98. Kalau Ada Rezekimu, maka Makanlah!

Qasim menceritakan, “Ummu Harun—seorang ahli ibadah—selalu mengunjungi Baitul Maqdis dari Damaskus setiap bulan. Dari sekian kali kunjungannya, satu kali dia pergi dengan berjalan kaki. Suatu kali aku mengunjunginya. Dia berkata, ‘Wahai Qasim, suatu kali aku berjalan di kota Bisan. Tiba-tiba aku dicegat oleh seekor singa. Dia melangkah menuju ke arahku. Ketika sudah dekat aku berkata padanya, ‘Wahai singa, kalau ada rezekimu, maka makanlah....’ Ketika mendengar perkataanku dia diam di tempatnya kemudian mundur dan pergi.’”
Pernah ada yang bertanya kepada Ummu Harun, “Apakah kamu cinta pada kematian?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Seandainya aku punya kesalahan kepada manusia tentu aku tidak ingin berjumpa dengannya. Bagaimana mungkin aku suka berjumpa dengan-Nya sementara aku masih banyak bermaksiat kepada-Nya?”

TOBAT TIGA SAUDARA DAN SEORANG KEPONAKAN

Ibnu Qudamah al-Maqdisi menyebutkan dalam kitabnya at-Tawwabin,  bahwa ada tiga orang saudara, seorang dari mereka menjadi amir yang penguasa, dia mengendalikan negeri dan kota serta tentara, seorang lagi menjadi seorang pedagang yang mujur dan lupa daratan dengan harta dagangannya itu, dan seorang ahli zuhud yang telah menyendiri untuk menekuni ibadah.
    Menjelang kematian saudara yang ahli ibadah ini, keduanya berkumpul bersamanya, dan saudara yang menjadi amir berkuasa di negeri itu dengan kezaliman dan tangan besi, kedua saudara itu berkata kepada saudaranya yang ahli ibadah, “Berwasiatlah.”
    Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak memiliki harta yang bisa aku wasiatkan, dan aku tidak pernah berutang kepada seseorang yang bisa aku wasiatkan pada kalian. Aku tidak meninggalkan apa pun dari dunia yang aku sedihkan.”
    Maka, saudaranya yang menjadi amir dan penguasa berkata kepadanya,  “Wahai saudaraku, katakan kepadaku apa yang kamu ingin, dan ini hartaku di depanmu, berwasiatlah dari hartaku itu dengan apa yang kamu mau, dan aku akan melaksanakan apa yang kamu mau dan aku berjanji pada diriku jika kamu mau.”
    Dan saudaranya yang pedagang pun berkata seperti kata-katanya itu. Saudara yang ahli ibadah itu menjawab, “Aku tidak menginginkan apa-apa dari harta kalian berdua, akan tetapi aku berwasiat kepada kalian dan jangan kalian berdua mengingkari wasiatku.”
    Keduanya berkata, “Kami berjanji.”
    Dia berkata, “Jika aku mati, mandikanlah aku dan kafankan aku kemudian kuburkan aku di tanah yang agak tinggi dan tulislah di atas kuburku kata-kata ini,
  
    Bagaimana hidup akan terasa nikmat kalau dia tahu  bahwa Tuhan Yang
menciptakannya pasti akan bertanya padanya dan meminta
pertanggungjawabannya.
    Dia akan memberi balasan dari kezaliman hamba-Nya
    Dan akan memberi ganjaran dari kebaikan yang telah dilakukannya
    Apabila kalian berdua telah melakukan itu semua, datangilah aku setiap
hari, mudah-mudahan kalian bisa ternasihati.

    Ketika dia mati, kedua saudaranya itu memenuhi apa yang telah diminta oleh saudaranya yang ahli ibadah itu. Dan saudaranya yang menjadi penguasa mendatangi makamnya dengan dikawal oleh pasukan tentara dan dia menangis. Dia mendengar suara keras dari dalam makam itu, sehingga hampir saja memecahkan hatinya, dan dia pun pulang kembali ke rumahnya dengan perasaan bingung.
    Ketika datang waktu malam, dia bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan saudaranya yang sudah meninggal itu dan bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, apa yang aku tadi dengar dari makammu?”
    Dia menjawab, “Itu adalah sebuah guncangan bumi yang tertutup yang berkata kepadaku, ‘Kamu melihat seorang zalim dan tidak mau menolongnya.’
Ketika pagi hari saudara yang punya kekuasaan itu dalam keadaan gelisah dan diapun memanggil saudaranya yang pedagang dan beberapa orang dekatnya seraya berkata kepada mereka, ‘Apa yang diperlihatkan yaitu saudaraku menginginkan apa yang diwasiatkan pada kami agar kami menulis di atas makamnya selain aku. Sesungguhnya aku bersaksi pada kalian bahwa aku tidak akan lagi tinggal bersama kalian selamanya.’”
    Kemudian dia meninggalkan kekuasaannya dan menekuni ibadah. Dia pergi menelusuri gunung dan gurun pasir sampai akhirnya dia mendekati ajalnya di gunung itu, saat itu dia sedang berada oleh sabagian rakyatnya. Berita akan dekatnya ajalnya itu sampai pada saudara yang menjadi seorang saudagar, dia pun mendatanginya seraya berkata, “Wahai saudaraku, tidakkah kamu berwasiat?”
    Dia menjawab, “Dengan apa aku berwasiat, aku tidak punya harta yang bisa aku wasiatkan, tapi aku punya pesan wasiat kepadamu. Jika aku telah mati, dan kamu menyiapkan makam untukku, kuburkanlah aku di samping saudaraku, dan tulislah di atas kuburku, 
    Bagaimana hidup terasa nikmat bagi orang yang yakin.
    Bahwa kematian akan datang dengan tiba-tiba.
    Dan akan merenggut kerajaan dan kesombongan besar.
    Dan akan menempatkannya di dalam kubur
 yang menjadi tempat tinggalnya.

    Ketika dia mati, saudaranya itu mengerjakan apa yang diwasiatkannya. Lantas dia menziarahi makamnya pada hari ketiga. Dia berdoa dan menangis. Ketika dia hendak pulang, dia mendengar suara yang hampir saja menghilangkan ingatannya, dia pun pulang ke rumahnya dengan rasa sedih.
    Ketika datang waktu malam, dia bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan saudaranya yang baru saja mati seraya berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, engkau telah datang menziarahi kami?”
    Dia bertanya, “Wahai saudaraku, bagaimana kamu?”
    Dia menjawab, “Jauh sekali, saudaraku setelah tempat persinggahan ini dan kami sekarang sudah berada di tempat yang menetap.”
    Dia menanyakan tentang saudaranya yang ‘abid, dia menjawab, “Dia bersama para ulama saleh al-abrar.”
    Si saudagar itu bertanya pada saudaranya, “Bagaimana tentang perkara dunia kami di akhirat sana?”
    Dia menjawab, “Barangsiapa melakukan sesuatu dari urusan dunia dan akhirat, maka dia akan mendapatkannya. Karena itu, gunakanlah kekayaanmu sebelum jatuh miskin.”
    Ketika si saudagar itu bangun di pagi hari, dia meninggalkan hartanya dan menjauhkan keduniaannya. Dia hanya berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah swt..
    Ketika dia akan wafat, dia berkata kepada anaknya yang masih remaja namun sudah bekerja seperti dia sebagai seorang saudagar, “Wahai anakku, ayahmu sudah tak lagi punya harta yang bisa diwasiatkan, namun aku punya satu wasiat permintaan yaitu jika aku mati, kuburkanlah aku bersama kedua pamanmu dan tuliskan di atas kuburku,
 
    Bagaimana hidup ini akan nikmat jika dia nantinya pasti akan masuk
ke liang kubur
walau dia sekarang masih belia yang akan meluluhkan paras wajah
yang dulunya menawan
dia akan luluh dan juga seluruh tubuhnya menjadi tulang belulang Setelah kamu lakukan itu, berjanjilah padaku bahwa kamu akan mengunjungi makamku di hari ketiga dan berdoalah untukku.

    Ketika sang ayah meninggal dunia, si anak melaksanakan apa yang diwasiatkan kepadanya. Dan pada hari ketiga dia ziarah ke kubur ayahnya dan mendengar suara dari kubur itu yang membuat kulit tubuhnya merinding dan mukanya pucat. Dia pun pulang ke rumahnya dalam keadaan demam dan panas, dan pada malam harinya dia bermimpi dalam tidurnya bertemu dengan ayahnya yang berkata kepadanya, “Wahai anakku, kamu tidak lama lagi akan mengalami seperti yang kami alami dan sesuatu itu tergantung akhirnya. Dan kematian itu lebih dari itu. Maka, bersiap-siaplah untuk perjalananmu. Berbekallah untuk perjalan jauhmu. Palingkan persiapanmu dari rumah yang kamu sekarang singgahi ke rumah yang nanti akan kamu tinggali selamanya. Janganlah kamu teperdaya dengan apa yang telah memerdayai orang-orang yang banyak berbuat dosa sebelum kamu. Mereka telah melalaikan urusan akhirat mereka, sehingga mereka pun amat sangat menyesal setelah mereka mati. Mereka juga menyesali atas membuang-buang umur dan amat sangat menyesali kelalaian ini. Selamatkanlah mereka dari jahatnya apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang tertipu dengan buah hasil pekerjaan mereka di hari Kiamat nanti.”
    Wahai anakku, bersegeralah, bersegeralah dan bersegeralah. Sang anak pun terbangun dari tidurnya dan berkata, “Apa yang aku mimpikan ini persis seperti yang pernah dikatakan oleh ayahku, dan aku melihat bahwa kematian sudah membayangiku.”
    Maka, dia pun segera membagi-bagikan hartanya dan segera membayar utang-utangnya. Dia pun menghalalkan apa yang menjadi tanggungan para klien dan pegawainya serta membebaskannya. Dia melepas kepergian mereka dan mereka pun melepas kepergiannya, bagaikan seseorang yang telah diperingati akan terjadi sesuatu padanya.
    Dia berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Ayahku berkata, ‘Bersegeralah, bersegeralah, dan bersegeralah. Ini ada tiga kali perintah, mungkin ini adalah tanda dari tiga jam, tapi tiga jam itu telah berlalu, atau mungkin tiga namun bagaimana diriku jika itu terjadi atau mungkin tiga bulan dan aku pun tidak mengetahuinya atau mungkin saja tiga tahun.”
    Ketika dia masih memberi dan membagi-bagikan harta dan uangnya selama tiga hari sampai akhirnya di penghujung hari ketiga terhitung dari dia bermimpi. Dia lalu memanggil semua anggota keluarga dan anaknya, dia mengucapkan selamat tinggal dan salam kepada mereka. Lantas, dia menghadap ke kiblat dan menarik napas panjang-panjang. Tak lama kemudian dia memejamkan matanya dan mengucapkan syahadat yang benar dan hak kemudian dia meninggal dunia.

Antara Imam Ja'far bin Muhammad Dan Khalifah al-Mansur

Kita masih bersama ahli bait nabawi semoga Allah meridhai mereka sampai hari kiamat kelak. Kali ini bersama Imam Ja'far bin Muhammad rahimahullah di masa kekhilafahan Bani Abbasiyah yaitu Khalifah al-Mansur. Pernah terjadi sedikit perbedaan pendapat antara kedua orang ini. Sebagian orang kemudian menyampaikan hal-hal yang tidak baik tentang Imam pada Khalifah. Khalifah marah dan memerintahkan pengawalnya yang bernama Rabi' untuk menangkap Ja'far bin Muhammad untuk dibunuh. Khalifah berkata: "Kirimlah orang yang akan menyeret Ja'far bin Muhammad ke sini sekarang juga. Binasalah aku kalau aku tidak membunuhnya." Peristiwa itu terjadi ketika Khalifah al-Mansur datang ke Madinah al-Munawwarah pada tahun 147 H.
Rabi' berkata: "Aku sengaja mendiamkan hal itu beberapa hari supaya Khalifah melupakannya. Akan tetapi Khalifah kembali memerintahkan hal itu dan bahkan dengan nada marah.

Rabi' segera mengirim seseorang untuk menjemput Ja'far bin Muhammad. Ketika Ja'far sudah datang, seorang menteri berkata kepada Khalifah: "Ja'far bin Muhammad sedang menunggu di pintu wahai Amirul Mukminin."
"Suruh ia masuk."

Setelah masuk, Ja'far berkata: "Assalamua'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh wahai Amirul Mukminin."
Khalifah menjawab: "Semoga Allah tidak menyelamatkanmu wahai musuh Allah. Engkau telah membangkang dalam kekuasaanku dan membuat keonaran dalam kerajaanku. Binasalah aku kalau aku tidak membunuhmu."
Ja'far berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Nabi Sulaiman diberi karunia lalu ia bersyukur, Nabi Ayyub diberi cobaan lalu ia bersabar dan Nabi Yusuf dizalimi tapi ia memaafkan, dan engkau termasuk dalam golongan itu."

Lama Khalifah tercenung. Kemudian ia mengangkat kepalanya lalu berkata: "Engkau dalam pandanganku wahai Abu Abdillah (gelar Ja'far bin Muhamad) bersih dari segala tuduhan, kepribadianmu baik dan kesalahanmu sedikit. Semoga Allah membalasimu atas budimu pada kerabatmu dengan sebaik-baik balasan yang Allah berikan pada seorang yang berbuat baik pada kerabatnya."

Kemudian Khalifah menggandeng tangan Ja'far lalu mempersilahkannya duduk di sampingnya. Lalu didatangkanlah sebotol wewangian kemudian Khalifah mengoleskannya ke tangan dan jenggot Ja'far.

Khalifah berkata ketika melepas Ja'far: "Semoga engkau berada dalam pemeliharaan dan rahmat Allah. Wahai Rabi', antarkan Abu Abdillah dan berikan padanya hadiah serta pakaian yang indah."

Rabi' berkata: "Aku lalu mengantarkannya. Kemudian aku bertanya padanya: "Aku sudah melihat apa yang tidak engkau lihat dan mendengar apa yang tidak engkau dengar. Setelah itu aku melihat apa yang juga engkau lihat, dan aku melihatmu menggerakkan kedua bibirmu membaca sesuatu, apa yang engkau baca?"

Ja'far bin Muhammad berkata: "Baik, engkau adalah salah seorang ahli bait dan engkau memiliki rasa cinta kepada ahli bait. Ketahuilah bahwa aku berkata: "Ya Allah, jagalah aku dengan 'mata-Mu' yang tak pernah tidur, peliharalah aku dengan sandaran-Mu yang tak pernah lemah, selimuti aku dengan rahmat-Mu, maafkanlah aku dengan kekuasaan-Mu, aku tidak akan binasa selama Engkau yang menjadi tumpuanku. Wahai Tuhanku, betapa banyak nikmat yang Engkau berikan padaku tapi sangat sedikit rasa syukurku namun Engkau tetap tidak menghalangi nikmat itu dariku. Betapa banyak cobaan yang Engkau timpakan tapi sangat sedikit rasa sabarku namun Engkau tidak menghinakanku. Wahai Zat yang melihatku dalam kesalahan tapi tidak membongkar aibku, wahai Yang memiliki kebaikan yang tak akan pernah berkurang selamanya, wahai yang mencurahkan nikmat yang tak terhingga banyaknya, curahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Dengan kekuatan-Mu hindarilah aku dari rencana pembunuhannya dan lindungilah aku dari segala kejahatannya. Ya Allah, bantulah aku dengan duniaku untuk menunaikan agamaku, meraih akhiratku dengan takwa, peliharalah aku dari apa yang membahayakanku, dan jangan serahkan penjagaan diriku kepada diriku sekejap matapun. Wahai Zat yang tidak bermudharat pada-Nya dosa siapapun dan tidak pernah berkurang keagungan-Nya karena mengampuni, ampunilah aku atas sesuatu yang tidak akan bermudharat pada-Mu dan berilah aku sesuatu yang tidak akan mengurangi keagungan-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Aku mohon pada-Mu kelapangan yang dekat, sabar yang indah, rezeki yang luas dan selamat dari segala musibah serta mensyukuri segala keselamatan."

Begitulah, akhirnya Allah melapangkan kesempitannya dan membebaskannya dari kesulitan dengan kuasa dan kekuatan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.