Dulu Hadiah, tapi Sekarang untuk Kita adalah Sogokan

Diceritakan tentang Umar bin Abdul Aziz—seorang Khalifah Bani Umayyah yang adil—bahwa suatu kali dia menginginkan apel. Dia berkata, “Andaikan kita memiliki apel, karena baunya wangi dan rasanya lezat.”
Kemudian salah seorang keluarganya yaitu sepupunya datang membawa apel dan menghadiahkannya untuk Khalifah. Ketika sang pembantu membawa apel itu ke dalam, Khalifah berkata, “Alangkah wangi baunya, kembalikan lagi apel itu dan sampaikan salamku padanya. Katakan kepadanya bahwa hadiahmu sudah sampai pada kami seperti yang kamu inginkan.”
Amru bin Muhajir (salah seorang pegawai Umar) berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah sepupumu dan juga anggota keluargamu, dan kamu tahu bahwa Nabi saw. menerima hadiah dan tidak menerima sedekah.”
Umar berkata, “Celaka kamu, sesungguhnya hadiah untuk Nabi adalah benar-benar hadiah, tapi saat ini untuk kita itu adalah sogokan.”
Alangkah banyaknya saat ini hadiah yang sesungguhnya adalah sogokan dan diberikan secara terang-terangan dengan menggunakan nama hadiah, tips, atau nama-nama lainnya.

Orang-orang Yang Dikatakan Oleh Manusia Kepada Mereka: "Sesungguhnya Manusia Telah Sepakat Untuk Membunuh Kalian Maka Waspadailah Mereka."

Dalam perang Uhud, tujuh puluh orang sahabat menemui Allah sebagai para syuhada`. Kaum muslimin merasa sangat terpukul atas kekalahan itu. Kaum musyrikin Quraisy segera kembali ke Mekah dengan perasaan gembira atas kemenangan itu. Hal ini sesungguhnya di luar kebiasaan orang Arab yang kalau menang dalam sebuah peperangan mereka akan tetap berada di medan perang sambil merayakan kemenangan.
Sekembalinya Rasulullah saw. ke Madinah al-Munawwarah dan di saat kaum muslimin masih merasakan kepedihan dan kesedihan yang teramat mendalam akibat kekalahan tersebut, Rasulullah saw. kembali mengumpulkan kaum muslimin yang telah ikut berperang bersamanya untuk mengejar kaum musyrikin. Nabi khawatir kalau-kalau Abu Sufyan kembali dan menyerang Madinah bersama pasukan Quraisy. Oleh karena itu beliau keluar untuk menakut-nakuti mereka sehingga mereka percaya bahwa Nabi masih memiliki kekuatan. Apa yang terjadi dalam perang Uhud tidak akan membuat kaum muslimin lemah dan mereka masih mampu menghadapi kaum kafir bahkan untuk berperang kembali sekalipun.

Dan memang apa yang Nabi perkirakan terbukti. Setelah berbalik menuju Mekah, Abu Sufyan masih berencana untuk kembali guna menghancurkan kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Mereka berkata: "Kita belum memusnahkan Muhammad, para sahabatnya, komandan-komandan perang dan para pembesar mereka. Kita mesti kembali untuk menghabisi mereka sampai ke akar-akarnya."

Tiba-tiba Abu Sufyan melihat Ma'bad. Ia bertanya: "Apa berita yang engkau bawa wahai Ma'bad?"
"Muhammad bersama para sahabatnya sedang mengejar kalian dalam jumlah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mereka benar-benar ingin balas dendam terhadap kalian. Orang-orang yang sebelumnya tidak ikut berperang bersamanya melawan kalian di Uhud sekarang berkumpul di sekitarnya dan mereka sangat menyesal tidak ambil bagian dalam peperangan itu. Mereka datang dengan amarah yang belum pernah aku lihat sebelumnya."
"Celakalah engkau, apa yang engkau katakan ini?" kesal Abu Sufyan.
"Demi Allah, sebelum engkau berbalik menuju Mekah aku sudah melihat kuda-kuda mereka siap mengejar kalian."
"Demi Allah, kami telah mengumpulkan seluruh pasukan untuk menghabiskan mereka yang masih tersisa," balas Abu Sufyan.
"Aku sarankan engkau untuk mengurungkan hal itu. Tak ada yang mendorongku menyampaikan hal ini selain apa yang telah aku saksikan sendiri," saran Ma'bad.

Waktu itu Ma'bad al-Khuzani menyembunyikan keislamannya. Ia ingin menakut-nakuti kaum musyrikin agar mereka tidak kembali ke Madinah dan memerangi kaum muslimin. Tak berapa lama setelah itu lewatlah sebuah kafilah dari suku Abdul Qais. Abu Sufyan bertanya pada mereka: "Hendak kemana kalian?"
"Ke Madinah," jawab kafilah tersebut.
"Untuk apa?"
"Kami ingin membeli makanan dari penduduk Madinah."

Abu Sufyan berkata pada kafilah itu: "Maukah kalian menyampaikan suratku untuk Muhammad dan aku bawakan gandum kalian ini lalu kita bertemu di Ukaz?"
"Baik," jawab mereka.
"Kalau kalian bertemu Muhammad, sampaikan padanya bahwa kami telah sepakat untuk menyerangnya beserta para sahabatnya untuk memusnahkan orang-orang yang masih tersisa diantara mereka."

Kafilah dagang itu bertemu dengan Rasulullah saw. bersama para sahabat. Saat itu Rasul sudah sampai di daerah "Hamra` al-Asad" untuk mengejar Abu Sufyan dan pasukannya. Mereka mengabarkan pada Rasulullah apa yang disampaikan oleh Abu Sufyan dan pengikutnya. Rasulullah saw. dan para sahabat berkata:

"Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
Kemudian Allah melemparkan rasa takut ke dalam hati Abu Sufyan hingga akhirnya ia kembali ke Mekah. Sementara kaum muslimin kembali ke Madinah dengan rahmat dan karunia Allah tanpa terkena sesuatu yang buruk.

Abu Sufyan mengirim surat ancaman pada Rasulullah saw. untuk bertemu di Badar guna membalas dendam atas kerugian yang diderita oleh Quraisy dalam perang Badar Kubra. Ia menjanjikan perang itu akan dikobarkan setahun setelah perang Uhud. Pada saat itu, banyak orang yang menakuti-nakuti kaum muslimin menghadapi kaum Quraisy dan pasukan mereka. Menanggapi hal itu kaum muslimin hanya menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."

Pada waktu yang dijanjikan, Rasulullah saw. keluar bersama kaum muslimin menuju Badar untuk menghadapi Quraisy. Akan tetapi Abu Sufyan tidak datang dan tidak berani menghadapi Rasulullah saw. dan kaum muslimin. Padahal Abu Sufyan sudah bergerak bersama pasukannya akan tetapi ia kembali pulang ke Mekah. Tentang hal ini turunlah firman Allah SWT:

"(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertaqwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka," maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman." ( Ali Imran: 172-175)

Zuhudnya Ahmad bin Hanbal

Rahilah berkata, “Suatu kali aku berada di dekat rumah Ahmad bin Hanbal. Pintunya tidak tertutup rapat. Terdengar istrinya berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kita berada dalam kondisi yang sangat sulit, sementara rumah Shalih (salah seorang tetangga mereka) makan dengan enak dan berkecukupan.’ Ahmad selalu berkata kepada istrinya, ‘Ucapkanlah perkataan yang baik.’ Salah seorang anaknya datang sambil menangis. Ahmad berkata kepadanya, ‘Apa yang kau mau?’ Sang anak menjawab, ‘Anggur.’ Ahmad berkata, ‘Pergilah ke tukang buah dan belilah sedikit buah!’”
Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Makanan saat ini (di dunia) bukanlah makanan sesungguhnya (seperti di akhirat) begitu pula dengan pakaian. Hari-hari ini tidak akan lama. Sesungguhnya hari yang paling berbahagia bagiku adalah ketika di pagi hari itu aku tak punya apa-apa.”

Shalih putra Ahmad bin Hanbal berkata, “Terkadang aku lihat ayahku mengambil sepotong roti keras lalu dibersihkannya dari debu-debuan, kemudian dia letakkan di atas sebuah mangkok lalu dituangkannya air, sehingga roti itu menjadi lunak, kemudian dimakannya dengan garam. Aku tidak pernah melihatnya membeli buah delima, jeruk atau buah-buahan lainnya, kecuali dia pernah membeli semangka lalu dimakannya dengan roti atau dengan anggur atau korma. Adapun selain itu, aku tak pernah melihatnya membeli apa-apa.
Terkadang dibuatkan untuknya roti, lalu dia meletakkan di sebuah mangkok ‘adas (sejenis kacang-kacangan) dan daging serta beberapa biji korma, kemudian dia khususkan untuk anak-anaknya di sebuah mangkok, lalu dia sedikit bergurau dengan mereka kemudian dia memberikan makanan itu kepada mereka. Mereka tertawa dan makan dengan senang. Dia sering menjadikan cuka sebagai sambalnya dan membeli daging seharga satu dirham. Daging sedirham itu dia makan selama sebulan. Setelah kembali dari menghadap Khalifah Al-Mutawakkil  dia banyak berpuasa dan tidak makan yang berlemak sehingga aku mengira bahwa itu sudah diniatkannya jika dia selamat dari fitnah Khalifah.”