Berjumpa dengan Ahmad bin Hanbal dalam Mimpi

Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Aku bermimpi jumpa dengan Ahmad bin Hanbal. Seolah-olah dia berada di taman indah mengenakan jubah hijau. Di kepalanya ada mahkota dari cahaya. Tiba-tiba dia berjalan dengan cara yang tidak aku kenal darinya sebelumnya. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Ahmad, jalan cara apa ini yang belum pernah aku lihat sebelumnya darimu?”
Dia menjawab, “Ini jalan para pelayan di Darus Salam (surga).”
Aku bertanya lagi, “Apa mahkota yang Anda pakai di kepala itu?”
“Sesungguhnya Tuhanku menghisabku dengan hisab yang ringan, lalu mendekatkanku kepada-Nya dan membolehkanku untuk menatap-Nya. Kemudian memakaikanku mahkota ini dan berkata, ‘Wahai Ahmad, mahkota kemegahan ini Kupakaikan kepadamu sebagaimana kau telah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam-Ku dan bukan makhluk.’”
Abu Yusuf bin Lihyan berkata, “Ketika Ahmad bin Hanbal wafat, dia bermimpi bertemu dengannya dan seolah-olah di setiap kuburan ada pelita. Dia bertanya, “Apa ini?” Dijawab, “Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah menyinari setiap kubur berkat masuknya laki-laki ini (maksudnya Ahmad bin Hanbal, pent.) di antara mereka, bahkan ada di antara mereka yang sedang disiksa kemudian mendapat rahmat?”
Abu Ali bin Bana` berkata, “Ketika Ummul Qathi’i wafat, dia dikuburkan di samping Ahmad bin Hanbal. Pada malam harinya, dia bermimpi bertemu dengannya.  Dia bertanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia menjawab, ‘Wahai anakku, semoga Allah meridhaimu, kau telah menguburkanku di samping laki-laki yang turun ke kuburnya setiap malam (atau setiap malam Jumat) rahmat yang merata pada seluruh ahli kubur di sekitarnya dan aku termasuk di antara mereka.’”
Semoga Allah merahmati Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah Imam Ahmad bin Hanbal dan memasukkannya bersama kita ke dalam luas surga-Nya.

Apa yang Allah Lakukan kepadamu?

Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan Sufyan ats-Tsauri. Aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia berkata, ‘Tidak lama setelah aku diletakkan di liang lahat, aku segera dihadapkan ke hadapan Allah swt.. Dia menghisabku dengan ringan, kemudian aku dipersilakan ke surga. Ketika aku tengah berkeliling di sekitar pohon-pohon dan sungai-sungainya, dan aku tidak mendengar gerakan apa pun, tiba-tiba ada sebuah suara memanggil, ‘Sufyan bin Sa’id. Kami tahu bahwa kau pernah mengutamakan Allah daripada hawa nafsumu suatu hari.’
Aku menjawab, ‘Benar, demi Allah.’ Lalu aku ditarik oleh para bidadari surga dari segala arah.”

TOBAT SEORANG WANITA DI TANGAN AR-RABI

Suatu kaum menyuruh seorang wanita yang berparas cantik dan pintar untuk menggoda Rabi’ bin Khaitsam—salah seorang ahli ibadah dan zuhud di Kufah—dan mereka menawarkan jika wanita berhasil akan mendapatkan seribu dirham.
    Wanita itu pun memakai pakaian yang terbaik yang dia miliki, dan memakai parfum yang paling wangi yang dia miliki. Setelah itu dia memamerkan dirinya di depan Rabi’ ketika dia keluar dari masjid. Dia pun melihat wanita itu dan terkejut dengan perkara wanita itu. Sambil berjalan wanita itu menemuinya dan Rabi’ berkata kepada wanita itu, “Bagaimana kira-kira jika kamu terkena penyakit panas dan dapat mengubah kulit tubuh dan kecantikanmu? Atau bagaimana jika saat ini malaikat maut datang mencabut ajalmu? Atau bagaimana nanti jika Malaikat Munkar a.s. dan Nakir a.s. datang bertanya kepadamu?
    Langsung saja wanita itu berteriak dengan teriakan yang membuatnya pingsan. Ketika dia sadar, dia langsung bertobat dan tekun beribadah. Dan ketika mati, wanita itu terlihat seperti batang pohon yang terbakar.

Sebuah Kubur di Sebuah Bukit

Abu Utbah al-Khawwas berkata, “Aku diceritakan oleh seorang lelaki zuhud yang biasa mengembara di perbukitan. Dia berkata, ‘Aku tidak punya keinginan dan kenikmatan apa-apa di dunia selain berjumpa dengan para ahli zuhud dan orang-orang saleh. Suatu ketika, aku berada di tepi sebuah pantai yang tidak berpenghuni dan tidak ada pula kapal yang berlayar di sana. Tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki keluar dari arah bukit itu. Ketika melihatku, dia segera berlari dan aku pun mengejarnya. Akhirnya, dia terjatuh dan aku dapat menangkapnya.’
Aku bertanya, ‘Engkau lari dari siapa? Semoga Allah merahmatimu.’
Dia tidak menjawab. Aku berkata lagi, ‘Aku hanya ingin kebaikan, maka ajarkanlah aku.’
Dia berkata, ‘Engkau harus mengedepankan kebenaran di mana pun kamu berada. Demi Allah, aku sendiri tidak memuji kondisi diriku untuk bisa mengajakmu beramal sebagaimana mestinya.’ Kemudian dia berteriak dan akhirnya  dia wafat.
Aku diam terpaku tak tahu apa yang harus aku kerjakan. Malam pun datang menjelang. Aku melangkah sedikit dan tidur di samping jasadnya. Dalam tidur aku bermimpi melihat empat orang turun dari langit menunggang kuda. Mereka menggali kuburan, mengafaninya, lalu menshalatkannya, kemudian menguburnya. Aku segera terbangun dalam keadaan takut dan setelah itu aku tak bisa lagi memejamkan mata.
Ketika sudah pagi aku bermaksud untuk melihat kondisi jasad ahli ibadah itu, tetapi aku tidak lagi menemukan jasadnya. Aku terus mencari jejak jasadnya sampai akhirnya aku menemukan sebuah kuburan baru. Aku yakin itulah kuburan yang aku lihat dalam mimpiku semalam.’”

Sifat-sifat Pecinta Allah

Ahmad ibnul-Hauri berkata, “Aku pernah mendengar Asma` ar-Ramliah—seorang ahli ibadah—berkata, ‘Aku bertanya kepada Baydha` binti Mufadhdhal, ‘Wahai saudariku, apakah ada tanda-tanda untuk mengenal seorang pecinta Allah?'”
Dia menjawab, “Wahai saudariku, untuk seorang tuan tidak akan tersembunyi, seandainya seorang pecinta berjuang untuk menyembunyikan dari tuannya tentu tidak bisa.”
Aku berkata, “Katakanlah kepadaku!”
Dia berkata, “Seandainya kamu melihat seorang yang mencintai Allah niscaya kamu akan melihat sebuah keajaiban, kondisinya tidak tenang di bumi, selalu melayang penuh rindu dan kenikmatannya adalah dalam kesendirian serta tidak pernah merasakan ketenangan jasmani. Makanannya ketika lapar adalah cinta dan minumnya ketika haus adalah cinta. Dia tak pernah bosan mesti selalu berkhidmat kepada Allah swt..”

TOBAT ABU BAKAR ASY-SYIBLI

    Ibnul Jauzi berkata, “Abu Bakar asy-Syibli adalah seorang penjaga pintu Khalifah al-Muwaffiq, dan ayahnya dalah Hajib al-Hijab. Pada suatu hari dia menghadiri majelis Khair an-Nassaj dan di situ dia bertobat.”
    Dia pernah berkata, “Ayahku meninggalkan untukku enam puluh ribu dinar selain hasil bumi. Kemudian aku menginfakkannya semua dan aku tinggal bersama para orang-orang fuqara.”
    Asy-Syibli pernah ditanya, “Apa yang paling mengagumkan?”
    Dia menjawab, “Hati yang mengenal Tuhannya, kemudian dia mengingkari dan bermaksiat terhadap-Nya.”
    Dia juga pernah berkata, “Orang yang senang dengan zikir tidak seperti orang yang senang dengan Yang disebut. Barangsiapa yang mengenal Allah swt., dia tidak akan merasa duka dan bersedih hati.”
    Suatu hari dia pernah ditanya,  “Apa itu zuhud?”
    Dia menjawab,  “Melupakan zuhud.”
    Abi Hatim at-Thabari berkata, “Aku mendengar Abu Bakar asy-Syibli berkata, ‘Jika kamu ingin melihat dunia dengan segala kebobrokannya, hendaklah kamu melihat ke tempat sampah. Jika kamu ingin melihat apa dirimu, hendaklah kamu melihat apa yang keluar darimu pada saat kamu berada di WC. Jika keadaannya seperti itu, tidak pantas baginya untuk sombong dan takabur terhadap orang yang sepertinya!

Putri Pembunuh Budak

Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Harits r.a. yang merupakan putri dari pembunuh Abu Jahal (Mu’awwidz bin ‘Afra`) datang kepada Asma` binti Makhramah ibu Abu Jahal, bersama beberapa orang wanita Anshar di masa Umar ibnul Khaththab. Putranya, Abdullah bin Abi Rabi’ah, saudara Abu Jahal seibu, biasa mengirimkan parfum kepadanya dari Yaman, lalu dia jual. Para wanita di Madinah sering membeli parfum kepadanya. Ketika ibu Abu Jahal ini meletakkan parfum itu di dalam botol dan dia timbang untuk Rubayyi’ binti Mu’awwidz sebagaimana dia lakukan kepada yang lain, dia berkata, “Engkau memiliki sebuah kewajiban.”
Rubayyi’ berkata, “Ya, tuliskanlah kewajiban untuk Rubayyi’ binti Mu’awwidz.”
Ibu Abu Jahal berkata, “Celakalah kamu! Kamu adalah putri seorang pembunuh tuan.”
Rubayyi’ berkata, “Tidak, akan tetapi aku adalah putri seorang pembunuh budak.”
Ibu Abu Jahal berkata, “Demi Allah, aku tak akan menjual apa-apa kepadamu.”
“Dan aku, demi Allah, tidak akan membeli apa-apa lagi darimu selama-lamanya. Demi Allah, itu bukan parfum dan tidak pula harum-haruman.”

TOBAT PENYAMUN IBNU IYYADH DAN ANAKNYA

    Ali bin Khasyram berkata, “Ada seseorang salah satu tetangganya yang bernama al-Fudhail bin Iyadh bercerita kepadaku, ‘Al-Fudhail sering menyamun sendiri. Pada suatu hari dia keluar untuk menyamun. Dalam aksinya tersebut, dia langsung saja dia menemukan satu kafilah yang telah memasuki kawasannya.’”
    Salah satu dari rombongan kafilah tersebut berkata kepada yang lainnya,  “Luruskan dan berhati-hatilah masuk ke desa itu, karena di depan kita ada seorang yang sering menyamun yang bernama al-Fudhail.”
    Al-Fudhail mendengar kata-kata mereka hingga membuatnya tersentak dan berkata kepada mereka, “Wahai kaum, aku ini adalah al-Fudhail, melintaslah kalian. Demi Allah, aku sedang berusaha untuk tidak akan lagi melakukan maksiat kepada Allah.”
    Ada yang bercerita bahwa pada malam itu dia menambahkan mereka dengan kata-katanya, “Kalian semua aman dari al-Fudhail.” Dia pun keluar menyiapkan makanan binatang mereka, kemudian dia kembali lagi. Namun, tiba-tiba dia mendengar seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an, “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyu mengingat Allah….” (al-Hadid: 16)
    Al-Fudhail menjawab, “Demi Allah itu benar.”
    Ini menjadi pertanda awal tobatnya untuk selanjutnya dia memulai menuntut ilmu dan memperbanyak ibadah sampai akhirnya dia menjadi seorang ulama43 besar dan seorang fuqaha, semoga Allah merahmatinya.
    Dan anaknya yang bernama Ali ibnul Fudhail adalah salah seorang yang paling tekun dan khusyu beribadah pada zamannya, dia senantiasa bertobat kepada Allah dan sangat takut kepada-Nya. Pada suatu hari, dia shalat di belakang ayahnya dan saat itu al-Fudhail tidak mengerti sama sekali tentang dirinya. Al-Fudhail membaca firman Allah swt., “Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan kami adalah orang-orang yang sesat.’” (al-Mu`minuun : 106)
    Langsung saja sang anak pingsan. Ketika al-Fudhail mengetahui hal itu, dia segera membatalkan shalatnya dan membawa anaknya itu kepada istrinya, dia berkata, “Sadarkanlah.” Sang ibu kemudian segera menyipratkan air ke mukanya dan anak itu langsung sadar. Sang ibu berkata kepada al-Fudhail,  “Ayah mau membunuh anak ini?!!”
    Dan pada hari lain, sang anak shalat di belakang ayahnya, namun sang ayah tidak mengetahuinya. Ketika itu sang ayah membaca ayat Al-Qur’an, “... Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang dahulu tidak pernah mereka perkirakan.” (az-Zumar : 47)
    Sang anak saat itu langsung tergeletak tak bernyawa. Sang ayah pun membatalkan shalatnya dan segera membawa anaknya itu kepada ibunya. Dia menganggap bahwa anaknya itu hanyalah pingsan saja. Sang ibu kemudian datang dengan menyipratkan air ke wajahnya, namun sang anak memang sudah mati. Semoga Allah merahmati dia dan merahmati ayahnya.
    Penulis katakan bahwa sesungguhnya itu adalah takut kepada Allah yang telah dilakukan oleh sang ayah dan sang anak. Tentunya juga dapat dilakukan oleh orang-orang mukmin yang shadiqin, yaitu mereka yang apabila mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan, kulit mereka merinding karena takut kepada Allah swt., mata mereka dibanjiri dengan air mata untuk mengharap ampunan dan maghfirah-Nya, karena hanya Allah semata yang mengampuni dosa. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan yang patut kita patuhi perintah dan larangan-Nya, serta Tuhan yang berhak memberi ampunan.

TOBAT ABDULLAH BIN ABI SARRAH

Abdullah bin Abi Sarrah adalah saudara sesusu Utsman bin Affan r.a.. Abdullah telah lama masuk Islam di Mekah dan dia termasuk orang yang menulis wahyu Rasulullah saw. di Mekah. Akan tetapi, setan memengaruhi akal pikirannya sehingga dia bergabung dengan orang-orang musyrik dan murtad dari Islam kemudian dia mengklaim bahwa dia telah menambah dan mengganti lafazh wahyu dengan lafazh dari dirinya sendiri pada saat dia menulis wahyu Rasulullah saw.. Padahal, hal itu tidak seperti yang dia katakan karena sesungguhnya Allah swt. yang Maha Menjaga kitab-Nya.
    “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
    Maka, Rasulullah saw. menghalalkan darahnya untuk dibunuh. Abdullah bin Sarrah pun tobat dan menyesali apa yang telah diucapkannya. Dia ingin membaiat Rasulullah saw. pada hari Fathu Mekah. Maka, dia pun datang bersama Utsman bin Affan sampai akhirnya dia dihadapkan di hadapan Rasulullah saw. dan Utsman berkata, “Wahai Rasulullah, baiatlah Abdullah.”
    Rasulullah saw. menatapnya dan menolak untuk membaiatnya. Lantas Utsman kembali mengulang-ulang permohonannya kepada Rasulullah saw. dan meminta kepada beliau pemberian ampun. Pada kali keempat, beliau membaiatnya, kemudian Rasulullah saw. menghadap kepada para sahabat beliau seraya berkata kepada mereka, “Apakah di antara kalian ada seseorang yang benar yang melakukan ini yakni dia melihatku telah menahan tanganku untuk membaiatnya dan akan membunuhnya?”
    Mereka berkata, “Kami tidak tahu apa yang ada di dalam benakmu. Apakah engkau telah mengisyaratkan kami dengan kedua matamu?”
    Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya tidak sepantasnya bagi seorang nabi mempunyai pandangan mata yang khianat.” 
    Begitulah Allah swt. menyelamatkan Abdullah bin Sarrah dengan tobatnya yang benar dan menjalankan Islamnya dengan baik. Semoga Allah meridhainya. Dia pun turut serta dalam beberapa peperangan dan futuhat islamiyah. Dia menjabat sebagai penguasa Mesir pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan r.a., kemudian dia mengasingkan dirinya dari fitnah yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib r.a. dengan Mu’awiyah bin Abi Shafyan r.a..

TOBAT HARUN AR-RASYID DI HADAPAN AL-FUDHAIL BIN IYADH

Al-Fudhail ibnur Rabi’ dan Khalifah Harun ar-Rasyid datang ke rumah al-Fudhail bin Iyadh. Fudhail kemudian membukakan pintu bagi keduanya. Dia lantas naik ke kamarnya dan segera mematikan lampu kemudian dia pergi ke satu sudut rumah. Kedua tamunya itu masuk dalam suasana gelap sambil merambah tembok yang ada. Telapak tangan Harun menyentuh telapak tangan Fudhail bin Iyadh seraya Fudhail berkata, “Aduhai betapa halus dan lembutnya telapak tangan ini jika besok selamat dari azab Allah.”
    Harun berkata,  “Ambillah untuk tujuan kami mendatangi kamu.”64
    Fudhail berkata kepadanya, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz ketika dia menjabat sebagai khalifah langsung memanggil Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab al-Qarazhi dan Raja bin Haywah”.
    Dia berkata kepada mereka, “Aku telah terkena musibah ini, maka berikan masukan padaku. Khalifah pun menghitung semua yang dianggapnya sebagai sebuah musibah. Kamu dan para sahabatmu menganggapnya itu sebagai nikmat.”
    Salim bin Abdullah berkata kepadanya, “Jika kamu ingin selamat dari azab Allah, berpuasalah dari keduniaan dan jadikan buka puasamu itu sebagai kematian.”
    Muhammad bin Ka’ab berkata kepadanya, “Jika kamu ingin selamat dari azab Allah, hendaklah engkau jadikan orang-orang yang tua dari kaum Muslimin ini sebagai ayahmu. Dan mereka yang masih sebaya sebagai saudaramu, dan mereka yang masih kecil sebagai anakmu, berbaktilah kamu kepada ayahmu, dan bermurah hatilah kepada saudaramu, serta limpahkanlah kasih sayang kepada anakmu.”
    Raja bin Haywah berkata kepadanya, “Jika kamu ingin selamat dari azab Allah, cintailah kaum Muslimin seperti kamu mencintai dirimu, dan bencilah apa yang ada pada mereka seperti apa yang kamu benci pada dirimu, kemudian matilah jika kamu menghendaki.”
    Al-Fudhail berkata kepada Harun, “Sesungguhnya aku katakan ini kepadamu karena aku sangat khawatir padamu lebih takut dari ketakutan di hari kaki manusia tergelincir. Apakah ada orang bersamamu seperti mereka itu yang selalu menasihati dan menyuruhmu seperti ini?” Kemudian Harun pun menangis sejadi-jadinya sampai dia pingsan.
    Al-Fudhail ibnur Rabi’ berkata kepadanya, “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.”
    Dia menjawab, “Wahai Ibnu Ummir Rabi’, apakah kamu dan para sahabatmu akan membunuhnya, sementara aku harus bersikap lembut dengannya?”
    Kemudian Harun pun siuman dari pingsannya seraya berkata,  “Tambahkan lagi,  semoga Allah merahmatimu.”
    Dia berkata, “Aku mendengar Amirul Mukminin bahwa ada seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz yang diadukan kepadanya.”
    Umar pun menulis surat kepadanya, “Wahai saudaraku, ingatlah panjangnya waktu tidak tidur para penghuni neraka di dalam neraka sampai kekal selamanya. Hal itu akan mendorongmu ke pintu Allah dalam keadaan tidur dan jaga.”
    Ketika pegawai itu membaca surat itu, dia langsung mengarungi negeri itu sampai akhirnya datang ke Umar. Umar lalu bertanya, “Apa yang akan aku berikan kepadamu?”
    Orang itu menjawab, “Kamu telah mencopot jantungku dengan suratmu, aku tidak mau lagi menjadi pegawaimu sampai aku mati dan menghadap Allah swt..”
    Kemudian Harun pun menangis lalu berkata,  “Tambahkan lagi, semoga Allah merahmatimu.”
    Dia berkata, “Sesungguhnya kekuasaan itu adalah kesedihan dan penyesalan di hari Kiamat nanti. Jika kamu mampu untuk tidak menjadi penguasa atas seseorang, maka lakukanlah.”55

TOBAT WAHIB IBNUL WARD

Ibnu Abi Ruwad berkata, “Aku melihat seseorang bersujud di belakang makam Ibrahim di Ka’bah di suatu malam yang dingin dan hujan sedang berdoa sambil menangis. Aku pun thawaf tujuh putaran, kemudian aku kembali dan aku masih mendapatkannya dalam keadaannya semula. Aku pun berdiri di dekatnya sepanjang malam itu. Ketika malam itu pergi, aku mendengar seseorang yang berteriak,    ‘Wahai Wahib ibnul Ward, angkatlah kepalamu karena Dia telah mengampunimu.’”
    Ibnu Abi Ruwad melanjutkan, “Aku tidak melihat sesuatu. Ketika waktu subuh memancarkan cahayanya, Wahib mengangkat kepalanya dan pergi. Aku pun mengikutinya dan aku katakan kepadanya, ‘Tidakkah kamu mendengar suara itu?’
    Dia bertanya, ‘Suara apa?’
    Aku pun menceritakan kepadanya, lantas dia berkata kepadaku, ‘Janganlah kamu menceritakan hal ini kepada siapa pun dan aku pun tidak menceritakannya kepada siapa-siapa sampai Wahid meninggal dunia.’”
    Wahib ibnul Ward bin Abil Ward bahwa namanya adalah Abdul Wahhab kemudian shighah-nya diringankan menjadi Wahib. Dia adalah seorang ahli ibadah yang dipercaya dari penduduk Mekah. Barangkali ungkapan Ibnu Abil Ward yang mengatakan bahwa dia melihatnya sedang bersujud di makam Ibrahim di depan Ka’bah dan terus dalam keadaan sujud selama waktu tujuh putaran. Setiap kali dia melintas dan thawaf di Ka’bah, dia melihatnya terus dalam keadaan seperti itu, tidak berarti bahwa dia terus sujud selama tujuh putaran itu tanpa mengangkat kepalanya dari sujudnya, melainkan yang dimaksud adalah setiap harinya dia banyak bersujud, berdoa, dan memohon ampun kepada Allah, lantas dia berdiri melaksanakan shalat dan begitu seterusnya.
    Ini sebagai dalil bahwa para ahli ibadah dari salafus saleh tidak hanya melakukan ibadah saja, melainkan mereka juga tetap berharap sekali mendapatkan rahmat dan magfirah dari Allah swt. walaupun tingginya tingkat ibadah dan kezuhudan mereka kepada-Nya dalam kehidupan dunia ini. Wallahu a’lam.
    Sufyan bin ‘Ayyinah dari Wahib ibnul Ward berkata,    “Ketika aku berada di Bathnul Wadi, ada seseorang yang memegang pundakku seraya berkata, ‘Wahai Wahib, takutlah kamu Allah karena kekuasaan-Nya atasmu, dan malulah kamu kepada-Nya karena kedekatan-Nya kepadamu.’”
    Wahib berkata, “Aku segera menoleh ke sekitarku dan aku tidak mendapatkan seseorang pun.”
    Basyar ibnul Harits berkata, “Empat orang yang Allah angkat derajat mereka karena tidak memakan makanan kecuali dari yang halal, yakni Wahib ibnul Ward, Ibrahim bin Adham, Yusuf bin Asbath, dan Salim al-Khawwash.”
Wahib berkata, “Takutlah kamu untuk mencerca iblis di tempat terbuka padahal kamu menjadi temannya dalam kesendirianmu.”

Abu Aqil al-Anifi Pada Perang Yamamah

Dari Ja’far bin Abdullah bin Aslam al-Hamdani r.a., dia berkata, “Ketika peperangan Yamamah, orang yang pertama kali terluka adalah Abu Aqil al-Anifi. Dia terkena panah di antara kedua pundak dan hatinya. Kemudian anak panah tersebut dikeluarkan dari tubuhnya, dengan terlebih dahulu merobek bagian tubuhnya yang terkena panah tersebut. Sehingga bagian tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh. Ketika itu waktu masih pagi, maka dia pun dibawa ke tempat peristirahatan orang-orang muslim.
Ketika peperangan memanas, orang-orang muslim kalah  dan mereka bersiap-siap mundur dengan tunggangan mereka.  Ketika itu Abu Aqil sedang dalam kondisi sakit karena lukanya. Lalu dia mendengar Ma’n bin Adi berteriak memanggil orang-orang Anshar, “Allah, Allah, serang musuh kalian”. Dan Ma’n pun segera maju ke barisan depan pasukan muslim, ketika orang-orang Anshar berteriak, “Pilihlah kami, pilihlah kami”. Maka mereka memilih satu persatu dari mereka dan memisahkan diri.
Abdullah bin Umar berkata, “Kemudian Abu Aqil bangkit mendatangi kaumnya tersebut. Maka saya katakan kepadanya, “Apa yang akan engkau lakukan wahai Abu Aqil. Engkau tidak bisa berperang”.
Dia menjawab, “Seseorang telah memanggil nama saya”.
Ibnu Umar berkata, “Orang itu memanggil orang-orang Anshar yang tidak terluka”.
Abu Aqil berkata, “Saya adalah salah seorang Anshar, dan saya akan tetap memenuhi panggilan itu walaupun dengan merangkak”.
Ibnu Umar berkata, “Lalu Abu Aqil memakai ikat pinggangnya lalu mengambil pedangnya dan membawanya dengan tangan kanannya saja. Kemudian dia berseru, “Wahai orang-orang Anshar, mari kita lakukan kembali apa yang pernah kita lakukan dalam peperangan Hunain”.
Maka orang-orang Anshar pun berkumpul bersamanya dan berada di barisan depan orang-orang muslim lainnya dengan gagah berani. Lalu mereka menyerang musuh hingga menerobos kebun tempat pasukan Musailamah berlindung. Kemudian mereka pun berbaku hantam dan pedang-pedang mereka pun beradu”.
Ibnu Umar berkata, “Lalu saya melihat tangannya yang terluka telah putus hingga sampai pundak dan jatuh ke tanah. Sedangkan di tubuhnya terdapat empat belas luka, yang masing-masing dapat membuat seseorang terbunuh. Dan dia berhasil membunuh musuh Allah, Musailamah”.
Ibnu Umar berkata, “Lalu saya mendapati Abu Uqail yang terluka parah pada detik-detik menjelang kematiannya. Ketika saya bertanya kepadanya, “Engkau Abu Aqil?”
Dia menjawab, “Ya”.
Lalu dengan terbata-bata dia bertanya, “Pihak manakah yang kalah?”
Maka saya katakan, “Kitalah yang menang”. Dan dengan suara keras saya katakan kepadanya, “Musuh Allah telah terbunuh”. Lalu dia mengangkat jarinya ke langit dengan mengucap hamdalah lalu meninggal dunia”.
Ibnu Umar berkata, “Lalu saya memberitahu Umar Ibnul Khathab tentang Abu Uqail, maka Umar berkata, “Semoga Allah mengasihinya. Dia terus mencari syahid, walaupun saya tahu dia adalah salah satu sahabat Nabi saw. yang terbaik dan salah seorang yang masuk Islam lebih dahulu”.

Saya Takut Allah Melimpahkan Semua Balasan Amal Baik Saya Di Dunia Ini

Diriwayatkan oleh as-Samarqandi dari Utsman bin Abdul Khumaid bin Lahiq dari ayahnya dari kakeknya dari Muslim bin Yasar, dia berkata, "Pada suatu ketika saya datang ke Bahrain. Di sana saya diterima sebagai tamu oleh seorang wanita yang mempunyai banyak anak, mempunyai budak, harta dan kemudahan duniawi lainnya. Akan tetapi saya lihat dia selalu dirundung perasaan sedih. Maka ketika hendak berpamitan pergi, saya bertanya padanya, "Ada yang bisa saya bantu?" Dia menjawab, "Ya, jika kelak anda datang lagi ke negeri kami ini, singgahlah di rumah saya ".
Muslim bin Yasar berkata, "Setelah beberapa tahun saya tidak pernah berjumpa kembali dengannya. Kemudian setelah itu saya singgah lagi ke rumahnya. Akan tetapi, kali ini sungguh aneh, karena ketika saya tiba di depan pintu rumahnya, tidak ada seorang pun yang dapat saya jumpai di sana. Lalu saya minta izin untuk masuk. Ternyata wanita itu berada di dalam rumah dan menizinkan saya masuk. Tatkala saya melihatnya, nampak dari dirinya terpancar kebahagiaan. Saya jadi heran, karena dulu tidak pernah saya melihatnya sebahagia itu. Maka saya bertanya padanya, "Apa yang membuatmu begitu bahagia?" Dia menjawab, "Ketika dulu anda pergi dari sini, kami kehilangan satu persatu yang kami miliki Laut telah menenggelamkannya dan yang di sini musnah tidak tersisa. Budak saya pergi meninggalkan saya sedangkan anak-anak saya telah mendahului saya menghadap Sang Pencipta". Saya menjadi terkejut mendengar ceritanya itu. Dan masih dengan perasaan heran, saya coba bertanya lagi kepadanya, "Aneh kelihatannya. Dulu ketika hidup dalam kemudahan, engkau nampak selalu bersedih. Namun sekarang, yang seharusnya bersedih, engkau malah bahagia?" Kemudian dia menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya, "Benar, dulu ketika saya hidup dalam kemudahan duniawi, saya takut hal itu disebabkan karena Allah hendak menumpahkan semua balasan amal baik saya di dunia ini. Adapun sekarang, ketika semuanya telah musnah, ada harapan bagi saya bahwa kelak balasan amal baik tersebut akan dapat saya rasakan di kehidupan akhirat yang abadi. Oleh karena itu, sekarang saya merasa bahagia".  Mendengar jawabannya itu saya jadi terkagum, "Maha Suci Allah. Sesungguhnya Dia punya perencanaan terhadap setiap makhluk-Nya. Dan wanita alim ini, dia menyadari bahwa apa yang dimilikinya di dunia ini, berupa limpahan harta dan kemudahan hidup  lainnya, tidak lain hanyalah ujian dari Allah dan pelimpahan balasan amal baik di dunia ini. Sehingga dia pun menjadi bersedih karenanya. Kemudian tatkala semua miliknya di dunia ini musnah, dia bersabar dan ridha dengan ketetapan Allah tersebut, dengan harapan akan menuai hasil kebaikannya di akhirat kelak. Dan itu adalah puncak kebahagian baginya.

Menginginkan Kematian

Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan dalam kitab Shifatush Shafwah, “Ditanyakan kepada seorang ahli ibadah yang zuhud, Abidah binti Abi Kilab rahimahallah, ‘Apa yang kamu iginkan?’     
Dia menjawab, ‘Kematian.’
‘Kenapa?’
‘Karena aku, demi Allah, setiap hari selalu merasa takut berbuat dosa yang akan menjadi sebab kebinasaanku di hari akhirat nanti.’
Dia pernah bertanya kepada Malik bin Dinar rahimahullah, ‘Kapan seorang yang bertakwa sampai ke derajat tertinggi yang tidak ada lagi derajat di atasnya?’
‘Hebat sekali pertanyaanmu wahai Abidah. Apabila seorang yang bertakwa sampai ke derajat yang tertinggi yang tiada lagi derajat di atasnya, maka tidak ada yang lebih dicintainya selain datang menuju Allah.’”

Kisah Nabi Isa bin Maryam A.s. dan Seorang Lelaki Buta yang Sakit Kusta dan Tidak Mampu Berjalan

Dikisahkan bahwa pada suatu hari, Isa bin Maryam a.s. berpapasan dengan seorang lelaki buta yang sakit kusta, tidak mampu berjalan, kedua tangannya lumpuh dan daging tubuhnya melepuh karena lepra. Dan ketika itu lelaki tersebut sedang berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjaga saya dari cobaan yang banyak menimpa makhluk-Nya”. Maka Nabi Isa berkata kepadanya, “Wahai Tuan, saya tidak melihat sedikit pun cobaan yang dipalingkan darimu?!”.
Lelaki tersebut menjawab, “Wahai Ruh Allah, saya lebih baik dari pada orang yang di dalam hatinya tidak diberi makrifat tentang Allah seperti yang ada di dalam hatiku”. 
Maka Nabi Isa pun menyahut, “Engkau benar. Ulurkan tanganmu kepadaku”.
Lelaki tersebut mengulurkan tangannya, lalu dengan perantaraan itu Allah menyembuhkan semua penyakit yang dideritanya. Maka dia pun menjadi orang yang sangat tampan dan berperawakan sangat bagus. Semua penyakit yang dideritanya telah sembuh berkat kerhidaan Allah terhadapnya.
Kemudian dia pun selalu menyertai Nabi Isa a.s.

Hudzaifah Ibnul Yaman R.a. ketika Ajal Menjemputnya

Ketika ajal akan menjemput Hudzaifah ibnul Yaman r.a., dia berkata, “Ya Allah dulu saya takut kepada-Mu dan sekarang saya berharap kepada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya tidaklah suka terus menetap di dunia karena aliran sungainya dan karena buah-buahannya. Akan tetapi karena keinginan berpuasa di hari yang panas, shalat malam, mengikuti perjalanan waktu dan berkumpul dengan para ulama di majlis zikir”.
    Ketika sakaratul maut mendatanginya, dia berkata, “Ya Tuhanku, keraskan tarikan-Mu dan kuatkan cekikan-Mu. Demi kemuliaan-Mu, sesungguhnya Engkau tahu bahwa saya mencintai-Mu. Hatiku hanya ingin mencintai-Mu. Semoga datang kemakmuran hidup. Seorang kekasih datang dengan kefakiran, dia tidak lepas dari penyesalan”.

TOBAT HINDUN BINTI

Hindun binti ‘Atabah adalah istri Abu Sufyan bin Harb yang dulu menjadi pemimpin Quraisy dan salah seorang musuh Islam. Hindun adalah salah seorang musuh Rasulullah saw. dan umat Islam yang paling keras yang telah turut serta bergabung dengan suami dan kaumnya memerangi kaum Muslimin. Dia telah memerintahkan Wahsyi al-Habasyi untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib pada Perang Uhud, kemudian dia merobek perut Hamzah dan mengeluarkan jantungnya. Lalu dia mengunyahnya kemudian dia muntahkan. Setelah itu, dia pun menganiaya dan mencabik-cabik jasad Hamzah.
    Dia tetap dalam permusuhannya terhadap Islam selama dua puluh tahun sampai Fathu Mekah, walaupun suaminya yang menjadi pemimpin Mekah telah masuk Islam dan Rasulullah saw. telah memberi suaminya dan  penduduk Mekah rasa aman. Beliau berkata kepada Abu Sufyan, “Barangsiapa yang mengunci pintu rumahnya, dia aman. Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, dia aman, dan barangsiapa yang masuk ke Masjidil Haram, dia aman.”
    Abu Sufyan mengumumkan kepada penduduk Mekah keputusan Rasulullah ini. Maka Hindun memegang kepala suaminya sambil teriak, “Kamu adalah petinggi kaum yang paling jelek. Demi Allah, tidak pernah aku terluka dengan satu luka, wahai penduduk Mekah. Kalian harus benar-benar membalas dendam. Bunuhlah dia!”
    Dia pun memerintahkan kaumnya untuk membunuh suaminya karena dia telah bergabung dengan orang-orang Islam pada saat itu. Akan tetapi, Allah swt. meniupkan Islam ke dalam hatinya. Mahasuci Allah Yang Berkuasa membalikkan hati manusia. Pada hari berikutnya dari Fathu Mekah dia datang dan Allah telah memberikan taufik-Nya untuk dia bertobat. Dia berkata kepada suaminya, “Sesungguhnya aku ingin mengikuti Muhammad.”
    Suaminya pun berkata kepadanya dengan tercengang dan penuh keanehan, “Kemarin, aku mendapatkan kamu membenci omongan seperti ini.”
    Dia berkata, “Sesungguhnya demi Allah, aku tidak pernah melihat Allah disembah sebelumnya dengan penyembahan sebenarnya kecuali di masjid ini. Dan demi Allah, mereka terus shalat baik dalam keadaan berdiri, ruku, dan sujud.”
    Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnya engkau telah melakukan apa yang telah kamu lakukan, pergilah dengan seseorang dari kaummu.”
    Kemudian dia pun pergi ke Utsman bin Affan r.a. dan bersama dia ada beberapa wanita yang telah masuk Islam dari penduduk Mekah. Utsman pun memintakannya izin dan dia pun masuk dengan menutup mukanya agar tidak dikenali karena takut Rasulullah saw. akan membalas dendam dengan apa yang telah dilakukannya terhadap paman beliau Hamzah bin Abdul Muththalib.
    Rasulullah saw. pun mengambil baiat para wanita itu dan di antara mereka adalah Hindun. Beliau berkata kepada mereka, “Kalian membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun.”
    Hindun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau pasti akan mewajibkan kepada kami satu perkara yang engkau juga mewajibkannya kepada kaum laki-laki dan kami akan mematuhinya.”
    Beliau kemudian berkata, “Janganlah kalian mencuri dan berzina.”
    Hindun berkata, “Wahai Rasulullah, apa mungkin orang merdeka itu berzina?”
    Beliau berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau pasti Hindun binti ‘Atabah?”
    Dia berkata, “Aku adalah Hindun binti ‘Atabah, mohon ampunlah dari apa yang telah lalu. Semoga Allah mengampuni engkau.”
    Rasulullah saw. kemudian menerima tobat dan Islamnya dan menerima baiat darinya.
    Setelah keislamannya, Hindun pun turut serta dalam beberapa peperangan bersama suaminya di jalan Allah dan wafat pada masa kekhilafahan Umar ibnul hthab r.a. tahun 14 Hijriah. Semoga Allah meridhainya.

Balasan Tidak Adil terhadap Rakyat

Suatu ketika seorang khalifah Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik, melaksanakan ibadah haji ke Baitul Haram. Setelah tiba di tanah haram dia berkata kepada para pembantunya, “Datangkan kepadaku seorang sahabat Rasulullah.” Para pembantunya berkata, “Semua sahabat telah meninggal.”
Khalifah berkata lagi, “Kalau begitu seorang tabi’in.”
Lalu, dibawalah seorang tabi’in bernama Thawus al-Yamani. Ketika datang, Thawus menanggalkan sandalnya di permadani khalifah, dia tidak memberi salam dengan kata-kata Amirul Mukminin dan tidak pula dia panggil khalifah dengan gelarnya.  Kemudian dia langsung duduk di samping khalifah tanpa seizinnya dan dengan tenang dia berkata kepada khalifah, “Bagaimana kabarmu wahai Hisyam?”
Melihat sikap seperti itu, khalifah sangat marah sampai-sampai  dia berniat ingin membunuh Thawus. Para pembantunya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kamu berada di Tanah Haram milik Allah dan Rasul-Nya dan tidak dibolehkan membunuh di sini.”
Setelah itu, khalifah berkata kepada Thawus, “Wahai Thawus, apa yang membuatmu bersikap seperti itu? Kamu tanggalkan sandalmu di permadaniku, kamu tidak mengucapkan salam kepadaku dengan panggilan ‘Wahai Amirul Mukminin,’ kamu juga tidak panggil aku dengan gelarku, kemudian kamu duduk di sampingku tanpa seizinku, lalu kamu berkata, ‘Bagaimana kabarmu, Hisyam?’”
Thawus menjawab, “Adapun aku menanggalkan sandalku di permadanimu, maka sesungguhnya aku juga menanggalkannya di hadapan Rabbul ‘Izzah lima kali sehari. Oleh karena itu, jangan kamu kesal dan marah kepadaku. Adapun apa yang kamu katakan, ‘Kenapa kamu tidak memberi salam kepadaku dengan sebutan Amirul Mukminin,’ tidaklah semua kaum mukminin suka dengan kepemimpinanmu, maka aku takut kalau sampai bohong dan berlaku munafik.’ Tentang perkataanmu, ‘Engkau tidak memanggilku dengan gelarku,’ maka sesungguhnya Allah swt. memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama mereka. Dia berkata, ‘Wahai Dawud, wahai Yahya, wahai Isa.’ Dan Allah memanggil musuh-Nya dengan gelarnya dalam firman-Nya, ‘Celakalah kedua tangan Abu Lahab.’ Tentang perkataanmu, ‘Engkau duduk di sampingku tanpa seizinku,’ maka sesungguhnya aku pernah mendengar Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, ‘Apabila kamu ingin melihat seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada seseorang yang di sekitarnya banyak orang berdiri.’”
“Nasihatilah aku,” pinta Khalifah.
Thawus berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, ‘Sesungguhnya di neraka Jahanam terdapat ular dan kalajengking berbisa sebesar kuda yang akan mematuk setiap pemimpin yang tidak berlaku adil kepada rakyatnya.’” Kemudian Thawus beranjak pergi.

TOBAT SEORANG PENCURI DI TANGAN ATHA AS-SULLAMI

‘Atha as-Sullami suatu hari keluar ke padang pasir untuk shalat malam. Di jalan ia dihadang oleh pencuri. Kemudian ‘Atha pun berdoa, “Ya Allah, cegahlah perbuatan orang itu.”
    Setelah berdoa, tangan dan kedua kaki orang itu pun lumpuh. Sehingga pencuri itu menangis dan berteriak, “Demi Allah! saya tidak akan mengulang lagi perbuatanku ini selamanya.”
    ‘Atha pun mendoakan kesembuhan baginya, sehingga kedua tangan dan kakinya kembali sembuh seperti sedia kala. Dan pencuri itu pun mengikutinya sambil bertanya, “Siapakah engkau?”
    Ia menjawab, “Saya bernama ‘Atha.”
    Kemudian di siang hari, sang pencuri bertanya kepada orang-orang, “Apakah kalian kenal seorang lelaki saleh yang keluar di waktu malam untuk shalat di padang pasir?”
    Mereka menjawab, “Ya, dia adalah ‘Atha as-Sullami.”
    Setelah itu pencuri itu pun mendatangi ‘Atha as-Sullami dan berkata kepadanya, “Saya datang kepadamu sambil bertobat dari perbuatanku ini dan ini dan ini. Doakanlah kepada Allah agar aku diampuni.”
    Maka ‘Atha pun mengangkat tangannya untuk berdoa kepada Allah bagi orang itu.

Dia Menolak Menikah dengan Khalifah

Ashmu’i menceritakan, “Suatu kali Khalifah Bani Umayyah, Sulaiman bin Abdul Malik, bersama Sulaiman bin Mahlab pergi rekreasi dari Damaskus. Di tengah perjalanan mereka melewati sebuah pekuburan. Mereka melihat seorang wanita yang sedang menangis dan meratap duduk di dekat sebuah kuburan. Tiba-tiba angin bertiup dan menyingkap kerudung wanita tersebut. Tampaklah sebuah wajah bagaikan awan yang muncul dari matahari yang terik. Khalifah dan sahabatnya sangat terkesima melihat kecantikan yang memukau itu. Keduanya memandangi wajah cantik itu penuh takjub.
Ibnu Mahlab bertanya kepada wanita itu, “Wahai hamba Allah, maukah kau menjadi istri dan permaisuri Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik?”
Wanita itu menoleh ke arah mereka lalu menoleh kembali ke arah kuburan, kemudian dia berkata,

Kalau kalian tanya keinginanku
Sesungguhnya ada pada jasad di dalam lahad ini
Aku malu kepadanya meski tanah memisahkan kami
Sebagaimana aku dulu malu kepadanya saat  dia bisa melihatku

Ashmu’i melanjutkan, “Lalu kami pergi dengan penuh kagum melihat kesetiaannya pada suaminya yang telah wafat.”

TOBAT SEORANG WANITA DARI BELAJAR SIHIR

Penyihir itu kafir dan orang yang datang ke penyihir agar melakukan perbuatan sihir juga sama seperti penyihir, dia itu kafir, belajar sihir juga kafir. Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam kitab tafsirnya sebuah atsar dari Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa dia berkata, “Ada seorang wanita yang datang dari Daumatul Jandal—dekat Damaskus—yang ingin bertemu Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Tidak lama setelah wafatnya beliau, dia ingin menanyakan beliau tentang sesuatu yang masuk ke dalamnya sihir tapi belum mempraktikkannya.
    Aisyah berkata kepada Urwah, “Wahai keponakanku, aku melihatnya sedang menangis sampai akhirnya aku merasa kasihan padanya. Wanita itu berkata, ‘Sesungguhnya aku takut jika aku telah binasa. Dahulu aku mempunyai seorang suami dan dia meninggalkanku. Aku pun datang ke nenek tua dan mengeluhkan hal itu kepadanya.’” Nenek itu berkata, “Jika kamu melakukan apa yang aku perintahkan padamu, kamu bisa mendatangkannya lagi kepadamu.”
    Ketika datang waktu malam, kami didatangi dua ekor anjing hitam, maka aku menaiki yang satunya dan nenek itu menaiki yang lain.54 Belum apa-apa tiba-tiba kami sudah sampai di Babil 55—nama sebuah kota—yang di sana ada dua orang laki-laki yang tergantung dengan kaki keduanya.
    Keduanya berkata, “Apa tujuan kedatanganmu?”
    Aku menjawab, “Aku ingin belajar sihir.”
    Keduanya berkata, “Sesungguhnya kami hanya sebuah fitnah, janganlah kamu kafir dan kembalilah.”
    Aku menolak dan berkata, “Tidak.”
    Keduanya berkata, “Pergilah kamu ke tungku dapur itu dan kencinglah di situ.”
    Aku pun pergi ke sana dan aku merasa takut, hingga aku tidak berani melakukannya, lantas aku kembali kepada keduanya.
    Keduanya bertanya, “Apakah kamu melihat sesuatu?”
    Aku menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”
    Keduanya berkata, “Kamu tidak melakukannya, pulanglah ke negerimu dan kamu kafir.” Aku serta merta menolaknya, dan keduanya berkata,  “Pergilah ke tungku dapur itu dan kencinglah di sana.” Kemudian aku pergi ke sana, namun kulit tubuhku merinding dan aku merasa takut, lantas aku pun kembali kepada keduanya dan berkata, “Aku telah melakukannya.”
    Keduanya bertanya, “Apa yang telah kamu lihat?”
    Aku menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”
    Keduanya berkata, “Kamu bohong, pulanglah kamu ke negerimu dan janganlah kamu kafir, karena kamu berada pada puncak perkaramu.”
    Aku pun pergi dan kencing di sana. Lantas aku melihat seorang penunggang kuda yang memakai topi baja keluar dariku. Dia pergi ke langit dan menghilang dariku sampai aku tidak bisa melihatnya lagi. Kemudian aku mendatangi keduanya seraya berkata, “Aku telah melakukannya.”
    Keduanya bertanya, “Apa yang telah kamu lihat?”
    Aku menjawab, “Aku melihat seorang penunggang kuda yang memakai topi baja keluar dariku. Dia pergi ke langit dan menghilang dariku sampai aku tidak bisa melihatnya lagi.”
    Keduanya berkata, “Engkau benar, itulah dia keimananmu yang telah keluar dari dirimu, pergilah kamu!”
    Aku katakan kepada nenek tua itu, “Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa dan keduanya tidak mengatakan sesuatu kepadaku.”
    Nenek tua itu berkata kepadanya, “Tidak, melainkan kamu tidak menginginkan sesuatu kecuali itu telah terjadi. Ambillah biji gandum ini dan sebarlah.”
    Aku pun menyebarnya dan berkata, “Tumbuhlah, ternyata telah tumbuh.” Aku katakan, “Menyambunglah, ternyata telah menyambung.” Kemudian aku katakan, “Tanggallah, ternyata telah tanggal.” Aku katakan, “Keringlah, ternyata telah kering.” Kemudian aku katakan, “Jadilah tepung, ternyata telah menjadi tepung.” Kemudian aku katakan, “Jadilah roti, ternyata telah menjadi roti.”
    Ketika aku sadar, sesungguhnya aku tidak menginginkan sesuatu kecuali hal itu telah terjadi, jatuh dalam tanganku dan aku merasa menyesal, dan demi Allah wahai Ummul Mukminin aku belum pernah melakukan apa-apa dan aku tidak akan melakukannya sama sekali.
    Aku bertanya kepada para sahabat Rasulullah saw. setelah wafatnya beliau dan mereka banyak sekali. Namun, mereka tidak tahu apa yang akan mereka katakan untuk wanita itu. Mereka semua merasa takut untuk memberi fatwa tentang apa yang tidak mereka ketahui.
    Penulis berpendapat, begitulah yang dilakukan oleh hawa nafsu dan setan terhadap wanita itu yang ingin mengembalikan suaminya tapi dia pergi ke tukang sihir. Akan tetapi, dia telah bertobat kepada Allah dan mudah-mudahan Allah menerima tobatnya. Banyak sekali wanita-wanita sekarang ini yang melakukan sihir pelet atau yang disebut sihir cinta untuk suami-suami mereka. Mereka menganggap bahwa itu adalah halal. Rasulullah saw. telah mengatakan tentang hal itu bahwa itu adalah syirik kepada Allah, dan yang namanya sihir itu adalah semuanya kafir. Wallahu a’lam.

Sesungguhnya Kalian Mengamalkan, tetapi tidak Mengetahu

Tsabit bin Sulaim berkata, “Kami diceritakan oleh Abu Qilabah,  dia berkata, ‘Aku datang dari Syam menuju Bashrah. Aku beristirahat di sebuah tempat. Pada malam harinya aku berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian aku rebahkan kepalaku di atas sebuah kuburan. Tidak berapa lama setelah itu aku tertidur. Kemudian aku tersentak. Tiba-tiba penghuni kubur itu mengeluh sambil berkata, ‘Engkau telah menggangguku semalam. Kalian bisa beramal, tetapi tidak mengetahui sementara kami mengetahui, tetapi kami tidak mampu untuk beramal.’’”
Kemudian dia melanjutkan, “Dua rakaat yang kamu kerjakan tadi lebih baik dari dunia dan seisinya.”
Dia melanjutkan lagi, “Semoga Allah membalas penduduk dunia dengan segala kebaikan. Sampaikan salamku kepada mereka. Sesungguhnya doa mereka sampai kepada kami laksana cahaya sebesar gunung.”
Kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini bahwa orang-orang yang sudah mati itu mengetahui tapi tidak bisa beramal sementara orang-orang yang masih hidup di dunia  ini selalu lalai dari beramal untuk akhirat mereka dengan keinginan sendiri, kecuali orang-orang yang Allah beri rahmat.