TOBAT ABU LUBABAH BIN ABDUL MUNDZIR

Abu Lubabah bin Abdil Mundzir al-Anshari adalah seorang dari kabilah al-Aus di Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Yahudi Bani Quraidzah adalah sekutu mereka. Ketika mereka mengingkari janji kepada Rasulullah saw. dalam perang Khandaq dan mereka secara terang-terangan memerangi Rasulullah, Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya untuk memerangi mereka setelah Allah mengalahkan tentara-tentara perang Ahzab.
    Bergegaslah Nabi saw. dan kaum Muslimin menuju mereka dan mengepung mereka. Setelah pengepungan atas mereka, mereka pun meminta Rasulullah saw. untuk mengirim sekutunya yang bernama Abu Lubabah bin Abdul Mundzir untuk dapat ikut bermusyawarah dengan mereka. Kemudian Rasulullah pun mengirim dia pada mereka.
    Ketika Abu Lubabah masuk ke dalam benteng mereka, para lelaki berdiri, kaum wanita dan anak-anak menangis meraung-raung di hadapannya. Mendengarnya terenyuhlah hatinya, mereka pun berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah engkau berpendapat bahwa kita akan dijatuhi hukuman oleh Muhammad?”
    Ia pun mengisyaratkan tangannya di lehernya, yakni bahwa hukuman Rasulullah saw. untuk mereka adalah sembelih dan bunuh. Abu Lubabah pun merasa bersalah, dan dia merasa telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Dia pun sangat menyesal sampai-sampai ia berkata, “Demi Allah, semasih kedua kakiku pada tempatnya hingga aku tahu bahwa aku telah khianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
    Abu Lubabah pun segera pergi. Dia tidak pergi menemui Rasulullah saw, melainkan langsung pergi ke Masjid Nabawi lalu dia mengikat dirinya di salah satu tiang masjid, seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini hingga Allah mengampuniku atas apa yang telah aku lakukan.”
    Abu Lubabah terus terikat di masjid selama enam hari. Istrinya datang di setiap waktu shalat. Ia membuka ikatannya hingga dia dapat berwudhu dan shalat kemudian diikat lagi. Setelah enam malam, turunlah firman Allah swt., “Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (at-Taubah: 102)
    Ayat tersebut turun dengan kabar ampunan Allah untuk Abu Lubabah di penghujung malam. Ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di rumah Ummul Mukminin Ummu Salamah r.a.. Ia pun meminta izin pada Nabi untuk memberi kabar gembira pada Abu Lubabah dengan tobat dan ampunan dari Allah swt. untuknya. Nabi pun mengizinkannya dan keluarlah ia memberi kabar gembira. Setelah itu datanglah kaum Muslimin dengan gembira atas ampunan Allah untuknya. Mereka ingin membukakan ikatannya akan tetapi dia tidak mau. Ia pun berkata, “Tidak ada seorang pun yang akan membuka ikatanku ini kecuali Rasulullah saw..”
    Ketika Rasulullah keluar untuk shalat subuh, beliau pun membukakan ikatannya.

Saya Berjalan dan Kamu Menunggang

Ketika Ibrahim bin Adham pergi menuju Baitullah al-Haram, dia berjumpa dengan seorang Arab badui yang sedang menunggang unta. Arab badui itu bertanya kepada Ibrahim, “Hendak ke mana, wahai Tuan?”
“Ke Baitullah al-Haram,” jawab Ibrahim.
Arab badui tersebut berkata penuh heran, “Anda seperti orang gila saja, aku tidak melihatmu memiliki kendaraan atau pun bekal untuk melakukan sebuah perjalanan jauh.”
“Aku memiliki kendaraan, namun kau tidak melihatnya,” kata Ibrahim.
“Mana tungganganmu?”
“Apabila datang sebuah musibah, maka aku akan menunggangi kendaraan sabar, apabila datang sebuah nikmat, maka aku akan menunggangi kendaraan syukur, apabila datang qadha (ketentuan Allah), maka aku akan menunggangi kendaraan ridha, dan apabila nafsuku mengajak kepada sesuatu, maka aku tahu bahwa umurku yang tersisa lebih sedikit dari yang telah berlalu.”
Akhirnya, Arab badui tersebut berkata, “Teruskanlah perjalananmu dengan izin Allah. Sesungguhnya engkaulah penunggang (yang memiliki kendaraan) sesungguhnya, sementara aku hanyalah pejalan kaki (pada hakikatnya).”

Wafatnya Ahmad bin Hanbal

Ahmad bin Hanbal rahimahullah wafat pada tahun 241 H dalam usia 77 tahun. Al-Marwazi berkata, “Abu Abdillah sakit pada malam Rabu, malam kedua bulan Rabiul Awal tahun 241 H. Dia sakit selama sembilan hari. Berita itu diketahui orang banyak sehingga mereka datang menjenguknya dan bahkan menginap di depan pintu rumahnya. Terkadang dia izinkan orang-orang untuk masuk lalu mereka masuk berbondong-bondong dan memberi salam kepadanya dan  dia menjawab dengan tangannya.”
Abu Abdillah berkata, “Salah seorang pembantu Ibnu Thahir (gubernur daerah itu) datang dan berkata, ‘Gubernur menyampaikan salam kepadamu dan sangat ingin menjengukmu.’”
Aku berkata kepadanya, “Ini yang tidak aku suka dan Amirul Mukminin sendiri sudah membebaskanku dari apa yang tidak aku suka.”
Di hari Jumat manusia datang berduyun-duyun sehingga memenuhi jalan dan lorong-lorong. Beliau wafat pada siang hari. Banyak orang menangis dan seolah-olah dunia berguncang dengan wafatnya Ahmad bin Hanbal.
Salah seorang kerabat Ahmad bin Hanbal berkata, “Ketika Abu Abdillah berada di penjara, al-Fadhl bin Rabi’ memberinya tiga helai rambut dan dia berkata, ‘Ini adalah rambut Rasulullah saw..’ Maka, Abu Abdillah mewasiatkan agar meletakkan sehelai dari rambut itu di kedua matanya dan sehelai lagi di lidahnya. Wasiat itu pun dilaksanakan ketika  dia wafat.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Ketika ayah wafat, aku duduk di dekatnya sambil memegang kain untuk mengikat jenggotnya. Dia mulai berkeringat kemudian sadar kembali. Lalu dia buka kedua matanya dan mengisyaratkan dengan tangannya sambil berkata, ‘Belum lagi... belum lagi....’”  Dia lakukan hal itu sampai dua kali. Pada ketiga kalinya aku bertanya kepadanya, ‘Ayah, apa yang ayah ucapkan pada saat-saat seperti ini? Keringatmu bercucuran sehingga kami kira engkau sudah tiada lalu engaku sadar dan berkata, 'Belum lagi... belum lagi...'”
Dia berkata kepadaku, “Wahai anakku, tahukah kamu apa yang aku katakan?”
“Tidak,” jawabku.
“Iblis berada di depanku sambil menggigit jari-jariku dan berkata, ‘Wahai Ahmad, kamu telah menghancurkanku.’ Lalu aku berkata, ‘Belum lagi...belum lagi sampai aku mati.’”
Jenazahnya dihadiri lebih kurang delapan ratus ribu orang laki-laki dan enam puluh ribu wanita.

Wahb bin Qabus dan Keponakannya, al-Harits, dan Keridhaan kepada Allah

Muhammad bin Sa’ad berkata, “Wahab bin Qabus al-Muzani dan anak lelaki saudara perempuannya, al-Harits bin Uqbah, datang dengan kambing-kambing ke Madinah dari gunung Muzayyanah. Lalu keduanya mendapati Madinah dalam keadaan sepi. Lalu Wahab bin Qabus bertanya kepada orang yang ada di situ, “Mana orang-orang?”
Dia menjawab, “Di Uhud”.
Kemudian keduanya masuk Islam, lalu pergi menemui Rasulullah saw. yang sedang berperang di Uhud, dan ketika itu orang-orang muslim dalam posisi terdesak.
    Maka keduanya pun ikut berperang bersama orang-orang muslim dengan penuh semangat. Ketika itu sekelompok orang-orang musyrik telah memisahkan diri. Lalu Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah yang akan menghadapi sekelompok orang-orang musyrik itu?”
Wahab bin Qabus al-Muzani menjawab, “Saya”.
Lalu Qabus al-Muzani berdiri dan mengusir mereka dengan pedangnya, hingga mereka pun menjauh. Lalu Qabus al-Muzani mendatangi Nabi saw..
Kemudian muncul sejumlah orang-orang musyrik yang lain kembali muncul. Maka Rasulullah saw. bertanya, “Siapa yang akan menghadapi mereka?”
Qabus al-Muzani menjawab, “Saya”.
Maka Rasulullah saw. pun bersabda, “Berdirilah dan engkau akan mendapatkan surga”.
Maka dengan bahagia Qabus al-Muzani pun berdiri dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan mundur dan tidak akan minta untuk mundur”.
Lalu dia pun menyerang orang-orang musyrik tersebut dengan pedangnya, hingga dia turun dari bagian atas gunung. Kemudian dia pun terbunuh dan orang-orang musyrik pun merusak tubuhnya.
Kemudian keponakannya pun bangkit lalu berperang melawan musuh sebagaimana yang dia lakukan. Kemudian keponakan juga ikut terbunuh.
Lalu Rasulullah saw. berdiri di dekat jasad keduanya, lalu bersabda, “Semoga Allah meridhaimu dan saya ridha terhadapmu”.
Rasulullah saw. mengatakannya untuk Wahab. Kemudian Rasulullah saw. berdiri di sisi kedua kakinya, dan di tubuh Rasulullah saw. sendiri banyak luka yang membuat beliau sulit untuk berdiri. Akan tetapi beliau tetap berdiri, hingga meletakkan Qabus al-Muzani di liang lahatnya. Umar dan Sa’ad bin Malik pun berkata, “Kondisi kematian seperti apa yang lebih kami senangi dari pada kondisi seperti Qabus al-Muzani ketika bertemu Allah?”

Mu

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa pada suatu hari Abdul Malik bin Marwan duduk di tempat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kemudian makanannya pun dihidangkan. Lalu Mu’awiyah mengambil satu suapan dan mendekatkannya ke mulutnya, kemudian merenung dan berbicara pada dirinya sendiri. Kemudian mendekatkannya lagu ke mulutnya, lalu berbicara kepada dirinya sendiri. Kemudian mendekatkannya lagi ke mulutnya, lalu berbicara pada dirinya sendiri lagi. Lalu  dia meletakkan makanannya itu, tiba-tiba seseorang yang hadir di situ mengambil makanan tersebut dan memakannya. Ketika Mu’awiyah mencari makanan yang baru saja diletakkannya tersebut, dia tidak menemukannya. Maka dia berkata kepada orang-orang  tentang makanan tersebut,
“Wahai orang-orang, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya tidak ada yang terjadi pada kalian kecuali sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah. Demi Allah, seseorang telah memakan makanannya satu-dua kali, namun kemudian makanan itu ditetapkan untuk orang lain”.
    Ini adalah pelajaran amali bagi qadha dan qadar Allah. Terkadang makanan sudah ada di depan mulut anda, namun Allah memberikannya kepada orang lain. Dan ini sering terjadi dalam kehidupan ini, maka apakah ada yang mengambil pelajaran darinya?

TOBAT SEORANG WARGA KAMPUNG

    Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan bahwa Abu Ja’far ad-Dainuri mempunyai seorang saudara yang tinggal di Syam. Saudaranya ini tidak pernah tinggal lama lebih dari semalam di sebuah kampung atau kota setelah itu dia pergi ke tempat lain. Suatu hari orang ini datang ke sebuah kampung dan dia jatuh sakit di situ selama tujuh hari, dia tidak makan dan tidak minum serta tidak ada satu orang pun yang mengajaknya bicara. Akhirnya dia meninggal dunia.
    Pada pagi hari yang kedelapan, para warga kampung itu menemukannya sudah meninggal dunia. Mereka lantas memandikan dan mengurus jenazahnya kemudian dikafani dan setelah itu mereka menshalatinya, lantas membawanya untuk dimakamkan.
    Tiba-tiba banyak orang yang datang dari tetangga kampung seraya berkata, “Kami telah mendengar ada seseorang yang berteriak mengatakan, ‘Barangsiapa yang mau melayat jenazah seorang wali Allah swt., hendaklah dia datang ke kampung ini.’”
    Mereka yang baru datang pun menshalatkan jenazah itu kemudian mereka memakamkannya. Keesokan harinya, mereka menemukan kain kafan dan lainnya ada di mihrab masjid mereka dan sepucuk surat yang bertuliskan:
     Kami tidak butuh kafan kalian ini, padahal seorang wali Allah tinggal di tengah kalian selama tujuh hari. Kalian tidak pernah menziarahinya. Kalian tidak pernah menjenguknya. Kalian tidak pernah memberinya makan. Kalian tidak pernah memberinya minum. Kalian tidak pernah mengajaknya bicara.
    Kemudian mereka pun bertobat dan demi tobat mereka ini, mereka membuat sebuah rumah khusus untuk menerima tamu jauh.

TOBAT SEORANG ANAK DURHAKA KEPADA AYAHNYA

Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Ketika aku sedang thawaf di Ka’bah bersama ayahku pada malam yang gelap, di mana mata manusia sedang tertidur lelap dan tak ada lagi suara yagn terdengar, tiba-tiba ayahku mendengar suara seseorang dengar nada sedih seraya berkata, ‘Wahai Yang selalu mengabulkan pemintaan orang yang terdesak dalam kegelapan. Wahai Yang Maha Mengetahui segala marabahaya dengan penyakitnya. Tamu-tamu-Mu telah tidur di sekitar Ka’bah dan mereka telah bangun kembali. Dan Engkau, kedua mata-Mu wahai Yang Mahahidup kekal selama-lamanya, tidak pernah tidur. Berikanlah kepadaku, dengan kemurahan dan kemuliaan-Mu, ampunan atas dosa dan kesalahanku.
    Wahai Yang semua manusia di tempat yang mulia ini datang menghadap kepada-Nya. Jika maaf dan ampunan-Mu tidak bisa didapat oleh mereka yang telah melampaui batas. Siapa lagi yang bisa memberikan karunianya kepada orang-orang yang maksiat.’”
    Ayahku berkata,  “Wahai anakku, tidakkah kamu mendengar suara yang sedang menyesali dosanya dan memohon penghapusannya kepada Tuhannya, temukan orang itu dan bawalah dia kepadaku.”
    Aku pun segera pergi berusaha mencarinya di sekitar Ka’bah dan aku tidak menemukannya sampai akhirnya aku tiba di makam Ibrahim. Ternyata, orang itu sedang shalat di sana. Aku berkata, “Anak paman Rasulullah saw. apa yang engkau inginkan?”
    Orang itu segera menyelesaikan shalatnya kemudian dia membututi aku, dan aku pun membawanya kepada ayahku. Aku berkata, “Inilah dia orangnya, wahai ayahku.”
    Ayahku bertanya kepada orang itu, “Dari mana orang ini?”
    Dia menjawab, “Dari Arab.”
    Ayahku bertanya kepadanya, “Siapa nama kamu?”
    Dia menjawab,  “Munazil bin Lahiq.”
    Ayahku bertanya,  “Bagaimana keadaanmu dan apa sebenarnya kisahmu?”
    Orang itu menjawab, “Ini adalah sebuah kisah seorang yang sedang bergelimang dosa dan hancur karena aib, dia tenggelang dalam lautan dosa.”
    Ayahku berkata kepadanya, “Aku mengerti itu, sekarang coba jelaskan apa permasalahanmu.”
    Orang itu bercerita, “Dahulu pada saat aku masih remaja, aku sering berhura-hura dan bernyanyi-nyanyi dengan tergila-gila. Aku mempunyai seorang ayah yang selalu menasihatiku seraya berkata, ‘Wahai anakku, kamu harus berhati-hati dengan masa mudamu dan cobaannya. Sesungguhnya Allah swt. itu mempunyai azab dan bala yang begitu dekat orang-orang yang zalim. Setiap kali ayahku berusaha menasihati aku, aku pun menghardiknya dan aku memukulnya.’
    ‘Satu hari ayahku bersikukuh menasihatiku, aku pun langsung memukulnya, dan dia bersumpah kepada Allah bahwa dia akan berusaha untuk pergi ke Baitullahil Haram kemudian dia bergantung dengan kiswah Ka’bah dan berdoa kejelekan atasku. Diapun pergi ke Ka’bah dan melakukan apa yang dia sumpahkan itu, kemudian dia berdoa kejelekan atasku sampai akhirnya aku mengalami apa yang engkau lihat ini.’”
    Kemudian dia membukan lengan kanannya dan ternyata memang lumpuh. Dia berkata, “Akhirnya aku pun terus mencari ridhanya dan patuh kepadanya serta meminta maaf padanya, sampai akhirnya dia mengabulkan dan mau memenuhi permintaanku yaitu agar dia mau berdoa kebaikan untukku di tempat dahulu dia mendoakan kejelekan atasku.”
    Aku pun membawanya di atas punggung salah seekor pasangan unta dan aku pun mengikutinya di belakangnya. Ketika kami sampai di sebuah dataran rendah Arak—dekat Mekah—ada sesekor burung yang terbang dari pohon sehingga membuat kaget unta yang dikendarainya. Sehingga, unta pun melemparkan ayaku dari atas punggungnya hingga ayahku jatuh menimpa batu yang menyebabkan kepalanya cedera dan meninggal dunia. Aku pun menguburkannya di sana. Setelah itu aku berjalan gontai dan kehilangan harapan karena merasakan derita akibat dari perbuatanku yang tidak berbakti kepada orang tua.
    Mendengar itu Ali r.a. berkata kepadanya, “Bergembiralah, pertolongan sudah datang.”
    Kemudian Ali r.a. shalat dua rakaat dan berikutnya dia memerintahkan orang itu untuk memperlihatkan bagian kanan tubuhnya dan menyentuhnya dengan tangannya. Selanjutnya Ali pun mendoakannya beberapa kali. Sehingga, tubuh orang itu pun kembali sehat seperti sedia kala. Setelah kejadian itu Ali r.a. berkata kepadanya, “Seandainya orang tuamu tidak mendoakan kebaikan dan kesembuhan untukmu, niscaya engkau tidak akan aku doakan.”
    Seperti itulah Ali r.a. menjelaskan kepada orang itu bahwa jika tidak ada keridhaan orang tua dan doanya sebelum meninggal, niscaya doa Ali r.a. bagi orang itu tidak akan ada manfaatnya. Cerita tersebut menjelaskan tentang bahaya durhaka kepada kedua orang tua, dan bagaimana hal itu mencelakakan orang yang durhaka. Juga bagaimana perbuatan kembali kepada Allah dan tobat akan menyelamatkan pelakunya dari perbuatan maksiat dan membuat dirinya dipenuhi rahmat dan ampunan Allah swt..

Putri-Putri Rasulullah Menjadi Tawanan, Wahai Yazid?

Setelah Husain bin Ali r.a. terbunuh di Karbala sebagai syahid, kepalanya dipenggal dan diserahkan kepada Khalifah Bani Umayyah Yazid bin Mu’awiyah di Syam bersama seluruh keluarga Husein termasuk Sayyidah Zainab r.a. binti Ali r.a dan juga Fatimah putri Husein r.a.
Ketika pasukan-pasukan itu datang menghadap Yazid bin Mu’awiyah sambil membawa kepala Husain, salah seorang di antara mereka, yaitu Mahfaz bin Tsa’labah berkata, “Kami bawa kepada tuan kepala manusia yang paling hina dan keji.”
Yazid melarangnya mengucapkan hal itu dan berkata, “Dia tidak keji atau hina, tetapi  dia pemutus silaturrahim dan zalim.”
Kemudian  dia memandangi kepala Husein, lalu berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Tahukah kalian kenapa dia mendapat siksa seperti ini?  Dia mengatakan, ‘Ayahku lebih baik dari ayahnya, ibuku Fatimah lebih baik dari ibunya dan kakekku Rasulullah saw. lebih baik dari kakeknya, dan aku lebih baik darinya serta lebih berhak menjadi Khalifah.’”
Kemudian dia berkata, “Adapun ucapannya bahwa ayahnya lebih baik dari ayahku, hal itu karena ayahku pernah berdebat dengan ayahnya dan masyarakat yang lebih tahu siapa di antara keduanya yang benar. Sementara ucapannya, ‘Ibuku lebih baik dari ibunya,’ maka demi Allah Fatimah putri Rasulullah lebih baik dari ibuku. Sementara ucapannya, ‘Kakekku lebih baik dari kakeknya,’ maka sungguh semua orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan melihat ada tandingan untuk Rasulullah. Semua ucapan itu keluar dari pemahamannya semata sementara dia tidak membaca firman Allah,

KHAT
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” ( Ali Imran: 26)

Fatimah binti Husein berkata kepada Yazid, “Putri-putri Rasulullah menjadi tawanan, wahai Yazid?”
Yazid menjawab, “Tidak, tetapi mereka adalah wanita-wanita yang mulia. Temuilah sepupu-sepupumu, niscaya kamu akan lihat bahwa aku sudah berbuat baik kepada mereka.”
Fatimah berkata, “Demi Allah, tiada yang tersisa pada kami selain beberapa sen saja.”
“Wahai putri saudaraku, apa yang aku berikan lebih besar daripada apa yang diambil darimu.”
Fatimah binti Husain, bibinya, dan seluruh keluarga Husain tinggal bersama keluarga Yazid bin Mu’awiyah. Kemudian mereka mengadakan hari duka selama tiga hari terhadap kematian Husain. Istri-istri Yazid bin Mu’awiyah juga turut menangisi kematian Husain. Setelah tiga hari berlalu, Yazid memberi mereka harta dan bekal lalu mengirim mereka kembali ke Madinah Munawwarah.
Akan tetapi, perlakuan Yazid bin Mu’awiyah ini tidak bisa membenarkan apa yang telah dilakukannya, yaitu membunuh Husain r.a. bersama para sahabatnya, apapun alasannya. Karena, Husain adalah pemimpin pemuda ahli surga. Dia tidak membaiat Yazid dan tidak bersedia tunduk kepadanya. Hal itu karena dia mengamalkan firman Allah, “Dan janganlah tunduk kepada orang-orang yang berlaku zalim....” Di samping itu, apa yang dilakukannya itu tidak bisa disebut keluar atau menyimpang dari jamaah, tetapi itu semua untuk menentang kezaliman yang dilakukan terhadap hamba-hamba Allah. Oleh karena itulah, dia memperoleh syahid dan menjadi pemimpin di surga kelak.

AKU TIDAK MENGINGINKAN BERMAKSIAT KEPADA-MU DENGAN MENGINGKARI-MU

Manshur bin ‘Ammar bercerita, “Pada waktu aku berangkat haji, aku singgah di salah satu jalan di Kufah. Pada suatu malam yang gelap aku keluar dan tiba-tiba aku mendengar suara jeritan di kegelapan malam seraya mengatakan, ‘Wahai Tuhan, demi kemuliaan dan keagungan-Mu aku tidak ingin dengan maksiatku mengingkari Engkau. Tidaklah ketika aku melakukan maksiat kepada-Mu padahal bukan berarti aku bodoh akan siksa-Mu, melainkan sebuah kesalahan yang disuguhkan kepadaku dibantu lagi dengan kemalanganku. Aku teperdaya oleh ketidakkelihatan-Mu di mataku. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan usahaku dan aku mengingkari-Mu karena kebodohanku. Engkau mempunyai hujjah atasku, dan sekarang siapa yang bisa menyelamatkan aku dari azab-Mu, dan dengan tali siapa aku menyambung jika Engkau memutuskan tali-Mu dariku? Betapa celakanya aku, betapa celakanya aku!’”
    Setelah dia selesai dari kata-katanya ini aku pun membaca firman Allah swt., “…api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras….” (at-Tahriim: 6)
    Aku pun mendengar gerakan yang dahsyat, kemudian setelah itu aku tidak mendengar suara halus sama sekali dan aku melanjutkan perjalananku. Pada keesokan harinya aku kembali ke jalanku dan ternyata ada jenazah yang diletakkan di satu tempat, dan ada seorang nenek yang sudah lanjut usia. Nenek itu tidak mengenalku lalu aku bertanya kepada si nenek tentang orang yang mati itu. Nenek itu menjawab, “Ini ada seseorang yang Allah tidak membalasnya kecuali balasannya, semalam dia lewat di samping anakku yang sedang shalat, kemudian dia membaca sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika anakku mendengarnya, empedunya terbelah dan ternyata dia telah meninggal dunia!!56

TOBAT SEBUAH NEGERI DAN TOBAT ORANG-ORANG NAKAL

Hasan Abu Ja’far berkata, “Luqman al-Habasyi adalah seorang hamba sahaya milik seseorang. Dia dibawa ke pasar untuk dijual. Setiap kali ada orang yang hendak membelinya, Luqman selalu bertanya, ‘Apa yang akan kamu lakukan terhadapku?’
    Si pembeli mengatakan, ‘Aku akan melakukan ini dan itu.’
    Dia berkata, ‘Keinginanku kepadaku, janganlah kamu membeli aku.’
    Sampai akhirnya datang seseorang dan Luqman bertanya kepadanya, ‘Apa yang akan kamu lakukan denganku?’
    Si pembeli menjawab, ‘Aku akan menjadikan kamu sebagai penjaga pintu gerbang rumahku.’
    Luqman berkata, ‘Kalau begitu, belilah aku.’
    Orang itu pun membelinya dan membawanya ke rumahnya. Orang itu mempunyai tiga orang putri yang selalu berbuat mesum di kampungnya. Kemudian orang itu ingin pergi ke ladangnya dan dia berkata kepada hamba sahayanya Luqman al-Habasyi, ‘Aku telah memberikan makanan untuk putri-putriku dan semua kebutuhan mereka. Jika mereka ingin keluar, tutuplah pintu dan kamu tunggu di belakangnya dan janganlah kamu membukanya sampai aku datang.’
    Hamba sahayanya itu menjalankan perintahnya. Tiga orang putri tuannya memintanya agar membukakan mereka pintu, namun dia menolak. Karena tidak dibukakan pintunya, mereka memukuli kepala sang hamba sahaya sampai keluar darah dan dia segera mencuci darahnya kemudian tetap duduk.’
    Ketika tuannya datang, dia tidak menceritakan hal itu kepadanya. Kemudian tuannya kembali keluar lagi dan memerintahkannya agar tidak membukan mereka pintu. Para putri itu datang ingin keluar ke kampung ingin melakukan mesum di sana. Sang hamba sahaya menolak membukakan mereka pintu, mereka pun kembali memukulinya dan kembali masuk.
    Sang hamba sahaya duduk di belakang pintu sampai datang tuannya, tapi dia tidak menceritakannya sama sekali kepadanya.
    Putri yang besar berkata, “Bagaimana hamba sahaya ini lebih taat kepada Allah swt. daripada diriku? Demi Allah, aku akan bertobat.” Dia pun segera bertobat.
    Putri yang paling kecil berkata seperti yang dikatakan oleh kakaknya yang paling besar dan dia pun segera bertobat. Begitu juga putri yang kedua melakukan hal yang sama dan dia segera bertobat.
    Orang-orang yang sering melakukan maksiat di kampung itu pun melihat apa yang dilakukan oleh ketiga putri tersebut, bertobat, beribadah, dan kembali ke jalan Allah. Mereka semua bertobat dan mereka beribadah kepada Allah.
    Begitulah qudwah hasanah, perlakuan yang baik, dan ibadah yang benar kepada Allah swt. yang telah dilakukan oleh tiga orang putri itu menjadi jalan bagi tobatnya warga kampung tersebut. Begitu pula ibadah hamba sahaya yang saleh ini menjadi sebab kesalehan mereka dan tobat mereka kepada Allah swt..

Demi Allah, Aku Malu Meminta Dunia kepada Yang Memilikinya

Ibnu Khalikan dalam kitab Wafiyyatul A’yan menceritakan bahwa Sufyan ats-Tsauri bertemu dengan Rabiah al-‘Adawiyah rahimahallah. Rabi’ah adalah seorang yang fakir dan zuhud. Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Ummu ‘Amru, aku lihat kondisimu sangat sulit, apakah tidak sebaiknya kamu mendatangi tetanggamu si fulan yang dermawan lalu kamu pinjam sesuatu kepadanya untuk memperbaiki kondisimu?”
Dia berkata, “Wahai Sufyan, bagaimana kondisiku yang kamu lihat? Bukankah aku berjalan di jalan Islam, jalan petunjuk dan istiqamah? Demi Allah, inilah kemuliaan yang tidak ada kehinaan di sana, kekayaan yang tidak ada kemiskinan di sana, dan keharmonisan yang tidak ada kesepian di sana.”
Kemudian dia melanjutkan, “Demi Allah, sesungguhnya aku malu meminta dunia kepada yang memilikinya, bagaimana mungkin aku memintanya kepada yang tidak memilikinya?”
Akhirnya, Sufyan beranjak dari tempat duduknya seraya berkata, “Aku tak pernah mendengar perkataan seperti ini sama sekali.”
Rabi’ah berkata kepada Sufyan, “Sesungguhnya kamu adalah bilangan hari demi hari, apabila satu hari berlalu maka hilanglah sebagian dirimu, dan seandainya sebagian sudah hilang maka tidak akan lama akan hilang semua. Kamu sudah tahu, maka amalkanlah!”
Kata-kata tersebut dihadiahkan kepada mereka yang suka merayakan ulang tahun dengan mencontoh nonmuslim dalam merayakan hari itu. Mereka mengira itulah hari bahagia dan gembira yang mesti dirayakan. Padahal, yang lebih baik bagi mereka sesungguhnya adalah menangisi umur mereka yang telah berlalu. Karena, setiap hari umur berkurang sungguh dia tidak akan kembali lagi walau sedetik. Itu artinya akan semakin mendekatkan mereka pada hari akhirat yang kekal.