TOBAT SESEORANG DARI BANI ISRAIL

Ka’ab al-Ahbar berkata bahwa pada masa Nabi Musa a.s., Bani Israil mengalami paceklik. Karena paceklik tersebut, mereka pun memintanya agar berdoa memohon hujan untuk mereka. Mendengar permintaan tersebut, Nabi Musa berkata, “Keluarlah kalian bersamaku pergi ke gunung.”
    Mereka menuruti permintaan Musa a.s. untuk keluar. Ketika menaiki gunung, Musa berkata, “Seseorang yang pernah melakukan dosa tidak boleh ikut aku.”
    Kemudian mereka semua kembali pulang, kecuali ada satu orang yang sebelah matanya buta yang bernama Burkhul ‘Abid. Musa lalu berkata kepadanya, “Tidakkah kamu mendengar apa yang telah aku katakan?”
    Dia menjawab, “Benar.”
    Musa bertanya, “Apakah kamu belum pernah melakukan dosa?”
    Dia menjawab, “Aku tidak tahu kecuali ada sesuatu yang aku ingat. Jika memang itu termasuk dosa, aku akan kembali pulang.”
    Musa berkata, “Apa itu?”
    Dia bercerita, “Pernah aku lewat di sebuah jalan. Aku dapati pintu kamar yang terbuka. Maka, dengan mataku yang sedang pergi ini aku melirik seseorang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku berkata kepada mataku, ‘Kamu berada di hadapanku, begitu cepat kamu melakukan kesalahan, janganlah kamu menemani aku sesudah ini.’ Aku pun memasukkan jariku dan aku mencongkelnya. Jika ini adalah sebuah dosa, aku akan kembali pulang.”
    Musa berkata bahwa itu bukan sebuah dosa, lalu berbicara kepada lelaki buta itu, “Mintalah hujan, wahai Barkh.”
    Barkh pun berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Quddus, ya Quddus, apa yang ada pada-Mu tidak pernah habis dan perbendaharaan-Mu tidak pernah binasa, dan Engkau tidak pernah bakhil dan kikir, dan itu yang tidak pernah ada pada-Mu, turunkanlah kami hujan selekasnya.”
    Ka’ab al-Ahbar berkata, “Keduanya—yaitu Musa dan orang itu—kembali pulang dan jalan pun becek karena banyaknya air.”
Penulis berpendapat bahwa jika pada masa dahulu atau pada umat-umat terdahulu yang namanya tobat harus dengan menghilangkan anggota tubuh yang melakukan maksiat, maka dalam agama kita tidak ada yang memerintahkan hal itu.
    Dahulu, tobatnya Bani Israil ketika mereka menyembah patung anak sapi pada zaman Nabiyullah Musa dan Rasul-Nya adalah dengan membunuh mereka yang telah menyembah patung anak sapi itu, dan itu benar-benar terjadi seperti yang diceritakan kepada kita oleh Allah swt. dalam Al-Qur’anul Karim, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu….’” (al-Baqarah: 54)
    Adapun dalam syariat agama kita, hal tersebut telah dihapus dan menjadikan tobat antara hamba dan Tuhannya menjadi hal yang sangat mudah sekali dengan mengikuti syarat-syarat tobat, yaitu menjauhi benar-benar maksiat tersebut, menyesalinya, bertekad kuat untuk tidak kembali lagi melakukan maksiat, dan dengan mengembalikan hak-hak kepada para pemiliknya.

Taubah al-Anbari Dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Ibnu Hamdun dalam kitab tadzkirah-nya menulis tentang Taubah al-Anbari rahimahullah: "Taubah bercerita: "Yusuf bin Umar –salah seorang Gubernur- memaksaku untuk bekerja. Ia juga menyiksa dan mengikatku. Setelah itu ia memenjarakanku, sehingga tidak sehelaipun rambutku yang masih berwarna hitam. Pada suatu malam aku bermimpi didatangi oleh seseorang. Ia berkata: "Wahai Taubah, mereka lama memenjarakanmu?"
"Ya," jawabku.
"Mohonlah pada Allah kemaafan dan keselamatan di dunia dan akhirat sebanyak tiga kali."
(Doanya berbunyi:)
Kemudian aku terbangun lalu aku tulis doa tersebut. Aku berwudhuk dan shalat sebanyak yang aku mampu kemudian aku berdoa dengan doa tersebut sampai datangnya waktu shalat subuh.
Tiba-tiba datanglah penjaga. Ia bertanya: "Mana Taubah al-Anbari?"
Lalu ia membawaku dalam keadaan dirantai. Aku dihadapkan pada sang Gubernur. Aku masih terus membaca doa tadi. Ketika Gubernur melihatku ia segera memerintahkan untuk membebaskanku. Doa itu juga aku ajarkan pada seorang lelaki yang bersamaku dalam penjara. Laki-laki itu menceritakan: "Setiap kali aku digiring untuk disiksa lalu aku baca doa itu aku selalu dilepaskan. Suatu hari aku diseret untuk disiksa, lalu aku ingat doa itu tapi aku tidak membacanya. Akhirnya aku dicambuk seratus kali, kemudian aku baca doa itu lalu aku dilepaskan."