Cobaan Bagi Para Wali dan Kekasih Allah

Abu Nu’aim di dalam Hilyatul Auliya` dan Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah menyebutkan, “Abu Bakar bin Affan bercerita tentang Fath bin Sa’id al-Mushili, seorang Zahid yang tinggal di Mushil yang juga dipanggil Abu Nashr. Abu Bakar bin Affan berkata, “Saya mendengar Bisyr Ibnul Harits berkata, “Saya mendengar bahwa seorang anak wanita Fath al-Mushili tidak mempunyai baju. Lalu Fath al-Mushili ditanya, “Tidakkah engkau mencari orang yang memberinya pakaian?”
Dia menjawab, “Tidak, saya akan membiarkannya hingga Allah ‘azza wajalla melihat bahwa dia tidak mempunyai pakaian dan melihat kesabaran saya atas hal itu”.
Pada malam-malam musim dingin, Fath selalu mengumpulkan anak-anaknya, lalu berdoa, “Ya Allah, Engkau membuat saya dan anak-anak saya fakir. Engkau membuat saya dan anak-anak saya lapar. Engkau membuat saya dan anak-anak saya tidak mempunyai pakaian. Maka perantaraan apa yang dapat saya gunakan untuk memohon kepada-Mu, karena sesungguhnya engkau telah melakukan semua hal ini tehadap para wali dan para kekasih-Mu. Maka apakah saya termasuk dari mereka hingga kami dapat berbahagia?”. Ibrahim bin Abdullah berkata, “Maka Fath al-Mushili pun pingsan. Setelah sadar dia pun merasa bahagia, lalu berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah mengujiku dengan cobaan yang menimpa para nabi”. Maka dia pun bersyukur dan malam itu dia melakukan shalat empat ratus rekaat.
Bisyr ibnul Harits berkata, “Fath al-Mushili berkata, “Barang siapa terus menerus melihat dengan mata hatinya, maka dirinya akan berbahagia dengan yang dicintainya ( Allah ). Dan barang siapa lebih mengutamakan Allah atas hawa nafsunya, maka hal itu menumbuhkan rasa cintanya kepada yang dicintainya ( Allah ). Dan barang siapa rindu kepada-Nya dan  tidak peduli terhadap selain Dia, memperhatikan hak-Nya, serta takut kepada-Nya, maka hal itu menumbuhkan pandangan kepada wajah-Nya yang mulia”.
Saya ( penulis ) katakan, “Ahli ibadah yang zahid ini senang dengan cobaan dan ridha dengannya. Karena cobaan Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya merupakan bukti kecintaan-Nya kepadanya, sebagaimana terdapat di dalam sebuah hadits Nabi saw.,

“Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya. Apabila dia bersabar, maka Dia menjadikannya dekat kepada-Nya”.
Dan keinginan seorang mukmin adalah dekat kepada Allah azza wajalla.

TOBAT MUSA DARI PERMINTAANNYA KEPADA TUHANNYA AGAR BISA MELIHAT-NYA

Setelah Bani Israil bersama Musa a.s. keluar dari Mesir dan Allah swt. meyelamatkan mereka dari Fir’aun dan pasukan tentaranya, Allah swt. mewahyukan kepada Musa untuk menaiki Gunung Thur dan tinggal di sana selama tiga puluh malam sampai setelah dia menyempurnakan itu Allah akan memberinya lembaran-lembaran yang tertulis di dalamnya wasiat-wasiat yang akan dibawa dan diamalkan oleh Bani Israil dan juga para keturunan mereka sesudahnya.
    Musa pun menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah untuk berpuasa selama tiga puluh malam pada bulan Dzulqa’dah seperti yang diceritakan oleh Imam al-Alusi dan lainnya dalam kitab tafsir mereka.
    Setelah Musa menyempurnakan tiga malam, dia pun tidak mau mencium bau mulutnya yang baunya telah berubah. Kemudian dia membersihkan mulutnya dengan bersiwak dan memakan beberapa tumbuhan agar bisa mengubah bau mulutnya. Malaikat pun berkata kepadanya, “Sebelumnya kami menciummu ada wangi misik yang harum, namun kau telah merusaknya dengan bersiwak. Karena, bau mulut orang yang berpuasa di hadapan Allah lebih baik daripada wangi misik.” Allah swt. pun memerintahkannya agar menambah puasanya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah, sehingga Musa menyempurnakan puasanya selama empat puluh hari.
    Allah swt. berfirman, “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, ‘Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.’” (al-A’raaf: 142)
    Setelah Musa dapat menyempurnakan miqat yang telah ditentukan atasnya dan Allah swt. telah berbicara kepadanya, Musa pun meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat-Nya, “Tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung kepadanya), Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman.’”
    Allah berfirman, “(Allah) berfirman, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.” (al-A’raaf: 144)
    Begitulah Musa a.s. menganggap bahwa permintaannya kepada Tuhannya agar dapat melihat-Nya adalah sebuah kesalahan darinya, maka dia pun bertobat kepada Tuhannya.
    “Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (al-A’raaf: 143)

Wanita Pertama yang Kerandanya Ditutup dalam Islam

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menceritakan, “Ketika Fatimah az-Zahra r.a.—putri Rasulullah saw.—sakit beberapa bulan setelah ayahnya wafat karena sakit yang mengiringi ajalnya, datanglah Asma` binti Umais r.a. menjenguknya. Lalu Fatimah berkata pada Asma`, “Demi Allah, aku malu kalau besok diusung ke luar di depan orang banyak di dalam keranda ini.”
Waktu itu keranda yang dikenal berbentuk kayu yang dibentangkan lalu di atasnya diletakkan mayat baik lelaki maupun perempuan, kemudian ditutup dengan pakaian yang masih membentuk lekuk-lekuk tubuh.
Kemudian Asma` menyarankan untuk membuat keranda seperti yang dia lihat sewaktu dia berada di Habsyi di mana seluruh sisinya ditutup pelepah yang mirip dengan kotak, kemudian ditutup dari atas sebagaimana yang dikenal sekarang.
Ketika Fatimah melihat keranda itu, dia berkata kepada Asma`, “Semoga Allah menutupi dirimu sebagaimana kau telah menutupi diriku.”
Setelah Fatimah wafat, tubuhnya diletakkan di dalam keranda tertutup tersebut. Itulah keranda pertama yang tertutup di dalam Islam.

Syu

Penduduk Madyan adalah orang-orang yang mu’amalahnya sangat buruk. Mereka berbuat curang dalam timbangan dan takaran, yaitu mengurangi ketika menimbang dan menakar untuk orang lain, dan melebihkannya ketika menimbang atau menakar untuk diri sendiri. Mereka juga merampok dan menyembah berhala.
Lalu Allah mengutus seorang hamba-Nya yang saleh dari mereka sendiri, yaitu Nabi Syu’aib a.s.. Kemudian Nabi Syu’aib berdakwah kepada mereka untuk hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dia melarang mereka menyembah berhala, serta memerintahkan mereka agar meninggalkan perbuatan-perbuatan munkar yang menimbulkan kemurkaan Allah ‘azza wajalla. Nabi Syu’aib a.s. berkata kepada mereka,

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telang datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. ( al-A’raaf: 85 ).
    Nabi Syu’aib juga mengingatkan mereka tentang nikmat-nikmat Allah kepada mereka. Seperti ketika jumlah mereka sedikit lalu Allah memperbanyaknya, juga limpahan rizki dari Allah berupa hal-hal yang baik. Nabi Syu’aib juga memperingatkan mereka tentang murka dan pembalasan Allah. Namun jawaban mereka adalah,

“Wahai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal”. ( al-A’raaf: 87 ).
Mereka mengejek Nabi Syu’aib a.s. dan tidak mau mentaati perintah-perintah Allah. Mereka terus bergelimang dengan kemaksiatan dan kekafiran mereka.
Nabi Syu’aib a.s. terus bersabar atas perlakuan mereka. Dia tidak berhenti berdakwah kepada mereka untuk taat kepada Allah, sedangkan mereka tetap dalam kemaksiatan, hingga mereka berkata kepada Nabi Syu’aib,

“Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”. ( Huud: 91 ).
Dan Syu’aib berkata kepada mereka,

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu ( dengan mengerjakan ) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali ( mendatangkan ) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan ( pertolongan ) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. ( Huud: 88 ).
Dan Nabi Syu’aib berdoa kepada Allah,

“Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak ( adil ) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya”. ( al-A’raaf: 89 ).
    Demikianlah, Nabi Syu’aib a.s. terus bersabar, ikhlas dan ridha kepada qadha Allah. Maka Allah menyelamatkannya dari kaumnya yang mengancam akan membunuh, mengasingkan dan mengusirnya. Kemudian Allah pun membalas kejahatan mereka dengan sangat mengerikan, sebagaimana dikisahkan oleh Allah tabaaraka wa ta’ala di dalam Al-Qur`an di dalam surah Huud dan surah al-A’raaf.

Makanlah Wahai yang Belum Makan

Ibnu Khuzaimah menceritakan, “Setelah Ahmad bin Hanbal wafat, aku bermimpi bertemu dengannya. Aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang Allah lakukan kepadamu?’
Dia menjawab, ‘Dia mengampuniku dan memasangkan mahkota di kepalaku serta memakaikan dua sandal dari emas kepadaku. Kemudian Dia berfirman, ‘Wahai Ahmad, ini semua adalah karena kamu mengatakan Al-Qur’an adalah firman-Ku.’’
Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Bisyir al-Hafi?’
‘Sungguh hebat. Siapa yang bisa menandingi Bisyir? Aku tinggalkan  dia di sisi Yang Mahaagung sedang berada di depan hidangan. Allah datang kepadanya dan berfirman, ‘Makanlah wahai yang belum makan, minumlah wahai yang belum minum, dan bersenang-senanglah wahai yang belum pernah bersenang-senang.’”

Keridhaan Sa

Nama Abi Waqqash, ayah Sa’ad, adalah Malik. Sa’ad bin Abi Waqqash masuk Islam di Mekkah. Dia adalah penjaga terakhir Nabi saw. dalam perjalanan-perjalanan beliau. Rasulullah saw. pernah berdoa untuknya,

“Ya Allah, kabulkanlah doanya jika dia berdoa kepada-Mu”.
    Dia adalah orang Islam pertama yang melempar panah. Ayahnya adalah sepupu ibu Nabi saw.. Oleh karena itu, Nabi saw. bersabda kepadanya,

“Ini adalah pamanku. Maka tunjukkanlah paman kalian”. 
    Pada perang Uhud, dia berjuang membela Nabi saw. dan melemparkan panah-panahnya untuk melindungi beliau. Dan Nabi saw. bersabda kepadanya, “Panahlah wahai Sa’ad. Panahlah, ayah dan ibuku menjadi penebusmu”. Maka Sa’ad pun bangga dengan doa Nabi saw. ini, dan dia berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah menggabungkan ayah dan ibunya kecuali untukku”.
    Di tangannya Allah menaklukkan Negeri Persia dalam peperangan Qadisiyah. Khalifah Umar ibnul Khaththab kemudian mengangkatnya menjadi gubernur Kufah, dan dia adalah sebaik-baik gubernur. Hanya saja, rakyatnya yang munafik mengeluhkannya kepada Umar dan salah seorang mereka menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Maka Sa’ad pun mendoakan keburukan atas orang tersebut, jika memang orang itu berbohong. Yaitu agar Allah memanjangkan usianya, membuatnya fakir, serta menjerumuskannya dalam fitnah. Dan Allah pun mengabulkan doanya, sehingga usia orang tersebut panjang, hingga alisnya menutupi kedua matanya. Dan dia juga menjadi peminta-minta, serta selalu menggoda para gadis dengan menyentuhnya. Dan jika seseorang menegurnya karena perbuatannya yang tidak sopan itu, dia menjawab, “Apa tidak bisa mengelak dari hal ini, karena saya terkena doa Sa’ad”.
    Di akhir-akhir kehidupannya, kedua mata Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi buta. Ketika dia datang ke Mekkah, orang-orang berbondong-bondong mendatanginya dan memintanya untuk mendoakan mereka. Maka dia pun mendoakan mereka semua. Melihat hal itu Abdullah bin Saib, yang ketika itu masih kecil, berkata kepadanya, “Wahai paman, engkau berdoa untuk orang-orang, mengapa engkau tidak berdoa untuk dirimu sendiri agar Allah membuat matamu bisa melihat kembali”.
Maka Sa’ad pun tersenyum seraya berkata, “Wahai anakku, bagi saya, qadha Allah subhaanahu wata’ala lebih baik daripada mataku”.
Ucapan yang sangat dalam ini, tentulah berasal dari keimanannya kepada qadha dan qadar Allah, serta pengharapannya kepada pahala dan ampunan-Nya. Karena dalam sebuah hadits dijelaskan, bahwa barang siapa kedua hal yang disayanginya ( kedua matanya ) diambil oleh Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan surga.

Dulu Hadiah, tapi Sekarang untuk Kita adalah Sogokan

Diceritakan tentang Umar bin Abdul Aziz—seorang Khalifah Bani Umayyah yang adil—bahwa suatu kali dia menginginkan apel. Dia berkata, “Andaikan kita memiliki apel, karena baunya wangi dan rasanya lezat.”
Kemudian salah seorang keluarganya yaitu sepupunya datang membawa apel dan menghadiahkannya untuk Khalifah. Ketika sang pembantu membawa apel itu ke dalam, Khalifah berkata, “Alangkah wangi baunya, kembalikan lagi apel itu dan sampaikan salamku padanya. Katakan kepadanya bahwa hadiahmu sudah sampai pada kami seperti yang kamu inginkan.”
Amru bin Muhajir (salah seorang pegawai Umar) berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah sepupumu dan juga anggota keluargamu, dan kamu tahu bahwa Nabi saw. menerima hadiah dan tidak menerima sedekah.”
Umar berkata, “Celaka kamu, sesungguhnya hadiah untuk Nabi adalah benar-benar hadiah, tapi saat ini untuk kita itu adalah sogokan.”
Alangkah banyaknya saat ini hadiah yang sesungguhnya adalah sogokan dan diberikan secara terang-terangan dengan menggunakan nama hadiah, tips, atau nama-nama lainnya.

Orang-orang Yang Dikatakan Oleh Manusia Kepada Mereka: "Sesungguhnya Manusia Telah Sepakat Untuk Membunuh Kalian Maka Waspadailah Mereka."

Dalam perang Uhud, tujuh puluh orang sahabat menemui Allah sebagai para syuhada`. Kaum muslimin merasa sangat terpukul atas kekalahan itu. Kaum musyrikin Quraisy segera kembali ke Mekah dengan perasaan gembira atas kemenangan itu. Hal ini sesungguhnya di luar kebiasaan orang Arab yang kalau menang dalam sebuah peperangan mereka akan tetap berada di medan perang sambil merayakan kemenangan.
Sekembalinya Rasulullah saw. ke Madinah al-Munawwarah dan di saat kaum muslimin masih merasakan kepedihan dan kesedihan yang teramat mendalam akibat kekalahan tersebut, Rasulullah saw. kembali mengumpulkan kaum muslimin yang telah ikut berperang bersamanya untuk mengejar kaum musyrikin. Nabi khawatir kalau-kalau Abu Sufyan kembali dan menyerang Madinah bersama pasukan Quraisy. Oleh karena itu beliau keluar untuk menakut-nakuti mereka sehingga mereka percaya bahwa Nabi masih memiliki kekuatan. Apa yang terjadi dalam perang Uhud tidak akan membuat kaum muslimin lemah dan mereka masih mampu menghadapi kaum kafir bahkan untuk berperang kembali sekalipun.

Dan memang apa yang Nabi perkirakan terbukti. Setelah berbalik menuju Mekah, Abu Sufyan masih berencana untuk kembali guna menghancurkan kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Mereka berkata: "Kita belum memusnahkan Muhammad, para sahabatnya, komandan-komandan perang dan para pembesar mereka. Kita mesti kembali untuk menghabisi mereka sampai ke akar-akarnya."

Tiba-tiba Abu Sufyan melihat Ma'bad. Ia bertanya: "Apa berita yang engkau bawa wahai Ma'bad?"
"Muhammad bersama para sahabatnya sedang mengejar kalian dalam jumlah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mereka benar-benar ingin balas dendam terhadap kalian. Orang-orang yang sebelumnya tidak ikut berperang bersamanya melawan kalian di Uhud sekarang berkumpul di sekitarnya dan mereka sangat menyesal tidak ambil bagian dalam peperangan itu. Mereka datang dengan amarah yang belum pernah aku lihat sebelumnya."
"Celakalah engkau, apa yang engkau katakan ini?" kesal Abu Sufyan.
"Demi Allah, sebelum engkau berbalik menuju Mekah aku sudah melihat kuda-kuda mereka siap mengejar kalian."
"Demi Allah, kami telah mengumpulkan seluruh pasukan untuk menghabiskan mereka yang masih tersisa," balas Abu Sufyan.
"Aku sarankan engkau untuk mengurungkan hal itu. Tak ada yang mendorongku menyampaikan hal ini selain apa yang telah aku saksikan sendiri," saran Ma'bad.

Waktu itu Ma'bad al-Khuzani menyembunyikan keislamannya. Ia ingin menakut-nakuti kaum musyrikin agar mereka tidak kembali ke Madinah dan memerangi kaum muslimin. Tak berapa lama setelah itu lewatlah sebuah kafilah dari suku Abdul Qais. Abu Sufyan bertanya pada mereka: "Hendak kemana kalian?"
"Ke Madinah," jawab kafilah tersebut.
"Untuk apa?"
"Kami ingin membeli makanan dari penduduk Madinah."

Abu Sufyan berkata pada kafilah itu: "Maukah kalian menyampaikan suratku untuk Muhammad dan aku bawakan gandum kalian ini lalu kita bertemu di Ukaz?"
"Baik," jawab mereka.
"Kalau kalian bertemu Muhammad, sampaikan padanya bahwa kami telah sepakat untuk menyerangnya beserta para sahabatnya untuk memusnahkan orang-orang yang masih tersisa diantara mereka."

Kafilah dagang itu bertemu dengan Rasulullah saw. bersama para sahabat. Saat itu Rasul sudah sampai di daerah "Hamra` al-Asad" untuk mengejar Abu Sufyan dan pasukannya. Mereka mengabarkan pada Rasulullah apa yang disampaikan oleh Abu Sufyan dan pengikutnya. Rasulullah saw. dan para sahabat berkata:

"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
Kemudian Allah melemparkan rasa takut ke dalam hati Abu Sufyan hingga akhirnya ia kembali ke Mekah. Sementara kaum muslimin kembali ke Madinah dengan rahmat dan karunia Allah tanpa terkena sesuatu yang buruk.

Abu Sufyan mengirim surat ancaman pada Rasulullah saw. untuk bertemu di Badar guna membalas dendam atas kerugian yang diderita oleh Quraisy dalam perang Badar Kubra. Ia menjanjikan perang itu akan dikobarkan setahun setelah perang Uhud. Pada saat itu, banyak orang yang menakuti-nakuti kaum muslimin menghadapi kaum Quraisy dan pasukan mereka. Menanggapi hal itu kaum muslimin hanya menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."

Pada waktu yang dijanjikan, Rasulullah saw. keluar bersama kaum muslimin menuju Badar untuk menghadapi Quraisy. Akan tetapi Abu Sufyan tidak datang dan tidak berani menghadapi Rasulullah saw. dan kaum muslimin. Padahal Abu Sufyan sudah bergerak bersama pasukannya akan tetapi ia kembali pulang ke Mekah. Tentang hal ini turunlah firman Allah SWT:

"(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertaqwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka," maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." ( Ali Imran: 172-175)

Zuhudnya Ahmad bin Hanbal

Rahilah berkata, “Suatu kali aku berada di dekat rumah Ahmad bin Hanbal. Pintunya tidak tertutup rapat. Terdengar istrinya berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kita berada dalam kondisi yang sangat sulit, sementara rumah Shalih (salah seorang tetangga mereka) makan dengan enak dan berkecukupan.’ Ahmad selalu berkata kepada istrinya, ‘Ucapkanlah perkataan yang baik.’ Salah seorang anaknya datang sambil menangis. Ahmad berkata kepadanya, ‘Apa yang kau mau?’ Sang anak menjawab, ‘Anggur.’ Ahmad berkata, ‘Pergilah ke tukang buah dan belilah sedikit buah!’”
Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Makanan saat ini (di dunia) bukanlah makanan sesungguhnya (seperti di akhirat) begitu pula dengan pakaian. Hari-hari ini tidak akan lama. Sesungguhnya hari yang paling berbahagia bagiku adalah ketika di pagi hari itu aku tak punya apa-apa.”

Shalih putra Ahmad bin Hanbal berkata, “Terkadang aku lihat ayahku mengambil sepotong roti keras lalu dibersihkannya dari debu-debuan, kemudian dia letakkan di atas sebuah mangkok lalu dituangkannya air, sehingga roti itu menjadi lunak, kemudian dimakannya dengan garam. Aku tidak pernah melihatnya membeli buah delima, jeruk atau buah-buahan lainnya, kecuali dia pernah membeli semangka lalu dimakannya dengan roti atau dengan anggur atau korma. Adapun selain itu, aku tak pernah melihatnya membeli apa-apa.
Terkadang dibuatkan untuknya roti, lalu dia meletakkan di sebuah mangkok ‘adas (sejenis kacang-kacangan) dan daging serta beberapa biji korma, kemudian dia khususkan untuk anak-anaknya di sebuah mangkok, lalu dia sedikit bergurau dengan mereka kemudian dia memberikan makanan itu kepada mereka. Mereka tertawa dan makan dengan senang. Dia sering menjadikan cuka sebagai sambalnya dan membeli daging seharga satu dirham. Daging sedirham itu dia makan selama sebulan. Setelah kembali dari menghadap Khalifah Al-Mutawakkil  dia banyak berpuasa dan tidak makan yang berlemak sehingga aku mengira bahwa itu sudah diniatkannya jika dia selamat dari fitnah Khalifah.” 

Istri yang Setia

Masih dalam kisah-kisah para wanita, Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Ashmu’i, dia berkata, “Aku pernah melihat di salah satu kampung seorang wanita badui yang tidak pernah bicara. Aku bertanya kepada keluarganya, “Apakah dia bisu?”
Mereka menjawab, “Tidak, bahkan dia mempunyai suara yang indah dan merdu. Suaminya sangat kagum pada suaranya dan dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarkan suara istrinya yang merdu. Setelah itu suaminya wafat. Lalu, istrinya bersumpah demi Allah untuk tidak mendengarkan suaranya kepada siapa pun setelah suaminya meninggal dunia. Dia tidak akan bicara dengan siapa pun sebagai tanda kesetiaannya kepada suaminya dengan selalu melakukan apa yang dicintai oleh suaminya. Itulah satu bentuk kesetiaan yang sangat menakjubkan dan jarang ditemui.
Barangkali cinta dan kesetiaan semacam ini jarang ditemui di zaman kita sekarang, atau bahkan di masa-masa sebelumnya. Oleh karena itulah, kisah-kisah mereka ditorehkan oleh pena para sastrawan dan para ulama dalam karya-karya mereka. Bahkan, di antara mereka ada yang khusus membahas hal itu dalam buku-buku yang mereka tulis.

TOBAT MUKHAIRIQ SEORANG PENDETA YAHUDI


    Pada saat Nabi hijrah ke Madinah, ada seorang Yahudi yang melihat beliau dan ia pun mendengarkan ucapan beliau. Setelah mendengar ucapan Nabi, ia meyakini bahwa dialah Nabi yang ditunggu-tunggu, dan menjadi penutup para Nabi yang sesuai dengan sifat dan gambaran dalam kitab Taurat yang ada pada mereka. Walaupun banyak orang yang mengingkarinya dan hanya sedikit yang memercayai beliau seperti Abdullah bin Salam, salah seorang pendeta mereka. Akan tetapi, Mukhairiq tetap ikut mengingkarinya seperti kaumnya Yahudi Madinah. Hingga saat Perang Uhud, ia mengikrarkan tobatnya dan menampakkan keislamannya. Dia adalah orang kaya yang memiliki harta begitu banyak.
    Dia berkata, “Wahai kaum Yahudi, demi Allah sesungguhnya kalian tahu bahwa Muhammad itu adalah seorang Nabi, dan sesungguhnya pertolongannya kepada kalian adalah hak dan benar.”
    Mereka terkejut sekali, lalu mereka berkata, “Sesunguhnya hari ini adalah hari Sabtu.”
    Lalu ia menjawab, “Tidak ada hari Sabtu bagiku, wahai sekalian manusia. Apabila aku terbunuh, seluruh harta kekayaanku untuk Muhammad. Ia yang akan meletakkannya di tempat yang akan ditunjukkan oleh Allah.”
    Kemudian ia meletakkan pedangnya dan bergegas ke medan pertempuran, berperang bersama-sama Rasulullah saw.. Ia pun terus menyerang tidak terkalahkan dan tidak pula ia mundur hingga ia mati syahid fi sabilillah di saat Perang Uhud. Kemudian Rasulullah saw. membagikan hartanya kepada fakir miskin dari kaum Muslimin.

TOBAT SEORANG WANITA YANG BERZINA DAN MEMBUNUH

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Seorang wanita datang kepadaku dan berkata, ‘Masih bisakah aku bertobat? Sesungguhnya aku telah berzina dan melahirkan anakku itu lantas kubunuh.’
    Aku berkata, ‘Tidak, tidak menyenangkan mata dan tidak ada kemuliaan.’
    Dia pun berdiri sambil berdoa dengan penuh kesedihan, kemudian aku shalat subuh bersama Rasullullah saw.. Aku kemudian menceritakan kepada beliau apa yang dikatakan wanita itu kepadaku dan jawabanku kepadanya. Rasulullah saw. bersabda, ‘Alangkah jeleknya apa yang telah kamu katakan. Tidak pernahkah kamu membaca ayat suci ini, ‘Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat….’’” (al-Furqaan: 68-70)
    Ibnu Abi Hatim berkata, “Ketika malam berikutnya, wanita itu mendatanginya dan Abu Hurairah menyampaikan apa yang telah disabdakan Rasulullah saw. kepadanya. Wanita itu keluar dan langsung bersujud seraya berkata, ‘Alhamdulillah, Allah swt. telah memberikanku jalan keluar dan tobat dari apa yang telah kulakukan.’”
    Wanita itu pun memerdekakan hamba sahaya beserta anaknya dan dia bertobat kepada Allah swt..31

Kisah Abu Turab an-Nakhsabi dan Keridhaan kepada Allah

Abu Hasan Alil Hasan bin Khairan al-Faqih berkata, “Pada suatu hari Abu Turab mendatangi seorang tukang cukur, lalu bertanya kepadanya, “Maukah engkau mencukur rambut saya karena Allah?”
Tukang cukur tersebut menjawab, “Duduklah”.
Ketika sedang mencukur, gubernur daerah tersebut melintasi mereka berdua. Lalu gubernur tersebut bertanya kepada para pengawalnya, “Apakah itu Abu Turab?”
“Ya”, Jawab mereka.
Lalu sang gubernur bertanya, “Berapa dinar yang ada pada kalian?”
Salah seorang dari pengawal dekatnya menjawab, “Saya membawa seribu dinar di dalam kantong ini”.
Gubernur tersebut berkata kepadanya, “Jika Abu Turab selesai dicukur, berikanlah uang itu kepadanya dan mintakan maaf kepadanya. Dan katakan kepadanya bahwa kita tidak membawa uang dinar selain uang tersebut”.
Maka pengawal tersebut mendatangi Abu Turab dan menyerahkan uang tersebut kepadanya. Akan tetapi Abu Turab berkata kepadanya, “Berikan uang itu kepada tukang cukur itu”.
Namun tukang cukur itu tidak mau menerimanya dan berkata, “Karena apa saya mendapatkan uang sebanyak itu?!”
Abu Turab berkata kepadanya lagi, “Ambillah uang itu”.
Tukang cukur berkata, “Tidak. Demi Allah, seandainya jumlah uang tersebut dua ribu dinar pun saya tetap tidak mau menerimanya”.
Maka Abu Turab berkata kepada sang pengawal tersebut, “Temuilah gubernur, dan katakan kepadanya bahwa si tukang cukur tidak mau menerimanya. Maka suruhlah dia mengambilnya dan menggunakannya untuk tugas-tugasnya”.
Abu Abdillah al-Jala` berkata, “Pada suatu ketika Abu Turab datang ke Mekkah. Lalu saya bertanya kepadanya, “Wahai Tuan, di manakah Anda makan?”
Abu Turab menjawab, “Saya datang membawa sisa-sisa makanan dari kalian. Saya sudah makan sekali di Bashrah, sekali di Nabaj dan sekali di tempat kalian”.

TOBAT SEORANG PENCURI PAKAIAN

    Ibnu Juhdum berkata, “Umar an-Najjad menceritakan kepadaku dengan ucapannya, ‘Abu Husain an-Nuri masuk ke air untuk mandi, maka datang seorang pencuri mengambil pakaiannya. Ketika dia naik, dia tidak mendapatkan pakaiannya kemudian dia kembali turun lagi ke air.”
    Tidak lama kemudian pencuri itu datang dengan membawa pakaiannya kemudian diletakkan pada tempatnya semula, dan tangan kanan si pencuri itu gosong, Abu Husain pun keluar naik dan keluar dari air lantas memakai pakaiannya seraya berkata, “Wahai Tuhanku, pakaianku telah dikembalikan kepadaku, kembalikanlah tangannya seperti semula.”
    Allah swt. langsung mengembalikan tangan si pencuri itu seperti semula, kemudian dia pergi dan segera dia bertobat kepada Allah swt..
    Sebagian mereka ada yang berkata, “Aku mendengar Abu Husain berkata dan dia pernah ditanya tentang ridha, dia menjawab, ‘Kalian bertanya tentang suka citaku atau tentang cinta kasih Sang Pencipta?’”
    Dijawab kepadanya, “Tentang suka citamu.”
    Dia berkata, “Jika aku berada di tingkat paling bawah api neraka, aku tetap ridha dengan mereka yang berada di surga Firdaus.”

TOBAT DARI BISIKAN SETAN

Dari Abu Ayyub, seorang dari keturanan Quraisy bahwa ada seorang wanita dari keluarganya yang sangat rajin beribadah, selalu berpuasa, dan sering shalat malam dengan sangat panjang dan lama, hingga kemudian setan terkutuk mendatanginya.
    Setan itu berkata, “Sampai kapan kamu menyiksa tubuh dan jiwamu ini? Jika kamu tidak berpuasa dan tidak berlama-lama shalat malam, kamu akan lebih kontinyu dan lebih kuat lagi!”
    Wanita itu berkata, “Setan itu terus menggodaku sampai demi Allah aku pun berkeinginan untuk tidak berlama-lama shalat.”
    Dia berkata, “Aku masuk ke masjid Rasulullah saw. dengan berziarah ke makam beliau, itu terjadi pada waktu antara magrib dan isya. Aku segera membaca tahmid dan shalawat kepada Rasulullah, kemudian aku menyebutkan apa yang sedang menimpaku berupa bisikan setan. Aku beristigfar lantas aku panjatkan doa kepada Allah agar Allah menjauhi aku dari tipu daya dan godaan setan itu. Aku pun mendengar dari arah makam Rasulullah saw. ada orang yang berkata, “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Faathir:  6)
    Dengan perasaan takut, aku pulang dengan besar hati, dan demi Allah setelah itu bisikan seperti ini tidak pernah lagi hinggap padaku.66

TOBAT PENYANYI ABU UMAR AL-KINDI

Suatu hari Abdullah bin Mas’ud lewat di pinggiran Kufah. Ternyata di sana ada dua anak muda yang sedang berkumpul sambil minum-minum. Bersama mereka ada pula seorang penyanyi yang dikenal dengan Zadzan. Dia sering memainkan gitar dan bernyanyi. Terlebih lagi dia memang memiliki suara yang bagus. Ketika Abdullah bin Mas’ud mendengar nyanyiannya, dia berkata, “Betapa indahnya suara ini jika digunakan untuk membaca Al-Qur’an.”
    Kemudian dia mengangkat sorbannya dan meletakkannya di atas kepalanya. Setelah itu dia pergi. Zadzan mendengar ucapan Abdullah bin Mas’ud seraya bertanya, “Siapa orang itu?”
    Mereka menjawab, “Dia adalah Abdullah bin Mas’ud sahabat Rasulullah saw..”
    Dia bertanya lagi, “Apa yang telah dia katakan?”
    Mereka menjawab,  “Dia telah mengatakan, ‘betapa indahnya suara ini jika digunakan untuk membaca Al-Qur’an.’”
    Zadzan pun segera bangkit kemudian membanting gitarnya hingga hancur. Lantas dia cepat-cepat mengejar Abdullah bin Mas’ud dan menemuinya. Dia langsung menangis di hadapannya. Ibnu Mas’ud kemudian memeluknya, sehingga mereka berdua sama-sama menangis. Lalu, Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagaimana aku tidak cinta kepada orang yang telah dicintai Allah?”
    Setelah itu Abu Umar al-Kindi pun bertobat dari bernyanyi selanjutnya dia mengikuti Ibnu Mas’ud untuk belajar Al-Qur’an hingga akhirnya dia menjadi salah seorang imam dan ulama pada zamannya.  Semoga Allah merahmatinya.

Syu

Ibnul Jauzi menyebutkan dari Ibnu Isma’il, dia berkata, “Pada suatu ketika saya pergi ke Madain menemui Syu’aib bin Harb. Ketika itu dia duduk di tepi sungai Dajlah. Ketika itu dia telah membangun sebuah gubuk. Di dalamnya dia menggantungkan roti dan membawa sebuah bejana. Setiap malam, dia mengambil sepotong roti dan membasahinya dengan air yang ada di dalam bejana, lalu memakannya.
Lalu dia menggerakkan tangannya yang sangat kurus yang tinggal kulit dan tulang, seraya berkata, “Apakah kelak engkau melihat daging di tanganmu? Demi Allah, saya akan mengikis daging-daging yang ada di tubuhku, hingga ketika masuk kubur saya tinggal tulang-tulang kering. Karena saya tidak ingin menjadi gemuk dan menjadi makanan cacing dan ular”.
Lalu kata-katanya itu sampai ke telinga Imam Ahmad bin Hambal. Maka Imam Ahmad berkata, “Syu’aib bin Harb telah memberatkan dirinya karena kewara’annya”.
Saya (penulis )katakan, “Wara’ dan zuhud di dunia merupakan salah satu jalan yang penting yang membawa seseorang taat kepada Allah, ridha kepada-Nya dan kepada qadha dan qadar-Nya.