Keridhaan Rasulullah Saw. dan Para Sahabat kepada Qadha Allah

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Pada suatu siang, Abu Bakar keluar rumah menuju masjid. Lalu Umar melihat Abu Bakar, maka Umar bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu keluar ketika matahari terik begini?”
Abu Bakar menjawab, “Tak ada yang membuatku keluar rumah di saat terik begini kecuali rasa lapar yang sangat menyayat”.
Umar pun berkata, “Demi Allah, saya juga begitu”.
Ketika mereka sedang berbincang-bincang, tiba-tiba Rasulullah saw. datang keluar dari rumah beliau dan menemui mereka, kemudian bertanya, “Apa yang membuat kalian keluar rumah di waktu begini?”
Mereka menjawab, “Demi Allah tidak ada yang membuat kami keluar rumah, kecuali rasa lapar yang menyayat perut kami”.
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Demia Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, saya juga keluar rumah karena hal itu. Marilah kita pergi”.
Lalu mereka mendatangi rumah Abu Ayub al-Anshari r.a.. Dan biasanya Abu Ayub memang menyimpan makanan atau susu untuk Rasulullah saw.. Namun hari itu Rasulullah saw. datang agak terlambat, sehingga Abu Ayub telah memberikannya kepada keluarganya, lalu pergi ke kebun kurmanya.
Ketika Rasulullah saw. kedua sahabat beliau sampai di depan rumah Abu Ayub, isterinya pun keluar dan menyambut beliau, “Selamat datang Nabi Allah dan kedua sahabat”.
Nabi Muhammad saw. bertanya kepadanya, “Mana Abu Ayub?”
Abu Ayub yang sedang bekerja di kebun kurmanya mendengar kedatangan Rasulullah saw.. Lalu dia buru-buru menemui beliau dan berkata, “Selamat datang Nabi Allah dan kedua sahabat. Wahai Nabi Allah, engkau tidak datang seperti waktu biasanya”.
Rasulullah saw. menjawab, “Engkau benar”.
Lalu Abu Ayub segera pergi ke kebun, lalu memotong setandan kurma, yang di dalamnya terdapat kurma matang, kurma basah dan kurma yang masih sangat muda.
Rasulullah saw. pun bertanya, “Saya tidak menginginkan semuanya. Mengapa engkau tidak menghidangkan kurma matang saja?”
Abu Ayub berkata, “Wahai Rasulullah, saya ingin engkau memakan kurma matang, kurma yang basah dan yang muda dari pohon itu. Dan saya akan menyembelih kambing dulu”.
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu jangan sembelih yang susunya dapat diperah”.
Lalu Abu Ayub mengambil seekor kambing betina muda dan menyembelihnya.
Lalu berkata kepada isterinya, “Buatlah roti untuk kami dan engkau lebih tahu cara membuat roti”. Lalu Abu Ayub memasak setengah dari daging kambing tersebut dan memanggang setengahnya. Ketika makanan sudah siap dan Abu Ayub menghidangkannya, Rasulullah mengambil daging kambing itu dan memasukkannya ke dalam roti, lalu bersabda, “Wahai Abu Ayub, berikanlah ini kepada Fathimah. Dia belum makan seperti ini sejak beberapa hari”.
Lalu Abu Ayub pergi menemui Fathimah. Setelah mereka makan dan kenyang, Rasulullah saw. bersabda, “Roti, daging, kurma masak, kurma mentah dan kurma muda”. Lalu air mata beliau mengalir. Dan beliau bersabda lagi, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah nikmat yang kelak di hari kiamat kalian akan ditanya tentangnya”.

Aku Mengenal Suamiku Seorang Manusia Biasa Bukan Pemberi Rezeki

Seorang lelaki pergi berjihad di jalan Allah dengan meninggalkan istri dan anak-anaknya. Suatu hari datanglah beberapa orang wanita mengunjungi istri tersebut dan mereka berkata, “Wahai istri yang malang, siapa yang akan menafkahi keluargamu dan mengayomi anak-anakmu sementara suamimu pergi berjihad, dan boleh jadi dia mati di medan perang?”
Wanita salehah dan mukminah itu melihat kelemahan iman yang tampak dari ucapan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya aku mengenal suamiku seorang manusia biasa dan aku tidak pernah mengenalnya sebagai Maha Pemberi. Jika manusia (yang hanya bisa makan) mati, maka Sang Maha Pemberi rezeki akan tetap kekal.”
Hal ini merupakan pelajaran berharga yang diberikan oleh seorang istri yang beriman kepada Tuhannya bagi para wanita yang lemah iman dan terasuki bisikan setan. Dia sangat menyadari bahwa Allah-lah Pemberi rezeki dan Yang Mahakuat. Sementara, suami atau yang lainnya hanyalah salah satu faktor rezeki yang Allah turunkan kepada hamba-hamba-Nya.

Nasehat Seorang Ayah Kepada Putrinya

At-Tanukhi rahimahullah menceritakan dari al-Hasan bin Abil Hasan, ia berkata: "Sesungguhnya Abdullah bin Ja'far ash-Shadiq rahimahullah –salah seorang Imam ahli bait- ketika ingin menyerahkan putrinya pada suaminya berpesan padanya: "Apabila engkau menghadapi permasalahan yang sangat berat atau suatu kematian sekalipun maka sambutlah semuanya dengan mengucapkan:

"Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Penyantun dan Maha Mulia. Tiada Tuhan selain Allah Tuhan 'arsy yang agung dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam."

Al-Hasan bin Abil Hasan berkata: "Suatu ketika al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi memanggilku. Ia telah merencanakan sesuatu yang tidak baik untukku. Ketika dihadapkan padanya aku baca doa tersebut di atas. Hajjaj berkata: "Aku memanggilmu dengan niat untuk membunuhmu, akan tetapi sekarang aku tak melihat seorang yang lebih mulia darimu. Oleh karena itu mintalah apa saja yang engkau butuhkan." 

Begitulah seharusnya nasehat ayah kepada putrinya yang baru menikah. Sang ayah telah mengajarkan sendi tauhid yang paling penting yaitu berserah kepada Allah dalam waktu susah dan dalam menjalani berbagai permasalahan dunia. Tentu hal ini bukan sesuatu yang aneh dari ahli bait nabawi semoga Allah meridhai mereka. Ini sekaligus juga merupakan pelajaran berharga bagi kita. Semoga Allah memberi kita manfaat dari ilmu dan ketakwaan mereka.

Seorang Lelaki dari Tha`if dan Keridhaannya kepada Qadha Allah

Ibnu Abid Dunya menyebutkan dari Yunus bin Muhammad al-Makki rahimahullah, dia berkata, “Ada seorang lelaki dari Tha`if yang bercocok tanam. Ketika tanamannya tersebut tumbuh besar, hama menyerangnya dan kemudian terbakar. Maka kami mendatanginya untuk menghiburnya. Kemudian dia menangis dan berkata, “Demi Allah, saya tidak menangis karena rusaknya tanaman saya itu. Akan tetapi saya teringat firman Allah ta’ala,

“Seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya”. ( Ali Imran: 117 ). .
Lelaki itu ridha kepada qadha Allah. Dia takut jika yang terjadi padanya karena dia termasuk orang-orang yang zalim. Sehingga dia pun menangis karena takut kepada Allah, bukan karena sedih kehilangan tanamannya sebagaimana anggapan sebagian orang.

Arab Badui Dan Doa Imam Ali Agar Ia Dilapangkan

Qadhi at-Tanukhi menceritakan dari Ali bin Hammam: "Ada seorang Arab badui mengeluhkan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a tentang kondisinya yang sangat sulit dan keluarganya yang banyak.

Imam Ali berkata padanya: "Engkau mesti banyak beristighfar karena Allah SWT berfirman: "Mohon ampunlah pada tuhanmu sesungguhnya Dia Maha Pengampun."
Laki-laki itu kembali mengeluh dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku sudah banyak beristighfar tapi saya tetap tidak merasakan kelapangan dari kondisiku sekarang."   
Imam Ali berkata: "Boleh jadi istighfarmu belum sempurna."
Arab badui itu berkata: "Kalau begitu ajarkanlah aku."
Imam Ali berkata: "Ikhlaskan niatmu, taati Tuhanmu dan ucapkan: "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon ampun pada-Mu dari setiap dosa yang menguasai badanku yang telah Engkau beri kesehatan, atau yang disentuh oleh tanganku yang telah Engkau beri nikmat berlimpah, atau yang dikerjakan oleh kedua tanganku dengan keluasan rezeki-Mu, atau yang aku menyerah saja padahal aku takut dari hal itu, atau ketika aku terlalu yakin dengan santun-Mu, atau aku merasa tenang karena mulianya kemaafan-Mu. Ya Allah, aku mohon ampun dari segala dosa yang membuatku mengkhianati amanah yang diembankan padaku, atau aku rendahkan diriku, atau aku dahulukan kehinaanku, atau aku utamakan syahwatku, atau yang aku usahakan untuk orang lain, atau aku tipu orang untuk mengikutiku, atau aku congkak karena hebatnya siasatku, atau yang aku limpahkan pada-Mu wahai Tuhanku. Oleh karena itu jangan siksa aku atas perbuatanku karena benci pada maksiatku, karena Engkau Maha Tahu bahwa hal itu dengan pilihanku sendiri, aku yang menggunakan kehendak dan pilihanku, lalu Engkau santun kepadaku sehingga Engkau tidak memaksaku masuk ke dalamnya dan tidak pula Engkau bebankan padaku secara paksa, dan Engkau juga tidak menzalimiku sama sekali wahai Yang Maha Pengasih. Wahai temanku dalam kesempitan, wahai penghiburku dalam kesepian, wahai penjagaku dalam kesendirian, wahai kekasihku dalam segala nikmat yang dikaruniakan, wahai yang menghilangkan kesusahanku, wahai yang mendengar doaku, wahai yang mengasihi kesedihanku, wahai yang memaafkan kekhilafanku, wahai tuhanku yang sesungguhnya, wahai sandaranku yang paling kokoh, wahai harapanku dalam kesulitan, wahai tuhanku yang maha kasih, wahai Tuhan al-baitul 'atiq (baitullah), keluarkan aku dari lingkaran kesempitan menuju kelapangan jalan, lapangkanlah hamba yang bertaqarrub pada-Mu ini, leraikanlah dariku setiap kesulitan dan kesempitan, tanggungkan untukku semua yang aku sanggupi dan apa yang tidak aku sanggupi, keluarkanlah aku dari segala keresahan dan kesedihan, wahai Yang meleraikan keresahan, wahai yang menghilangkan kegundahan, wahai yang menurunkan kesejukan, wahai yang memperkenankan doa hamba yang kesulitan, wahai Yang maha pengasih dan penyayang di dunia dan akhirat, limpahkanlah shalawat dan salam kepada hamba-Mu terbaik Muhammad saw. beserta keluarganya yang mulia dan suci. Lapangkanlah kesempitan yang aku rasakan di dadaku, limpahkanlah kesabaran padaku. Aku tak punya daya dan kekuatanku sangat lemah, wahai yang menghilangkan segala bahaya dan bencana, wahai yang Maha Tahu segala rahasia, wahai yang Maha Penyayang, aku serahkan segala urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah maha melihat hamba-hamba-Nya, dan tidaklah aku memperoleh taufiq kecuali dengan kehendak Allah, kepada-Nya aku bertawakkal dan Dialah tuhan 'arsy yang agung."

Arab badui itu berkata: "Aku lalu beristighfar dengan doa itu berkali-kali, maka Allah SWT menghilangkan keresahan dan kesempitan dari diriku, melapangkan rezekiku dan menghapuskan cobaan yang menimpaku." 

Imam Ali karramallahu wajhah telah menunjuki jalan yang benar pada laki-laki tersebut untuk melapangkan kesempitan dan kegundahannya serta meraih kelapangan rezeki dengan menghadapkan diri secara total dalam berdoa kepada Allah dan mengikhlaskan niat sebelum berdoa dan banyak beristighfar.

DEMI ALLAH, AKU TIDAK AKAN BERMAKSIAT LAGI KEPADA-NYA

Abu Utsman at-Taymi berkata, “Ada seorang laki-laki bertemu di jalan dengan seorang biarawati yang sangat cantik sekali. Laki-laki itu pun tergoda dengannya lalu dia berusaha mencumbunya. Namun, biarawati itu menolak seraya berkata, ‘Janganlah kamu terperdaya dengan apa yang kamu lihat yang tidak ada sesuatu di belakangnya.’
    Laki-laki itu menolak dan tetap saja mencumbui wanita itu, sementara di sampingnya ada tempat bara api. Wanita itu meletakkan tangannya di dalamnya sampai akhirnya terbakar, laki-laki itu berkata kepadanya setelah puas melampiaskan nafsunya, ‘Apa yang mendorong kamu melakukan apa telah kamu lakukan itu?’
    Wanita itu berkata, ‘Sesungguhnya, ketika kamu memerkosa diriku, aku takut untuk turut serta bersama kamu dalam kelezatan, padahal aku ikut serta bersamamu dalam kemaksiatan, aku pun melakukan apa telah kamu lihat.”
    Laki-laki itu berkata kepadanya, “Demi Allah, tidak akan lagi mau melakukan maksiat kepada Allah selamanya. Dia kemudian bertobat dari apa yang telah dia kerjakan.”52

TOBAT AYYUB AL-HAMMAL AZ-ZAHID

Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah menyebutkan tentang Ayyub al-Hammal. Dia dijuluki Abu Sulaiman dan termasuk ahli ibadah yang giat dan termasuk orang yang memiliki banyak karamah. Dia adalah salah seorang kerabat dekat Basyar al-Hafi dan Sara as-Saqathi dan teman Sahal bin Abdullah.
Muhammad bin Khalid berkata, “Aku pernah mendengar Ayyub al-Hammal berkata, ‘Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berjalan dalam keadaan lengah dan tidak berada di waktu sore kecuali aku selalu berzikir kepada Allah.’”
    Ketika aku sedang dalam satu perjalanan, aku menjadi linglung dan aku tahu dari mana itu datangnya.
    Aku pun menangis, meminta tolong, serta bertobat. Hingga kelinglungan tadi hilang dan aku kembali ke tempat aku tadi lengah tidak berzikir kepada Allah. Aku kembali berzikir kepada Allah dan dapat berjalan dengan selamat.
    Ini adalah keadaan hamba-hamba Allah yang senantiasa berzikir kepada-Nya di setiap saat dan keadaan, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berjalan atau pada saat di atas kendaraan.
    Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang selalu berzikir kepada-Mu. Sesungguhnya kebaikan orang-orang yang saleh menjadi dosa bagi orang-orang yang dekat dengan Allah.

Rabi'ah al-Adawiyah dan Keridhaannya Terhadap Ketentuan Allah

Rabi'ah Adawiyah adalah seorang wanita ahli ibadah yang zuhud. Dia berasal dari kota Basrah. Namanya adalah Rabi'ah binti Isma'il. Abdullah bin Isa berkata, "Suatu hari saya mengujungi Rabi'ah al-Adawiyah. Tatkala saya melihatnya, nampak wajahnya bercahaya. Dia sering kali menangis. Ketika di dekatnya ada seorang yang membaca ayat Al-Qur'an yang berisi tentang siksa api neraka, dia pun menangis tersedu-sedu, hingga jatuh tersimpuh di atas tanah. Kemudian di lain waktu, saya berkunjung lagi padanya. Waktu itu dia sedang duduk di atas sebuah potongan tikar yang terbuat dari bulu. Nampak di dekatnya ada seorang laki-laki yang sedang berbicara padanya tentang sesuatu. Tidak lama kemudian, saya mendengar air matanya berjatuhan ke tikar tersebut seperti cucuran keringat.  Kemudian dia tergoncang dan menangis sejadi-jadinya, maka dari itu, kami berdiri lalu pergi meninggalkannya.
Dan suatu ketika, seorang laki-laki mendatanginya dengan membawa empatpuluh dinar untuk dihadiahkan kepadanya. Lelaki itu berkata kepada Rabi'ah, "Gunakanlah ini untuk mencukupi keperluanmu”. Mendengar itu Rabi'ah pun menangis, lalu mendongakkan kepalanya ke langit dan berkata, "Dia (Allah) tahu bahwasannya saya malu untuk meminta kepada-Nya harta dunia, padahal Dialah yang maha memiliki semua itu, maka bagaimana saya ingin mengambil harta ini dari seseorang yang sebenarnya tidak memilikinya”.
Ja'far bin Sulaiman berkata, "Sufyan ats-Tsauri menggandeng tangan saya, lalu berkata, "Bawalah saya ke tempat perjamuan, yang dapat membuat hati saya damai". Kemudian kami mengunjungi Rabi'ah. Ketika sampai di sana, Sufyan ats-Tsauri mengangkat tangannya dan berdo'a, "Ya Allah kepada-Mu saya memohon keselamatan". Ketika mendengar itu Rabi'ah al-Adawiyah pun menangis, maka Sufyan bertanya padanya, "Apa yang membuatmu menangis?" "Andalah yang membuat saya menangis", jawab Rabi'ah. "Bagaimana saya dapat membuat anda menangis?" Tanya Sufyan tidak mengerti. Kemudian Rabi'ah menjelaskannya, "Anda tahu bahwa keselamatan dari tipu daya dunia hanya dapat diraih dengan meninggalkan gemerlapnya dunia itu sendiri. Maka bagaimana engkau memohon keselamatan sedangkan anda sendiri masih bergelimang dunia". Maka seketika itu Sufyan langsung berkata, "Alangkah menyedihkan". Lalu Rabi'ah berkata padanya, "Janganlah berbohong, tapi katakanlah, "Alangkah sedikit kesedihan ini". Karena jika engkau benar-benar merasa bersedih, maka kehidupan tidak akan membuatmu senang”.
Menjelang wafatnya, Rabi'ah al-Adawiyah berkata kepada seorang wanita yang selama ini membantunya, "Wahai saudari yang selama ini telah membantu saya, janganlah kamu beritahu siapapun tentang kematian saya ini. Dan kafanilah saya dengan jubah saya ini". Jubahnya itu terbuat dari bulu atau wol. Dia biasa memakainya untuk selimut di malam hari ketika tidur. Rabi'ah al-Adawiyah meninggal pada tahun 180 hijriyah, dalam usianya yang mencapai delapan puluh tahun.

Allah Mahatahu Apa yang Terbaik bagi Hamba-Nya

Dalam kitab Shifatush Shafwah, Ibnu Jauzi menceritakan dari Khalid bin al-Fazar. Khalid berkata, “Haywah bin Syuraih adalah seorang yang banyak berdoa dan menangis. Kondisi kehidupannya sulit sekali. Suatu kali aku datang mengunjunginya. Saat itu dia seorang diri dan sedang berdoa. Aku berkata kepadanya, ‘Semoga Allah merahmatimu, andaikan kamu berdoa kepada Allah untuk melapangkan kondisimu....’
Kemudian  dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia tidak melihat siapa-siapa. Lalu dia mengambil segenggam tanah dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah tanah ini emas.”
Tiba-tiba tanah itu berubah menjadi emas murni di dalam genggamannya. Aku tak pernah melihat emas lebih baik dari itu sebelumnya. Lalu dia lemparkan emas itu kepadaku dan berkata, “Tidak ada kebaikan di dunia kecuali kebaikan untuk akhirat.” Setelah itu, dia menoleh kepadaku dan berkata, “Dia yang lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.”
Aku bertanya padanya, “Apa yang harus aku lakukan terhadap emas ini?” (Maksudnya tanah yang telah berubah menjadi emas itu).
“Belanjakanlah.”
Aku lalu mengambil emas itu dan pulang dengan penuh kagum setelah menyaksikan hal yang ajaib ini dari ahli ibadah tersebut.

Syahid yang Dimakan Burung

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan dari Abu Qudamah asy-Syami rahimahullah, Dia berkata, “Di salah satu peperangan, aku pernah menjadi pemimpin salah satu pasukan Muslimin. Aku datang ke sebuah kota lalu aku ajak manusia untuk berperang dan aku dorong mereka untuk jihad fi sabilillah serta pahala yang besar dan kenikmatan abadi yang Allah sediakan untuk para mujahidin. Setelah mendengar ajakanku, orang-orang itu bubar.
Aku lalu menunggangi kudaku dan pulang menuju rumahku. Tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sambil berteriak, ‘Wahai Abu Qudamah... wahai Abu Qudamah....’
Aku berkata dalam hati, ini adalah tipu daya setan untuk memfitnahku. Maka, aku pun terus melangkah tanpa menoleh sama sekali padanya. Wanita itu berkata, ‘Tidak begini seharusnya seorang yang saleh.’
Saat mendengar ucapannya itu, aku segera berhenti. Dia melangkah menujuku dan mengacungkan sehelai surat dan sebuah bungkusan yang diikat, lalu dia melangkah pergi sambil menangis. Aku lihat surat itu, ternyata isinya, ‘Sesungguhnya kamu telah menyeru kami untuk berjihad dan mendorong kami untuk mengejar pahala. Sementara, aku hanyalah seorang wanita yang tidak mampu untuk keluar langsung. Maka, aku potong sesuatu yang paling berharga pada tubuhku, yaitu kedua jalinan rambutku. Aku berikan kepadamu untuk kamu jadikan tali kekang kuda para mujahid fi sabilillah, semoga Allah melihat rambutku menjadi tali kekang kuda di jalan-Nya, sehingga Dia mau mengampuniku.’
Pada pagi hari peperangan, aku melihat seorang remaja di dalam barisan pasukan berperang dengan penuh keberanian dan tangguh. Aku mendekatinya dan berkata kepadanya, ‘Wahai anak muda, kamu masih terlalu muda dan berperang dengan berjalan kaki tanpa kuda, dan aku merasa khawatir kamu akan terinjak oleh kuda-kuda pasukan, maka sebaiknya mundurlah dari sini.’
Dia berkata, ‘Apakah kamu menyuruhku untuk mundur sementara Allah swt. telah berfirman,
KHAT
“Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Anfaal: 15—16)

Aku merasa kagum melihat keberanian dan ketegarannya, lalu aku menaikkannya ke atas untaku. Dia berkata, ‘Wahai Abu Qudamah, pinjamkanlah kepadaku tiga buah panah.’
Aku berkata, ‘Apakah ini dipinjamkan?’
Dia terus mendesakku hingga akhirnya aku menerima juga permintaannya. Aku berkata kepadanya, ‘Dengan syarat seandainya Allah mengaruniakan syahadah pada kita, aku berada dalam syafaatmu di hari Kiamat nanti.’
‘Baik,’ katanya.
Lalu aku memberikannya tiga buah panah. Dia letakkan satu panah di busurnya lalu dia berkata, ‘Salam untukmu wahai Abu Qudamah.’
Panah itu dilepaskannya dan dapat membunuh seorang pasukan Romawi. Kemudian dia ambil satu lagi dan dia berkata, ‘Salam untukmu, wahai Abu Qudamah.’ Panah itu pun dapat membunuh seorang musuh lagi. Lalu, dia ambil yang terakhir dan dia berkata, ‘Salam untukmu wahai Abu Qudamah, salam perpisahan.’
Tiba-tiba, sebuah panah melesat ke arahnya dan mengenai tepat di antara kedua matanya. Dia lalu meletakkan kepalanya di atas buntalan bekalnya. Aku melangkah ke dekatnya dan berkata kepadanya, ‘Jangan lupa yang tadi.’
Dalam keadaan bercucuran darah dia berkata, ‘Baik, tetapi aku minta tolong kepadamu, jika kamu sudah sampai di Madinah temuilah ibuku dan berikan barang-barang milikku ini kepadanya, lalu ceritakanlah kepadanya kisahku.’
Abu Qudamah berkata, ‘Tetapi, beritahukan dulu kepadaku siapa ibumu, dan bagaimana caranya aku untuk mengetahuinya di antara sekian banyak wanita di Madinah?’
Dia berkata, ‘Ibuku adalah yang telah memberikan kepadamu rambutnya untuk dijadikan tali kekang kuda fi sabilillah. Sampaikanlah salam kepadanya, karena di tahun sebelumnya dia diuji dengan kematian ayahku dalam jihad dan di tahun ini dia diuji lagi dengan kematianku.’
Kemudian dia wafat. Setelah perang usai, aku gali kuburan untuknya. Ketika kami hendak melangkah tiba-tiba jasadnya dilemparkan oleh bumi. Sahabat-sahabatku berkata, ‘Dia masih sangat muda, barangkali dia pergi tanpa izin ibunya sehingga bumi menolaknya dan tidak menerimanya.’
Aku berkata, ‘Sesungguhnya bumi menerima jasad yang lebih buruk lagi.’
Kami tidak tahu apa yang mesti kami lakukan. Tiba-tiba datanglah sekelompok burung putih lalu memakan jasad anak itu. Kami hanya bisa melihat terpaku, tak ada seorang pun di antara kami yang berani mendekat.
Sesampai di Madinah aku segera pergi menuju rumah ibunya. Setelah aku ketuk pintu, keluarlah saudari anak itu. Ketika melihatku, dia kembali masuk dan memanggil ibunya, ‘Ibu, ini Abu Qudamah datang, tetapi tidak bersama saudaraku.’
Ibunya keluar dan dia berkata, ‘Apakah kamu datang untuk berbelasungkawa atau untuk menyampaikan ucapan selamat?’
‘Maksudnya apa?’ tanyaku keheranan.
‘Kalau anakku mati hiburlah aku, tetapi kalau dia syahid maka berilah aku ucapan selamat.’
‘Anakmu sudah syahid.’
‘Dia mempunyai bukti, apakah kamu melihatnya?’ tanyanya.
‘Ya, jasadnya tidak diterima bumi, kemudian datanglah sekelompok burung lalu memakan dagingnya dan membiarkan tulangnya, maka aku hanya dapat menguburkan tulang-tulangnya saja.’
Ibu itu berkata, ‘Alhamdulillah.’

Kemudian dia melanjutkan, ‘Setiap malam, anakku selalu berada di mihrab melaksanakan shalat, dia bermunajat dan bermunajat dengan penuh khusyu. Dia berdoa dalam munajatnya, ‘Ya Allah, bangkitkanlah aku nanti dari dalam perut burung.’ Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan doanya.’ 
Demikianlah, wanita itu memperoleh apa yang dia angankan berupa pahala, dan anaknya juga telah memperoleh apa yang diinginkan ketika Allah memperkenankan doanya. Itulah ciri orang-orang yang saleh.”

Seorang Wanita Tua Bersama Putranya Yang Wafat

Anas r.a. menceritakan: "Aku pernah menemukan dalam umat ini tiga hal yang seandainya ada pada umat Bani Israil niscaya tak satupun umat-umat lain yang menyainginya." Kami bertanya pada Anas: "Apa yang tiga itu wahai Abu Hamzah?"
Anas menjawab: "Kami pernah duduk-duduk di Shuffah bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datanglah seorang wanita yang baru hijrah bersama putranya yang sudah baligh. Rasulullah saw. menyerahkan wanita itu untuk dijamu oleh istri-istri sahabat. Sementara puteranya diserahkannya pada kami.

Tak berapa setelah itu sang anak terkena wabah penyakit Madinah sehingga ia jatuh sakit selama beberapa hari. Tak lama kemudian ia wafat. Nabi sendiri yang menutup matanya kemudian menyuruh para sahabat untuk mempersiapkan penyelenggaraan jenazahnya. Ketika kami hendak memandikannya Rasulullah bersabda: "Wahai Anas, temuilah ibunya dan beritahukan kabar ini padanya."

Kemudian aku menemui ibunya dan memberi kabar tentang kematian putranya. Sang ibu datang dan duduk di kedua kaki puteranya. Ia rengkuh kedua kaki itu dan ia berkata: "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menyerahkan diri sepenuhnya pada-Mu, aku tidak pernah mengikuti para berhala, lalu aku hijrah menuju agama-Mu dengan penuh suka. Ya Allah, jangan buat para penyembah berhala gembira dengan musibah yang menimpaku dan jangan bebankan padaku sesuatu tidak mampu aku menanggungnya."

Demi Allah, baru saja ia selesai berdoa, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan menyingkirkan pakaian yang menutupi wajahnya. Ia tetap hidup sampai Rasulullah saw. wafat dan juga sampai ibunya wafat." 

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dari Anas bin Malik, ia berkata: "Kami pernah berkunjung menjenguk seorang pemuda Anshar yang sedang sakit. Tak berapa lama setelah itu ia wafat lalu kami tutup matanya dan kami selimuti badannya. Sebagian diantara kami pergi menemui ibu pemuda tersebut dan berkata: "Ikhlaskanlah kepergiannya."
Ibunya bertanya: "Apakah ia sudah wafat?"
"Ya," jawab kami.
Ibu itu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku beriman pada-Mu dan hijrah menuju rasul-Mu, apabila ditimpa kesempitan aku akan berdoa pada-Mu dan Engkau segera melapangkannya. Maka aku mohon pada-Mu ya Allah, jangan bebankan padaku musibah ini."
Anas berkata: "Tiba-tiba pemuda itu membuka pakaian yang menutupi wajahnya. Sebelum pulang ia sempat makan bersama kami."

Empat Orang Syahid dalam Perang Yamamah

Al-Hakim meriwayatkan dari Amr bin Abdirrahman dari ayahnya r.a., dia berkata, “Ketika perang Yamamah, Zaid Ibnul Khathab membawa panji orang-orang muslim. Ketika itu orang-orang muslim kewalahan menghadapi musuh, hingga beberapa orang muslim nampak ketakutan dan mundur. Maka Zaid Ibnul Khathab pun berseru, “Orang-orang itu bukanlah ksatria sejati. Orang-orang itu bukanlah ksatria sejati”.
Lalu dia berteriak, “Ya Allah, saya mohon ampun atas sahabat-sahabat saya yang melarikan diri. Dan saya terbebas dari apa yang dibawa oleh Musailamah dan Muhkam Ibnuth Thufail”. Muhkam Ibnuth Thufail adalah panglima perang pasukan Musailamah al-Kadzdzab.
Maka dia pun mengikatkan panji yang dia bawa, lalu maju ke tengah-tengah barisan musuh dan mengayunkan pedangnya,  hingga akhirnya dia –rahimahullah—terbunuh.
Ketika panji pasukan muslim jatuh, Salim Maula Abi Hudzifah r.a. mengambilnya.
Maka orang-orang muslim berkata, “Wahai Salim, kami takut diserang sebelum engkau maju”.
Maka Salim berkata kepada mereka, “Sungguh saya pembawa Al-Qur`an yang paling buruk jika saya melarikan diri meninggalkan kalian”.
Dan Salim berkata kepada Tsabit bin Qais, “Dulu di zaman Rasulullah saw. kita tidak berperang seperti ini”.
Kemudian mereka berdua menggali parit lalu masuk ke dalamnya. Lalu keduanya berperang di sana hingga terbunuh, dan ketika itu panji orang-orang Muhajirin masih bersama Salim”.
- Dan diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., dia berkata, “Saya mendengar Abbad bin Bisyr berkata, “Wahai Abu Sa’id, malam ini saya bermimpi seakan-akan langit telah dibukakan untuk saya, kemudian menutup saya. Maka insya Allah itu adalah kematian syahid bagi saya”.
Saya katakan, “Demi Allah, engkau melihat hal yang bagus”.
Kemudian pada peperangan Yamamah saya memperhatikan Abbad bin Bisyr. Dia berteriak memberi semangat kepada orang-orang Anshar, “Hancurkan tempat-tempat pedang musuh dan memisahlah”.
Kemudian sejumlah orang Anshar berkata, “Pilihlah kami, pilihlah kami, pilihlah kami”. Lalu mereka memilih empat ratus orang Anshar lalu menuju ke pintu kebun tempat berlindung Musailamah al-Kadzdzab. Empat ratus orang itu adalah orang-orang Anshar, tidak ada selain mereka. Di bagian depan barisan mereka adalah Abbad bin Bisyr, Abu Dajjanah dan al-Barra` bin Malik. Ketika sampai ke pintu kebun tempat perlindungan Musailamah, mereka pun berperang dengan penuh semangat.
Kemudian Abbad bin Bisyr r.a. terbunuh, dan saya lihat di wajahnya terdapat banyak sabetan pedang, hingga saya tidak mengenalinya kecuali dengan sebuah tanda yang ada di tubuhnya”.

Istri yang Takut Tidak Mendapat Bagian di Akhirat

Hakim bin Ja’far berkata, “Jauharah istri Abu Abdillah al-Buratsi—salah seorang ahli ibadah dan zuhud—adalah seorang budak para raja. Setelah dimerdekakan, dia meninggalkan dunia dan selalu dekat dengan Abu Abdillah al-Buratsi. Abu Abdillah kemudian menikahinya dan akhirnya dia menjadi seorang ahli ibadah.”
Abu Abdillah al-Buratsi berkata, “Suatu kali Jauharah bertanya kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah, apakah para wanita akan mengenakan perhiasan di surga nanti?’
‘Ya,’ jawabku.
Tiba-tiba dia berteriak dan jatuh pingsan. Setelah sadar aku bertanya, ‘Apa yang terjadi denganmu?’
Dia menjawab, ‘Aku teringat kondisiku dengan segala kesenangan dunia yang telah aku peroleh. Aku takut, demi Allah, seandainya aku tidak mendapat bagian di akhirat.’”

TOBAT ABUL HARITS AL-AULASI

Ibnul Jauzi berkata, “Dia dahulu seorang pemuda yang awalnya sering bernyanyi.
    Ketika aku dalam kelengahanku, tiba-tiba aku melihat seorang yang sedang sakit terhempas di pinggir jalan. Aku pun menghampirinya dan berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin sesuatu?’
    Dia menjawab, ‘Ya, aku ingin buah delima.’
    Kemudian aku membawakan buah delima untuknya. Ketika buah itu aku letakkan di depannya, dia mengangkat matanya ke arahku seraya berkata,  ‘Semoga Allah mengampunimu.’
    Pada saat sore harinya hatiku langsung saja berubah dari sikap dan perlakuan yang sebelumnya aku lakukan seperti main-main. Aku selalu merasa takut mati. Aku pun meninggalkan semua yang aku miliki. Aku pergi hendak mengerjakan ibadah haji.
    Aku keluar dan berjalan di waktu malam dan siang. Aku bersembunyi karena takut menimbulkan fitnah. Ketika aku berjalan di waktu malam, tiba-tiba aku menjumpai ada sekelompok orang sedang minum-minum. Ketika mereka melihatku, mereka bingung dan tercengang lalu mempersilakanku duduk kemudian menawarkan makanan dan minuman. Aku berkata kepada mereka, ‘Aku hanya ingin buang air kecil.’
    Mereka lalu mengutus seorang anak kecil untuk menemaniku ke tanah lapang. Dalam perjalanan menuju ke tanah lapang, aku tersesat dan masuk ke hutan. Aku berkata kepada anak tadi, ‘Pulanglah kamu, aku malu kepadamu.’ Anak itu kemudian  pulang. Saat itu aku melihat ada seekor binatang buas di hutan itu sedang berjalan ke arahku, aku pun berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang aku tinggalkan dan dari apa aku keluarkan. Jauhkanlah bahaya binatang buas ini dariku.’ Tak lama kemudian, binatang buas itu segera berpaling dan pergi menjauh. Aku segera kembali ke jalan raya sampai akhirnya aku sampai ke Mekah. Di sana aku berjumpa dengan orang-orang yang aku dapat belajar kepada mereka.”42