Abu Ya

Fitnah khuluqul Qur`an telah menimpa banyak para ulama di masa Khalifah Makmun kemudian masa khalifah al-Mu’tashim, bahkan sampai pada khalifah al-Watsiq Billah (seluruhnya adalah khalifah bani Abbasiyah). Penyebab dari semua fitnah itu adalah kelompok Mu’tazilah dan seorang menteri dari kelompok mereka bernama Ahmad bin Abi Dawud yang berhasil meyakinkan khalifah sebuah pemikiran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah. Khalifah Makmun dan juga khalifah-khalifah setelahnya berusaha memaksakan pemikiran ini kepada seluruh ulama, baik dengan cara bujukan ataupun ancaman. Akhirnya sebagian ulama menentang pemikiran ini, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Nashr, dan juga Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, seorang sahabat Imam Syafii.
Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Aku pernah melihat Buwaithi di atas keledai, di lehernya ada belenggu dan kedua kakinya dirantai. Di antara belenggu dan rantai kaki itu ada rantai besi panjang dengan sebuah besi bulat besar seberat empat puluh kilo. Dia berkata, ‘Demi Allah, aku rela mati di rantai ini, sehingga nanti akan datang setelahku generasi yang mengetahui bahwa telah mati sekian orang dalam masalah ini—maksudnya fitnah khuluqul Qur`an—dan seandainya aku dibawa menghadap Khalifah al-Watsiq tentu aku akan menasihatinya.”
Buwaithi dihukum di Mesir pada masa fitnah khuluqul Qur`an ketika dia menolak mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana halnya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Akhirnya, dia dirantai dalam bentuk seperti yang dijelaskan di atas. Dia dibawa ke Baghdad dan dijebloskan ke penjara hingga akhirnya dia wafat tahun 232 H. Semoga Allah merahmatinya.
Fitnah itu berakhir pada masa Khalifah al-Watsiq Billah setelah syahidnya beberapa orang ulama dalam ujian berat itu.

Yang Menyelamatkan adalah Muhammad saw.

Khalid bin Sa’id bin ‘Ash mendengar apa yang didakwahkan dan diseru oleh Rasulullah saw. dan dia mulai memikirkan semua yang didengarnya. Suatu malam dia bermimpi bahwa dia sedang berada di tepi jurang neraka yang tidak memiliki batas. Dia melihat ayahnya mendorongnya masuk ke dalamnya, tetapi tidak berapa lama setelah itu ada seorang lelaki yang memegangnya dan menyelamatkannya dari neraka itu.
Khalid bin Sa’id adalah sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.. Lalu  dia menceritakan mimpinya kepada Abu Bakar r.a..  Abu Bakar adalah seorang yang ahli menafsirkan mimpi. Dengan wajah berseri-seri, Abu Bakar berkata kepada Khalid, “Itu adalah kebaikan yang dikaruniakan kepadamu. Laki-laki yang menyelamatkanmu itu adalah Rasulullah saw.. Maka, ikutilah  dia. Kamu akan mengikutinya dan masuk ke dalam Islam dan dia akan menyelamatkanmu dari jatuh atau masuk ke dalam api neraka sementara ayahmu akan masuk ke dalamnya.”
Kemudian Khalid menemui Rasulullah saw. dan bertanya kepadanya, “Wahai Muhammad, kepada siapa engkau menyeru?”
Rasulullah saw. menjawab, “Kepada Allah Yang Esa, tak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang akan menanggalkan kebiasaanmu menyembah batu yang tidak bisa mendengar dan melihat, tidak bisa memberi bahaya atau manfaat, serta tidak pula tahu siapa yang menyembahnya dan siapa yang tidak menyembahnya.”
Mendengar hal itu Khalid segera mengatakan, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah.” Maka, Nabi Muhammadlah yang menyelamatkannya dari api neraka dan mimpinya pun jadi kenyataan. 

Sesungguhnya yang Membinasakan Fir

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Ketika Khalifah al-Mahdi menunaikan ibadah haji dia berkata, ‘Aku mesti bertemu dengan Sufyan.’ Kemudian ditempatkanlah para tentara di sekeliling Masjidil Haram. Pada malam harinya mereka menangkapku.
Ketika aku sudah berada di hadapan Khalifah, dia berkata kepadaku, ‘Kenapa kau tidak mau datang kepada kami? Boleh jadi kami akan bertanya kepadamu tentang sesuatu, kemudian apa yang kau perintahkan akan kami lakukan dan apa yang kau larang akan kami tinggalkan.’
Aku berkata kepadanya, ‘Berapa dana yang kau keluarkan dalam perjalanan kali ini?’
‘Aku tidak tahu. Aku mempunyai para pembantu dan orang-orang kepercayaan,’ jawab Khalifah.
‘Lalu, apa alasanmu esok apabila kau dihadapkan kepada Allah lalu Dia bertanya kepadamu tentang itu? Padahal, Umar ibnul Khaththab ketika melakukan ibadah haji bertanya kepada pembantunya, ‘Berapa dana yang kau keluarkan untuk perjalanan kita ini?’’
Pembantunya menjawab, ‘Delapan belas dinar, wahai Amirul Mukminin.’
Umar berkata, ‘Betapa banyak harta kaum Muslimin telah kau habiskan? Kau mengetahui apa yang disampaikan oleh Ibnu Mansur dari Aswad dari Alqamah dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Boleh jadi seorang yang menggunakan harta Allah dan harta Rasul-Nya untuk sesuatu yang dimaui oleh nafsunya, kelak disediakan untuknya neraka.’’’
Abu ‘Ubaid al-Katib berkata, ‘Dengan cara beginikah Amirul Mu`minin disambut?’
Sufyan berkata kepada Abu Ubaid, ‘Diam kau, sesungguhnya yang membinasakan Fir’aun adalah Haman.’”
Benar, sesungguhnya yang membinasakan para pemimpin dan pemerintah adalah para pembantu yang buruk. Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang pemimpin, maka Allah akan memberikan dia taufik mendapatkan pembantu dan orang dekat yang baik. Akan tetapi, jika Allah menginginkan keburukan untuknya, maka Allah akan memberikan kepadanya pembantu dan orang-orang dekat yang tidak baik.
Beginilah seharusnya hubungan para ulama dengan para pemimpinnya, karena baiknya para ulama sangat menentukan baiknya para pemimpin. Karena ulama—sebagaimana dikatakan dalam sebuah ungkapan—ibarat garam pada makanan, kalau garam sudah rusak bagaimana mungkin makanan akan enak?

Ucapan Qatadah Tentang Keridhaan Terhadap Qadha Allah

Qatadah berkata, "Allah Swt berfirman,

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah". (an-Nahl: 58).
Ini adalah tabiat orang musyrik Arab. Allah telah menjelaskan pada kita kejelekan prilaku mereka. Adapun orang yang beriman, dia akan selalu ridha dengan bagian yang telah Allah tentukan untuknya. Dan ketentuan Allah itu lebih baik dari pada ketentuan seseorang untuk dirinya sendiri. Wahai anak adam, apa yang telah Allah tentukan untukmu, meskipun engkau merasa tidak suka, itu lebih baik dari pada yang engkau tentukan sendiri untuk dirimu sesuai dengan kesukaanmu. Maka bertakwalah kepada Allah dan ridhalah terhadap segala ketentuan-Nya".
As-Samarqandi berkata, "Ungkapan ini sesuai dengan firman Allah Swt,

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (al-Baqarah: 216).
Maksudnya Allah mengetahui apa yang menjadi kebaikanmu dan kemaslahatanmu di dunia ini. Adapun yang dimaksud, “sedang kamu tidak mengetahuinya” adalah, bahwa pada hakikatnya engkau tidak mengetahui, apakah yang engkau tentukan sendiri untuk dirimu itu membuahkan kemaslahatan atau malah sebaliknya.”

45. Orang Kaya Adalah Orang yang Selalu Ridha Dengan Ketetapan Allah
Syaqiq bin Ibrahim bekata, "Saya bertanya kepada tujuh ratus ulama tentang lima hal dan mereka semua menjawabnya dengan jawaban yang sama.
Saya bertanya kepada mereka, "Siapakah orang yang berakal itu?" Mereka menjawab, "Orang yang berakal adalah orang yang tidak menyukai dunia". Lalu saya bertanya lagi, "Siapakah orang yang cerdas itu?" Mereka menjawab, "Dia adalah orang yang tidak tertipu oleh dunia". Saya bertanya kembali kepada mereka, "Siapakah orang yang kaya itu?" Mereka menjawab, "Orang yang kaya adalah orang yang ridha dengan apapun yang diberikan Allah kepadanya". Kemudian saya bertanya lagi, "Siapakah orang yang memahami agamanya itu?" Mereka menjawab, "Orang yang paham terhadap agamanya adalah orang yang tidak meminta lebih dari apa yang diberikan kepadanya". Yang terakhir kali, saya bertanya pada mereka, "Siapakah orang yang bakhil itu?" Mereka menjawab, "Orang yang bakhil adalah orang yang tidak menunaikan hak Allah yang berkenaan dengan hartanya".
Dan ada yang mengatakan bahwa murka Allah kepada hamba-Nya disebabkan oleh tiga hal. Yang pertama, ketika seorang hamba tidak menjalankan perintah Allah dengan baik. Yang kedua, ketika dia tidak ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya. Dan yang ketiga, ketika dia minta sesuatu,  namun dia tidak mendapatkan apa yang dimintanya, kemudian dia marah terhadap Tuhannya.

Kefasihan Seorang Wanita Salehah


Al-Atabi menceritakan bahwa suatu ketika dia berjalan di suatu daerah di Bashrah. Tiba-tiba, dia melihat seorang wanita yang sangat cantik tengah bercanda dengan seorang tua yang kasar dan jelek. Setiap kali berbicara dengan orang tua itu dia selalu tersenyum. Aku lalu mendekatinya. Aku bertanya kepadanya, “Siapakah orang tua ini?”
“Dia suamiku,” jawabnya.
“Bagaimana kau bisa sabar dengan kekasaran dan kejelekannya sementara kau sangat cantik dan lembut? Ini sungguh sesuatu yang mengherankan!”
Wanita itu berkata, “Wahai tuan, boleh jadi dia dikaruniakan rezeki mendapatkan orang sepertiku lalu dia bersyukur, sementara aku dikaruniakan orang sepertinya lalu aku bersabar, dan orang yang bersyukur dan bersabar adalah ahli surga, kenapa aku tidak ridha dengan apa yang telah Allah bagikan untukku?”
Aku tak mampu menjawab perkataannya dan aku terus berlalu. 

Keridhaan Shafiyyah Bintu Abdil Muththalib terhadap Qadha Allah

Ibnu Ishaq berkata, “Saya dengar bahwa setelah perang Uhud selesai, Shafiyyah bintu Abdil Muththalib datang untuk melihat saudara kandungnya, Hamzah. Melihat hal itu, Rasulullah saw. berkata kepada Zubair ibnul ‘Awwam, anaknya, “Temuilah ibumu lalu bawalah dia kembali agar tidak melihat apa yang terjadi pada saudaranya”.
Maka Zubair menemui ibunya dan berkata, “Wahai ibu, sesungguhnya Rasulullah saw. memerintahkan kepadamu untuk kembali”.
Shafiyyah menjawab, “Mengapa? Saya sudah mendengar bahwa saudaraku dicincang, dan itu fi sabilillah. Maka tidak ada yang membuat kami ridha dari hal itu. Sungguh insya Allah saya akan ikhlas dan bersabar”.
Kemudian Zubair mendatangi Rasulullah saw. dan memberitahu beliau tentang hal itu. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Biarkan dia”.
Lalu Shafiyyah mendatangi mayat Hamzah, melihatnya kemudian menshalatinya. Dan dia mengucapkan innalillahi wainnaa ilaihi raaji’uun dan memohon ampun untuknya. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan agar mayatnya dikubur bersama Abdullah bin Jahsy. Hamzah sendiri adalah paman Abdullah bin Jahsy. Kemudian para syuhada Uhud yang berjumlah tujuh puluh orang dikubur di tempat terjadinya peperangan. Radhiyallahu ‘anhum ajma’iin.

Ya Allah, Sembuhkanlah Sa

Dari Aisyah r.a., dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.,  dia berkata, “Sewaktu di Mekah aku jatuh sakit. Rasulullah saw. datang menjengukku. Lalu beliau mengusap wajah, dada, dan perutku kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad.’”
Sejak saat itu sampai saat ini aku masih merasakan kesejukan tangan Rasulullah saw. di dadaku.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Sa’ad berkata, “Aku ditimpa penyakit yang cukup berat di Mekah. Kemudian Rasulullah saw. menjengukku. Aku berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku meninggalkan harta yang cukup banyak sementara aku hanya mempunyai seorang putri. Apakah aku boleh berwasiat dengan dua pertiga hartaku dan sepertiganya lagi aku tinggalkan (untuk warisan)?”
Nabi saw. bersabda, “Tidak.”
“Atau aku berwasiat dengan sepertiga dan aku tinggalkan yang dua pertiganya?” kataku lagi.
“Ya sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.”
Kemudian Rasulullah saw. meletakkan tangannya di dahiku lalu beliau mengusap wajah dan perutku, kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad dan sempurnakanlah hijrahnya.” Sampai saat ini aku masih merasakan kesejukan tangan Rasulullah saw. di dadaku. 

Dia Tidak Tidur, Tetapi Anda Tidur

Ibnu al-Kharrath dalam buku Shalat dan Tahajjud menceritakan bahwa Abu Abdillah al-Banaji pernah membeli seorang budak perempuan berkulit hitam untuk menjadi pembantunya. Ketika budak itu sudah sampai di rumahnya, dia berkata kepada Abu Abdillah, “Wahai tuan, apakah tuan hafal beberapa ayat Al-Qur’an?”
“Ya,” jawab Abu Abdillah.
“Kalau begitu, bacakanlah untukku beberapa ayat,” budak itu minta.
Dia mulai membaca, “Bismillaahirrahmaanirrahiim.”
Budak itu berkata, “Wahai tuan, ini baru kenikmatan berita, apalagi kalau kenikmatan memandang.”
Ketika malam datang, Abu Abdillah membentangkan kasur untuk tidur. Tiba-tiba budak itu berkata, “Wahai tuan, tidakkah kamu malu kepada tuanmu (maksudnya Tuhanmu), sesungguhnya Dia tidak tidur, tetapi engkau tidur?”
Kemudian budak itu melantunkan sebuah syair,

Aneh seorang pecinta bagaimana dia bisa tidur
di tengah malam sementara hatinya penuh rindu
Sesungguhnya hatiku dan hati orang sepertiku
Selalu terbang menuju haribaan Raja Manusia
Maka buatlah tuanmu ridha kalau kamu ingin...
Selamat, dan jauhilah mengikuti yang haram

Kemudian  dia langsung melakukan shalat qiyamullail.

Budak wanita itu telah mengajarkan sebuah pelajaran berharga kepada tuannya tentang cinta kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Dengan cara itu, sesungguhnya dia telah menjadi dai terbaik yang menyeru kepada jalan Allah dengan cara amal.

Dia Lemparkan Surat Pengangkatan sebagai Qadhi ke dalam Sungai

Qa’qa’ bin Hakim berkata, “Suatu hari aku berada di majelis al-Mahdi (seorang khalifah Bani Abbasiyah). Lalu datanglah Sufyan ats-Tsauri, seorang ulama besar di masanya. Ketika  dia masuk, dia tidak memberi salam dengan menyebut nama Khalifah. Rabi’—seorang menteri al-Mahdi—berdiri di depannya sambil memegang pedangnya, dan terus mengamati gerak-geriknya. Khalifah berkata dengan wajah cerah, ‘Wahai Sufyan, kau selalu menghindar, apakah kau kira kalau kami ingin berbuat jahat kepadamu, kami tidak bisa melakukannya? Sekarang kami sudah mendapatkanmu, tidakkah kamu takut kalau kami menghukummu sesuai selera kami?”

Sufyan berkata, “Kalau kamu hukum aku maka kamu akan dihukum oleh Raja Yang Mahakuasa yang memisahkan antara hak dan batil.”
Rabi’ berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah terhadap orang bodoh seperti ini, kau bersedia menemuinya dengan cara yang lembut? Apakah kauizinkan aku untuk menebas lehernya?”
Al-Mahdi berkata, “Diam kau! Apa yang diinginkannya dan juga orang-orang sepertinya tidak lain adalah agar kita membunuh mereka sehingga kita akan celaka, dan mereka akan bahagia. Tulis surat pengangkatannya sebagai qadhi (hakim) untuk wilayah Kufah dengan syarat  dia tidak boleh membantah dalam urusan pemerintahan.”
Surat pengangkatan itu diserahkan kepada Sufyan. Setelah surat itu diambilnya, dia keluar dan membuang surat itu ke dalam Sungai Dijlah. Setelah itu, dia menghilang. Setelah dicari-cari, tidak juga didapatkan. Sebagai gantinya, diangkatlah Syarik an-Nakh’i.