TOBAT SEORANG PEDAGANG DARI KETAMAKAN DUNIA

Ibnul Jauzi dalam kitab Shafwatush Shafwah menyebutkan dari Ibnu Jabir, “Sesungguhnya Abu Abdurrabbih adalah seorang warga Damaskus yang paling banyak hartanya. Suatu waktu dia pergi ke kota Adzarbaijan untuk urusan dagang. Saat datang waktu sore dia sampai di tepi padang rumput dan sungai. Dia pun singgah di situ. Dia mendapatkan seseorang di sebuah lubang tanah berbalut dengan tikar. Aku mengucapkan salam kepadanya dan bertanya siapa kamu wahai hamba Allah?”
    Dia menjawab, “Seseorang dari kaum Muslimin.”
    Aku bertanya, “Bagaimana keadaanmu ini?”
    Dia menjawab, “Keadaan nikmat yang wajib aku syukuri kepada Allah.”
    Aku bertanya, “Bagaimana, padahal kamu saja berbalut tikar?”
    Dia menjawab, “Apa alasanku untuk tidak mau mensyukuri Allah, padahal Allah telah menciptakan aku dalam bentuk ciptaan yang paling baik, kemudian Allah telah menjadikan kelahiran besarku di tengah agama Islam, Allah telah memberikan aku kesehatan pada semua anggota tubuhku, Allah telah menutupi apa yang aku benci menyebutnya atau menyebarkannya. Siapa lagi yang harus paling aku butuhkan dalam keadaanku seperti ini?”
    Aku berkata kepadanya, “Semoga Allah merahmatimu. Jika kamu mau bersamaku ke rumah itu, kita akan menginap di rumah samping sungai itu?”
    Dia berkata, “Untuk apa?”
    Aku berkata, “Agar kamu bisa merasakan makanan dan kami akan memberikanmu apa yang kamu butuhkan daripada kamu memakai tikar itu.”
    Dia berkata, “Aku tidak butuh apa-apa. Aku makan rerumputan pun sudah cukup.” Orang itu pun bersikeras untuk tetap tinggal di situ dan tidak mau ikut pergi bersama saudagar itu.
    Abu Abdurrabbih si saudagar itu berkata, “Aku pun pergi. Aku segera mencela dan mencaci maki diriku sendiri bahwa aku di Damaskus tidak pernah rela jika ada seseorang yang kekayaannya melebihi kekayaanku. Aku pasti mencari tambahan.”
    Saudagar itu berkata, “Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dari kejelekan yang selama ini aku lakukan.”
    Pada pagi harinya saudagar itu pulang dan kembali ke Damaskus dan tidak jadi pergi ke Adzarbaijan untuk berdagang seperti yang dia mau. Dia segera pulang ke rumahnya dan mengeluarkan emas dan perak yang dia miliki kemudian dia sedekahkan di jalan Allah. Dia juga membeli kain dan pakaian yang dia bagi-bagikan kepada para tentara miskin. Dia juga menjual rumahnya dengan harga yang mahal dan dia sedekahkan uangnya, juga semua yang dia miliki sampai ketika dia meninggal dunia dia tidak memiliki apa-apa kecuali seharga kain kafannya.
    Dia selalu berkata, “Demi Allah, jika sungai kalian ini mengalirkan emas dan perak, aku tidak akan mau pergi ke sana. Jika dikatakan bahwa barangsiapa yang menyentuh tiang ini dia mati, akan menjadi kebahagiaanku untuk melakukannya karena kerinduanku kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw..”57
    Begitulah, saudagar kaya yang selalu ingin menambah kekayaan dan hartanya berubah menjadi orang yang bertobat kepada Allah dan menjadi seorang yang zuhud di dunia. Hal tersebut terjadi karena dia telah mengetahui tentang hakikat kehidupan ini yang akan pergi dan binasa. Sesungguhnya apa yang ada pada Allah itu kekal dan jauh lebih banyak daripada apa yang ada di dunia yang fana ini.
    Kita senantiasa memohon kepada Allah tobat yang benar dan kezuhudan pada apa yang ada di tangan manusia.

Ikrimah bin Abi Jahl, Anaknya dan Pamannya Pada Peperangan Yarmuk

Dari Abu Utsman al-Ghatsani dari ayahnya r.a., dia berkata, “Pada peperangan Yarmuk, Ikrimah bin Abi Jahl berkata kepada para musuh, “Saya beberapa kali telah berperang melawan Rasulullah saw., maka apakah kini saya akan melarikan diri dari kalian?”
Kemudian dia berseru, “Siapakah yang mau berbaiat untuk mati?”
Maka anak dan pamannya, al-Harits bin Hisyam r.a. serta Dhirar ibnul Azwar r.a. dengan empat ratus tentara dan ksatria muslim. Lalu mereka berperang di depan tenda Khalid bin Walid hingga mereka terluka dan beberapa orang dari mereka terbunuh yang diantaranya Dhirar bin Azwar”.
    Kemudian Khalid bin Walid datang setelah Ikrimah terluka. Lalu Khalid memangku kepala Ikrimah dan meletakkan Amr bin Ikrimah di salah satu betisnya. Lalu dia mengusap wajah keduanya dan meminumkan air kepada mereka, serta berkata, “Ibnul Hantamah mengira kita tidaklah syahid. Tidak, tidak benar anggapan itu”.
Pada hari itu, Ikrimah, anaknya dan pamannya meninggal dunia, semoga Allah meridhai mereka semua.
Demikianlah. Mereka ikhlas dan ridha kepada Allah, sehingga Allah ridha terhadap mereka. Dan Allah pun memilih mereka sebagai para syahid di surga-Nya.

MENGAPA KITA MEMBENCI KEMATIAN?

Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bertanya kepada Abu Hazim Salmah bin Dinar, “Wahai Abu Hazim, kenapa kita selalu benci pada kematian?”
    Abu Hazim menjawab, “Karena kalian telah menghancurkan akhirat dan meramaikan kehidupan dunia kalian. Jelas kalian akan terus benci pindah dari yang ramai ke yang hancur.”
    Khalifah berkata, “Anda benar. Lalu, bagaimana keadaan pada saat datang menghadap Allah swt.?”
    Dia menjawab, “Adapun orang yang baik, dia bagaikan orang yang pergi lama datang menghadap keluarganya, sementara orang yang banyak salah dan dosa, dia bagaikan budak yang lari dari tuannya menghadap tuannya itu.”
    Khalifah Sulaiman pun menangis seraya berkata, “Bagaimana kita nanti di hadapan Allah, wahai Abu Hazim?”
    Dia menjawab, “Serahkan dirimu kepada Kitabullah dan sesungguhnya kamu akan tahu bagaimana kamu nanti dihadapan Allah.”
Sulaiman berkata, “Wahai Abu Hazim, di mana aku mendapatkan itu?”
    Dia menjawab dengan membaca firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (al-Infithaar: 13-14)
    Sulaiman bertanya, “Di mana ada rahmat Allah?”
    Dia menjawab,  “Dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”