Keridhaan Utsman bin Affan Ketika Menghadapi Ujian

Utsman bin Affan, Khalifah ketiga Khulafa`ur Rasyidin, dalam akhir masa kekhilafahannya dihadapkan dengan fitnah dan ujian yang besar, yang pada akhirnya menyebabkannya terbunuh.
Utsman sebenarnya telah mengetahui tentang ujian yang akan dihadapinya itu. Dia mengetahuinya dari Rasulullah saw. ketika beliau masih hidup. Rasulullah saw. telah mengabarkan kepadanya bahwa dia akan masuk surga karena kesabarannya mengahadapi ujian tersebut dan keridhaannya terhadap qadha dan qadar Allah. Rasulullah saw. bersabda padanya, "Wahai Utsman, sesungguhnya kelak Allah akan memakaikan sebuah baju untukmu. Lalu apabila orang-orang menginginkan engkau melepaskannya, maka jangan kamu turuti mereka".  Baju yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kekhilafahan. Orang-orang yang menentangnya, menginginkan agar dia melepaskan baju kekhilafahannya tersebut. Akan tetapi dia menolaknya  karena mentaati perintah Rasulullah saw. tersebut. Di sisi lain, dia juga tidak mau memerangi orang-orang yang menentangnya itu, meskipun sebenarnya dia mampu untuk memerangi mereka, sebagaimana layaknya para penguasa, jika ada salah seorang rakyatnya yang membelot, maka akan diperanginya seberat apapun hal itu.
Utsman melarang membunuh siapapun dari kaum muslimin hanya karena menentangnya. Dan para sahabat yang lain, sebenarnya juga mampu untuk mengusir para penyebar fitnah tersebut, jika hal itu memang diperintahkan kepada mereka. Akan tetapi Utsman lebih memilih bersabar dalam mengahadapi semuaitu. Dan dia senantiasa ridha dengan qadha dan qadar Allah.
Abu Musa al-Asy'ari berkata, "Pada saat saya bersama Rasulullah saw. di sebuah kebun di Madinah, datang seseorang minta dibukakan pintu pagar kebun untuk masuk. Lalu Rasulullah saw. berkata, "Bukakanlah pintunya, dan beritahu dia bahwa kelak dia akan masuk surga". Maka saya buka pintu kebun tersebut, dan ternyata Abu Bakar yang berada di balik pintu. Lalu saya sampaikan kabar gembira dari Rasulullah saw. tersebut kepadanya. Maka dia langsung bersukur dan memuji Allah. Kemudian setelah itu, datang lagi seseorang yang mengetuk pintu kebun. Maka Rasulullah saw. memerintahkan untuk membukakannya dengan bersabda, "Bukakanlah pintu untuknya, dan sampaikan padanya bahwa kelak dia akan masuk surga”. Lalu saya buka pintu kebun tersebut, dan ternyata Umarlah yang datang. Lalu saya sampaikan padanya kabar gembira dari Rasulullah saw. tersebut, maka dia langsung mengucapkan tahmid. Kemudian datang lagi seseorang mengetuk pintu kebun minta dibukakan. Maka Rasulullah saw. sekali lagi bersabda, "Bukakanlah pintu untuknya. Dan beritahu padanya, dia kelak akan masuk surga, meskipun harus dengan melewati ujian berat”. Dan ketika pintu saya buka, ternyata Utsman yang datang, dan saya sampaikan padanya apa yang dikatakan Rasulullah saw. tersebut. Maka seketika itu pula dia langsung bertahmid, lalu berkata, "Dialah Allah, tempat meminta pertolongan dan kepada-Nyalah segala urusan diserahkan".
Dalam riwayat lain dikatakan, “Maka Utsman memasuki kebun seraya bertahmid dan berkata, "Ya Allah berilah saya kesabaran".
Demikianlah keridhaan Utsman terhadap ketetapan Allah. Dan ketika musibah serta cobaan datang menghampirinya, dia senantiasa bersabar. Ketika para sahabat menginginkan agar dia memerangi para pembangkang yang menzaliminya itu, dia menolaknya dan berkata pada mereka, "Jangan diperangi, sesungguhnya Rasulullah saw. telah berpesan pada saya agar saya bersabar menghadapi mereka. Oleh karena itu saya akan bersabar terhadap apa yang mereka lakukan terhadap saya”.

Abu Utsman Sa

Muhammad bin Nu’aim berkata, “Saya mendengar ibuku berkata, “Saya mendengar Maryam, isteri Utsman berkata, “Pada suatu hari, secara kebetulan saya mendapati kesempatan bicara kepada Abu Utsman. Maka saya gunakan untuk bertanya kepadanya, “Wahai Abu Utsman, amal apakah yang telah engkau lakukan yang paling engkau harapkan pahalanya?”
Dia menjawab, “Wahai Maryam, ketika saya tumbuh dewasa dan di saat kepemudaanku tumbuh sempurna, keluargaku memintaku untuk menikah, namun saya menolak. Lalu seorang wanita mendatangiku dan berkata, “Wahai Abu Utsman, saya sangat mencintaimu. Cintaku kepadamu membuatku tidak bisa tidur dan selalu gelisah. Aku memohon kepadamu dengan sepenuh hati, agar engkau sudi menikahiku”.
Maka saya katakan kepadanya, “Apakah ayahmu masih hidup?”
Dia menjawab, “Ya. Dia adalah tukang jahit yang tinggal di tempat ini”.
Lalu saya mengutus seseorang untuk menemui ayahnya dan menikahkan anaknya dengan saya. Maka ayahnya merasa sangat bahagia. Kemudian saya menghadirkan beberapa saksi, dan saya pun menikahinya.
Ketika saya memasuki kamar pengantin, saya melihat matanya buta sebelah, kakinya pincang dan rupanya buruk. Maka saya berucap, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas apa yang Engkau tetapkan untukku”.
Melihat hal itu, keluargaku pun mencibirku. Namun saya semakin melayani isteriku dengan baik dan memuliakannya, sehingga dia tidak membiarkan saya keluar dari rumah. Maka saya tidak dapat menghadiri berbagai pertemuan yang diadakan, karena lebih mendahulukan keridhaan isteri saya dan untuk menjaga perasaan hatinya.
Saya hidup bersamanya selama lima belas tahun. Terkadang, saya merasa bagaikan berada di atas bara api, akan tetapi saya tidak menampakkan hal itu hingga dia meninggal dunia.
Maka tidak ada amal saya yang lebih saya harapkan pahalanya dari apa yang saya lakukan untuk menjaga perasaan hatinya terhadap saya”.