TOBAT ABDULLAH BIN ABI SARRAH

Abdullah bin Abi Sarrah adalah saudara sesusu Utsman bin Affan r.a.. Abdullah telah lama masuk Islam di Mekah dan dia termasuk orang yang menulis wahyu Rasulullah saw. di Mekah. Akan tetapi, setan memengaruhi akal pikirannya sehingga dia bergabung dengan orang-orang musyrik dan murtad dari Islam kemudian dia mengklaim bahwa dia telah menambah dan mengganti lafazh wahyu dengan lafazh dari dirinya sendiri pada saat dia menulis wahyu Rasulullah saw.. Padahal, hal itu tidak seperti yang dia katakan karena sesungguhnya Allah swt. yang Maha Menjaga kitab-Nya.
    “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (al-Hijr: 9)
    Maka, Rasulullah saw. menghalalkan darahnya untuk dibunuh. Abdullah bin Sarrah pun tobat dan menyesali apa yang telah diucapkannya. Dia ingin membaiat Rasulullah saw. pada hari Fathu Mekah. Maka, dia pun datang bersama Utsman bin Affan sampai akhirnya dia dihadapkan di hadapan Rasulullah saw. dan Utsman berkata, “Wahai Rasulullah, baiatlah Abdullah.”
    Rasulullah saw. menatapnya dan menolak untuk membaiatnya. Lantas Utsman kembali mengulang-ulang permohonannya kepada Rasulullah saw. dan meminta kepada beliau pemberian ampun. Pada kali keempat, beliau membaiatnya, kemudian Rasulullah saw. menghadap kepada para sahabat beliau seraya berkata kepada mereka, “Apakah di antara kalian ada seseorang yang benar yang melakukan ini yakni dia melihatku telah menahan tanganku untuk membaiatnya dan akan membunuhnya?”
    Mereka berkata, “Kami tidak tahu apa yang ada di dalam benakmu. Apakah engkau telah mengisyaratkan kami dengan kedua matamu?”
    Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya tidak sepantasnya bagi seorang nabi mempunyai pandangan mata yang khianat.” 
    Begitulah Allah swt. menyelamatkan Abdullah bin Sarrah dengan tobatnya yang benar dan menjalankan Islamnya dengan baik. Semoga Allah meridhainya. Dia pun turut serta dalam beberapa peperangan dan futuhat islamiyah. Dia menjabat sebagai penguasa Mesir pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan r.a., kemudian dia mengasingkan dirinya dari fitnah yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib r.a. dengan Mu’awiyah bin Abi Shafyan r.a..

TOBAT HARUN AR-RASYID DI HADAPAN AL-FUDHAIL BIN IYADH

Al-Fudhail ibnur Rabi’ dan Khalifah Harun ar-Rasyid datang ke rumah al-Fudhail bin Iyadh. Fudhail kemudian membukakan pintu bagi keduanya. Dia lantas naik ke kamarnya dan segera mematikan lampu kemudian dia pergi ke satu sudut rumah. Kedua tamunya itu masuk dalam suasana gelap sambil merambah tembok yang ada. Telapak tangan Harun menyentuh telapak tangan Fudhail bin Iyadh seraya Fudhail berkata, “Aduhai betapa halus dan lembutnya telapak tangan ini jika besok selamat dari azab Allah.”
    Harun berkata,  “Ambillah untuk tujuan kami mendatangi kamu.”64
    Fudhail berkata kepadanya, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz ketika dia menjabat sebagai khalifah langsung memanggil Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab al-Qarazhi dan Raja bin Haywah”.
    Dia berkata kepada mereka, “Aku telah terkena musibah ini, maka berikan masukan padaku. Khalifah pun menghitung semua yang dianggapnya sebagai sebuah musibah. Kamu dan para sahabatmu menganggapnya itu sebagai nikmat.”
    Salim bin Abdullah berkata kepadanya, “Jika kamu ingin selamat dari azab Allah, berpuasalah dari keduniaan dan jadikan buka puasamu itu sebagai kematian.”
    Muhammad bin Ka’ab berkata kepadanya, “Jika kamu ingin selamat dari azab Allah, hendaklah engkau jadikan orang-orang yang tua dari kaum Muslimin ini sebagai ayahmu. Dan mereka yang masih sebaya sebagai saudaramu, dan mereka yang masih kecil sebagai anakmu, berbaktilah kamu kepada ayahmu, dan bermurah hatilah kepada saudaramu, serta limpahkanlah kasih sayang kepada anakmu.”
    Raja bin Haywah berkata kepadanya, “Jika kamu ingin selamat dari azab Allah, cintailah kaum Muslimin seperti kamu mencintai dirimu, dan bencilah apa yang ada pada mereka seperti apa yang kamu benci pada dirimu, kemudian matilah jika kamu menghendaki.”
    Al-Fudhail berkata kepada Harun, “Sesungguhnya aku katakan ini kepadamu karena aku sangat khawatir padamu lebih takut dari ketakutan di hari kaki manusia tergelincir. Apakah ada orang bersamamu seperti mereka itu yang selalu menasihati dan menyuruhmu seperti ini?” Kemudian Harun pun menangis sejadi-jadinya sampai dia pingsan.
    Al-Fudhail ibnur Rabi’ berkata kepadanya, “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.”
    Dia menjawab, “Wahai Ibnu Ummir Rabi’, apakah kamu dan para sahabatmu akan membunuhnya, sementara aku harus bersikap lembut dengannya?”
    Kemudian Harun pun siuman dari pingsannya seraya berkata,  “Tambahkan lagi,  semoga Allah merahmatimu.”
    Dia berkata, “Aku mendengar Amirul Mukminin bahwa ada seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz yang diadukan kepadanya.”
    Umar pun menulis surat kepadanya, “Wahai saudaraku, ingatlah panjangnya waktu tidak tidur para penghuni neraka di dalam neraka sampai kekal selamanya. Hal itu akan mendorongmu ke pintu Allah dalam keadaan tidur dan jaga.”
    Ketika pegawai itu membaca surat itu, dia langsung mengarungi negeri itu sampai akhirnya datang ke Umar. Umar lalu bertanya, “Apa yang akan aku berikan kepadamu?”
    Orang itu menjawab, “Kamu telah mencopot jantungku dengan suratmu, aku tidak mau lagi menjadi pegawaimu sampai aku mati dan menghadap Allah swt..”
    Kemudian Harun pun menangis lalu berkata,  “Tambahkan lagi, semoga Allah merahmatimu.”
    Dia berkata, “Sesungguhnya kekuasaan itu adalah kesedihan dan penyesalan di hari Kiamat nanti. Jika kamu mampu untuk tidak menjadi penguasa atas seseorang, maka lakukanlah.”55

TOBAT WAHIB IBNUL WARD

Ibnu Abi Ruwad berkata, “Aku melihat seseorang bersujud di belakang makam Ibrahim di Ka’bah di suatu malam yang dingin dan hujan sedang berdoa sambil menangis. Aku pun thawaf tujuh putaran, kemudian aku kembali dan aku masih mendapatkannya dalam keadaannya semula. Aku pun berdiri di dekatnya sepanjang malam itu. Ketika malam itu pergi, aku mendengar seseorang yang berteriak,    ‘Wahai Wahib ibnul Ward, angkatlah kepalamu karena Dia telah mengampunimu.’”
    Ibnu Abi Ruwad melanjutkan, “Aku tidak melihat sesuatu. Ketika waktu subuh memancarkan cahayanya, Wahib mengangkat kepalanya dan pergi. Aku pun mengikutinya dan aku katakan kepadanya, ‘Tidakkah kamu mendengar suara itu?’
    Dia bertanya, ‘Suara apa?’
    Aku pun menceritakan kepadanya, lantas dia berkata kepadaku, ‘Janganlah kamu menceritakan hal ini kepada siapa pun dan aku pun tidak menceritakannya kepada siapa-siapa sampai Wahid meninggal dunia.’”
    Wahib ibnul Ward bin Abil Ward bahwa namanya adalah Abdul Wahhab kemudian shighah-nya diringankan menjadi Wahib. Dia adalah seorang ahli ibadah yang dipercaya dari penduduk Mekah. Barangkali ungkapan Ibnu Abil Ward yang mengatakan bahwa dia melihatnya sedang bersujud di makam Ibrahim di depan Ka’bah dan terus dalam keadaan sujud selama waktu tujuh putaran. Setiap kali dia melintas dan thawaf di Ka’bah, dia melihatnya terus dalam keadaan seperti itu, tidak berarti bahwa dia terus sujud selama tujuh putaran itu tanpa mengangkat kepalanya dari sujudnya, melainkan yang dimaksud adalah setiap harinya dia banyak bersujud, berdoa, dan memohon ampun kepada Allah, lantas dia berdiri melaksanakan shalat dan begitu seterusnya.
    Ini sebagai dalil bahwa para ahli ibadah dari salafus saleh tidak hanya melakukan ibadah saja, melainkan mereka juga tetap berharap sekali mendapatkan rahmat dan magfirah dari Allah swt. walaupun tingginya tingkat ibadah dan kezuhudan mereka kepada-Nya dalam kehidupan dunia ini. Wallahu a’lam.
    Sufyan bin ‘Ayyinah dari Wahib ibnul Ward berkata,    “Ketika aku berada di Bathnul Wadi, ada seseorang yang memegang pundakku seraya berkata, ‘Wahai Wahib, takutlah kamu Allah karena kekuasaan-Nya atasmu, dan malulah kamu kepada-Nya karena kedekatan-Nya kepadamu.’”
    Wahib berkata, “Aku segera menoleh ke sekitarku dan aku tidak mendapatkan seseorang pun.”
    Basyar ibnul Harits berkata, “Empat orang yang Allah angkat derajat mereka karena tidak memakan makanan kecuali dari yang halal, yakni Wahib ibnul Ward, Ibrahim bin Adham, Yusuf bin Asbath, dan Salim al-Khawwash.”
Wahib berkata, “Takutlah kamu untuk mencerca iblis di tempat terbuka padahal kamu menjadi temannya dalam kesendirianmu.”