3. Sa

Dalam Perang Badar Kubra, seorang sahabat bernama Sa’ad bin Rabi’ r.a. menampilkan keberanian yang sulit ditemui di medan perang.  Dia banyak membunuh orang kafir dan tubuhnya terkena sekitar tujuh puluh tusukan.
Di saat Perang Uhud, Sa’ad bin Rabi’ tetap perkasa seperti halnya dalam Perang Badar Kubra. Setelah perang usai, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Siapa yang akan melihat lalu memberitakan kepadaku, bagaimana kondisi Sa’ad?”
Seorang lelaki dari kaum Anshar berkata, “Saya!”
Laki-laki tersebut berputar-putar di sekitar jasad para syuhada`. Akhirnya,  dia menemukan Sa’ad dalam keadaan terluka dan ternyata masih hidup. Dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkanku untuk melihat apakah kau masih hidup atau sudah wafat.”
Sa’ad berkata, “Tak lama lagi aku akan segera wafat. Sampaikan kepada Rasulullah salam dariku dan katakan kepada beliau.” Sa’ad melanjutkan, “Semoga Allah membalasmu atas segala jasamu terhadapku dengan balasan terbaik sebagaimana balasan Allah swt. kepada seorang Nabi atas jasanya terhadap umatnya.' Kemudian sampaikan salamku kepada kaummu (maksudnya kaum Anshar, pent.) dan katakan kepada mereka. Sesungguhnya Sa’ad berpesan pada kalian, 'Sungguh tak ada alasan bagi kalian di sisi Allah swt. seandainya Nabi kalian terkena apa-apa sementara kalian masih bisa mengedipkan mata.'”
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa sahabat yang pergi mencari Sa’ad adalah Zaid bin Tsabit dan dia menemukan Sa’ad berada dalam saat-saat akhir dari kehidupannya, sementara di tubuhnya terdapat tujuh puluh tusukan. Sa’ad berkata kepada Zaid, “Salam juga untuk Rasulullah dan juga untukmu. Sampaikan kepada beliau bahwa aku telah mencium aroma surga dan sampaikan kepada kaumku; Anshar, 'Tak ada alasan bagi kalian di sisi Allah seandainya terjadi apa-apa pada diri Rasulullah saw. sementara kalian masih bisa mengeripkan mata.'”  Kemudian ruhnya terbang menuju Tuhannya.
Sa’ad bin Rabi’ telah mencapai balasan orang-orang yang jujur.  Dia telah jujur kepada Allah swt., maka Allah pun menyampaikan keinginannya. Kata-katanya yang ditujukan kepada Rasulullah dan dijawab oleh beliau, “Semoga Allah membalas segala jasamu terhadapku dengan balasan terbaik, sebagaimana balasan Allah kepada seorang nabi atas jasanya terhadap umatnya,” menjadi kata-kata yang kekal sampai hari Kiamat yang akan selalu diulang-ulang oleh para khatib di atas mimbar dan segenap juru dakwah di setiap tempat.
Sa’ad telah menyaksikan hakikat yang sesungguhnya, ketika dia dalam keadaan sakaratul maut, maka Allah swt. memuliakannya dengan menurunkan pada tubuh dan penciumannya aroma surga yang membuat dirinya semakin bahagia dan bergembira. Namun, meskipun demikian besar kegembiraan yang dia rasakan,  dia tetap ingat kepada kawan-kawannya dari kaum Anshar, sehingga dia berpesan kepada mereka untuk senantiasa menjaga Rasulullah saw. dan membelanya selama mereka masih hidup.

Wanita Ahli Ibadah yang Bertobat di Ka

Ibrahim as-Saih rahimahullah menceritakan, “Ketika aku sedang thawaf di Baitullah, aku melihat seorang wanita yang bergelantungan di Ka’bah sambil menyeru Tuhannya, ‘Duhai sepinya diriku setelah bersama, hinanya aku setelah mulia, miskinnya aku setelah kaya, duhai alangkah besarnya musibahku.’
Aku bertanya padanya, ‘Apa musibahmu?’
‘Kehilangan hati,’ jawabnya.
‘Tidakkah sebaiknya kamu lunakkan suaramu?’ pintaku.
‘Wahai tuan, rumah ini rumahmu atau rumah-Nya?’
‘Rumah-Nya.’
‘Wilayah haram ini milikmu atau milik-Nya?’
‘Milik-Nya.’
‘Siapa yang meminta kita mengunjunginya?’
‘Dia.’
‘Kalau begitu biarkan kita menghinakan diri di depan-Nya sebagaimana Dia telah mengundang kita dan menunjukkan kita kepada-Nya.’
Kemudian dia mengangkat tangannya dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, demi cinta-Mu kepadaku, kembalikanlah hatiku.’
‘Dari mana kamu tahu Dia mencintaimu?’ tanyaku.
‘Dari penjagaan-Nya terhadapku. Dia telah mengerahkan pasukan-Nya untuk mencariku, memberikan harta, dan menyiapkan para budak, lalu Dia keluarkan aku dari negeri syirik kemudian memasukkanku ke negeri tauhid. Setelah itu Dia mengenalkan kepadaku jalan menuju-Nya.’”
Manusia sejak dilahirkan berada dalam keadaan fitrah yang murni, dalam keadaan bertauhid dan Islam sebagaimana diterangkan dalam hadits yang sahih, tetapi setelah itu terjadi perubahan dan penyimpangan, baik dari pihak ayah, ibu, ataupun keluarga.
Seorang muslim yang bertauhid mengetahui bahwa Allah mencintainya ketika Allah mengeluarkannya dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid. Kewajiban seorang muslim yang bertauhid adalah membalas cinta Tuhannya dengan cinta, dan cinta hamba pada Tuhannya adalah dengan menaati-Nya dan tidak mendurhakai-Nya, karena seorang yang mencintai akan patuh kepada yang dicintainya.

Sa'id Ibnul Musayyib dan Orang-orang yang Mendustakan Qada dan qadar Allah

Dikatakan pada Sa'id Ibnul Musayyib bahwa ada segolongan orang mengatakan, "Sesungguhnya Allah menentukan takdir segala sesuatu, kecuali amal perbuatan manusia". Ibnul Musayyib sangat marah tatkala mendengar hal tersebut, dan dia berkata, "Apakah mereka benar-benar bicara seperti itu? Apakah mereka yang membuat takdir bagi amal perbuatan mereka sendiri. Sungguh demi Allah, saya telah mendengar hadits Rasulullah saw. tentang mereka. Dan cukuplah hadits tersebut untuk membuktikan keburukan mereka". Demikianlah, Ibnul Musayyib merasa heran dengan apa yang mereka katakan dan menyesalkannya. Kemudian Amru bin Syu'aib bertanya padanya, "Semoga Allah merahmatimu. Kalau boleh tahu apa bunyi hadits tersebut?" Sejenak Ibnul Musayyib melihat ke arah Amru dan nampak kemarahannya telah mereda, lalu dia berkata, "Saya diberi tahu oleh Rafi' bin Khudaij bahwasannya dia mendengar Rasulullah saw. bersabda,

"Akan muncul segolongan kaum dari umatku yang mengingkari Allah dan Al-Qur'an tanpa mereka sadari, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani".
Lalu Rafi' bertanya kepada Rasulullah saw., "Sungguh saya rela berkorban demi engkau wahai Rasulullah, bagaimana itu terjadi?" Rasulullah saw. menjawab, "Itu dikarenakan mereka mengakui sebagian takdir dan mengingkari sebagian yang lain. Mereka berkata, "Datangnya kebaikan adalah dari Allah, adapun keburukan adalah dari iblis". Lalu mereka membacakan kitab Allah untuk dijadikan sandaran kebatilan mereka tersebut.  Dengan itu, sesungguhnya mereka telah ingkar terhadap Al-Qur'an setelah sebelumnya datang pada mereka keimanan dan pengetahuan. Tidak ada yang dapat diperoleh umat saya dari mereka kecuali permusuhan, kebencian dan perdebatan. Mereka itu adalah kaum zindiqnya umat ini. Pada zaman mereka itulah kelaliman para penguasa merajalela, sungguh merupakan kelaliman yang berdampak buruk. Kemudian Allah mengazab mereka dengan mengirimkan wabah Tha'un ( sejenis penyakit pes ), maka  binasalah kebanyakan mereka oleh serangan wabah tersebut. Pada saat yang sama, Allah juga membalikkan permukaan bumi dan menenggelamkan apa yang ada di atasnya ke dalam perut bumi. Tidak ada yang dapat selamat dari azab Allah itu kecuali segelintir orang. Orang mukmin pada masa itu menghadapi  kesulitan yang sangat besar dan hanya merasakan sedikit kebahagiaan. Dan pada masa itu juga, kebanyakan orang diubah oleh Allah menjadi kera dan babi karena kedurhakaan mereka. Kemudian tidak lama setelah itu keluarlah Dajal".
Setelah menceritakan itu semua, Rasulullah saw. pun menangis, dan kami ikut menangis oleh tangisan beliau. Lalu kami bertanya pada beliau, "Wahai Rasulullah apa yang menyebabkan engkau menangis?" Rasulullah saw. menjawab, "Tangisan saya ini adalah rahmat bagi orang-orang yang bernasib malang tersebut, karena diantara mereka ada yang beribadah dan ada pula yang berijtihad, ditambah juga mereka bukanlah orang yang pertamakali mengingkari qada Allah tersebut. Karena jika mereka orang yang pertama, niscaya mereka tidak akan mampu menanggung akibatnya. Sesungguhnya kehancuran yang ditimpakan pada kebanyakan orang-orang Bani Israil dikarenakan mereka mendustakan qadar Allah".
Kemudian saya ( Rafi' bin Khudaij ) bertanya pada Rasulullah saw., "Sungguh saya rela berkorban demi engkau wahai Rasulullah. Jelaskanlah pada saya bagaimana sebenarnya iman kepada qadar Allah itu?" Rasulullah saw. menjawab, "Yaitu  kamu wajib beriman pada keesaan Allah, dan meyakini bahwasannya hanya Dialah yang dapat mendatangkan bahaya ataupun kemanfaatan. Selain itu, kamu juga wajib beriman pada surga dan neraka, dan meyakini bahwa Allahlah yang menciptakan keduanya sebelum manusia diciptakan. Kemudian Allah menciptakan manusia, dan menjadikan siapa saja dari mereka yang Dia kehendaki sebagai penghuni surga, atau penghuni neraka. Yang demikian itu, tidak lain hanyalah karena keadilan Allah semata. Setiap manusia berbuat sesuai dengan ketentuan Allah, dan kelak dia akan berakhir di sebuah tempat yang telah ditentukan pula, yaitu surga atau neraka".
Demikianlah ringkasan penjelasan tentang iman kepada qada dan qadar Allah. Dalam diri umat ini telah muncul sekelompok orang yang ingkar terhadap qada dan qadar Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang tersesat. Mereka selalu membicarakan apa yang pernah dibicarakan oleh pendahulu mereka, yaitu para pengikut paham Qadariah. Dan hal itu tidaklah mengherankan, karena setiap manusia diberi jalan oleh Allah untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah menjadi ketentuan-Nya.

Bilal Bin Rabah dan Keridhaannya Terhadap Qada dan Qadar Allah

Bilal bin Rabah adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang  mulia. Dia masuk Islam di Mekah pada awal-awal munculnya Islam. Dulunya dia adalah seorang budak dibawah kepemilikan Umayyah bin Khalaf. Ketika tuannya itu tahu bahwa dia masuk Islam, dia disiksa dengan kejam. Pada suatu siang yang sangat panas, dia diseret di atas pasir panas, kemudian sebongkah batu besar diletakkan di atas dadanya. Semua itu dilakukan oleh tuannya agar dia mau kembali kepada kemusyrikan dan meninggalkan Islam dan pembawa risalahnya, Rasulullah saw.. Akan tetapi siksaan tersebut sama sekali tidak membuat goyah iman Bilal. Bahkan dengan tegar, mulutnya selalu menguucapkan kata-kata, "Ahad, Ahad (Zat Yang Maha Esa)".
Demikianlah, Bilal disiksa karena menempuh jalan Allah.  Hingga suatu saat datang Abu bakar dan membelinya dari tuannya, kemudian memerdekakannya karena mengharap ridha Allah.
    Pada suatu hari Rasulullah saw. berkata padanya, "Perbuatan mulia apakah yang engkau lakukan dalam Islam, hingga malam ini saya mendengar suara langkah sendalmu di surga?" Bilal menjawab, "Saya tidak melakukan perbuatan apapun kecuali saya selalu bersuci dengan baik di waktu malam dan siang untuk mengerjakan shalat sebaimana yang diwajibkan pada saya".  Rasulullah saw. juga bersabda, "Orang-orang mulia yang bekulit hitam adalah Luqman, an-Najasyi, Bilal dan Mihja'”. 
    Bilal adalah mu`azin Rasulullah saw. semasa hidup beliau. Setelah beliau wafat, dia tidak lagi bersedia menjadi mu`azin. Pada zaman khalifah Abu Bakar, Bilal minta izin untuk ikut berperang di jalan Allah. Kemdian dia pergi ke Syam dan meninggal di sana. Menjelang wafatnya, bilal berkata, "Besok saya akan bertemu dengan orang tercinta, yaitu Muhammad dan para sahabatnya". Ketika mendengar itu, istrinya langsung berkata padanya, "Sungguh celaka". Lalu Bilal cepat meralat perkataan istrinya tersebut dan berkata padanya, "Akan tetapi katakanlah, “Sungguh bahagia dan menyenangkan hal itu. Besok saya akan bertemu dengan orang tercinta, yaitu Muhammad dan para sahabatnya".
Bilal merasa gembira dan ridha dengan qada dan qadar Allah di saat ajalnya tiba. Karena dengan itu, kenikmatan yang sempurnya telah menunggunya, yaitu bertemu dengan Allah dan Rasul-Nya, juga para sahabat Rasulullah saw. yang mulia. Sungguh sebuah perjumpaan yang menggembirakan.  Semoga Allah kelak mengumpulkan kita dengan mereka dalam curahan rahmat-Nya.

Umar bin Abdul Aziz dan Kematian Anaknya

Ahmad bin Hambal dalam bukunya az-Zuhd meriwayatkan dari Ziyad bin Abi Hassan, bahwa dia melihat Umar bin Abdul Aziz berdiri tatkala jasad anaknya Abdul Malik dimakamkan dan orang-orang berada di sekelilingnya. Kemudian Umar berkata, “Demi Allah wahai anak saya, sungguh engkau telah berbakti kepada ayahmu. Demi Allah semenjak Allah mengaruniakan engkau kepada saya, saya selalu  merasa bahagia dengan kehadiranmu. Sungguh demi Allah saya merasa sangat bahagia, dan sangat beruntung, semenjak kehadiranmu di rumah tempat tinggalmu ini. Semoga Allah merahmatimu dan mengampuni dosamu. Semoga Dia membalas amal baikmu dan merahmati semua yang mendoakanmu dengan kebaikan. Saya ridha dengan qadha Allah dan tunduk pada keputusan-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam”.

INI ADALAH HARI PENGAMPUNAN DOSA

Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan dari Abul Adyan yang berkata,  “Aku belum pernah melihat seseorang yang sangat takut kecuali ada satu orang pada saat aku sedang wukuf—pada hari Arafah di saat haji—dan aku melihat seorang anak muda terdiam diri sejak orang-orang wukuf sampai matahari hendak tenggelam di ufuk barat. Aku pun berkata kepadanya, ‘Hai kamu, angkat tanganmu dan berdoalah.’
    Dia berkata kepadaku, ‘Di sana ada kesunyian.’
    Aku katakan kepadanya, ‘Ini adalah hari pengampunan semua dosa.’
    Dia pun segera mengangkat kedua tangannya, dan pada saat dia sedang mengangkat kedua tangannya, dia pun meninggal dunia.85
    Orang ini sangat meresapi kemuliaan hari Arafah ini. Pada hari Arafah ini Allah Rabbul ‘Izzah sangat dekat di langit dunia kepada orang-orang yang sedang melaksanakan haji. Dia memaafkan dan mengampuni semua dosa sampai orang yang melaksanakan haji itu benar-benar bersih dari dosa-dosa mereka sehingga mereka akan kembali sama seperti saat mereka dilahirkan ibu mereka tanpa dosa sama sekali. Haji adalah wukuf di Arafah. Haji yang mabrur dan maqbul tidak ada balasannya, kecuali surga seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw..

TOBAT SEORANG AHLI IBADAH DARI BANI ISRAIL


    Ibnu Qudamah dalam kitab at-Tawwabin menyebutkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Dahulu di Bani Israil ada seorang yang tekun beribadah di sinagog dan orang itu tinggal di situ dalam kurun waktu yang cukup panjang.
    Pada suatu hari, dia melihat dari atas sinagognya itu ada seorang wanita, hingga dia tergoda dengan wanita itu dan jatuh cinta kepadanya. Dia ingin turun dan keluar untuk mendatanginya, kemudian dia keluarkan kakinya untuk segera turun menemui wanita itu. Namun, Allah dengan rahmat-Nya membuatnya sadar dan dia menyesal.”
    Dia berkata pada dirinya sendiri,  “Apa yang ingin aku kerjakan ini?” Dan ketika dia ingin mengembalikan kakinya masuk ke sinagognya dia berkata,  “Tidak, sekali-kali tidak, kaki yang sudah keluar dan hendak melakukan maksiat kepada Allah mau ingin kembali bersamaku masuk ke sinagogku? Demi Allah itu tidak boleh selama. Maka dia meninggalkan kakinya tergantung di sinagog itu terkena angin, hujan dan matahari sampai akhirnya terpotong-potong dan jatuh.”73
    Penulis berpendapat  bahwa tobat yang dilakukan di bani Israil itu adalah sesuatu yang diperbolehkan adapun dalam syariat kita hal itu telah dihapus semua seperti yang pernah kita sebutkan sebelumnya, dan tobat itu amatlah sangat mudah selama memenuhi syaratnya. Barangsiapa yang bertobat, Allah akan mengampuninya, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertobat.

Apakah Engkau Ridha kepada Allah?

`Ibnul Qayyim al-Juziyyah menyebutkan bahwa seseorang berkata kepada Abdul Wahid bin Zaid, “Sesungguhnya di sini terdapat seorang lelaki yang menyembah Allah selama lima puluh tahun”. Lalu Abdul Wahid mendatanginya dan berkata kepadanya, “Beritahulah saya tentang dirimu, apakah engkau merasa puas dengan anugerah Allah?”
Maksudnya apakah engkau merasa qana’ah kepada Allah setelah seluruh ibadahmu itu.
Dia menjawab, “Tidak”.
Abdul Wahid bertanya lagi, “Apakah engkau ridha kepada Allah?”
Dia menjawab, “Tidak”.
Abdul Wahid bertanya lagi, “Jadi oleh karena itu engkau puasa dan shalat?”
Dia menjawab, “Ya”.
Abdul Wahid berkata, “Seandainya saya tidak malu kepadamu, pasti saya memberitahumu bahwa ibadahmu selama lima puluh tahun itu tidaklah ikhlas untuk Allah”.