108. Seorang Ahli Ibadah di Tepi Pantai

Said bin Tsa’labah al-Warraq menceritakan, “Suatu malam aku bersama seorang ahli ibadah berada di sebuah pantai di daerah Sayraf. Laki-laki itu tiba-tiba menangis. Dia terus menangis sampai terbitnya fajar dan dia tidak berbicara sepatah kata pun. Tiba-tiba dia berkata, ‘Dosaku besar dan kemaafan-Mu banyak, maka kumpulkanlah antara dosaku dan kemaafan-Mu wahai Yang Maha Pemurah.’ Akhirnya, semua orang yang ada di dekatnya ikut menangis.
Boleh jadi ahli ibadah ini merasakan bahwa menangis lebih baik daripada berbicara, sehingga dia memilih untuk mengungkapkan tobat dan kembalinya kepada Allah dengan tangisan dan Allah menerima tobatnya, sehingga tangisannya menyentuh hati semua manusia di sekitarnya. Mereka dapat merasakan gemanya di dalam diri mereka, maka terjadilah sebuah keserasian yang menakjubkan dan itu lebih ampuh daripada bicara.

Kesabaran dan Keridhaan Nabi Isma'il Terhadap Ketetapan Allah

Diriwayatkan oleh Ibn Abid Dunya dalam kitab ar-Ridha, bahwasannya ketika Nabi Ibrahim merebahkan Nabi Isma'il untuk menyembalihnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam mimipinya, Isma'il, anaknya yang taat kepada perintah Allah dan ridha terhadap qadha-Nya itu berkata, "Wahai ayah, kencangkanlah ikatanku. Saya khawatir tatkala engkau akan menyembelih saya, engkau melihat saya dan engkau tidak tega melakukannya. Sehingga engkau melanggar perintah Allah itu. Saya juga khawatir, tatkala engkau akan menyembelih saya, saya melihat wajahmu, karenanya saya menghalangimu untuk menjalankan perintah Allah tersebut".
Kemudian Nabi Ibrahim membalik tubuh anaknya agar tidak melihat wajahnya. Hal itu sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya yang berbunyi,

"Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis( nya ), ( nyatalah kesabaran keduanya )”. ( ash-Shaffaat: 103 )
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, "Maksudnya adalah dia merebahkan anaknya dengan menutup mukanya. Kemudian setelah Ibrahim membaca basmalah, lalu bertakbir, dan anaknya telah bersyahadat untuk menghadapi kematiannya, Ibrahim mulai menggoreskan pisau ke lehernya. Akan tetapi pisau tersebut tidak mampu menggores lehernya. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena Allah telah meletakkan sebuah lempengan tembaga antara pisau dan leher anaknya itu. Wallahu a'lam.            

Hati yang Sempit Artinya Dunia yang Sempit

Ibrahim al-Khawash datang menemui saudarinya, Maimunah. Dia adalah saudari seibunya. Ibrahim berkata kepada saudarinya, “Hari ini aku merasakan dadaku sempit.”
Saudarinya berkata, “Siapa yang hatinya sempit, maka dunia akan terasa sempit baginya dengan segala isinya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah swt. telah berfirman, ‘Hingga apabila bumi itu terasa sempit bagi  mereka dengan segala isinya dan sempit pula jiwa mereka....’”
Saudarinya melanjutkan, “Sesungguhnya bumi ini masih lapang bagi mereka, tetapi ketika jiwa mereka sempit, maka sempit pula terasa bumi bagi mereka.” 
Wanita ini telah menjelaskan penyakit dan obatnya dalam saat yang sama. Sempitnya dunia bagi manusia berawal dari sempitnya dada dan jiwa mereka, dan tiada jalan keluar dari itu semua, kecuali dengan berzikir kepada Allah dan kembali kepada-Nya, karena Dialah yang menghilangkan seluruh perasaan resah dan gelisah. “Ketahuilah dengan mengingat Allah hati akan menjadi tentram.”