orang-orang memasukkan ember-ember mereka untuk mengambil air darinya.
Maka apakah saya lebih mengutamakan uang empat ribu dinar dari sebuah musim yang dihadiri oleh orang-orang seperti itu yang berdoa, “Ya Allah ampunilah orang yang hadir di Arafah dan ampunilah orang-orang muslim?”.
Demi Allah, saya tidak akan melakukannya. Saya tidak mengutamakan dunia dan seisinya darinya”.
Lalu Abul Hasan al-Lu`lu`i pergi meninggalkan permatanya dan semua bawaannya. Padahal semua bawaannya yang tenggelam nilainya adalah lima puluh ribu dinar”.

TOBAT SEORANG

    Hasan al-Bashri48 menyebutkan bahwa ada seorang wanita yang memiliki tiga kecantikan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh kecantikannya kecuali jika mau membayar sebesar seratus dinar. Pintu rumah wanita itu senantiasa terbuka.
    Maka, ketika ada seorang ‘abid yang melintas, dia melihat wanita itu dan membuatnya terkagum dan tergila-gila. Dia pun segera bekerja keras dan mengumpulkan uang sebanyak seratus dinar. Dia lantas mendatangi wanita itu dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu sangat membuatku terkagum, untuk itu aku segera bekerja untuk mengumpulkan apa yang engkau mau.”    Wanita itu berkata kepadanya, “Masuklah.”
    Dia segera masuk ke rumah wanita itu. Dari atas tempat tidur yang terbuat dari emas, wanita itu duduk di atasnya seraya berkata kepadanya, “Ke sinilah.”
    Pada saat dia meniduri wanita itu, dia ingat maqamnya di hadapan Allah. Dia pun langsung kaget bagaikan di sambar petir, lalu berkata kepada wanita itu, “Biarkan aku keluar dan pergi dan ini seratus dinar untukmu.”
    Wanita itu berkata, “Apa yang telah terjadi pada dirimu? Kau telah mengaku bahwa sesungguhnya kau telah melihatku dan membuatmu terkagum, kemudian kau pergi dan bekerja sampai akhirnya kau dapat mengumpulkan saratus dinar. Pada saat kau telah mampu menggapaiku, kau melakukan apa yang telah kaulakukan.”
    Dia berkata kepadanya, “Hanya karena takut kepada Allah swt. dan dari maqamku di hadapan-Nya, dan sekarang aku telah membencimu, dan kau menjadi orang yang paling aku benci.”
    Wanita itu berkata, “Jika kau benar, aku tidak mau mempunyai suami selain kamu.”
    Dia berkata, “Biarkan aku keluar dan pergi!”
    Wanita itu berkata, “Tidak, kecuali jika kau mau kawin denganku.”
    Dia berkata, “Tidak! Sampai aku keluar.”
    Wanita itu berkata, “Aku berjanji padamu, jika aku nanti mendatangimu, kau harus mau mengawiniku.”
    Dia menjawab, “Mudah-mudahan.”
    Kemudian dia segera mengenakan pakaiannya dan pergi dari wanita itu untuk kembali ke negerinya. Adapun wanita itu, dia telah bertobat dan kembali ke jalan Allah. Dia tinggalkan negerinya dan pergi ke negeri ‘abid yang tadi dan mencarinya. Wanita itu ditunjuki ke ‘abid tersebut. Ketika dia melihat wanita itu telah mendatanginya, dia langsung berteriak kencang, dia pun mati dan jatuh ke tangan wanita itu.
    Wanita itu berkata, “Adapun orang ini, dia telah berlalu, apakah dia mempunyai kerabat dekat?”
    Orang-orang mengatakan, “Ada adiknya, seorang yang sangat faqir.”
    Wanita itu berkata, “Aku akan mengawininya karena cintaku pada kakaknya.”
    Kemudian wanita itu kawin dengannya dan hidup bersamanya sampai keduanya meninggal dunia.

Salman al-Farisi dan Keridhaannya Kepada Qadha Allah Ketika Meninggal Dunia

Abu Sufyan meriwayatkan dari para gurunya, dia berkata, “Pada suatu hari, Sa’ad bin Abi Waqqash menjenguk Salman. Lalu Salman menangis, maka Sa’ad bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Abdillah. Ketika Rasulullah saw. meninggal, beliau ridha terhadapmu dan engkau akan mendatangi kolam beliau”.
Maka Salman berkata, “Saya tidaklah menangis karena takut mati juga bukan karena menginginkan dunia. Akan tetapi Rasulullah saw. pernah berpesan kepada kami dan berkata, “Hendaklah apa yang kalian miliki seperti bekal musafir dengan menunggang binatang”, sedangkan di sekelilingku terdapat banyak bantal ini”.
Lalu perawi berkata, “Padahal di sekitarnya hanya terdapat bak air untuk mencuci pakaian, mangkuk besar atau tempat air untuk berwudhu”.
Maka Sa’ad berkata, “Wahai Abu Abdillah, berpesanlah kepada kami, lalu kami akan melakukannya”.
Salman berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah kepada Allah ketika engkau menginginkan sesuatu, ketika engkau memutuskan suatu perkara, juga ketika engkau memberi orang lain”.
Dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika meninggal dunia, orang-orang hanya menemukan kain untuk duduk di atas pelana, tikar dan barang-barang lain yang jika semuanya dihitung, nilainya hanya sekitar dua puluh dirham”.
    Ketika mendekati ajal, dia berkata kepada istrinya, “Apa yang engkau lakukan terhadap minyak misk yang kita bawa dari Blinjar?”
Istrinya menjawab, “Ini minyak wanginya”.
Salman lalu berkata, “Buanglah minyak wangi itu ke dalam air, lalu aduklah, kemudian tumpahkanlah di sekitar kudaku. Karena sekarang ini datang suatu kaum yang bukan manusia juga bukan jin”. ( Yang dia maksud adalah para malaikat ).
Lalu istrinya pun melakukan hal itu, kemudian Salman meninggal dunia. Semoga Allah meridhainya dan dia ridha kepada Allah.
Demikianlah keridhaannya kepada qadha dan qadar Allah ‘azza wajalla.

98. Kalau Ada Rezekimu, maka Makanlah!

Qasim menceritakan, “Ummu Harun—seorang ahli ibadah—selalu mengunjungi Baitul Maqdis dari Damaskus setiap bulan. Dari sekian kali kunjungannya, satu kali dia pergi dengan berjalan kaki. Suatu kali aku mengunjunginya. Dia berkata, ‘Wahai Qasim, suatu kali aku berjalan di kota Bisan. Tiba-tiba aku dicegat oleh seekor singa. Dia melangkah menuju ke arahku. Ketika sudah dekat aku berkata padanya, ‘Wahai singa, kalau ada rezekimu, maka makanlah....’ Ketika mendengar perkataanku dia diam di tempatnya kemudian mundur dan pergi.’”
Pernah ada yang bertanya kepada Ummu Harun, “Apakah kamu cinta pada kematian?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Seandainya aku punya kesalahan kepada manusia tentu aku tidak ingin berjumpa dengannya. Bagaimana mungkin aku suka berjumpa dengan-Nya sementara aku masih banyak bermaksiat kepada-Nya?”

TOBAT TIGA SAUDARA DAN SEORANG KEPONAKAN

Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyebutkan dalam kitabnya at-Tawwabin,  bahwa ada tiga orang saudara, seorang dari mereka menjadi amir yang penguasa, dia mengendalikan negeri dan kota serta tentara, seorang lagi menjadi seorang pedagang yang mujur dan lupa daratan dengan harta dagangannya itu, dan seorang ahli zuhud yang telah menyendiri untuk menekuni ibadah.
    Menjelang kematian saudara yang ahli ibadah ini, keduanya berkumpul bersamanya, dan saudara yang menjadi amir berkuasa di negeri itu dengan kezaliman dan tangan besi, kedua saudara itu berkata kepada saudaranya yang ahli ibadah, “Berwasiatlah.”
    Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak memiliki harta yang bisa aku wasiatkan, dan aku tidak pernah berutang kepada seseorang yang bisa aku wasiatkan pada kalian. Aku tidak meninggalkan apa pun dari dunia yang aku sedihkan.”
    Maka, saudaranya yang menjadi amir dan penguasa berkata kepadanya,  “Wahai saudaraku, katakan kepadaku apa yang kamu ingin, dan ini hartaku di depanmu, berwasiatlah dari hartaku itu dengan apa yang kamu mau, dan aku akan melaksanakan apa yang kamu mau dan aku berjanji pada diriku jika kamu mau.”
    Dan saudaranya yang pedagang pun berkata seperti kata-katanya itu. Saudara yang ahli ibadah itu menjawab, “Aku tidak menginginkan apa-apa dari harta kalian berdua, akan tetapi aku berwasiat kepada kalian dan jangan kalian berdua mengingkari wasiatku.”
    Keduanya berkata, “Kami berjanji.”
    Dia berkata, “Jika aku mati, mandikanlah aku dan kafankan aku kemudian kuburkan aku di tanah yang agak tinggi dan tulislah di atas kuburku kata-kata ini,
  
    Bagaimana hidup akan terasa nikmat kalau dia tahu  bahwa Tuhan Yang
menciptakannya pasti akan bertanya padanya dan meminta
pertanggungjawabannya.
    Dia akan memberi balasan dari kezaliman hamba-Nya
    Dan akan memberi ganjaran dari kebaikan yang telah dilakukannya
    Apabila kalian berdua telah melakukan itu semua, datangilah aku setiap
hari, mudah-mudahan kalian bisa ternasihati.

    Ketika dia mati, kedua saudaranya itu memenuhi apa yang telah diminta oleh saudaranya yang ahli ibadah itu. Dan saudaranya yang menjadi penguasa mendatangi makamnya dengan dikawal oleh pasukan tentara dan dia menangis. Dia mendengar suara keras dari dalam makam itu, sehingga hampir saja memecahkan hatinya, dan dia pun pulang kembali ke rumahnya dengan perasaan bingung.
    Ketika datang waktu malam, dia bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan saudaranya yang sudah meninggal itu dan bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, apa yang aku tadi dengar dari makammu?”
    Dia menjawab, “Itu adalah sebuah guncangan bumi yang tertutup yang berkata kepadaku, ‘Kamu melihat seorang zalim dan tidak mau menolongnya.’
Ketika pagi hari saudara yang punya kekuasaan itu dalam keadaan gelisah dan diapun memanggil saudaranya yang pedagang dan beberapa orang dekatnya seraya berkata kepada mereka, ‘Apa yang diperlihatkan yaitu saudaraku menginginkan apa yang diwasiatkan pada kami agar kami menulis di atas makamnya selain aku. Sesungguhnya aku bersaksi pada kalian bahwa aku tidak akan lagi tinggal bersama kalian selamanya.’”
    Kemudian dia meninggalkan kekuasaannya dan menekuni ibadah. Dia pergi menelusuri gunung dan gurun pasir sampai akhirnya dia mendekati ajalnya di gunung itu, saat itu dia sedang berada oleh sabagian rakyatnya. Berita akan dekatnya ajalnya itu sampai pada saudara yang menjadi seorang saudagar, dia pun mendatanginya seraya berkata, “Wahai saudaraku, tidakkah kamu berwasiat?”
    Dia menjawab, “Dengan apa aku berwasiat, aku tidak punya harta yang bisa aku wasiatkan, tapi aku punya pesan wasiat kepadamu. Jika aku telah mati, dan kamu menyiapkan makam untukku, kuburkanlah aku di samping saudaraku, dan tulislah di atas kuburku, 
    Bagaimana hidup terasa nikmat bagi orang yang yakin.
    Bahwa kematian akan datang dengan tiba-tiba.
    Dan akan merenggut kerajaan dan kesombongan besar.
    Dan akan menempatkannya di dalam kubur
 yang menjadi tempat tinggalnya.

    Ketika dia mati, saudaranya itu mengerjakan apa yang diwasiatkannya. Lantas dia menziarahi makamnya pada hari ketiga. Dia berdoa dan menangis. Ketika dia hendak pulang, dia mendengar suara yang hampir saja menghilangkan ingatannya, dia pun pulang ke rumahnya dengan rasa sedih.
    Ketika datang waktu malam, dia bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan saudaranya yang baru saja mati seraya berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, engkau telah datang menziarahi kami?”
    Dia bertanya, “Wahai saudaraku, bagaimana kamu?”
    Dia menjawab, “Jauh sekali, saudaraku setelah tempat persinggahan ini dan kami sekarang sudah berada di tempat yang menetap.”
    Dia menanyakan tentang saudaranya yang ‘abid, dia menjawab, “Dia bersama para ulama saleh al-abrar.”
    Si saudagar itu bertanya pada saudaranya, “Bagaimana tentang perkara dunia kami di akhirat sana?”
    Dia menjawab, “Barangsiapa melakukan sesuatu dari urusan dunia dan akhirat, maka dia akan mendapatkannya. Karena itu, gunakanlah kekayaanmu sebelum jatuh miskin.”
    Ketika si saudagar itu bangun di pagi hari, dia meninggalkan hartanya dan menjauhkan keduniaannya. Dia hanya berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah swt..
    Ketika dia akan wafat, dia berkata kepada anaknya yang masih remaja namun sudah bekerja seperti dia sebagai seorang saudagar, “Wahai anakku, ayahmu sudah tak lagi punya harta yang bisa diwasiatkan, namun aku punya satu wasiat permintaan yaitu jika aku mati, kuburkanlah aku bersama kedua pamanmu dan tuliskan di atas kuburku,
 
    Bagaimana hidup ini akan nikmat jika dia nantinya pasti akan masuk
ke liang kubur
walau dia sekarang masih belia yang akan meluluhkan paras wajah
yang dulunya menawan
dia akan luluh dan juga seluruh tubuhnya menjadi tulang belulang Setelah kamu lakukan itu, berjanjilah padaku bahwa kamu akan mengunjungi makamku di hari ketiga dan berdoalah untukku.

    Ketika sang ayah meninggal dunia, si anak melaksanakan apa yang diwasiatkan kepadanya. Dan pada hari ketiga dia ziarah ke kubur ayahnya dan mendengar suara dari kubur itu yang membuat kulit tubuhnya merinding dan mukanya pucat. Dia pun pulang ke rumahnya dalam keadaan demam dan panas, dan pada malam harinya dia bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan ayahnya yang berkata kepadanya, “Wahai anakku, kamu tidak lama lagi akan mengalami seperti yang kami alami dan sesuatu itu tergantung akhirnya. Dan kematian itu lebih dari itu. Maka, bersiap-siaplah untuk perjalananmu. Berbekallah untuk perjalan jauhmu. Palingkan persiapanmu dari rumah yang kamu sekarang singgahi ke rumah yang nanti akan kamu tinggali selamanya. Janganlah kamu teperdaya dengan apa yang telah memerdayai orang-orang yang banyak berbuat dosa sebelum kamu. Mereka telah melalaikan urusan akhirat mereka, sehingga mereka pun amat sangat menyesal setelah mereka mati. Mereka juga menyesali atas membuang-buang umur dan amat sangat menyesali kelalaian ini. Selamatkanlah mereka dari jahatnya apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang tertipu dengan buah hasil pekerjaan mereka di hari Kiamat nanti.”
    Wahai anakku, bersegeralah, bersegeralah dan bersegeralah. Sang anak pun terbangun dari tidurnya dan berkata, “Apa yang aku mimpikan ini persis seperti yang pernah dikatakan oleh ayahku, dan aku melihat bahwa kematian sudah membayangiku.”
    Maka, dia pun segera membagi-bagikan hartanya dan segera membayar utang-utangnya. Dia pun menghalalkan apa yang menjadi tanggungan para klien dan pegawainya serta membebaskannya. Dia melepas kepergian mereka dan mereka pun melepas kepergiannya, bagaikan seseorang yang telah diperingati akan terjadi sesuatu padanya.
    Dia berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Ayahku berkata, ‘Bersegeralah, bersegeralah, dan bersegeralah. Ini ada tiga kali perintah, mungkin ini adalah tanda dari tiga jam, tapi tiga jam itu telah berlalu, atau mungkin tiga namun bagaimana diriku jika itu terjadi atau mungkin tiga bulan dan aku pun tidak mengetahuinya atau mungkin saja tiga tahun.”
    Ketika dia masih memberi dan membagi-bagikan harta dan uangnya selama tiga hari sampai akhirnya di penghujung hari ketiga terhitung dari dia bermimpi. Dia lalu memanggil semua anggota keluarga dan anaknya, dia mengucapkan selamat tinggal dan salam kepada mereka. Lantas, dia menghadap ke kiblat dan menarik napas panjang-panjang. Tak lama kemudian dia memejamkan matanya dan mengucapkan syahadat yang benar dan hak kemudian dia meninggal dunia.

Antara Imam Ja'far bin Muhammad Dan Khalifah al-Mansur

Kita masih bersama ahli bait nabawi semoga Allah meridhai mereka sampai hari kiamat kelak. Kali ini bersama Imam Ja'far bin Muhammad rahimahullah di masa kekhilafahan Bani Abbasiyah yaitu Khalifah al-Mansur. Pernah terjadi sedikit perbedaan pendapat antara kedua orang ini. Sebagian orang kemudian menyampaikan hal-hal yang tidak baik tentang Imam pada Khalifah. Khalifah marah dan memerintahkan pengawalnya yang bernama Rabi' untuk menangkap Ja'far bin Muhammad untuk dibunuh. Khalifah berkata: "Kirimlah orang yang akan menyeret Ja'far bin Muhammad ke sini sekarang juga. Binasalah aku kalau aku tidak membunuhnya." Peristiwa itu terjadi ketika Khalifah al-Mansur datang ke Madinah al-Munawwarah pada tahun 147 H.
Rabi' berkata: "Aku sengaja mendiamkan hal itu beberapa hari supaya Khalifah melupakannya. Akan tetapi Khalifah kembali memerintahkan hal itu dan bahkan dengan nada marah.

Rabi' segera mengirim seseorang untuk menjemput Ja'far bin Muhammad. Ketika Ja'far sudah datang, seorang menteri berkata kepada Khalifah: "Ja'far bin Muhammad sedang menunggu di pintu wahai Amirul Mukminin."
"Suruh ia masuk."

Setelah masuk, Ja'far berkata: "Assalamua'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh wahai Amirul Mukminin."
Khalifah menjawab: "Semoga Allah tidak menyelamatkanmu wahai musuh Allah. Engkau telah membangkang dalam kekuasaanku dan membuat keonaran dalam kerajaanku. Binasalah aku kalau aku tidak membunuhmu."
Ja'far berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Nabi Sulaiman diberi karunia lalu ia bersyukur, Nabi Ayyub diberi cobaan lalu ia bersabar dan Nabi Yusuf dizalimi tapi ia memaafkan, dan engkau termasuk dalam golongan itu."

Lama Khalifah tercenung. Kemudian ia mengangkat kepalanya lalu berkata: "Engkau dalam pandanganku wahai Abu Abdillah (gelar Ja'far bin Muhamad) bersih dari segala tuduhan, kepribadianmu baik dan kesalahanmu sedikit. Semoga Allah membalasimu atas budimu pada kerabatmu dengan sebaik-baik balasan yang Allah berikan pada seorang yang berbuat baik pada kerabatnya."

Kemudian Khalifah menggandeng tangan Ja'far lalu mempersilahkannya duduk di sampingnya. Lalu didatangkanlah sebotol wewangian kemudian Khalifah mengoleskannya ke tangan dan jenggot Ja'far.

Khalifah berkata ketika melepas Ja'far: "Semoga engkau berada dalam pemeliharaan dan rahmat Allah. Wahai Rabi', antarkan Abu Abdillah dan berikan padanya hadiah serta pakaian yang indah."

Rabi' berkata: "Aku lalu mengantarkannya. Kemudian aku bertanya padanya: "Aku sudah melihat apa yang tidak engkau lihat dan mendengar apa yang tidak engkau dengar. Setelah itu aku melihat apa yang juga engkau lihat, dan aku melihatmu menggerakkan kedua bibirmu membaca sesuatu, apa yang engkau baca?"

Ja'far bin Muhammad berkata: "Baik, engkau adalah salah seorang ahli bait dan engkau memiliki rasa cinta kepada ahli bait. Ketahuilah bahwa aku berkata: "Ya Allah, jagalah aku dengan 'mata-Mu' yang tak pernah tidur, peliharalah aku dengan sandaran-Mu yang tak pernah lemah, selimuti aku dengan rahmat-Mu, maafkanlah aku dengan kekuasaan-Mu, aku tidak akan binasa selama Engkau yang menjadi tumpuanku. Wahai Tuhanku, betapa banyak nikmat yang Engkau berikan padaku tapi sangat sedikit rasa syukurku namun Engkau tetap tidak menghalangi nikmat itu dariku. Betapa banyak cobaan yang Engkau timpakan tapi sangat sedikit rasa sabarku namun Engkau tidak menghinakanku. Wahai Zat yang melihatku dalam kesalahan tapi tidak membongkar aibku, wahai Yang memiliki kebaikan yang tak akan pernah berkurang selamanya, wahai yang mencurahkan nikmat yang tak terhingga banyaknya, curahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Dengan kekuatan-Mu hindarilah aku dari rencana pembunuhannya dan lindungilah aku dari segala kejahatannya. Ya Allah, bantulah aku dengan duniaku untuk menunaikan agamaku, meraih akhiratku dengan takwa, peliharalah aku dari apa yang membahayakanku, dan jangan serahkan penjagaan diriku kepada diriku sekejap matapun. Wahai Zat yang tidak bermudharat pada-Nya dosa siapapun dan tidak pernah berkurang keagungan-Nya karena mengampuni, ampunilah aku atas sesuatu yang tidak akan bermudharat pada-Mu dan berilah aku sesuatu yang tidak akan mengurangi keagungan-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Aku mohon pada-Mu kelapangan yang dekat, sabar yang indah, rezeki yang luas dan selamat dari segala musibah serta mensyukuri segala keselamatan."

Begitulah, akhirnya Allah melapangkan kesempitannya dan membebaskannya dari kesulitan dengan kuasa dan kekuatan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. 

Aku Akan Bersabar, Insya Allah

Ketika paman Nabi saw. Hamzah bin Abdul Muththalib terbunuh di Perang Uhud, jasadnya dicincang dan hatinya dikeluarkan dari tubuhnya. Rasulullah saw. merasa sangat sedih. Tak berapa lama, datanglah saudari Hamzah, Shafiyyah binti Abdul Muththalib, untuk melihat saudaranya terakhir kali. Tetapi, Rasul menyuruh putra Shafiyyah, Zubair bin Awwam, untuk mengajak ibunya pulang agar dia tidak melihat apa yang telah dilakukan kaum kafir pada tubuh saudaranya. Zubair berkata, “Ibu, Rasulullah saw. menyuruhmu untuk pulang.”

Dia bertanya kepada anaknya, “Kenapa? Aku sudah tahu kalau saudaraku dicincang dan semua itu di jalan Allah, kenapa kita tidak ridha dengan hal itu? Aku akan bersabar Insya Allah.”

Datanglah Zubair bin Awwam menemui Rasulullah saw. dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh ibunya. Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu biarkan dia.”
Akhirnya, Shafiyyah melihat jasad Hamzah dalam kondisi yang sangat memilukan. Sebelum dikuburkan dia masih sempat melayangkan pandangan terakhir kepada saudaranya. 

ALLAH TIDAK AKAN MENUTUP PAHALA PERBUATANMU

Wahab bin Munabbih berkata, “Ada di Bani Israil seorang laki-laki yang sangat tekun beribadah dan berijtihad. Pada suatu hari dia melihat seorang wanita dan jiwanya pun tergoda. Kemudian dia menyegerakan diri untuk menemui wanita itu seraya berkata kepadanya, ‘Sebentar, wahai wanita.’ Wanita itu berhenti dan mengenalinya seraya kepadanya, ‘Apa keinginanmu?’
    Laki-laki itu bertanya, ‘Apakah kamu mempunyai suami?’
    Wanita itu menjawab, ‘Benar, apa yang kamu inginkan?’
    Laki-laki itu berkata, ‘Jika tidak demikian, saya mempunyai pembicaraan lain.’
    Wanita itu berkata, ‘Apa itu?’
    Laki-laki itu berkata, ‘Terlintas dalam hatiku tentang dirimu.’
    Wanita itu menjawab, ‘Adakah sesuatu yang menghalangimu untuk menyelamatkannya?’
    Laki-laki itu berkata, ‘Apakah kamu mau untuk mengikutiku atas hal itu?’
    Wanita itu menjawab, ‘Ya.’
    Tak lama kemudian wanita itu berada berduaan dengan laki-laki itu di satu tempat. Dan ketika dia melihat laki-laki itu serius dalam hal yang dia minta, dia berkata kepadanya, ‘Sebentar wahai miskin, janganlah kamu jatuhkan harga dirimu di hadapan Allah.’
    Kemudian laki-laki yang ‘abid itupun sadarkan dirinya dari wanita itu dan dia segera mengurungkan apa yang selama ini dia pikirkan seraya berkata, ‘Allah tidak menghalangi pahala perbuatan kamu.’
    Kemudian laki-laki itu pergi ke satu tempat sepi dan berkata kepada dirinya sendiri, ‘Pilihlah, entah kedua mata buta, penjara dalam tanah, atau berpetualang bersama binatang buas.’
    Jiwanya kemudian memilih untuk bertualangan bersama binatang buas sampai akhirnya dia mati dan dia telah menyesali perbuatannya itu dan bertobat darinya.
    Begitulah, wanita tersebut dengan keimanan dan kepandaiannya mampu mengembalikan seorang ahli ibadah itu ke jalan yang benar setelah setan menggodanya dan membujuknya untuk melakukan perbuatan yang keji. Akan tetapi, dia sadarkan dirinya lantas langsung tobat dari perbuatannya itu. Hal itu sesuai dengan firman Allah swt., “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah. Ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf: 201)

Menunaikan Amanah dan Ridha kepada Qadha Allah

Abul Qasim Abdullah bin Abul Fawaris al-Baghdadi berkata, “Saya mendengar Qadhi Abu Bakar Muhammad bin bin Muhammad al-Bazzar al-Anshari berkata, “Saya pernah tinggal di dekat Ka’bah.  Pada suatu hari saya sangat kelaparan dan saya tidak menemukan apapun untuk mengobati rasa lapar saya. Lalu saya menemukan sebuah buntalan kain Ibrisim yang di dalamnya terdapat sebuah kalung mutiara yang sangat indah yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Kemudian saya keluar dari rumah saya. Lalu saya lihat seorang kakek-kakek yang mengumumkan bahwa dia kehilangan kalung mutiara tersebut. Dia membawa sebuah bungkusan yang berisi lima ratus dinar seraya berkata, “Uang dinar ini untuk orang yang menemukan dan mengembalikan bungkusan yang terdapat mutiara di dalamnya”.
Maka saya berkata kepada diri saya sendiri, “Saya saat ini sangat membutuhkan uang dan saya kelaparan. Saya akan ambil imbalan tersebut dan menggunakannya untuk keperluan saya dan saya kembalikan mutiaranya”.
Maka saya katakan kepadanya, “Mari ikut saya”. Lalu saya membawanya ke rumah saya. Lalu dia memberitahu saya tentang ciri-ciri bungkusannya, ciri-ciri kalung mutiara yang ada di dalamnya, jumlah mutiara di kalung tersebut dan tali yang digunakan untuk mengikat bungkusan tersebut. Lalu saya mengambil bungkusan tersebut dan menyerahkannya kepadanya”.
    Ketika  orang itu menyerahkan imbalannya, Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi menolaknya, dan berkata kepada pemilik bungkusan, “Merupakan kewajiban saya untuk mengembalikannya kepadamu. Maka saya tidak mau mengambil uang dinar tersebut sebagai imbalan”.
Pemilik bungkusan itu berkata, “Kamu harus menerimanya”.
Akan tetapi Muhammad bin Abdul Baqi tetap menolak untuk mengambil imbalan tersebut dan tetap bersikeras dengan pendapatnya.
Kemudian Muhammad bin Abdul Baqi berkata, “Setelah peristiwa itu, saya pergi dari Mekkah kemudian saya naik sebuah perahu. Ketika di tengah perjalanan, perahu tersebut pecah sehingga orang-orang pun tenggelam dan semua harta yang dibawa orang-orang pun rusak dan hilang. Sedangkan saya selamat karena berpegangan dengan pecahan perahu tersebut. Maka saya pun berada di tengah lautan untuk beberapa saat, tanpa tahu kemana ombak membawaku. Kemudian saya sampai di sebuah pulau yang dihuni oleh orang-orang. Lalu saya menetap di salah satu masjidnya. Kemudian orang-orang mendengar saya membaca Al-Qur’an, maka tidak seorang pun dari penghuni pulau itu kecuali mendatangi saya dan minta diajari Al-Qur’an. Maka saya pun mendapatkan harta yang banyak dari mereka.
Kemudian saya melihat lembaran-lembaran mushhaf di dalam masjid tersebut. Lalu saya mengambilnya dan membacanya. Kemudian orang-orang berkata, “Apakah engkau bisa menulis?”
Saya menjawab, “Ya, saya bisa”.
Maka mereka pun berkata, “Ajarkanlah kami tulis menulis”.
Kemudian mereka datang membawa anak-anak dan para pemuda mereka. Lalu saya mengajari mereka. Sehingga saya pun mendapatkan uang banyak dari hal itu.
Kemudian orang-orang berkata, “Di antara kami ada seorang gadis yatim yang mempunyai banyak harta. Kami ingin engkau menikah dengannya”. Saya pun menolaknya. Namun mereka tetap bersikeras dan berkata, “Engkau harus menerimanya”.
Maka saya pun melakukan keinginan mereka.
Setelah akad pernikahan dan mereka menyerahkan gadis kepada saya, saya pun memandangnya. Ketika itulah saya melihat kalung mutiara yang saya temukan tersebut ada di lehernya, sehingga saya pun terus memperhatikannya.
Maka orang-orang pun berkata kepada saya, “Wahai tuan, engkau telah menyakiti hati gadis yatim ini karena terus memandang kalungnya dan tidak mempedulikan pemakainya”.
Kemudian saya menceritakan tentang kisah saya dengan kalung tersebut ketika saya masih di Mekah. Maka mereka pun meneriakkan tahlil dan takbir hingga terdengar oleh seluruh penghuni pulau tersebut.
Dengan heran saya pun bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian ini?”
Mereka menjawab, “Orang tua dalam ceritamu yang memiliki kalung itu adalah ayah gadis ini. Dia pernah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang muslim kecuali orang yang mengembalikan kalung ini padaku”. Lalu dia berdoa, “Ya Allah, pertemukanlah saya dengannya hingga saya dapat menikahkannya dengan puteri saya”. Dan sekarang doanya itu telah terkabulkan”.
Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi berkata, “Kemudian saya pun hidup dengan anak perempuannya tersebut, dan dianugerahi dua orang anak. Kemudian isteri saya meninggal dunia, lalu saya dan kedua anak saya pun mewarisi kalung tersebut. Kemudian kedua anak saya meninggal dunia terlebih dahulu dan saya pun mewarisi kalung tersebut. Kemudian saya menjualnya seharga seratus ribu dinar. Dan harta yang kalian lihat ini adalah sisa dari harta tersebut”.

YA ALLAH, AMPUNILAH DIA DAN BERI KERIDHAAN-MU KEPADANYA

Abu Na’im dalam kitab al-Hilyah menyebutkan dari Amru bin Malik bahwa dia bersama dengan kaum dan Bani Kilab pernah menyerang satu kaum dari Bani Asad. Mereka berhasil membunuh banyak orang dari mereka dan juga mempermainkan para wanita. Hal itu terdengar sampai kepada Rasulullah saw, dan beliau berdoa kejahatan atas mereka dan melaknat mereka.
    Ketika hal itu sampai kepada Amru bin Malik, dia pun segera memborgol tangannya, kemudian dia mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, ridhai aku maka Allah akan ridha karena engkau.”
    Namun, Rasulullah saw. menolaknya. Dia pun kembali meminta kepada beliau seraya berkata, “Ridhai aku, Allah akan ridha karena engkau.” Beliau tetap saja menolaknya, dan dia mendatangi beliau untuk yang ketiga kalinya seraya berkata,  “Ridhai aku, Allah akan ridha karena engkau, dan demi Allah sesungguhnya Tuhan itu pasti kalau diminta keridhaan akan meridhai.”
    Kemudian Rasulullah saw. menemuinya dan bertanya, “Kamu telah bertobat dengan apa yang telah kamu lakukan dan kamu telah meminta ampun kepada Allah?”
    Dia menjawab,  “Ya.”
    Beliau berkata, “Ya Allah, ampunilah dia dan berilah keridhaan padanya.

Aku Berharap Tidak Pernah Ada Sama Sekali

Ibnu Abbas r.a mohon izin untuk menjenguk Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah yang sedang sakit. Di sampingnya ada keponakannya, Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar r.a.. Abdullah berkata, “Ini Ibnu Abbas datang menjenguk.”
Aisyah berkata, “Aku tidak ingin menerimanya.”
Abdullah berkata, “Ibu, sesungguhnya Ibnu Abbas termasuk di antara penerus terbaikmu. Dia ingin mengucapkan salam dan melepasmu.”
“Izinkanlah dia masuk kalau kamu mau.”
Ibnu Abbas masuk lalu berkata kepada Aisyah, “Bergembiralah, sekarang tak ada pembatas antara dirimu untuk berjumpa dengan Muhammad saw. dan para sahabat selain ruh keluar dari jasad. Kamu adalah wanita yang paling dicintai Rasulullah dan beliau tidak mencintai kecuali sesuatu yang baik. Pada malam Abwa` kalungmu terjatuh. Maka, Rasulullah mencarinya sampai pagi bersama para sahabat lainnya, padahal mereka tidak memiliki bekal air sama sekali. Akhirnya, turunlah firman Allah, “...maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci)....” (an-Nisaa`: 43) Itu semua adalah karenamu bahwa Allah menurunkan rukhshah (keringanan) untuk umat ini. Allah swt. juga telah mengumumkan kesucianmu dari atas langit ketujuh yang dibawa oleh Ruhul Amin (Jibril). Sampai sekarang tidak satu pun masjid di dunia ini yang disebut nama Allah di dalamnya kecuali ayat itu selalu dibaca siang dan malam.”
Aisyah berkata, “Biarkan aku wahai Ibnu Abbas, demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, aku sungguh berharap andaikan aku tidak pernah ada sama sekali.”

Wasiat Sari as-Saqthi kepada al-Junaid

Al-Junaid berkata, “Aku datang menjenguk Sari as-Saqthi ketika dia sedang naza’ (sakit sebelum mati). Aku duduk di dekat kepalanya. Aku letakkan pipiku di atas pipinya. Air mataku menetes dan mengenai pipinya. Dia membuka matanya dan bertanya, ‘Siapa kau?’
‘Aku pelayanmu, al-Junaid,’ jawabku.
‘Selamat datang.’
Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Syekh, berilah aku wasiat untuk bisa aku amalkan sepeninggalmu.’
Dia berkata, ‘Jauhilah bergaul dengan orang-orang buruk dan jangan jauh dari Allah karena bergaul dengan orang-orang baik.’
Sariy as-Saqthi meringkaskan nasihat yang diberikannya kepada muridnya dalam dua kata saja, yaitu mendekati Allah, dan menjauhi selain-Nya karena disanalah akan dicapai keselamatan dan kemenangan.”

TOBAT ABU SUFYAN IBNUL HARITS DAN ABDULAH BIN ABI UMAYYAH R.A.

Dia adalah anak paman Rasulullah saw. dan saudara sesusuan beliau, dia adalah Abu Sufyan ibnul Harits bin Abdul Muththalib r.a.. Dia selalu menampakkan kebenciannya terhadap Islam dan Rasulullah saw. sejak dini dan ia selalu menyakiti Rasulullah dengan berbagai siksaan yang pedih ketika beliau masih di Mekah.
    Setelah dua puluh tahun penentangannya terhadap Allah swt. dan terhadap Rasul-Nya, maka Allah menginginkan kebaikan atas dirinya. Sampai suatu ketika, tebersitlah keimanan dalam hatinya dan Allah lapangkan dadanya untuk menerima Islam di tahun ke-8 Hijriah. Pada tahun itu keluarlah Abu Sufyan, anak-anaknya, serta sahabatnya yang bernama Abdullah bin Abi Umayyah ibnul Mughirah yang dulunya sama seperti dia memusuhi Islam dan Rasul-Nya selama bertahun-tahun. Kedua sahabat itu pun pergi dan Allah telah menerima tobat mereka, kemudian keduanya kembali dan mereka berhijrah menuju Madinah al- Munawwarah.
    Dalam perjalanannya ke Madinah, Abu Sufyan ibnul Harits bertemu dengan Rasulullah saw.. Turut bersama beliau tentara kaum Muslimin untuk membuka kota Mekah di sebuah daerah yang dinamakan Baiqul ‘Iqab yang terletak antara kota Mekah dan Madinah. Sedangkan, Abbas, paman Rasul telah lebih dahulu dari mereka pergi menemui Rasulullah dan bergabung bersama beliau.
    Abu Sufyan ibnul Harits dan Abdulah bin Umayyah mencari jalan untuk menemui Rasulullah. Ummul Mukminin berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ini adalah anak pamanmu dan anak bibimu serta besanmu.”
    Lalu beliau berkata kepadanya, “Aku tidak butuh mereka. Adapun anak pamanku yang dimaksud adalah Abu Sufyan, ia telah menghancurkan harga diriku. Sedangkan anak bibiku dan besanku adalah orang yang telah mengatakan yang ingin ia katakan di Mekah.” Rasulullah pun menolak kedatangan mereka.
    Abdullah ibnul Harits pun mendengar kabar itu. Kemudian ia berkata, “Demi Allah, niscaya aku akan diizinkan dan aku akan menerima uluran tangan anakku ini yaitu Ja’far. Kemudian kita akan pergi ke seluruh pelosok dunia ini hingga kami mati kelaparan atau kehausan.”
    Nabi pun mendengar kata-katanya ini, lalu luluhlah hati beliau hingga akhrinya diizinkanlah keduanya untuk menemui beliau. Lalu keduanya meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan di Mekah ketika masa jahiliah, lalu keduanya masuk Islam dan langsung dibaiat.
    Mereka pun bergabung dengan iring-iringan kaum Muslimin untuk masuk ke kota Mekah al-Mukarramah. Itulah jihad mereka fi sabilillah untuk yang pertama kalinya.