Menurutmu Apakah Allah akan Mengampuni Orang Sepertiku?

Kita masih bersama Sufyan ats-Tsauri rahimahullah. Kali ini dalam detik-detik terakhir kehidupannya.
Ibnu Abjar berkata, “Ketika ajal akan menjemput Sufyan ats-Tsauri,  dia berkata, ‘Wahai Ibnu Abjar, kondisiku sudah sangat payah seperti yang kau lihat, maka panggillah orang-orang untuk menyaksikanku.’
Aku lalu mengajak orang-orang untuk melihat dan melepasnya. Di antara mereka adalah Hamad bin Salamah. Hamad berada paling dekat dengan kepalanya. Dia menceritakan, ‘Sejenak Sufyan menarik napasnya.’
Hamad berkata kepadanya, ‘Bergembiralah! Sesungguhnya kau telah selamat dari apa yang kau takutkan, dan kau akan segera menghadap Tuhan Yang Mahamulia.’
Sufyan berkata, ‘Wahai Abu Salamah, menurutmu apakah Allah akan mengampuni orang sepertiku?’
‘Ya, demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya,’ jawab Abu Salamah.
Setelah mendengar itu,  dia tampak sangat bergembira.”

Engkau Seorang Wanita yang Diberi Taufik, Putri Seorang Lelaki yang Diberi Taufik

Ummu Kultsum, putri Abu Bakar r.a., menikah dengan seorang sahabat mulia, yaitu Thalhah bin Ubaidillah—salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga. Rasulullah saw. berkata tentang Thalhah, “Siapa yang ingin melihat seorang syahid yang masih berjalan dengan kedua kakinya di muka bumi, maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” 
Suatu hari datanglah kepadanya harta sejumlah tujuh ratus ribu dirham dari Hadhramaut, sehingga pada malamnya dia tampak sangat gelisah. Istrinya, Ummu Kultsum, bertanya kepadanya, “Kenapa denganmu?”
Dia menjawab, “Sejak malam tadi aku berpikir, aku berkata kepada diri sendiri, apa yang dipikirkan seseorang tentang tuhannya ketika dia masih bisa tidur sementara uang sebanyak ini ada di rumahnya?”
Istrinya berkata, “Kenapa kamu tidak mencontoh sahabat-sahabatmu? Besok pagi panggillah orang-orang miskin dan yang membutuhkan lalu bagikanlah uang ini!”
Thalhah berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Kamu benar-benar seorang wanita yang diberi taufik, putri seorang lelaki yang diberi taufik.”
Keesokan harinya dia mengambil beberapa kantong lalu dia membagikan uang itu kepada kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Kemudian dia mengirimkan satu kantong kepada Ali bin Abi Thalib r.a.. Istrinya bertanya, “Wahai Abu Muhammad (gelar Thalhah), tidakkah ada bagian kita dari uang ini?”
Thalhah menjawab, “Lalu manakah prinsipmu yang kemarin sejak hari ini? Bagianmu adalah sisa dari uang itu.” Lalu istrinya mengambil sisanya yang berjumlah seribu dirham.

ATHA BIN YASAR DAN WANITA ARAB BADUWI

‘Atha bin Yasar dan Sulaiman bin Yasar keduanya pergi haji dari Madinah bersama teman-teman mereka. Ketika mereka sampai di Abwa, mereka singgah di sebuah rumah. Sulaiman dan teman-teman pergi untuk mencari beberapa keperluan mereka, sementara ‘Atha bin Yasar tetap di rumah itu mengerjakan shalat.
    Tak lama kemudian datang kepadanya seorang wanita Arab badui yang sangat cantik. Ketika ‘Atha melihat wanita itu, dia berpikir bahwa wanita itu mempunyai keperluan hingga dia pun menyelesaikan shalatnya. Kemudian dia bertanya, “Apakah kamu mempunyai keperluan?”
    Wanita itu menjawab, “Ya.”
    Dia bertanya lagi, “Keperluan apa?”
    Wanita itu berkata, “Lekas cumbuilah aku. Aku telah ditinggalkan suamiku dan aku saat ini sudah tidak bertuan.”
    ‘Atha berkata, “Pergilah kamu sana dan jangan kamu bakar aku dan dirimu dengan api neraka.”
    Wanita itu pun terus merayu dirinya sementara ‘Atha tetap menolak. Dia menangis seraya berkata, “Celaka kamu, pergi dan menjauhlah dariku.”
    Menangisnya pun kian kencang. Ketika wanita itu memperhatikannya sedang menangis tersedu-sedu, wanita itu justru ikut menangis karena tangisannya. ‘Atha terus menangis dan wanita itu juga menangis di depannya, sampai akhirnya saudara dan teman-temannya datang, sementara wanita itu masih menangis di samping rumah. Akhirnya, semua yang ada di situ turut menangis karena tangis wanita ini. Padahal, mereka tidak mengetahui kisah awalnya. Ketika wanita Arab badui itu melihatnya, dia segera bangkit dan pergi.

3. Kelapangan Setelah Kesempitan Dalam Perang Hunain

Perang Hunain termasuk peristiwa bersejarah dalam periode awal Islam. Peristiwa itu terjadi beberapa hari setelah pembebasan Mekah al-Mukarramah ketika Hawazin dan Tsaqif bersekongkol untuk memerangi Nabi saw. setelah beliau berhasil membebaskan Mekah. Maka, Rasulullah saw. berangkat untuk menghadang mereka bersama pasukan yang ambil bagian dalam pembebasan Mekah yang berjumlah sepuluh ribu tentara. Bergabung juga bersama mereka orang-orang yang masuk Islam pada saat pembebasan Mekah sehingga jumlah mereka menjadi dua ribu tentara.

Peperangan tersebut merupakan perang pertama dimana jumlah kaum muslimin melebihi jumlah pasukan kafir, sehingga sebagian kaum muslimin ada yang berkata: "Sekarang kita tidak akan kalah karena jumlah yang sedikit."

Kaum muslimin terjun dalam kancah peperangan dengan keyakinan yang kuat bisa menang karena jumlah mereka banyak. Mereka sempat merasa ujub dengan hal itu dan lupa bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan oleh jumlah dan perlengkapan semata, akan tetapi kemenangan datang dari sisi Allah SWT. Akhirnya mereka menerima pelajaran berharga dari Tuhan hari itu. Kaum muslimin kalah di awal peperangan hingga bumi dan segala isinya menjadi sangat sempit. Yang tetap bertahan dengan tegar hanyalah Rasulullah saw. bersama seratus orang sahabat. Akhirnya Allah menurunkan malaikat untuk berperang bersama mereka sampai akhirnya mereka menang. Kemudian Nabi menyeru segenap pasukan muslim untuk kembali ke medan perang di saat pasukan kafir sudah kalah dan mundur.

Sekarang mari kita dengar deskripsi peperangan tersebut dari salah seorang yang ikut terjun di dalamnya dan di saat itu ia masih kafir. Ia berkata: "Ketika kami berhadapan dengan sahabat-sahabat Rasulullah saw. di perang Hunain mereka tak mampu bertahan dari gempuran kami. Kami mampu menghalau dan memburu mereka. Sampai akhirnya kami berhadapan dengan seorang penunggang kuda putih. Ternyata ia adalah Rasulullah saw. Di sekitarnya kami melihat orang-orang perkasa berwajah tampan. Mereka berkata kepada kami: "Rusaklah wajah-wajah (kaum yang kafir), mundurlah kalian..." Akhirnya kami terdesak dan orang-orang tersebut naik ke atas pundak-pundak kami." 
Sesungguhnya yang dilihat oleh laki-laki tersebut adalah para malaikat yang melindungi Rasulullah saw. sebagaimana mereka juga turun sebelumnya dalam perang Badar.

Ibnu Ishak meriwayatkan dari Jubair bin Muth'im r.a, ia berkata: "Kami berada bersama Rasulullah saw. dalam perang Hunain di saat perang berkecamuk hebat. Tiba-tiba aku melihat sesuatu seperti kain hitam turun dari langit dan langsung berperang melawan musuh. Beberapa saat kemudian tiba-tiba nyamuk yang sangat banyak telah memenuhi tempat itu. Tak ayal lagi, musuhpun segera kalah sehingga kami tidak ragu bahwa itu adalah malaikat." 
Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai orang-orang beriman) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dan bercerai-berai. Kemudian Allah memberi ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada oang-orang yang beriman, dan Allah telah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikian pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( at-Taubah: 25-27)  

TOBAT UMAIR BIN WAHAB

Setelah Perang Badar al-Kubra dan kekalahan orang-orang musyrikin Mekah kala itu, Umair bin Wahab al-Jamhi duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Ka’bah. Umair adalah salah satu setan kaum Quraisy dan orang yang sering menyakiti Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Pada peristiwa perang Badar, anaknya tertawan dan keduanya saat itu sedang mengenang apa yang telah menimpa ke bangsa Quraisy dalam Perang Badar tersebut termasuk mereka yang telah terbunuh dalam perang itu.
    Shafwan berkata, “Demi Allah, setelah mereka tidak ada lagi kehidupan yang enak.”
    Umair berkata kepadanya, “Demi Allah, engkau benar. Dan demi Allah, jika saja aku tidak mempunyai utang yang harus aku selesaikan dan tanggung jawab keluarga yang sangat aku khawatirkan jika aku pergi, aku akan menemui Muhammad untuk membunuhnya. Karena, sesungguhnya aku punya alasan untuk mendatangi mereka, anakku tertawan di tangan mereka.”
    Shafwan langsung memanfaatkan kesempatan itu dan berkata kepadanya, “Aku akan menjamin dan membayar utangmu, dan akan menanggung keluargamu bersama keluargaku. Aku akan mengayomi mereka semua selamanya. Tidak ada sesuatu yang dapat melapangkanku kecuali engkau bunuh dia dan ganggu mereka.”
    Umair berkata kapadanya, “Rahasiakan perkara aku dan kamu ini.”
    Dia menjawab, “Kerjakan.”
    Umair bin Wahab pun berangkat dengan membawa pedang yang sudah diberi racun dengan tujuan ingin membunuh Rasulullah saw. di Madinah al-Munawwarah. Pada saat sampai di Madinah, dia mendapatkan Umar ibnul hthab di tengah orang-orang Islam. Ketika Umar melihatnya, dia telah mendudukkan untanya di depan masjid sambil mengangkat pedangnya. Umar berkata, “Ini dia anjing musuh Allah, Umair bin Wahab. Demi Allah, dia datang hanya untuk kejahatan, dia adalah orang yang telah berlaku kasar di antara kami dan merusak kami pada perang Badar.”
    Umar pun masuk menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Nabi Allah, ini dia musuh Allah Umair bin Wahab telah datang dengan menghunuskan pedangnya.”
    Beliau saw. berkata, “Biarkan dia masuk menghadapku.”
    Umar lantas menemuinya, kemudian mengambil gesper dan sarung pedangnya dan mengalungkannya di lehernya. Umar berkata kepada orang-orang yang ada bersamanya dari golongan Anshar, “Mendekatlah ke Rasulullah saw. dan hendaklah kalian duduk bersama beliau dan berhati-hatilah atas orang jahat ini, karena sesungguhnya dia orang yang tidak bisa dipercaya.”
    Kemudian dia pun memasukkannya ke Rasulullah saw.. Ketika Rasulullah saw. melihatnya sementara Umar terus memegang gesper dan sarung pedangnya yang digantungkan di lehernya, beliau berkata, “Lepaskan dia, wahai Umar, duduklah!”
    Dia pun segera duduk kemudian berkata, “Selamat pagi.”
    Itu adalah ucapan penghormatan orang-orang Jahiliah di antara mereka. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Allah telah mengaruniai kami dengan ucapan penghormatan yang lebih baik daripada ucapan kalian, wahai Umair dengan salam penghormatan ahli surga.”
    Demi Allah, wahai Muhammad, apa yang engkau bawa adalah sesuatu yang baru?
    Beliau berkata, “Lantas apa tujuan kedatangan kamu, wahai Umair?”
    Dia menjawab, “Aku datang agar tawanan yang ada di tangan kalian ini diperlakukan dengan baik.”
    Beliau berkata, “Lantas untuk apa pedang yang ada di lehermu?”
    Dia menjawab, “Betapa banyak Allah telah menjelekkan pedang dan kita tidak perlu sesuatu lagi.”
    Beliau berkata, “Engkau benar, jadi apa tujuan kedatanganmu?”
    Dia menjawab, “Aku datang hanya untuk tujuan itu saja.”
    Beliau berkata, “Tidak, melainkan kamu dan Shafwan bin Umayyah pernah duduk bersama di Ka’bah. Kalian berdua mengenang mereka yang telah mati dari orang-orang Quraisy, kemudian saat itu kamu berkata, ‘Jika saja aku tidak mempunyai tanggungan utang dan keluarga, aku pasti pergi untuk membunuh Muhammad. Shafwan pun menanggung utang dan keluargamu, supaya kamu bisa membunuhku demi keinginan dia, dan Allah yang mengetahui antara kamu.’”
    Umair secara langsung berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah rasul utusan Allah, dan memang kami telah mendustakan engkau wahai Rasulullah dengan apa yang engkau bawa dari berita langit dan apa yang telah diturunkan kepada engkau berupa wahyu. Dan sesungguhnya perkara itu tidak dihadiri siapa-siapa kecuali aku dan Shafwan. Maka, demi Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa apa yang engkau bawa itu adalah dari Allah. Alhamdulillah yang telah memberikan petunjuk kepadaku Islam dan mengajakku ke jalan ini.”
    Kemudian dia mengucapkan syahadat kebenaran. Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang yang ada di sekitar beliau, “Ajarkan saudara kalian ini tentang agamanya dan ajarkan dia membaca Al-Qur’an dan lepaskan tawanannya.”
    Umair bin Wahab berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu aku selalu berusaha keras untuk memadamkan agama Allah. Aku sangat kejam dalam menyakiti orang-orang yang memeluk agama Allah. Maka, aku senang jika engkau mengizinkan aku untuk pergi ke Mekah untuk kuajak mereka masuk ke dalam agama Allah swt. dan Rasulullah saw., semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka. Jika mereka menolak, aku akan menyakiti mereka karena agama mereka sebagaimana dahulu aku menyakiti para sahabat engkau karena agama mereka.”
    Kemudian Rasulullah saw. pun mengizinkannya dan dia pergi ke Mekah dengan mengamalkan agama Islamnya dengan baik. Dari tangannya banyak orang yang masuk Islam di Mekah. Dia juga mengasari dan menyakiti orang-orang yang menentangnya. Semoga Allah selalu mencurahkan ridha-Nya. 29

Fathimah dan Ali, serta Keridhaan Keduanya Kepada Allah

1. Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Fathimah r.a., bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. mendatanginya, lalu bertanya, “Di mana kedua anakku?” Yang beliau maksud adalah Hasan dan Husein.
Fathimah menjawab, “Pagi ini kami tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Maka Ali berkata kepada mereka, “Saya akan membawa mereka pergi dulu. Saya khawatir mereka akan menangis merengek-rengek kepadamu sedangkan engkau tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan”. Lalu Ali membawanya ke tempat orang yahudi itu”.
Lalu Rasulullah saw. pergi ke tempat orang yahudi tersebut. Kemudian beliau mendapati Hasan dan Husein sedang bermain di bawah pohon kurma dan di tangan keduanya terdapat sisa buah kurma. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Ali, “Wahai Ali, bawalah kedua anakku pulang sebelum panas matahari menyengat”.
Ali berkata, “Wahai Rasulullah, saya membawa mereka ke sini karena tadi pagi kami tidak mempunyai apa-apa di rumah. Silahkan duduk sebentar, dan saya akan mengumpulkan sisa-sisa kurma untuk Fathimah”.
Lalu Rasulullah saw. pun duduk menunggu Ali mengumpulkan sisa-sisa kurma untuk Fathimah. Lalu membungkusnya dengan kain dan mendatangi Rasulullah saw.. Kemudian mereka pulang, dan masing-masing dari Rasulullah saw. dan Ali membawa salah satu dari Hasan dan Husein sampai ke rumah”.

2. Dalam riwayat Hannad dari Atha`, dia berkata, “Saya diberitahu bahwa Ali k.w. berkata, “Berhari-hari kami dan Rasulullah saw. tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Lalu pada suatu hari saya keluar rumah. Ketika di jalan, saya menemukan uang satu dinar teronggok di jalan. Maka saya pun terdiam sejenak dan berfikir apakah saya mengambilnya atau membiarkannya. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambilnya karena mengingat kondisi rumah kami. Lalu saya pergi menemui seorang penjual dan saya membeli tepung. Kemudian saya membawanya ke rumah dan menyerahkannya kepada Fathimah. Lalu saya katakan kepadanya, “Buatlah roti”.
Fathimah pun mulai membuat roti dan ujung rambutnya sampai menyentuh pinggiran mangkuk tempat adonan karena rasa lemas yang dia rasakan. Setelah matang, kami pun menikmatinya. Kemudian saya menemui Rasulullah saw. dan saya memberitahu beliau tentang hal itu. Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya itu adalah rizki yang diberikan Allah ‘azza wajalla kepada kalian”.

Nuruddin Zanki Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Sibth Ibnu Jauzi  menceritakan dari Najmuddin Salam dari ayahnya, ia berkata: "Ketika bangsa Eropa mengepung Dimyath, Nuruddin terus berpuasa selama dua puluh hari dan tidak berbuka kecuali hanya dengan air. Akhirnya kondisinya sangat lemah dan hampir menyebabkannya meninggal. Ia seorang yang sangat berwibawa. Tak seorangpun yang berani berbicara dengannya dalam masalah itu.

Yahya (salah seorang sahabat Nuruddin) menceritakan bahwa ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. dan Rasulullah berkata padanya: "Wahai Yahya, sampaikan kabar gembira pada Nuruddin bahwa bangsa Eropa itu akan hengkang dari Dimyath. Aku berkata: "Wahai Rasulullah, bisa jadi ia tidak mempercayaiku." Rasulullah bersabda: "Katakan padanya tentang tanda yang tampak di Harim." 

Yahya terbangun. Ketika shalat subuh ia melihat Nuruddin khusuk berdoa. Yahya menjadi segan untuk berbicara dengannya. Tiba-tiba Nuruddin berkata: "Wahai Yahya, engkau yang mulai bicara atau aku yang mulai?"
Yahya gemetar dan tetap diam. Akhirnya Nuruddin berkata: "Biar aku yang mulai. Engkau mimpi bertemu dengan Nabi saw. malam tadi dan ia bersabda padamu begini dan begini."
Yahya terkejut dan berkata: "Benar demi Allah wahai tuanku, tapi apa makna sabda beliau tentang tanda di Harim?"
"Ketika kita berhadapan dengan musuh, aku khawatir tentang masa depan Islam maka akupun menyendiri dan aku taburi wajahku dengan tanah lalu aku berkata: "Wahai tuhanku, aku tak peduli dengan diriku asalkan agama ini tetap tinggi dan pasukan muslimin meraih kemenangan. Agama adalah agama-Mu dan tentara adalah tentara-Mu. Maka hari ini lakukanlah apa yang pantas dengan kemuliaan-Mu."
Yahya mengakhiri ceritanya: "Akhirnya Allah memenangkan kami melawan bangsa Eropa itu."

Tidak Ada yang Terjadi Kecuali Sesuai dengan Kehendak Allah

Apabila ada orang yang ridha kepada Allah, maka itu karena keridhaannya kepada-Nya dan karena qadha Allah juga, walaupun jumlahnya sedikit. Dan orang yang paling ridha kepada Allah adalah Rasulullah saw.. Contoh-contoh tentang hal ini banyak sekali tertera di dalam buku-buku Sirah Nabawiyah dan kisah-kisah dalam kehidupan beliau. Dan cukup sebagai bukti akan hal itu, bahwa di dalam Al-Qur`an Allah memujinya,

“Dan sesungguhnya kamu benr-benar berbudi pekerti yang agung”. ( al-Qalam: 4 ).
Anas bin Malik r.a. yang membantu Rasulullah saw. selama sepuluh tahun, meriwayatkan kepada kita tentang seklumit dari keridhaan Rasulullah saw..
Anas bin Malik r.a. berkata, “Saya membantu Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Selama itu beliau tidak pernah berkata, “Mengapa engkau melakukan itu”, ketika melihat apa yang saya lakukan. Beliau juga tidak pernah bertanya kepada saya, “Mengapa engkau tidak melakukannya”, terhadap apa yang tidak saya lakukan. Beliau juga tidak pernah bersabda tentang sesuatu yang telah terjadi, “Seandainya itu tidak terjadi”. Beliau juga tidak pernah bersabda tentang sesuatu yang tidak terjadi, “Seandainya hal ini terjadi”.
Ketika Ummu Sulaim bintu Malhan, ibu Anas, menyerahkan Anas kepada Rasulullah saw. untuk membantu beliau, usia Anas ketika itu adalah delapan tahun. Anas juga berkata, “Setiap kali ada anggota keluarga beliau yang menyalahkan saya, maka beliau berkata kepadanya, “Biarkan dia, sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu pasti akan terjadi juga”.
Dan beliau bersabda, “Biarkan dia. Sesungguhnya semua yang terjadi adalah kehendak Allah ‘azza wajalla”.

ISA BIN MARYAM DAN PENCURI

Wahib ibnul Ward berkata, “Ada cerita yang sampai kepadaku bahwa Isa Ibnu Maryam a.s. bersama seorang pengikutnya berjalan melewati seorang pencuri di bentengnya. Ketika pencuri melihat keduanya, Allah swt. menurunkan ke dalam hatinya tobat. Pencuri itu berkata kepada dirinya sendiri, ini adalah Isa Ibnu Maryam a.s. dan kalimat-Nya, dan orang ini adalah pengikut setianya, sementara kamu ini siapa wahai orang jahat? Kamu hanyalah seorang pencuri dari Bani Israil, kamu telah merampok orang di jalan dan merampas harta mereka, kamu telah sering menumpahkan darah. Kemudian dia membungkuk kepada keduanya untuk bertobat dan menyesali apa yang telah dia lakukan.”
    Ketika dia bersama keduanya, pencuri ini berkata kepada dirinya lagi, apakah kamu hendak berjalan berdampingan dengan keduanya? Sesungguhnya kamu tidak pantas untuk itu. Jalanlah di belakang keduanya sebagaimana orang-orang yang berdosa seperti kamu berjalan.
    Dia pun berjalan di belakang keduanya, maka hawari itu menoleh ke arah pencuri itu dan dia mengenalinya lantas berkata, “Lihatlah orang yang kotor dan jahat itu, dia berjalan di belakang kita.”
    Allah swt. memperlihatkan apa yang ada dalam hati keduanya, berupa penyesalan dan tobat seorang pencuri dan kesombongan serta perasaan mulai dari hawari itu terhadap dirinya.
    Allah swt. mewahyukan kepada Isa Ibnu Maryam bahwa perkara hawari itu dan seorang pencuri Bani Israil, keduanya sama-sama memulai kembali amalnya. Adapun pencuri itu, sesungguhnya apa yang telah lalu dilakukannya, telah diampuni dengan penyesalan dan tobatnya. Sementara hawari itu, ia telah menyia-nyiakan amalnya dengan menyombongkan diri sendiri dan penghinaannya terhadap tobat ini.

ALANGKAH BAIKNYA SEKIRANYA AKU DAHULU ADALAH TANAH

Ibrahim ibnul Harits berkata, “Dahulu ada seseorang yang sering menangis. Ketika orang itu ditanya kenapa dia demikian, dia menjawab, ‘Yang membuat aku menangis adalah karena aku mengingat akan dosa-dosa diriku ketika aku melakukannya dan tidak merasa malu kepada Yang selalu menyaksikan aku dan Dia memiliki kuasa untuk menyiksa aku. Kemudian Dia menangguhkan aku sampai pada hari penyiksaan yang abadi dan kepada hari penghitungan yang kekal.
    Demi Allah, jika aku disuruh pilih, mana yang lebih aku sukai, kamu diminta pertanggungjawabannya di hari kamu diperintahkan untuk ke surga atau ke neraka atau dikatakan padamu, ‘Jadilah kamu tanah!’ Aku pasti memilih untuk menjadi tanah.’”
    Penulis katakan, orang itu telah menyadari benar akan hakikat dan kebenaran. Dia pun sering menangis karena takut akan hisab hari Kiamat, bahkan dia berharap kalau dirinya lebih baik menjadi tanah yang diciptakan tidak untuk dihisab dan dibawa ke surga. Sesungguhnya kedahsyatan hari Kiamat yang menakutkan dan mengerikan. Barangsiapa yang menyadari dan memahaminya, dia akan memahami benar arti kata-kata seorang ahli ibadah.  Aku pasti akan memilih untuk menjadi tanah.

Allah Segera Mengembalikan Penglihatannya

Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Shulaih menceritakan, “Abu Hamdun Thayyib bin Ismail adalah seorang yang buta. Suatu hari dia dibimbing oleh seseorang untuk pergi ke masjid. Ketika sampai di pintu masjid, pembimbingnya berkata, “Pak, buka sandalmu!”
“Kenapa aku harus membukanya, wahai anakku?”
“Karena di sandalmu ada kotoran.”

Mendengar hal itu Abu Hamdun menjadi sedih. Dia adalah seorang hamba Allah yang saleh. Kemudian dia mengangkat tangannya ke langit dan berdoa. Setelah itu, dia usap mukanya dan saat itu juga Allah mengembalikan penglihatannya dan  dia bisa melihat seperti biasa kembali.

4. Kelapangan Setelah Kesempitan Dalam Perang Badar Kubra

Perang pertama yang terjadi antara pasukan muslimin dengan pasukan kafir Quraisy adalah perang Badar Kubra. Saat itu jumlah pasukan Rasulullah saw. adalah sebanyak tiga ratus empat belas orang. Sementara pasukan musyrikin berjumlah seribu orang. Allah SWT membantu Rasulullah saw. dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan pasukan yang tidak mereka lihat. Allah SWT melapangkan kesempitan dan menyejukkan dada kaum muslimin dengan kemenangan yang nyata dalam perang tersebut, dimana sekitar tujuh puluh orang musyrikin terbunuh dan tujuh puluh orang pula yang ditawan saat itu. Diantara mereka yang terbunuh adalah gembong-gembong kemusyrikan dan kekafiran dari suku Quraisy seperti Abu Jahal, 'Utbah, Syaibah dan lain-lain.

Mari kita simak seorang lelaki dari Bani Ghifar yang ikut menyaksikan peperangan itu menceritakan satu episode dari perang bersejarah tersebut. Ia berkata: "Aku bersama sepupuku naik ke sebuah bukit di daerah Badar. Waktu itu kami berdua masih musyrik. Kami ingin mengetahui siapa yang akan kalah dalam peperangan itu untuk kemudian kami akan ikut menikmati hasilnya bersama kelompok yang menang. Ketika kami sedang berada di atas bukit, tiba-tiba segumpal awan mendekat, lalu kami mendengar suara ringkikan kuda. Aku sendiri mendengar sebuah suara berkata: "Majulah wahai Haizum." Disebabkan suara dan pemandangan yang aneh itu, sepupuku langsung terkena serangan jantung dan meninggal saat itu juga. Aku sendiri juga hampir mati tapi aku berusaha untuk tetap bertahan." 

Ibnu Abbas r.a. berkata: "Ada seorang tentara muslim mengejar seorang tentara musyrik dalam perang Badar. Tiba-tiba ia mendengar suara cambuk dari arah atasnya dan suara seorang penunggang kuda. Suara itu berkata: "Majulah wahai Haizum." Kemudian ia melihat tentara musyrik di depannya sudah roboh tak berdaya. Ia mendekat untuk melihat kondisi tentara musyrik itu. Ternyata hidungnya hancur, wajahnya terbelah terkena pukulan cambuk dan tubuhnya menghijau. Tentara muslim yang berasal dari kaum Anshar itu datang menemui Rasulullah saw dan menceritakan hal itu. Rasulullah saw. bersabda: "Engkau benar, itulah bantuan dari langit ketiga." 

Menunggu Maut Setiap Hari

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan bahwa Mu’adzah binti Abdullah al-Adawiyah rahimahallah, setiap kali matahari terbit selalu berkata kepada dirinya, “Inilah hari kematianku.” Setelah itu dia tidak akan tidur sampai sore. Apabila malam datang dia akan berkata lagi pada dirinya, “Inilah malam kematianku.” Sehingga, dia juga tidak tidur sampai pagi.
Kalau rasa dingin datang dia akan memakai pakaian tipis sehingga rasa dingin itu akan menghalanginya dari tidur yang nyenyak yang dapat menyebabkannya kehilangan qiyamullail dan bermunajat kepada Allah.
Dia selalu menghidupkan malam dengan qiyamullail. Apabila rasa kantuk menyerangnya, dia akan bangkit dan berkeliling di sekitar rumahnya sambil berkata kepada dirinya, “Andaikan kamu mati niscaya kamu akan tidur panjang di kubur, boleh jadi dalam rasa sesal atau bahagia.” Begitulah yang selalu dia lakukan sampai datangnya waktu subuh.         
Ketika suaminya Abu Shahba` dan putranya syahid di jalan Allah  dia berkata kepada putrinya, “Wahai putriku, keinginanku untuk tetap berada di dunia bukanlah untuk menikmati kehidupan yang senang ataupun bersantai-santai, akan tetapi demi Allah, aku masih ingin berada di dunia untuk bertaqarrub kepada Allah dengan segala bentuk ketaatan semoga Dia menghimpunku bersama suami dan putraku di surga.” 

Bilal bin Rabah dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Sahabat agung; Bilal bin Rabah sebelumnya adalah budak Umayyah bin Khalaf. Ia seorang yang berkulit sangat hitam, kurus dan tinggi. Ia sudah lama masuk Islam di Mekah saat ia masih menjadi seorang budak. Ia termasuk satu diantara tujuh orang yang pertama kali menyatakan keislamannya. 

Ketika keislamannya diketahui oleh kaum musyrikin, mereka lalu menyiksanya habis-habisan. Mereka berkata padanya: "Tuhanmu adalah Latta dan 'Uzza." Tapi ia tetap berkata: "Ahad... Ahad (esa... esa)."
Mereka lalu membawanya ke tengah-tengah padang pasir Mekah yang panas membara. Kemudian mereka seret tubuhnya di atas pasir yang membakar, lalu mereka letakkan batu besar di atas dadanya, tapi ia tetap berkata: "Ahad... Ahad..."

Suatu kali Waraqah bin Naufal lewat di depan Bilal yang sedang disiksa dan terus mengatakan: "Ahad... Ahad..." maka Waraqah berkata: "Ahad... Ahad... demi Allah wahai Bilal."
Kemudian Waraqah menemui Umayyah bin Khalaf –Allah melaknatnya- yang sedan menyiksa Bilal. Waraqah berkata: "Aku bersumpah demi Allah, jika kalian bunuh ia dalam kondisi begini sungguh aku akan menjadikan tempat ini sebagai ratapan."

Bilal terus disiksa setiap hari dalam mempertahankan agama Allah, sampai suatu ketika Abu Bakar lewat di hadapan mereka. Ia berkata pada Umayyah: "Tidakkah engkau takut kepada Allah menyiksa orang malang ini? Sampai kapan?"
Abu Bakar melanjutkan: "Aku punya seorang budak yang hitam dan kuat serta seagama denganmu (sama-sama musyrik). Aku mau engkau tukar budak ini dengan budakku."
"Aku terima," jawab Umayyah.
"Budak itu jadi milikmu," kata Abu Bakar.           

Kemudian Abu Bakar memberikan budaknya dan mengambil Bilal sebagai gantinya, lalu dimerdekakannya Bilal karena Allah. Bersama dengan Bilal, Abu Bakar juga memerdekakan enam orang budaknya sebelum hijrah.

Begitulah datang kelapangan setelah kesempitan, dari budak menjadi merdeka dan dari kafir menjadi Islam.
Umar bin Khattab pernah berkata: "Abu Bakar adalah tuan kita yang telah memerdekakan tuan kita."

Setelah itu Bilal menjadi muazzin Rasulullah dan dialah orang pertama yang mengumandangkan azan di atas Ka'bah al-Musyarrafah di saat pembebasan kota Mekah al-Mukarramah. Bahkan dialah orang pertama yang mengumandangkan azan untuk shalat dalam sejarah Islam.

Pemilik Ikat Kepala Merah


Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengambil sebilah pedang di Perang Uhud dan berkata, “Siapa yang siap mengambil pedang ini?”
Para sahabat membentangkan tangan mereka. Setiap mereka berkata, “Saya... saya....”
Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang akan mengambilnya dengan haknya?”
Anas berkata, “Mereka semua lalu mundur.”
Kemudian Samak bin Kharsyah Abu Dujanah berkata, “Saya yang akan mengambilnya dengan haknya.” Lalu dia mengambilnya, dan dengan pedang itu,  dia tebas kepala-kepala kaum musyrikin.
Dalam riwayat lain Abu Dujanah bertanya, “Apa haknya?”
Rasulullah saw. menjawab, “Kau gunakan pedang ini untuk memukul musuh sampai dia tersungkur.”
Ketika  dia mengambil pedang itu, dia berkata,
“Aku yang diambil sumpah oleh kekasihku
Ketika kami berada di bukit dekat pepohonan kurma
Agar aku tidak pernah berada di belakang barisan
Aku akan tebas musuh dengan pedang Allah dan Rasul-Nya”

Zubair bin Awwam berkata, “Ketika aku minta pedang itu kepada Rasulullah dan beliau tidak memberikannya kepadaku, akan tetapi beliau memberikan kepada Abu Dujanah, aku berkata dalam hati aku adalah anak Shafiyyah, bibi Rasulullah, dan aku dari Quraisy, dan aku sudah meminta pedang itu kepada beliau sebelum Abu Dujanah, tetapi beliau malah memberikannya kepada Abu Dujanah, bukan kepadaku. Demi Allah, aku akan perhatikan apa yang akan dia lakukan dengan pedang itu. Lalu aku ikuti dia. Abu Dujanah mengeluarkan ikat kepala merah, lalu dia ikat kepalanya. Orang-orang Anshar berkata, ‘Abu Dujanah telah mengeluarkan ikat kepala kematian.’ Begitulah yang selalu mereka katakan setiap kali dia mengenakan ikat kepala itu. Lalu dia berkata, ‘Aku yang telah diambil sumpah oleh kekasihku.’ Tak seorang pun musuh yang dia jumpai, kecuali dia berhasil membunuhnya.  Semoga Allah meridhainya.”
Rasulullah saw. telah memberikan pelajaran berharga kepada kaum Muslimin bahwa tidak ada pilih kasih dalam menempatkan seseorang pada posisi yang sesuai. Beliau tidak memberikan pedang itu kepada karib kerabat yang paling dekat dengannya. Dan ternyata, Abu Dujanah r.a. tidak mengecewakan Rasulullah, dia telah menyempurnakan janji dan sumpahnya, dan berperang dengan pedang Rasulullah, serta meraih kemenangan dengan pedang itu.

Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi dan Ridha kepada Qadha Allah

Ibnu Asakir, di dalam Tarikhnya, menyebutkan bahwa Abu Rafi’ berkata, “Umar bin Khathab mengirim pasukan menuju Romawi. Di dalam pasukannya tersebut terdapat seseorang yang bernama Abdullah bin Hudzafah, salah seorang sahabat Rasulullah saw.. Ketika peperangan, pasukan Romawi berhasil menawan Abdullah bin Hudzafah dan membawanya menghadap raja mereka. Kemudian mereka berkata kepada sang raja, “Ini salah seorang sahabat Muhammad”.
Maka raja Romawi yang lalim tersebut berkata, “Apakah engkau mau masuk agama kami, agama nashrani, lalu engkau mendapatkan bagian dari kerajaan dan kekuasaanku?”
Abdullah menjawab, “Seandainya engkau berikan kepada saya semua yang engkau miliki dan semua yang dimiliki orang-orang Arab agar saya keluar dari agama yang dibawa Muhammad saw., saya sama sekali tidak mau melakukannya”.
Raja romawi itu berkata, “Kalau begitu saya akan membunuhmu”.
Abdullah menjawab, “Terserah apa yang akan kau lakukan”.
Maka sang raja pun memerintahkan agar Abdullah disalib. Kemudian dia berkata kepada para pemanahnya, “Panahlah di dekat kedua tangannya dan dan di dekat kedua kakinya, jangan sampai kena tubuhnya”. Hal itu dilakukan sang raja untuk menakut-nakuti Abdullah. Kemudian dia kembali menawarkan kepadanya untuk masuk agama Nashrani. Namun Abdullah tetap teguh dengan pendiriannya. Lalu sang raja pun memerintahkan agar Abdullah diturunkan dari tempat penyaliban. Kemudian dia memerintahkan agar disiapkan sebuah panci besar, lalu diisi dengan air, kemudian di bawahnya dinyalakan api hingga airnya mendidih. Kemudian sang raja memerintahkan agar didatangkan dua orang tawanan muslim, lalu salah satunya dimasukkan ke dalam air yang mendidih tersebut. Kemudian sang raja kembali menawarkan kepada Abdullah untuk masuk agama Nashrani. Namun Abdullah tetap teguh dengan pendiriannya. Maka sang raja pun memerintahkan agar Abdullah juga dimasukkan ke dalam air yang mendidih tersebut. Ketika dibawa mendekati panci tersebut, Abdullah menangis. Maka pengawal raja itu berkata, “Wahai Tuanku, dia menangis”.
Sang raja yang zalim itu pun berkata, “Dia ketakutan. Bawa dia ke mari”.
Kemudian sang raja kembali menawarkan agama Nashrani kepadanya, akan tetapi Abdullah tetap tidak mau.
Dengan heran sang raja pun bertanya, “Lalu apa yang membuatmu menangis?”
Abdullah menjawab, “Saya menangis, karena saya berkata pada diri saya sendiri, “Jiwaku, saat ini engkau dilemparkan ke dalam panci itu lalu engkau mati”. Sedangkan saya ingin sekali setiap rambut yang ada di dalam tubuhku mempunyai ruh yang masing-masing terbunuh fi sabilillah”.
Maka raja itu pun berkata, “Apakah engkau mau mencium kepalaku lalu engkau saya bebaskan?”
Abdullah menjawab, “Saya mau jika engkau bebaskan juga seluruh tawanan muslim”.
Ketika itu Abdullah berkata kepada dirinya sendiri, “Dia ini salah satu musuh Allah. Biarlah saya mencium kepalanya yang penting saya beserta seluruh tawanan muslim dibebaskan”.
Lalu Abdullah pun mendekati raja zalim tersebut, lalu mencium kepalanya. Kemudian raja tersebut membebaskan seluruh tawanan muslim. Lalu Abdullah membawa semua tawanan muslim tersebut menghadap Khalifah Umar bin Khathab. Lalu Umar berkata, “Sudah sepantasnya setiap muslim mencium kepala Abdullah bin Hudzafah. Dan saya yang akan memulainya”. Lalu Umar berdiri dan mencium kepala Abdullah”.

Demi Allah, Sesungguhnya Aku Melihatmu Selamat

Imam al-Ghazali menulis dalam kitab Ihya`Ulumiddin, “Suatu hari seorang pelayan Khalifah Umar bin Abdul Aziz datang. Setelah memberi salam, dia pergi ke mushalla yang berada di dalam rumah Khalifah dan shalat dua rakaat. Setelah shalat, matanya terasa berat dan akhirnya dia tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi. Setelah bangun, dia segera menemui Khalifah dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku baru saja bermimpi yang cukup aneh.’
‘Apa mimpimu?’ tanya Khalifah.
‘Aku bermimipi melihat neraka bergerak-gerak mencari penghuninya. Kemudian dibentangkalah shirath (titian) dan diletakkan di atas neraka.’
‘Lalu?’ tanya Khalifah penasaran.
‘Lalu dibawalah Walid bin Abdul Malik—salah seorang khalifah Bani Umayyah—dan diletakkan di atas shirath tersebut. Belum berapa langkah dia tergelincir dari shirath dan masuk ke dalam Jahanam.’
‘Lalu?’ kata Khalifah tidak sabar.
‘Kemudian dibawalah Sulaiman bin Abdul Malik (khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz) dan tak berapa langkah dia juga terjatuh dari shirath.’
‘Lalu?’
‘Lalu dibawalah kau, wahai Amirul Mukminin.’
Mendengar itu Umar segera berteriak dan jatuh pingsan. Sang pembantu mendekati tuannya. Dia terus memanggil-manggil di telinga tuannya, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku melihatmu selamat.’ Dia terus memanggil-manggil sementara Umar masih berteriak dan meluruskan kedua kakinya di lantai.
Itulah rasa takut kepada Allah. Rasa takut yang akan menyelamatkan seseorang. Seorang mukmin sejati beribadah kepada Allah atas dasar rasa takut dan harap. Takut kepada azab Allah dan berharap kepada rahmat dan maaf Allah swt.. Siapa yang takut kepada Allah di dunia, maka Allah akan memberikan dia rasa aman di hari Kiamat dan siapa yang merasa aman di dunia, maka Allah akan memberikan rasa takut kepadanya di hari Kiamat. Menyeberangi shirath termasuk fase sangat menentukan di hari Kiamat. Apabila seorang hamba berhasil menyeberanginya maka dia akan beruntung dan selamat dengan izin Allah. Kita memohon pertolongan kepada Allah di hari Kiamat kelak.”

Orang yang Bertobat dari Dosa Sama dengan tidak Berdosa

Jabir bin Abdullah al-Anshari r.a. meriwayatkan, “Seorang pemuda dari Anshar bernama Tsa’labah bin Abdurrahman masuk Islam. Kemudian  dia bekerja sebagai pembantu Rasulullah saw.. Suatu kali Rasulullah saw. menyuruhnya untuk suatu keperluan. Ketika  dia lewat di depan rumah seorang lelaki dari Anshar, dia melihat seorang wanita dari Anshar sedang mandi. Dia takut kalau akan turun wahyu kepada Rasulullah saw. tentang apa yang dia lakukan. Akhirnya,  dia melarikan diri.
Dia pergi ke sebuah bukit di antara Mekah dan Madinah, lalu dia memasuki salah satu gua di bukit itu. Nabi saw. kehilangan dia selama empat puluh hari. Kemudian Jibril a.s. turun membawa wahyu kepada Nabi. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan Dia berfirman, ‘Sesungguhnya ada seseorang dari umatmu yang berlindung kepada-Ku di antara bukit-bukit itu.’”
Nabi saw. bersabda, “Wahai Umar dan Salman, pergilah ke bukit itu dan bawalah Tsa’labah bin Abdurrahman ke sini.”
Keduanya segera berangkat dari Madinah. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang penggembala kambing dari Madinah yang bernama Dzafafah. Umar bertanya kepadanya, “Apakah kau mengetahui seorang pemuda di antara bukit-bukit ini yang bernama Tsa’labah?”
Pengembala itu menjawab, “Barangkali yang kau maksudkan adalah seseorang yang lari dari neraka Jahanam?”
“Bagaimana kau tahu kalau dia lari dari neraka Jahanam?”
“Karena, setiap tengah malam dia keluar dari bukit-bukit itu sambil meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berteriak, ‘Wahai Tuhan, andaikan Engkau cabut saja ruhku di antara ruh-ruh yang telah tiada dan Engkau binasakan jasadku di antara jasad-jasad yang sudah punah dan tidak Engkau seret aku pada hari penentuan kelak.”
Umar berkata, “Memang dialah yang kami maksud.”
Penggembala itu lalu menemani mereka ke tempat yang dimaksud.
Di tengah malam, Tsa’labah muncul dari balik bukit-bukit tersebut sambil meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berteriak, “Wahai Tuhan, andaikan Engkau cabut saja ruhku di antara ruh-ruh yang telah tiada dan Engkau binasakan jasadku di antara jasad-jasad yang sudah punah dan tidak Engkau seret aku pada Hari Penentuan kelak.”
Kemudian Umar menuju ke arah Tsa’labah lalu memeluknya.
Dia berkata, “Wahai Umar, apakah Rasulullah mengetahui dosaku?”
“Aku tidak tahu, namun dia menyebut namamu dalam majelisnya kemarin kemudian beliau mengutusku bersama Salman untuk mencarimu.”
Dia berkata, “Wahai Umar, jangan masukkan aku ke majelis Rasulullah kecuali ketika beliau sedang shalat.”
Umar dan Salman segera mengambil shaf dalam shalat. Ketika Tsa’labah mendengar bacaan Nabi saw., dia langsung jatuh pingsan. Setelah Nabi saw. mengucapkan salam beliau bertanya, “Wahai Umar, wahai Salman, bagaimana kabar Tsa’labah?”
Keduanya menjawab, “Ini dia, wahai Rasulullah!”
Nabi saw menghampirinya dan menggerakkan tubuhnya. Tsa’labah sadar. Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang membuatmu menghilang dariku?”
Tsa’labah menjawab, “Dosaku, wahai Rasulullah....”
“Maukah aku tunjukkan kepadamu sebuah ayat yang akan menghapus segala dosa dan kesalahan?”
“Mau, ya Rasulullah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah: KHAT (Wahai tuhan kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa api neraka).” (al-Baqarah: 201)

Tsa’labah berkata,  “Dosaku lebih besar, wahai Rasulullah....”
Rasulullah saw. bersabda, “Bahkan firman Allah lebih agung.”
Kemudian Rasulullah saw. mempersilakannya pulang ke rumah. Setelah itu Tsa’labah sakit selama delapan hari. Salman datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, maukah engkau menjenguk Tsa’labah? Kondisinya sangat memprihatinkan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Mari kita jenguk  dia!”
Ketika sampai di rumah Tsa’labah, Rasulullah meletakkan kepala Tsa’labah di pangkuannya. Tsa’labah menarik kepalanya dari pangkuan Rasulullah. Rasulullah saw. bertanya, “Kenapa kau tarik kepalamu dari pangkuanku?”
“Karena  aku  penuh dengan dosa.”
“Apa yang kau rasakan?”
“Rasanya ada semut yang merayap di antara tulang, daging, dan kulitku.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Ampunan Tuhanku.”

Jabir melanjutkan bahwa kemudian Jibril a.s. turun dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, ‘Seandainya hambaku ini berjumpa dengan-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, niscaya Aku akan menjumpainya dengan ampunan sepenuh bumi pula.’”
Nabi memberitahukan hal itu kepada Tsa’labah, kemudian dia berteriak dan akhirnya wafat.
Jabir melanjutkan, “Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk memandikan dan mengafaninya. Setelah menshalatkannya, Rasulullah saw. berjalan di ujung jarinya (berjingkat). Setelah selesai dikuburkan, sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kami melihat engkau berjalan sambil berjingkat?’
Rasulullah saw. bersabda, ‘Demi Dzat yang mengutusku dengan sesungguhnya, aku tak mampu menginjakkan kakiku di tanah karena banyaknya para malaikat yang turun untuk mengiringinya.’

Zuhud Sufyan ats-Tsauri

Yahya bin Ayub berkata, “Aku mendengar Ali bin Tsabit mengatakan bahwa andaikan kau berjumpa dengan Sufyan ats-Tsauri di jalan menuju Mekah, dan kau mempunyai uang recehan yang ingin kau sedekahkan, sementara kau tidak mengenal Sufyan, tentu kau akan berniat untuk memberikan uang itu kepadanya. Aku tak pernah melihat Sufyan duduk di bagian depan suatu majelis sekalipun. Dia lebih suka duduk di samping dinding sambil bersila."
Dia (Sufyan) rahimahullah pernah berkata, “Sungguh aku sangat takut kepada Allah, alangkah aneh kenapa aku tidak mati, akan tetapi aku memiliki ajal yang pasti akan sampai akhirnya. Aku selalu merasa takut, dan aku berharap bahwa rasa takut itu akan meringankanku dari sesuatu yang aku khawatir akan menghilangkan pikiranku.”
Dia juga berkata, “Aku sering meletakkan tanganku di atas kepalaku pada malam hari. Setiap kali aku mendengar sebuah suara keras, aku berkata, ‘Telah datang azab kepada kita.’”
Abatsar berkata, “Suatu kali Sufyan bangun sebelum matahari tergelincir, lalu dia mendengar sebuah ayat dibacakan, ‘Maka apabila sangkakala ditiup, maka itulah hari yang serba sulit.’ (al-Muddatstsir: 8—9). Lalu  dia keluar dan berlari. Orang-orang baru menemukannya di daerah al-Hamra` lalu mereka mengembalikannya ke rumahnya.”
Dia berkata, “Tak ada kondisi yang paling sulit bagiku selain kondisi sakaratul maut. Aku takut kalau hal itu akan berat sekali bagiku, lalu aku minta untuk diringankan, tetapi tidak diperkenankan. Akhirnya, aku memperoleh fitnah (malapeteka yang besar).” 
Yahya bin Ayub berkata, “Aku mendengar Ali bin Tsabit mengatakan bahwa dia melihat Sufyan ats-Tsauri di jalan menuju Mekah. Kemudian dia memperkirakan harga seluruh perbekalannya hingga kedua sandalnya, ternyata hanya satu dirham empat daunaq (mata uang dibawah dirham, pent).”
Begitulah kondisi para ahli zuhud. Hal itu tidaklah mengherankan, karena mereka telah menjadikan dunia di tangan mereka, bukan di hati mereka. Mereka memakmurkan akhirat mereka, setelah mereka menyadari bahwa seorang mukmin di dunia ini ibarat seorang pengembara, dan seorang mukmin akan mengutamakan Allah swt. daripada hawa nafsunya dan dunia.

TOBAT SEORANG PEMINUM KHAMR

Pada masa Khalifah Abbasiyah al-Mahdi, hidup Adam bin Abdul Aziz sebagai seorang pemuda Quraisy yang gemar minum khamr dan melucu. Kemudian Allah swt. memuliakannya dengan dia bertobat, setelah tobat dia rajin melaksanakan ibadah.
    Dia melantunkan syair seraya berkata dalam syair itu,
 
    Bukankah orang yang sabar untuk tidak meminumnya di hari ini.
    Dia akan mendapat ganjaran pada suatu hari nanti dari yang Mahakuasa.
    Dahulu aku sering minum dan ketika dikatakan tidak bisa berhenti.
    Aku tanggalkan bajuku dari siksa celaan dan aku jadi bersih.

    Sebagian orang menuduhnya sebagai seorang zindiq, maka khalifah pun memukulnya dengan cambuk, namun dia tetap saja berpegang pada keimanannya dan menolak zindiq itu seraya berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, aku tidak pernah menyekutukan Allah sedetik pun, melainkan dahulu aku adalah seorang anak muda yang suka minum khamr dan sering melucu, kemudian Allah mengampuniku dan aku pun mengganti kebaikanku dengan kebaikan.”

Nasihat Ubadah bin Shamit Kepada Putranya

Al-Walid bin Ubadah datang menjenguk ayahnya Ubadah bin Shamit yang sedang sakit menjelang wafatnya. Al-Walid berkata padanya, "Wahai Ayah, duduklah dan berilah saya nasihat". Kemudian Ubadah pun duduk dan berkata pada anaknya, "Wahai anakku, kamu tidak akan bisa merasakan lezatnya iman, dan tidak akan dapat sampai pada hakikat iman, hingga kamu beriman kepada takdir Allah yang baik maupun takdir yang buruk". Lalu al-Walid berkata, "Bagaimana saya dapat mengetahui mana takdir yang baik dan mana yang buruk?" Ayahnya menjawab, "Kamu dapat mengetahuinya dengan meyakini bahwa apa yang ditetapkan untuk tidak menimpamu pasti tidak akan menimpamu, dan apa yang telah ditetapkan untuk menimpamu pasti akan menimpamu, tidak akan meleset sedikit pun. Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Sesuatu yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Lalu Dia memeritahkan padanya, "Menulislah!" Maka seketika itu juga ia menulis segala sesuatu yang ada, dan tidak akan berhenti sampai hari kiamat". Kemudian Ubadah melanjutkan nasihatnya, "Jadi, jika kamu mati dalam keadaan yang tidak seperti itu ( dalam keadaan ingkar terhadap takdir Allah ), maka kamu akan masuk neraka".

JIKA KAMU INGIN BERMAKSIAT KEPADA ALLAH, JANGANLAH KAMU MAKAN REZEKI-NYA

Ada seseorang yang datang kepada Ibrahim bin Adham dan berkata padanya,  “Wahai Abu Ishaq! Sesungguhnya diriku telah melampaui batas. Berikanlah aku sesuatu yang bisa menahan diriku dan bisa menyelamatkan hatiku.
    Ibrahim bin Adham berkata, “Jika kamu menerima lima perkara dan mampu melaksanakannya, tidak ada satu maksiat pun yang bisa membahayakanmu dan tidak ada satu kenikmatan yang bisa mencelakakanmu.”
    Orang itu berkata,  “Coba apa itu wahai Abu Ishaq.”
    Ibrahim bin Adham berkata, “Pertama, jika kamu mau bermaksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan rezeki-Nya.”
    Orang itu berkata, “Dari mana aku harus makan padahal semua yang ada di dunia ini adalah dari rezeki-Nya?”
    Dia berkata, “Ya itulah, kenapa kamu selalu memakan rezeki-Nya dan kamu tetap bermaksiat kepada-Nya?”
    Orang itu berkata,  “Berikan aku yang kedua.”
    Dia berkata,  “Jika kamu mau bermaksiat kepada-Nya, jangan sekali-kali kamu tinggal di negeri dan bumi-Nya.”
    Orang itu bertanya,  “Lantas di mana aku harus tinggal?”
    Dia menjawab, “Ya itulah, apakah pantas kamu memakan rezeki-Nya kemudian kamu tinggal di negeri dan bumi-Nya tapi kamu tetap bermaksiat kepada-Nya?”
    Orang itu menjawab,  “Tidak, berikan aku yang ketiga.”
    Ibnu Adham berkata,  “Jika kamu mau bermaksiat kepada-Nya, baiklah kamu memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, tapi lakukan maksiat itu di tempat yang tidak terlihat oleh-Nya dan kamu bisa bersembunyi dari-Nya.”
    Orang itu berkata,  “Wahai Ibrahim, bagaimana hal itu bisa karena Dia Maha Mengetahui semua apa yang dirahasiakan.”
    Ibnu Adham berkata,  “Ya itulah, apakah pantas kamu selalu memakan rezeki-Nya dan kamu tinggal di bumi-Nya kemudian kamu brmaksiat kepada-Nya padahal dia melihat kamu dan melihat semua apa yang kamu sembunyikan?!”
    Orang itu berkata,  “Tidak, berikan aku yang keempat.”
    Ibrahim berkata,  “Apabila datang kepadamu malaikat penjabut nyawa untuk mencabut ruhmu, katakan kepadanya,  ‘Tangguhkan aku sampai aku bisa bertobat dengan taubatannasuha dan aku akan melaksanakan amal shaleh kepada Allah.’”
    Orang itu berkata,  “Malaikat itu tidak akan memenuhi permintaanku.”
    Dia berkata, “Ya itulah, apabila kamu tidak bisa untuk menolak kematian agar kamu bisa bertobat, dan kamu tahu bahwa kematian apabila datang tidak bisa diundur, jalan keluar apa yang kamu harapkan?”
    Orang itu berkata,  “Berikan aku yang kelima.”
    Ibrahim berkata, “Jika nanti pada hari Kiamat datang kepadamu malaikat Zabaniyah untuk membawa kamu ke neraka, janganlah mau pergi bersamanya.”
    Orang itu berkata, “Dia tidak akan membiarkanku dan tidak akan menerima permintaanku.”
    Ibrahim berkata kepadanya, “Jadi, bagaimana kamu mengharapkan pertolongan?”
    Orang itu berkata kepadanya, “Wahai Ibrahim, cukup sudah itu semua dan aku sekarang memohon ampun dan tobat kepada Allah.”
    Kemudian orang itu benar-benar tekun beribadah kepada Allah sampai kematian memisahkan keduanya.61

Jangan Beberkan Apa yang Telah Allah Tutupi

Seorang lelaki datang menemui seorang khalifah Bani Umayyah, Sulaiman bin Abdul Malik. Laki-laki itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai sebuah nasihat.”
“Apa nasihatmu itu?” tanya Amirul Mukminin.
“Ada seorang laki-laki yang pernah menjadi pejabat di masa kekhilafahan Yazid, al-Walid, dan Abdul Malik, tetapi dia mengkhianati mereka semua dan merampas harta yang cukup banyak, maka suruhlah dia untuk mengembalikan harta itu.”
Khalifah berkata kepadanya, “Engkau lebih buruk dan lebih pengkhianat darinya karena kau telah memata-matainya dan membongkarnya. Kalau bukan karena teringat nasihat para ulama tentu kau sudah aku hukum.”
Kemudian Khalifah berkata, “Tetapi pilihlah satu dari tiga hal yang aku tawarkan kepadamu.”
“Apa tiga hal itu, wahai Amirul Mukminin?”
“Kalau kamu mau, aku akan meneliti apa yang telah kamu sampaikan. Seandainya kamu benar, maka kami adili kamu, jika kamu dusta kami akan menghukummu atau jika kamu mau kami akan biarkan (iqalah) dan lepaskan kamu.”
Lelaki itu berkata, “Aku pilih lepaskanlah aku, wahai Amirul Mukminin.”
Khalifah berkata, “Engkau aku lepaskan, tetapi jangan ulangi lagi membongkar apa yang telah Allah sembunyikan dan tutupi dari orang yang mempunyai harga diri.”
Yang dimaksud dengan al-iqalah (melepaskan) adalah membiarkannya seakan-akan dia tidak pernah mendengar apa-apa dan hal itu tidak akan ditindaklanjuti.  

TOBAT SEORANG PEMUDA DARI SENDA GURAU

Tsabit al-Bunani berkata, “Shilah bin Asyim—salah seorang tabi’in—sedang keluar dan pergi ke pemakaman untuk beribadah di sana.” Dia melintasi para anak muda yang sedang bermain-main dan bersenda gurau, dia berkata kepada mereka, “Katakan kepadaku tentang suatu kaum yang hendak melakukan perjalanan, namun mereka di siang hari tidak menempuh jalan itu dan di malam hari mereka tidur, kapan mereka akan menempuh perjalanan mereka?”
    Dan begitulah setiap kali dia melintasi mereka, dia selalu menasihati mereka. Suatu hari dia melintasi mereka seraya menasihati mereka dengan kata-kata ini.
    Ada seorang anak muda dari mereka yang berdiri dan berkata, “Wahai teman-teman, demi Allah, tidak ada yang dimaksudkan dari hal ini kecuali diri kita karena kita pada siang hari selalu bermain dan bersenda gurau serta di malam hari kita tidur.
    Anak muda itu pun meninggalkan mereka dan segera mengikuti Shilah bin Asyim. Dia terus beribadah bersamanya dan melakukan amalan seperti yang dilakukannya sampai dia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu.
    Itu adalah faedah dari mau’izhah hasanah dan ketekunan dalam melakukannya dengan terus mengulang-ulangnya. Dengan Allah menurunkan hidayah-Nya kepada seseorang melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada merahnya nikmat seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw..

Mana Orang yang Bersedekah Tadi Malam

Ibnu Ishaq berkata, “Saya mendengar bahwa Ibnu Yamin an-Nadhari r.a. bertemu dengan Abu Laila r.a. dan Abdullah bin Mughaffal r.a. ketika mereka berdua sedang menangis.
Lalu Ibnu Yamin bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat kalian menangis?”
Mereka menjawab, “Kami datangi Rasulullah saw. agar membawa kami bersama tentara muslim ke medan perang. Akan tetapi di sana kami tidak mendapatkan kendaraan dan bekal untuk kami. Sedangkan kami sendiri tidak mempunyai apa-apa untuk bekal kami”.
Maka Ibnu Yamin memberikan binatang tunggangannya yang biasanya dia gunakan untuk menyiram tanaman, juga membekali mereka berdua dengan beberapa biji kurma.
Kemudian keduanya berangkat bersama Nabi saw. ke medan perang.
Yunus bin Bukair dari Ibnu Ishaq menambahkan, “Adapun Ulbah bin Zaid r.a., maka di malam harinya dia keluar rumah, lalu melakukan shalat malam dan menangis. Dan dia berdoa, “Ya Allah, Engkau memerintahkan kami untuk berjihad dan Engkau berikan banyak keutamaan di dalamnya. Akan tetapi mengapa Engkau tidak memenuhi keperluan saya untuk berjihad dan Engkau tidak memberikan kepada Rasul-Mu kendaraan untuk membawa kami? Sesungguhnya malam ini saya menyedekahkan kepada setiap muslim semua harta, tubuh atau kehormatan saya yang pernah dizalimi oleh orang lain”.
Ketika pagi tiba, Rasulullah saw. bersabda, “Mana orang yang bersedekah semalam?”
Tidak ada orang yang berdiri.
Kemudian Rasulullah saw. kembali bersabda, “Mana orang yang bersedekah semalam? Berdirilah”.
Lalu Ulbah bin Zaid r.a. berdiri dan memberitahu beliau tentang apa yang dia lakukan semalam. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Berbahagialah, demi jiwaku yang ada di Tangan-Nya, sedekahmu telah tertulis sebagai zakat yang diterima”.

Keridhaan Ahmad bin Hambal kepada Qadha Allah

    Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, “Terkadang saya melihat ayah saya mengambil pecahan-pecahan roti kering. Lalu membersihkan debu yang menempel padanya, kemudian meletakkan di piring dan menyiramnya dengan air hingga menjadi basah dan lembut. Kemudian dia memakannya setelah dicampur dengan garam. Saya tidak pernah melihatnya membeli delima, safarjal  ataupun buah-buahan yang lain, kecuali membeli sebuah semangka, lalu memakannya dengan roti, anggur atau kurma. Adapun buah yang lain, saya sama sekali tidak pernah melihatnya membelinya.
    Terkadang dia dibuatkan roti dengan ditambah ‘adas, gajih dan sejumlah kurma, lalu diletakkan di dalam kendi untuk persiapan selama dua bulan. Lalu dia mengkhususkan satu piring untuk anak-anak, lalu memanggil mereka dan memberikannya kepada mereka. Maka mereka pun tertawa senang namun tidak memakannya.
    Imam Ahmad sering makan dengan dicampur cuka. Dia juga sering dibelikan gajih seharga satu dirham, lalu dia gunakan untuk makan selama satu bulan.
    Ketika al-Mutawakkil –salah seorang khalifah Bani Abbas--  datang, Imam Ahmad terus menerus berpuasa dan tidak makan makanan yang berlemak. Maka saya –Ibnul Jauzi—mengira beliau melakukannya sebagai nazar jika selamat dari fitnah Khalqul Qur’an. Al-Marwazi berkata, “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, “Rasa takut membuatku tidak bisa makan dan minum, sehingga tidak ada keinginan untuk memakannya”.
    Imam Ahmad –rahimahullah— juga pernah berkata, “Itu hanyalah salah satu makanan dari jenis-jenis makanan yang lain, juga salah satu pakaian dari jenis-jenis pakaian yang lain. Dan kehidupan ini hanyalah bilangan hari yang sebentar. Saya melewati hari-hariku hingga berakhir di hari ketika saya tidak memiliki apa-apa”.