Ibn Umar dan Orang-orang yang Mengingkari Qada dan Qadar Allah

Ma'bad al-Juhani adalah orang yang pertamakali berbicara tentang qadar di Basrah. Kemudian ada beberapa orang, seperti Yahya bin Ya'mur dan Khumaid bin Abdurrahman, pergi mengadukan hal tersebut pada salah seorang sahabat, Abdullah bin Umar r.a.. Mereka berkata pada Ibn Umar, "Telah muncul di daerah kami segolongan orang yang beranggapan bahwa tidak ada yang namanya qadar, dan segala sesuatu itu bermula dari perbuatan manusia itu sendiri, tidak ada kaitannya dengan qadar". Lalu Ibn Umar berkata, "Apabila kamu bertemu mereka, katakanlah kepada mereka bahwa saya lepas tanggung jawab dari apa yang mereka katakan dan sebaliknya. Sungguh demi Zat Yang Ibn Umar bersumpah dengan-Nya, jika saja salah seorang diantara mereka ada yang memiliki emas sebesar gunung Uhud, kemudian dia menginfaqkannya, niscaya Allah tidak Akan menerimanya hingga dia beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk". Ibn Umar juga berkata, "Saya diberitahu oleh ayah saya, Umar bin Khatab, dia berkata, "Ketika kami  sedang bersama Rasulullah saw. tiba-tiba datang seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, dan mempunyai rambut yang sangat hitam, serta tidak nampak pada dirinya tanda-tanda bahwa dia datang dari jauh. Kemudian dia duduk di depan Rasulullah saw. merapatkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah saw. dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas paha Rasulullah saw. lalu berkata, "Wahai Muhammad beritahukanlah pada saya tentang Islam?" Nabi saw. menjawab,

"Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika engkau yang mampu".
"Engkau benar" kata laki-laki itu membenarkan jawaban Rasulullah saw.. Maka kami dibuatnya heran, bagaimana dia menanyakan sesuatu kemudian membenarkan sendiri jawaban yang diberikan padanya?"
Laki-laki itu bertanya lagi pada Rasulullah saw.  "beritahukanlah pada saya tentang iman?"
Rasulullah saw. menjawab,

"Iman adalah beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir dan beriman kepada qada dan qadar-Nya, yang baik maupun yang buruk".
"Engkau benar", kata laki-laki itu lagi setelah mendengar jawaban Rasulullah saw..
Lalu dia bertanya lagi, "Apa itu Ihsan?"
Rasulullah saw. menjawab,

"Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu".
Laki-laki itu pun membenarkan jawaban Rasulullah saw. dengan berkata, "Engkau benar".
Lalu dia bertanya lagi, "Beritahukanlah pada saya kapan itu hari kiamat?" Nabi saw. menjawab, "Saya tidak lebih tahu daripada engkau".
Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, "Lalu apa tanda-tandanya?" Nabi saw. menjawab,

"Tanda-tandanya adalah ketika engkau menyaksikan budak perempuan melahirkan tuannya, dan ketika orang-orang yang sangat miskin saling berlomba meninggikan bangunan mereka".
Kemudian Umar berkata, "Laki-laki yang tidak kami kenal itu kemudian meninggalkan kami. Dan selang beberapa lama, Rasulullah saw. menanyakan pada saya, "Wahai Umar tahukah kamu siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab, "Allah dan  Rasul-Nya lebih mengetahuinya". Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya yang datang bertanya itu adalah Jibril, dia mengajarkan pada kalian agama kalian”.
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa  meyakini adanya qada dan qadar Allah merupakan salah satu dari rukun iman.

TOBAT YUNUS BIN YUSUF


    Malik bin Anas berkata,  “Dahulu Yunus bin Yusuf termasuk salah seorang ahli ibadah yang saleh. Pada suatu hari ketika dia keluar dari masjid, dia berpapasan dengan seorang wanita, hingga dirinya jatuh cinta pada wanitu itu. Dia berkata, ‘Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menciptakan mata untukku sebagai nikmat, namun aku takut kalau itu akan berubah menjadi bencana siksaan, ambillah mataku ini.’”
    Malik berkata, “Hingga dia pun buta. Setiap kali dia pergi ke masjid dia dituntun oleh seorang bocah keponakannya. Apabila dia sampai di sebuah tiang masjid, sang bocah itu pergi bermain dengan bocah-bocah lainnya. Apabila dia ingin sesuatu dari anak itu, dia akan melemparkan batu, dan sang bocah pun akan mendatanginya.”
    Pada suatu hari ketika dia sedang berada di masjid, tiba-tiba perutnya sakit, dia segera melemparkan batu kepada bocah itu. Namun, anak itu tetap saja main bersama anak-anak lainnya, sehingga dia merasa takut terjadi sesuatu pada dirinya.
    Dia kemudian menengadahkan tangannya seraya berdoa, “Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menciptakan mata untukku sebagai nikmat, namun aku takut kalau itu akan berubah menjadi bencana siksaan, maka aku pun telah meminta-Mu dan Engkau telah mengambil mataku itu. Saat ini aku merasa khawatir hal itu bisa menjadi aib, maka kembalikanlah mataku kepadaku.”
    Dia pun dapat pulang ke rumahnya berjalan dengan mata yang sehat. Malik berkata, “Aku pernah melihat dia buta dan aku pun pernah melihat dia matanya melek.”64