Kelapangan Setelah Kesempitan Di Masa Kekhilafahan Umar

Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Dalail an-Nubuwwah dari Imam Malik, ia berkata: "Pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab r.a, kaum muslimin menderita kekeringan dan paceklik. Ada seorang lelaki yang datang ke kuburan Nabi saw. dan berkata: "Wahai Rasulullah, mohonkanlah pada Allah untuk menurunkan hujan pada umatmu karena mereka hampir binasa akibat kekeringan ini." Rasulullah saw. datang pada laki-laki tersebut dalam mimpinya dan bersabda: "Temuilah Umar dan sampaikan salamku padanya. Katakan padanya bahwa rakyatmu akan dikaruniakan hujan, lalu katakan juga padanya: "Engkau mesti cerdas dan sabar (menyikapi semua ini)."
Laki-laki tersebut datang menemui Umar dan menceritakan hal itu padanya. Mendengar hal itu Umar menangis dan berkata: "Wahai Tuhanku, aku tidak akan berpaling karena hal itu justru akan membuatku lemah." 

Ibnu Abi Dunya dan Ibnu 'Asakir meriwayatkan dari Khawwat bin Jubair r.a, ia berkata: "Rakyat ditimpa paceklik yang sangat berat di masa Umar bin Khattab r.a. Kemudian Umar melakukan shalat istisqa` dua rakaat bersama kaum muslimin. Ia silangkan kedua sisi sorbannya, ia jadikan yang kanan di sebelah kiri dan yang kiri di sebelah kanan, kemudian ia bentangkan kedua tangannya, lalu ia berdoa: "Ya Allah, kami mohon ampun pada-Mu. Ya Allah, kami mohon hujan pada-Mu."

Belum sempat Umar beranjak dari tempatya turunlah hujan yang lebat. Di saat yang bersamaan datanglah orang-orang Arab badui. Mereka segera menemui Umar. Mereka berkata: "Wahai Amirul Mukminin, di saat kami berada di kampung pada hari itu dan waktu itu, tiba-tiba datanglah awan tebal. Kemudian kami mendengar sebuah suara: "Bantuan telah datang padamu wahai Abu Hafsh (gelar Umar), bantuan telah datang padamu wahai Abu Hafsh." 

Zuhud Seorang Wanita Berkat Jasa Abu Syu

Junaid bin Muhammad berkata, “Abu Syu’aib al-Buratsi adalah orang pertama yang tinggal di daerah Buratsi dalam sebuah gua tempat dia beribadah. Suatu hari, seorang wanita putri para pembesar yang besar di istana para raja lewat di gua itu. Ketika melihat Abu Syuaib, dia merasa senang melihat penampilan dan pribadinya. Wanita itu tertawan dengan Abu Syu’aib, sehingga dia bertekad untuk meninggalkan dunia dan dekat dengannya.
Dia datang dan berkata kepada Abu Syu’aib, “Aku ingin menjadi pelayanmu.”
Abu Syu’aib menjawab, “Kalau itu yang kamu inginkan, maka ubahlah penampilanmu dan tinggalkan semua kemewahanmu sehingga kamu layak untuk tugas yang kamu inginkan.”
Wanita itu pun meninggalkan semua yang dia miliki dan dia memakai pakaian para ahli ibadah lalu dia datang kepada Abu Syu’aib. Abu Syu’aib kemudian menikahinya. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia melihat sebuah sajadah yang bersih di tempat Abu Syu’aib. Dia berkata, “Aku tidak akan tinggal di sini sampai kamu membuang apa yang di bawahmu itu, karena aku pernah mendengarmu berkata, ‘Sesungguhnya bumi berkata, ‘Wahai anak Adam, kamu jadikan hari ini ada pembatas antaraku denganmu sementara esok kamu akan berada dalam perutku?’ Aku tidak akan membuat pembatas apa-apa antara aku dan dia.’”
Abu Syu’aib mengambil sajadah itu dan membuangnya. Wanita itu tinggal bersama Abu Syuaib selama bertahun-tahun dan beribadah dengan ibadah terbaik. Keduanya wafat dalam kondisi itu saling membantu dalam ketaatan kepada Allah.

Ada Kesepakatan Antaranya dan Allah untuk Mengetahui Makanan Haram

Al-Junaid menceritakan, “Al-Harits al-Muhasibi adalah seorang yang bermuka pucat. Suatu hari dia lewat di depanku saat aku duduk di depan pintu rumah. Aku lihat wajahnya semakin pucat karena lapar. Aku berkata kepadanya, ‘Wahai paman, maukah Kamu masuk ke rumah kami untuk makan sedikit makanan?’
Aku segera pergi ke rumah pamanku yang lebih luas dari rumah kami. Di sana selalu ada makanan-makanan mewah yang tidak ada di rumah kami. Aku datang membawa beberapa jenis makanan. Aku letakkan di depannya. Lalu dia bentangkan tangannya dan dia masukkan makanan itu ke dalam mulutnya. Aku lihat dia mengunyah makanan itu, tetapi tidak jadi dia menelannya. Dia lalu melompat dan berlalu tanpa menoleh kepadaku.
Keesokan harinya aku berjumpa dengannya. Aku bertanya, ‘Wahai paman, ada hal yang kamu rahasiakan dan tutupi dariku kemarin.’
Dia berkata, ‘Wahai anakku, kelaparan memang sudah sangat menyiksaku. Dan aku berusaha untuk menyantap makanan yang kamu hidangkan kepadaku. Akan tetapi, antara aku dan Allah ada kesepakatan (bahwa Allah akan memberinya tanda jika sebuah makanan tidak halal, pent.) seandainya makanan itu tidak diridhai-Nya, yaitu datanglah bau busuk ke hidungku sehingga diriku tidak menerimanya. Makanya aku buang makanan itu di selokan lalu aku pergi.”