Menunggu Maut Setiap Hari

Ibnu Jauzi rahimahullah menceritakan bahwa Mu’adzah binti Abdullah al-Adawiyah rahimahallah, setiap kali matahari terbit selalu berkata kepada dirinya, “Inilah hari kematianku.” Setelah itu dia tidak akan tidur sampai sore. Apabila malam datang dia akan berkata lagi pada dirinya, “Inilah malam kematianku.” Sehingga, dia juga tidak tidur sampai pagi.
Kalau rasa dingin datang dia akan memakai pakaian tipis sehingga rasa dingin itu akan menghalanginya dari tidur yang nyenyak yang dapat menyebabkannya kehilangan qiyamullail dan bermunajat kepada Allah.
Dia selalu menghidupkan malam dengan qiyamullail. Apabila rasa kantuk menyerangnya, dia akan bangkit dan berkeliling di sekitar rumahnya sambil berkata kepada dirinya, “Andaikan kamu mati niscaya kamu akan tidur panjang di kubur, boleh jadi dalam rasa sesal atau bahagia.” Begitulah yang selalu dia lakukan sampai datangnya waktu subuh.         
Ketika suaminya Abu Shahba` dan putranya syahid di jalan Allah  dia berkata kepada putrinya, “Wahai putriku, keinginanku untuk tetap berada di dunia bukanlah untuk menikmati kehidupan yang senang ataupun bersantai-santai, akan tetapi demi Allah, aku masih ingin berada di dunia untuk bertaqarrub kepada Allah dengan segala bentuk ketaatan semoga Dia menghimpunku bersama suami dan putraku di surga.” 

Bilal bin Rabah dan Kelapangan Setelah Kesempitan

Sahabat agung; Bilal bin Rabah sebelumnya adalah budak Umayyah bin Khalaf. Ia seorang yang berkulit sangat hitam, kurus dan tinggi. Ia sudah lama masuk Islam di Mekah saat ia masih menjadi seorang budak. Ia termasuk satu diantara tujuh orang yang pertama kali menyatakan keislamannya. 

Ketika keislamannya diketahui oleh kaum musyrikin, mereka lalu menyiksanya habis-habisan. Mereka berkata padanya: "Tuhanmu adalah Latta dan 'Uzza." Tapi ia tetap berkata: "Ahad... Ahad (esa... esa)."
Mereka lalu membawanya ke tengah-tengah padang pasir Mekah yang panas membara. Kemudian mereka seret tubuhnya di atas pasir yang membakar, lalu mereka letakkan batu besar di atas dadanya, tapi ia tetap berkata: "Ahad... Ahad..."

Suatu kali Waraqah bin Naufal lewat di depan Bilal yang sedang disiksa dan terus mengatakan: "Ahad... Ahad..." maka Waraqah berkata: "Ahad... Ahad... demi Allah wahai Bilal."
Kemudian Waraqah menemui Umayyah bin Khalaf –Allah melaknatnya- yang sedan menyiksa Bilal. Waraqah berkata: "Aku bersumpah demi Allah, jika kalian bunuh ia dalam kondisi begini sungguh aku akan menjadikan tempat ini sebagai ratapan."

Bilal terus disiksa setiap hari dalam mempertahankan agama Allah, sampai suatu ketika Abu Bakar lewat di hadapan mereka. Ia berkata pada Umayyah: "Tidakkah engkau takut kepada Allah menyiksa orang malang ini? Sampai kapan?"
Abu Bakar melanjutkan: "Aku punya seorang budak yang hitam dan kuat serta seagama denganmu (sama-sama musyrik). Aku mau engkau tukar budak ini dengan budakku."
"Aku terima," jawab Umayyah.
"Budak itu jadi milikmu," kata Abu Bakar.           

Kemudian Abu Bakar memberikan budaknya dan mengambil Bilal sebagai gantinya, lalu dimerdekakannya Bilal karena Allah. Bersama dengan Bilal, Abu Bakar juga memerdekakan enam orang budaknya sebelum hijrah.

Begitulah datang kelapangan setelah kesempitan, dari budak menjadi merdeka dan dari kafir menjadi Islam.
Umar bin Khattab pernah berkata: "Abu Bakar adalah tuan kita yang telah memerdekakan tuan kita."

Setelah itu Bilal menjadi muazzin Rasulullah dan dialah orang pertama yang mengumandangkan azan di atas Ka'bah al-Musyarrafah di saat pembebasan kota Mekah al-Mukarramah. Bahkan dialah orang pertama yang mengumandangkan azan untuk shalat dalam sejarah Islam.

Pemilik Ikat Kepala Merah


Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengambil sebilah pedang di Perang Uhud dan berkata, “Siapa yang siap mengambil pedang ini?”
Para sahabat membentangkan tangan mereka. Setiap mereka berkata, “Saya... saya....”
Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang akan mengambilnya dengan haknya?”
Anas berkata, “Mereka semua lalu mundur.”
Kemudian Samak bin Kharsyah Abu Dujanah berkata, “Saya yang akan mengambilnya dengan haknya.” Lalu dia mengambilnya, dan dengan pedang itu,  dia tebas kepala-kepala kaum musyrikin.
Dalam riwayat lain Abu Dujanah bertanya, “Apa haknya?”
Rasulullah saw. menjawab, “Kau gunakan pedang ini untuk memukul musuh sampai dia tersungkur.”
Ketika  dia mengambil pedang itu, dia berkata,
“Aku yang diambil sumpah oleh kekasihku
Ketika kami berada di bukit dekat pepohonan kurma
Agar aku tidak pernah berada di belakang barisan
Aku akan tebas musuh dengan pedang Allah dan Rasul-Nya”

Zubair bin Awwam berkata, “Ketika aku minta pedang itu kepada Rasulullah dan beliau tidak memberikannya kepadaku, akan tetapi beliau memberikan kepada Abu Dujanah, aku berkata dalam hati aku adalah anak Shafiyyah, bibi Rasulullah, dan aku dari Quraisy, dan aku sudah meminta pedang itu kepada beliau sebelum Abu Dujanah, tetapi beliau malah memberikannya kepada Abu Dujanah, bukan kepadaku. Demi Allah, aku akan perhatikan apa yang akan dia lakukan dengan pedang itu. Lalu aku ikuti dia. Abu Dujanah mengeluarkan ikat kepala merah, lalu dia ikat kepalanya. Orang-orang Anshar berkata, ‘Abu Dujanah telah mengeluarkan ikat kepala kematian.’ Begitulah yang selalu mereka katakan setiap kali dia mengenakan ikat kepala itu. Lalu dia berkata, ‘Aku yang telah diambil sumpah oleh kekasihku.’ Tak seorang pun musuh yang dia jumpai, kecuali dia berhasil membunuhnya.  Semoga Allah meridhainya.”
Rasulullah saw. telah memberikan pelajaran berharga kepada kaum Muslimin bahwa tidak ada pilih kasih dalam menempatkan seseorang pada posisi yang sesuai. Beliau tidak memberikan pedang itu kepada karib kerabat yang paling dekat dengannya. Dan ternyata, Abu Dujanah r.a. tidak mengecewakan Rasulullah, dia telah menyempurnakan janji dan sumpahnya, dan berperang dengan pedang Rasulullah, serta meraih kemenangan dengan pedang itu.