Seorang Wanita yang Ridha kepada Qada Allah dan Allah Mengabulkan Do'anya

Penulis kitab al-Farj Ba'dasy Syiddah menyebutkan sebuah riwayat dari Ahmad bin Ja'far al-Barqi. Dia berkata, "Saya pernah menyaksikan seorang wanita yang tabah di sebuah pedalaman. Waktu itu, udara di sana sangat dingin, dan itu menyebabkan rusaknya tanaman yang terdapat di ladang wanita tersebut. Karena musibah itu, banyak orang yang datang untuk menghiburnya. Adapun wanita itu sendiri, dia mengangkat tangannya ke langit bedo'a kepada Allah, "Ya Allah, Engkaulah satu-satunya pengharapan untuk datangnya sebuah ganti yang lebih baik. Karena hanya Engkaulah yang mampu mengganti sesuatu yang telah musnah. Maka karuniakanlah kepada kami kebaikan yang merupakan milik-Mu. Sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa atas rizki kami, dan kepada-Mu lah kami menggantungkan harapan".
Demikianlah, wanita itu tiada hentinya berdo'a, sampai akhirnya datang kepadanya seorang hartawan daerah tersebut. Kemudian diceritakan kepada sang hartawan tentang apa yang telah menimpa wanita itu. Setelah mengetahui ceritanya, sang hartawan tersebut memberikan kepada wanita itu lima ratus dinar.

Al-Hasan al-Bannan Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Di masa pemerintahan penguasa Mesir; Ahmad bin Thulun, datanglah Syekh al-Hasan al-Bannan menasehatinya dan menyuruhnya berbuat yang ma'ruf serta melarangnya dari perbuatan yang mungkar. Hal itu karena Ahmad bin Thulun telah menampakkan kezalimannya dan suka membunuh masyarakat. Bahkan ada yang menghitung jumlah masyarakat tak berdosa yang dibunuhnya sampai berjumlah delapan belas ribu orang.

Penguasa yang zalim ini sangat murka mendengar nasehat yang disampaikan Syekh yang alim dan ahli ibadah ini, yang tidak takut pada kekuasaan penguasa yang zalim. Menyampaikan yang hak di depan penguasa yang zalim adalah suatu bentuk taqarrub kepada Allah yang sangat agung. Penguasa Mesir ini sangat marah dan kemudian memerintahkan para pembantunya untuk memenjarakan Syekh lalu memasukkan seekor singa ke dalam penjaranya untuk menerkam Syekh tersebut.

Berita ini tersebar ke seluruh pelosok dan manusia datang berbondong-bondong dari berbagai daerah untuk menyaksikan akhir kehidupan Syekh yang ahli ibadah ini di tangan seorang penguasa yang zalim.

Syekh Abu Ja'far ad-Dinawari menceritakan: "Aku termasuk yang hadir di hari itu. Kemudian digiringlah seekor singa dari istana Khamaruyah; putra Ahmad bin Thulun. Putranya ini sangat gemar berburu. Setiap kali ia mendengar ada singa buas di sebuah hutan atau lembah ia akan segera ke sana bersama para pembantunya sambil mengenakan Labud (pakaian yang melindungi tubuh dari cakaran singa) kemudian mereka akan berhadapan dengan singa itu dan menangkapnya dari hutan dengan tangan kosong secara paksa dalam keadaan normal (tanpa cedera). Lalu mereka jebloskan singa itu ke dalam kerangkeng kayu seukuran singa dalam keadaan berdiri.

Singa yang mereka pilih untuk menerkam Syekh adalah singa yang paling buas. Tubuhnya kekar, taringnya tajam, ototnya berisi dan kelihatan sangat ganas. Mulutnya sangat besar dan lebar, seakan mulut itu adalah lubang kubur dan rongganya adalah kuburan bagi setiap mangsanya.

Mereka menempatkan Syekh di sebuah ruang. Orang-orang menunggu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Tak berapa lama kemudian mereka buka kerangkeng singa itu dari arah atas. Tutup kerangkeng itu ditarik dan sang singa segera meloncat. Mereka mendorong singa itu untuk maju dan memangsa Syekh. Sang singa meraung sekeras-kerasnya yang memekakkan telinga dan menggetarkan dada. Setiap orang yang mendengar raungannya merasa seolah-olah raungan itu bagaikan petir yang diikuti oleh suara guntur.                         

Sementara itu, Syekh duduk dengan tenang tak bergeming. Ia tidak menoleh kepada singa tersebut sama sekali dan tidak pula merasa gentar. Padahal semua orang yang memandang singa itu merasa takut dan ngeri sekaligus kasihan terhadap Syekh.

Tapi aneh sekali, ketika singa itu dimasukkan ke dalam ruangan dimana Syekh berada, ia hanya duduk dengan tenang sambil menyelonjorkan kedua lengannya. Tak berapa lama setelah itu singa tersebut bangkit dan melangkah dengan tenang menuju Syekh dengan langkah tegap yang tampak dari derap kakinya yang berat. Lalu ia mendekati Syekh kemudian menyentuhkan badannya ke tubuh Syekh dan menciumnya persis seperti yang dilakukan oleh seekor anjing yang bermain dan bermanja bersama majikannya. Seolah sang singa ingin mengumumkan bahwa ini bukanlah pertarungan antara seorang laki-laki bertakwa dan seekor singa melainkan pertarungan antara kehendak Ibnu Thalun dan kehendak Allah. Sang singa melihat di depannya seorang laki-laki yang takut kepada Allah maka iapun takut pada laki-laki itu.

Ad-Dinawari melanjutkan: "Setelah menyaksikan singa itu kami melihat wajah Syekh. Ternyata ia tengah tenggelam dalam berpikir. Setelah itu mereka mengeluarkan sang singa dari ruangan tersebut. Masing-masing kami mempunyai anggapan yang bermacam-macam tentang apa yang dipikirkan oleh Syekh. Ada yang mengatakan bahwa rasa takut telah membuat Syekh melupakan dirinya. Ada yang mengatakan bahwa ia sibuk memikirkan tentang kematian. Ada lagi yang mengatakan bahwa ketenangan berpikir membuat tubuh tidak bergerak dan tidak berguncang. Bahkan ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa itu adalah satu kondisi 'tenggelam jiwa' yang mampu menyihir sang singa. Banyak lagi yang kami duga dan kami reka-reka sampai akhirnya Ibnu Thulun sendiri yang bertanya: "Apa yang berkecamuk dalam pikiranmu dan yang engkau pikirkan tadi?"

Syekh menjawab: "Tidak ada apa-apa, aku hanya berpikir tentang ludah singa apakah suci atau najis?" 

Sungguh hebat. Dalam sebuah hadits disebutkan, sesungguhnya orang yang takut kepada Allah maka segala sesuatu akan takut kepadanya, tapi siapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan jadikan ia takut pada apa saja. Siapa yang hatinya terpaut dengan Allah niscaya tak akan ada rasa resah ataupun takut pada apa saja dalam dirinya.