Wanita Lemah yang Rindu pada Rumah Tuhannya

Dzun Nun al-Mishri rahimahullah berkata, “Ummu Da`ab adalah salah seorang wanita salehah dan ahli ibadah ternama, bahkan sampai dia berusia sembilan puluh tahun. Setiap tahun dia melaksanakan ibadah haji dari Madinah ke Mekah dengan berjalan kaki. Suatu ketika matanya buta. Tatkala datang musim haji, banyak wanita yang menjenguknya dan merasa iba melihat kondisinya yang tidak lagi bisa melihat. Dia menangis dan mengangkat kepalanya ke langit dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, demi kemuliaan-Mu, meskipun aku kehilangan cahaya mataku di hadapan-Mu, tetapi jangan sampai aku kehilangan cahaya kerinduanku kepada-Mu.’
Kemudian dia melakukan ihram dan mengumandangkan, ‘Labbaik allahumma labbaik....’
Lalu  dia berjalan bersama teman-temannya, ternyata dia lebih dahulu dari mereka. Dzun Nun berkata, ‘Aku merasa heran melihat kondisinya. Tiba-tiba aku mendengar sebuah seruan, ‘Wahai Dzun Nun, apakah kamu merasa heran melihat seorang wanita lemah yang rindu pada rumah Tuhannya kemudian Tuhannya membawanya dengan kemahalembutan-Nya dan menguatkannya?’”

Keridhaan Ibrahim bin Adham terhadap Qadha Allah

Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata, “Pada suatu hari saya merasakan sebuah ketenangan, sehingga hatiku merasa bahagia terhadap anugerah Allah terhadap saya. Maka saya pun berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah memberikan sesuatu kepada salah seorang pencinta-Mu yang membuat hatinya tenang sebelum berjumpa dengan-Mu. Maka berikanlah hal itu juga kepada saya, karena perasaan gelisah telah menggangguku”.
    Ibrahim bin Adham berkata, “Lalu saya bermimpi melihat Allah ta’ala. Lalu Dia memberdirikan saya di hadapan-Nya dan bertanya kepada saya, “Wahai Ibrahim, apakah engkau tidak malu kepada-Ku? Kau meminta-Ku sesuatu yang membuat hatimu tenang sebelum bertemu dengan-Ku. Apakah hati orang yang rindu bisa terobati dengan selain yang dirindukannya? Apakah orang yang mencintai menjadi tenang dengan selain yang dirindukannya?”
Maka saya katakan kepada-Nya, “Wahai Tuhanku, saya tersesat dalam cinta-Mu, maka saya tidak tahu apa yang saya katakan”.

Kenapa Kamu Tidak Tertawa?

Abu Ubaid al-‘Asqalani menceritakan, “Aku tidak pernah melihat Abu Ubaidah as-Sahili (yang dia maksudkan Abu Ubaidah al-Khawwas) tertawa selama empat puluh tahun.
Ada yang bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak pernah tertawa?”
Dia menjawab, “Bagaimana aku tertawa sementara masih ada orang muslim yang tertawan di tangan kaum musyrikin?”
Dia pernah mengirim surat kepada teman-temannya untuk menasihati mereka, isinya, “Sesungguhnya kalian berada di masa yang sudah lemah wara’nya dan jarang ditemui kekhusyuan, ilmu banyak berada pada orang-orang yang suka berbuat kerusakan dan mereka ingin dikenal sebagai orang yang berilmu serta tidak ingin diketahui sebagai orang yang menyia-nyiakan amal. Mereka berkata dengan hawa nafsu untuk menghiasi bahaya yang mereka timbulkan. Dosa mereka adalah dosa yang sulit terampuni dan kelalaian mereka sulit dimaafkan. Mereka mencintai dunia, tetapi mereka tidak senang dengan posisi yang diperoleh ahli dunia. Mereka mengikuti ahli dunia dalam berbagai gaya hidup dan mereka berbasa-basi dengan perkataan yang manis.”

Orang Zuhud, Sabar, dan Berharap

Ibnu Samak—salah seorang ahli ibadah dan zuhud—datang menemui Muhammad bin Sulaiman, gubernur Bashrah. Sang gubernur berkata, “Berilah aku nasihat!”
Ibnu Samak berkata, “Nasihat yang bagaimana? Semoga Allah memperbaiki dirimu. Sesungguhnya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu orang yang zuhud, sabar, dan berharap. Adapun orang zuhud, segala bentuk kegembiraan dan kesedihan telah keluar dari hatinya. Dia tak akan putus asa dengan masa lalu dan tidak akan gembira dengan pemberian manusia. Jiwanya sudah kaya. Sementara orang yang sabar, hatinya menginginkan hal itu (kesenangan dunia). Tetapi ketika disebutkan aib dan keburukan dunia, dia akan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Andaikan kau tahu apa isi hatinya, niscaya kau akan melihat sesuatu yang sangat agung sekali. Adapun orang yang berharap, dia tidak peduli dari mana datangnya dunia itu, apakah akan merusak agamanya atau harga dirinya. Sekarang dari kelompok manakah engkau?”
Sang gubernur berkata, “Dari kelompok orang-orang yang berharap!”
Ibnu Samak berkata, “Celakalah dirimu dan para pembantumu.” Kemudian  dia pergi meninggalkan sang gubernur.

TOBAT SEORANG KAKEK TUA DI TANGAN RASULULLAH SAW.

Tobat itu tidak mengenal umur dan tidak pula waktu tertentu. Allah swt. selalu menerima tobat para hamba-Nya dan memaafkan segala kesalahan mereka, kapan pun Anda mengatakan, “Wahai Tuhanku.” Allah pasti menjawab, “Aku datang memenuhi panggilanmu, wahai hamba-Ku.”
    Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Makhul berkata, “Datang seorang kakek tua yang sudah uzur. Kedua alis matanya telah turun ke kedua matanya. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, seorang pengkhianat dan jahat, tidak pernah membiarkan hajat dan tidak pula keinginan kecuali dia menyambarnya dengan kanannya. Jika kesalahannya dibagi-bagikan kepada penduduk bumi ini, maka itu bisa menghancurkan mereka. Masih adakah jalan baginya untuk bertobat?’
    Rasulullah saw. berkata, ‘Apakah kamu telah masuk Islam?’
    Dia menjawab, ‘Adapun aku, sesungguhnya aku telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.’
    Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah Maha Pengampun pengkhianatanmu, kejahatanmu, dan akan mengganti kejelekanmu dengan kebaikan jika mau melakukan itu.’
    Orang itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, semua pengkhianatan dan kejahatanku?’
    Beliau kemudian berkata, ‘Semua pengkhianatan dan kejahatanmu.’
    Orang itu pun berpaling sambil dia bertakbir dan bertahlil dengan mengatakan Allahu Akbar dan Lailaha Illallah.”30